PENDAHULUAN
Studi tentang kepemimpinan sudah sangat tua dan melahirkan begitu banyak
teori, mulai dari the great men theory yang menganggap bahwa pemimpin itu dilahirkan,
kemudian dilanjutkan dengan teori sifat yang mencoba menidentifikasi kepemimpinan
berdasarkan sifat-sifat yang melekat pada pemimpin yang berhasil, kemudian lahir teori
prilaku yang menganalisis kepemimpinan yang berhasil itu ditentukan oleh prilakuprilaku tertentu, dan teori kontingensi yang menganalisis bahwa kepemimpinan itu
harus didasarkan pada situasi dan kondisi dimana kepemimpinan itu dijalankan. Inilah
garis besar teori kepemimpinan yang berkembang selama ini. Namun, pada tataran
teori ini tidak satupun teori yang bisa menjelaskan konsep teori apa yang cocok untuk
situasi kondisi yang ada di indonesia sebagaimana yang dijelaskan oleh teori
situasional atau kontingensi. Ada suatu konsep yang dikemukankan dari teori lokal yang
berdasarkan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu pancasila.
Pancasila merupakan falsafah hidup bangsa Indonesia, dimana pola hidup
masyarakatnya selalu berdasarkan pada nilai-nilai yang terkandung pada pancasila.
Namun apa yang terjadi, masih banyak dari masyarakat kita yang bisa dan mau
mengamalkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupannya. Begitu juga dengan para
pemimpin kita, kita lihat dari puncak teratas kepemimpinan negeri kita yaitu presidenpresiden kita. Kita mulai dari presiden kita pertama yaitu Sukarno. Sukarno adalah
pencetus dan salah satu the founding father bangsa ini. Pancasila juga terlahir dari
konsep para founding father bangsa ini, namun jika kita lihat dari kepemimpinan
Sukarno bahwa Sukarno lebih menonjolkan kharismatiknya, tak sedikit orang yang
meragukan Sukarno, namun apakah Sukarno sudah menerapkan nilai-nilai pancasila
dalam kepemimpinannya. Sukarno jika kita lihat dari sejarahnya juga tidak menerapkan
seluruhnya dari nilai-nilai pancasila, hal ini terbukti dengan keinginannya untuk menjadi
presiden seumur hidup, hal ini sangat bertentangan dengan nilai dari sila ke-4 yaitu
dengan nilai-nilai demokrasinya. Begitu juga dengan paham komunisme yang menurut
sejarah dianut oleh Sukarno, hal ini bertentang dengan prinsip keadilan yang dijelaskan
dalam konsep kepemimpinan yang berkeadilan yang berarti menempatkan sesuatu
pada porsinya bukan sama rata dan sama rasa. Kepemimpinan pancasila yang unsurunsur nilainya memiliki nilai universal, namun, realitanya para pemimpin bangsa ini
dalam memimpin tidak sepenuhnya memperlihatkan atau menginternalisasikan nilainilai pancasila ke dalam sikap dan tingkah lakunya untuk memimpin masyarakatnya
maupun bawahannya.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konsep Kepemimpinan Di Indonesia
Kondisi lingkungan kehidupan bangsa kita pada dekade-dekade awal abad 21
sebagaimana bangsa lain diberbagai belahan dunia, menghadapi gelombang besar
berupa
meningkatnya
tuntutan
Demokratisasi, Desentralisasi,
dan
Globalisasi.
dari
perencanaan,
pelaksanaan,
dan
tujuan
ada
beberapa
persyaratan
yang
harus
dipenuhi
oleh
kepemimpinan, yaitu:
- Kepemimpinan di Era pembangunan Nasioanal harus bersumber pada falsafah
negara, yakni pancasila
- Memahami benar makna dari perencanaan, pelaksanaan, dan tujuan
pembangunan yang ingin dicapai
- Diharapkan agar Kepemimpinan Pancasila mampu menggali intisari dari nilainilai tradisional yang luhur, untuk kemudian dipadukan dengan nilai-nilai positif
dari modernisasi.
B. Sistem Kepemimpinan Nasional
Menurut Prof. Dr. Mustopadidjaja, bahwa Kepemimpinan Nasional diartikan
sebagai
Sistem
Kepemimpinan
dalam
rangka
penyelenggaraan
negara
dan
fungsional berperan dan berkewajiban memimpin orang dan lembaga yang dipimpinnya
dalam upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara.
Menurut Anwar Ibarahim, bahwa kepemimpinan haruslah peka dan prihatin
terhadap suara dan aspirasi rakyat serta merumuskan cara pendekatan yang
melibatkan rakyat. Beliau menekankan pada konsep Syura (musyawarah) dan
demokrasi penyetaraan. Pemimpin Naisonal adalah sosok yang mampu memahami
kebutuhan dan aspirasi rakyat Indonesia secara keseluruhan dan menghayati nilai-nilai
yang berlaku, agar mempunyai kemampuan memberi inspirasi kepada bangsa
Indonesia dan mempunyai visi yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.
C. Pendekatan
Tanggal 1 Juni, biasa mengacu pada peristiwa sejarah saat Soekarno berpidato
dalam rapat pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), pada tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945. Adalah benar, bahwa pada
saat tanggal 1 Juni 1945 itu Soekarno mengusulkan nama dasar negara kita dengan
nama Pancasila. Sebuah nama yang menurut Soekarno diperoleh dari seorang teman
yang ahli bahasa, tanpa menyebut siapakah nama teman tersebut.Namun, Pancasila
yang diusulkan oleh Soekarno saat itu, adalah cukup berbeda dengan Pancasila yang
kita kenal saat ini. Perbedaan itu, terutama dalam hal susunan redaksi, sistematika ,
atau urutan sila-silanya. Perhatikan, Pancasila yang diusulkan oleh Soekarno saat itu :
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme - atau Perikemanusiaan
3. Mufakat - atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang berkebudayaan.
Tentu, cukup berbeda dengan naskah resmi Pancasila yang kita kenal pada
saat ini, yaitu :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
bila dibanding dengan kualitas orang-orang yang dipimpinnya. Kelebihan ini terutama
meliputi segi teknis, moral, dan semangat juangnya. Beberapa kelebihan tersebut
antara lain adalah sebagai berikut :
1. sehat jasmaninya, dengan energi yang berlimpah-limpah, dan keuletan tinggi.
2. memiliki integritas kepribadian, sehingga dia matang, dewasa, bertanggung jawab,
dan susila.
3. rela bekerja atas dasar pengabdian dan prinsip kebaikan, serta loyal terhadap
kelompoknya.
4. memiliki inteligensi tinggi untuk menanggapi situasi dan kondisi dengan cermat,
efisien-efektif, memiliki kemampuan persuasi, dan mampu memberikan motivasi yang
baik kepada bawahan.
5. mampu menilai dan membedakan aspek yang positif dari yang negative dari setiap
pribadi dan situasi, agar mendapatkan cara yang paling efisien untuk bertindak.
Selanjutnya, di alam kemerdekaan dan pembangunan sekarang, berhasilnya
pembangunan nasional sangat bergantung pada ikut sertanya seluruh rakyat Indonesia
yang memiliki sikap mental, tekad, semangat, ketaatan dan disiplin nasional dalam
menjalankan tugas kewajibannya. Untuk hal ini perlu dibangkitkan motivasi membangun
di kalangan masyarakat luas, dan motivasi pengorbanan pengabdian pada unsur
kepemimpinan (local, regional maupun nasional). Sebab dengan keteladanan yang
utama- atas dasar pengorbanan dan pengabdian pada kepentingan rakyat banyak,
maka segenap rakyat kecil akan rela berperan serta dalam usaha pembangunan.
Dengan demikian, dalam era pembangunan sekarang diperlukan tipe kepemimpinan
penggugah/stimulator dinamisator untuk menggairahkan semangat pembangunan di
segala bidang kehidupan.
Ada
beberapa
persyaratan
yang
perlu
dipenuhi
oleh
kepemimpinan
riil dari rakyat, serta peningkatan kehidupan bangsa atas asas manfaat, usaha
bersama, kekeluargaan, demokrasi, serta prinsip adil dan adil.
- Diharapkan kepemimpinan pancasila mampu menggali intisari dari nilai-nilai
tradisional kuno yang tinggi peninggalan para leluhur dan nenek moyang kita, untuk
kemudian dipadukan dengan nilai-nilai positif dari modernisme, dalam kepemimpinan
Indonesia.
Untuk lebih memahami ketiga hal tersebut di atas, marilah kita renungkan
pemikiran Dr. Ruslan Abdulgani mengenai moral pancasila dalam kaitannya dengan
kepemimpinan nasional antara sebagai berikut :
1. yang dimaksud dengan pancasila adalah pancasila yang tercantum pada pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, berupa kesatuan bulat dan utuh dari kelima sila, yaitu
ketuhanan YME, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Nilai-nilai tersebut harus dihayati, yaitu diresapi serta diendapkan dalam hati dan
kalbu, sehingga memunculkan sikap dan tingkah laku yang utama/terpuji dalam
kehidupan sehari-hari. Untuk kemudian diterapkan/diramalkan dengan kesungguhan
hati dalam kehidupan bermasyarakat, karena orang menyadari sedalam-dalamnya
pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan sumber kejiwaan masyarakat,
(sekaligus menjadi dasar negara Republik Indonesia) untuk hidup rukun damai
bersama-sama.
3. Pancasila dan UUD 1945 menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk
agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Kebebasan
beragama adalah salah satu hak paling asasi di antara hak-hak asasi manusia, karena
kebebasan itu langsung bersumber pada martabat manusia sebagai mahkluk ciptaan
Tuhan. Kebebasan beragama itu bukan pemberian negara dan bukan pula pemberian
golongan, akan tetapi merupakan anugerah Ilahi.
K e p e m i m p i n a n Pancasila dapat diartikan sebagai kepemimpinan yang
dijiwai
Pancasila, disemangati
azas
kekeluargaan,
memancarkan
wibawa
serta
mengambil
keputusan
mengikuti
penentuan
masalah/
problem,p e n e n t u a n d a t a / i n f o r m a s i y a n g d i p e r l u k a n , p e n g u m p u l a n d a t a
d a n informasi,
analisis
data,
penarikan
simpulan.
Dengan
demikian,
dihindari pengambilan keputusan yang didasarkan pada emosi atau intuisi semata-mata ataupun
situasi senang dan tidak senang.
c. Berpegang pada prinsip efesien dan efektif
Menentukan
cara
yang
perlu
diambil
dalam
menyelesaikan
keserasian dan
keseimbangan.
.
E. Pemimipin Yang Berjiwa Pancasila
Bagi suatu organisasi apapun, baik itu Negara, Partai Politik, LSM, Ormawa,
OKP, dll yang ingin memperoleh kemajuan dalam bidang usahanya, maka
kepemimpinan yang baik mutlak dibutuhkan bagi organisasi itu terutama keahlian
dalam bidang tersebut, Dalam suatu organisasi dalam mencapai tujuannya, maka
seorang pemimpin harus dapat mengelola dan mengarahkan elemen-elemen yang ada
secara baik dan teratur. Seorang pemimpin harus dapat menciptakan suatu kerjasama
yang harmonis di antara pimpinan dan bawahan. Arti Kepemimpinan Pancasila adalah
Kepemimpinan
yang
membawa
masyarakat
dalam
kesadaran
bermasyarakat,
1. Semangat Nasionalisme
2. Semangat Kekeluargaan
3. Semangat Gotong Royong
4. Pembangunan Isi Kemerdekaan
5. Pembangunan Falsafah Negara Pancasila
6. Pembangunan Amalan Pancasila
7. Pembangunan Fungsi Manajemen
8. Pembangunan Memadu Budaya Tradisi dan Modernisasi
9. Pembangunan Berazas Persatuan, Kebersamaan, Kesatuan
Melihat perilaku pemimpin bangsa kita sekarang yang bercokol di Jakarta,
tentunya kita masih bersikap bijak dengan tidak menyalahkan rakyat pemilihnya, dan
tentunya kita juga tidak layak mempermasalahkan ungkapan vox populi, vox dei, suara
rakyat, suara Tuhan. Kerena ini menyangkut pesan moral bagi pemimpin yang masih
merasa beriman untuk memperhatikan rakyat, terlepas dari rakyat pemilihnya yang
memang juga tidak bermoral, tapi ini tentunya menjadi tanggung jawab pemimpin yang
masih saja mengklaim ia di pilih rakyat, ia mewakili suara rakyat, suara Tuhan yang
tentunya tidak diskriminasi.
Pemimpin kita selalu mengklaim diri seorang Pancasilais sejati, namun selalu
menunjukan ironi, ketika dipertanyakan nilai-nilai Pancasila yang dianutnya, ia lebih
menunjukan diri sebagai perwujudan paham nasionalisme sempit, atau suatu
ketidakperdulian dengan pembenaran di sisi lain. Dia meniadakan sila-sila Pancasila,
apa lagi Bhineka Tunggal Ika yang kita anut. Dia hanya menunjuk diri, kuasa egonya
agar diketahui dirinya orang besar yang mempunyai modal untuk menguasai dunia,
dimana Pancasila yang sesungguhnya hanya sebuah inspirasi untuk dijadikan alatnya
agar dapat di pakai dalam masa kepemimpinannya yang sifatnya sementara ini untuk
menindas. Ia hanya menjadikan Pancasila untuk meningkatkan kapitalnya tanpa perduli
terhadap yang lain, rakyat pemilihnya. Melihat hal ini, rakyat tentunya tahu bahwa
pemimpinnya bukan pemimpin Pancasila, dan senjata untuk melawannya tidaklah kuat
jika hanya dengan seeokor Kerbau. Rakyat tentunya masih berpikir untuk melawan
pemimpin yang memperalat mereka, dan masih terus berharap mempunyai pemimpin
yang berpihak pada mereka. Bila kita sejenak merujuk pada referensi sejarah, Pidato
Bung Karno 1 Juni tentang Lahirnya Pancasila memberi kita pencerahan bahwa kita
mendirikan negara semua untuk semua dimana tidak ada klaim kultural maupun
stempel identitas tertentu di atas blanko republik ini. Dalam UUD 1945, Pasal 1 ayat 3
menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Sedangkan dalam pasal 2 UU Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jelas tercantum
Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum. Sementara Bhinneka Tunggal
Ika, nilai-nilai luhurnya sudah lama ada di sanubari tiap-tiap rakyat Indonesia.
Kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa
serta semangat anak-anak bangsa di negeri ini.
Rujukan ideologis, kultural dan konstitusional memberi kita makna bahwa
Indonesia punya cita-cita kolektif dimana semua golongan bisa hidup berdampingan
dengan berlandaskan pada norma-norma hukum dimana sumber rujukanya adalah
Pancasila. Pembangkangan terhadap hukum dengan dalih menjaga ketertiban umum
adalah sikap pengecut. Selama bangsa ini dipimpin oleh orang-orang yang berjiwa
kerdil, jangan pernah berharap bangsa ini bisa besar. Demokrasi yang bersendi
Pancasila harus dijalankan dengan hubungan mayoritas dan minoritas yang berimbang
(majority rule, minority rights). Dalam hal ini berwujud kebijakan publik yang berkeadilan
sesuai dengan nilai-nilai kekeluargaan yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.
Tanpa itu, demokrasi hanya akan jadi pepesan kosong bagi rakyat yang lapar rasa adil
dan haus rasa nyaman. Pemimpin Indonesia harus menjadi Pancasila Hidup atau
Pancasila Berjalan Tanggal 1 Juni 1945 merupakan momen penting dalam sejarah
bangsa Indonesia dalam menentukan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang baru saja lahir. Kukuhnya Pancasila sebagia dasar NKRI kenyataannya
memang banyak mengorbankan nyawa sesama bangsa sendiri. Ini membuktikan
bahwa Pancasila adalah hasil kerja keras para pemimpin bangsa dalam menghadapi
kondisi pluralitas bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai macam unsur, baik suku
bangsa, adat istiadat maupun agama yang berbeda-beda. Nilai-nilai universalitas
Pancasila makin tampak ketika menghadapi pluralitas masyarakat Indonesia ketimbang
harus mengadopsi kelompok agama tertentu.
Yang paling ironis sekarang ini adalah menjadikan Pancasila hanya sebagai
hiasan dinding yang tak memiliki makna. Nilai-nilai luhur Pancasila yang memuat segala
aspek kehidupan berkebangsaan tak lagi
menyentuh
memengaruhi mentalitas para pemimpin bangsa. Dengan demikian, yang terjadi adalah
mentahnya nilai-nilai Pancasila dalam sanubari para pemimpin kita. Simbol-simbol
burung Garuda yang dipajang di setiap kantor pemerintahan seolah tak memiiki
pengaruh apa-apa bagi aktivitas pemerintahan sendiri. Di setiap ruangan para pejabat
tingi ada burung Garuda yang selalu mengawasi segala aktivitasnya, namun dengan
tanpa merasa berdosa mereka berani manandatangani perjanjian korupsi yang
jumlahnya miliaran rupiah. Di lain kesempatan mereka dengan rajin membacakan lima
sila Pancasila secara lengkap di depan para bawahannya secara jelas dan tegas.
Namun, Pancasila kini telah kehilangan eksistensinya sebagai perekat kekuatan moral
dan pemersatu bangsa. Yang paling ironis sekarang ini adalah menjadikan Pancasila
hanya sebagai hiasan dinding yang tak memiliki makna.
Nilai-nilai
luhur
Pancasila
yang
memuat
segala
aspek
kehidupan
berkebangsaan tak lagi menyentuh moralitas bangsa dan memengaruhi mentalitas para
pemimpin bangsa. Dengan demikian, yang terjadi adalah mentahnya nilai-nilai
Pancasila dalam sanubari para pemimpin kita. Simbol-simbol burung Garuda yang
dipajang di setiap kantor pemerintahan seolah tak memiiki pengaruh apa-apa bagi
aktivitas pemerintahan sendiri. Di setiap ruangan para pejabat tingi ada burung Garuda
yang selalu mengawasi segala aktivitasnya, namun dengan tanpa merasa berdosa
mereka berani manandatangani perjanjian korupsi yang jumlahnya miliaran rupiah. Di
lain kesempatan mereka dengan rajin membacakan lima sila Pancasila secara lengkap
di depan para bawahannya secara jelas dan tegas. Namun, Pancasila kini telah
kehilangan eksistensinya sebagai perekat kekuatan moral dan pemersatu bangsa.
Tanggal 1 Juni yang diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila tidak hanya menjadi
ajang simbolisasi peringatan yang tak memiliki makna. Kita tidak bisa berdiam diri
membiarkan nilai-nilai luhur Pancasila hilang tanpa meninggalkan jejak. Berkaitan
dengan itu semua, sebagai bangsa yang menjujung tinggi demokrasi, sudah saatnya
kita kini selektif memilih sosok calon pemimpin yang benar-benar memiliki kapabilitas
yang cukup mumpuni dan bermoral Pancasila. Seorang pemimpin yang Pancasilais
adalah sosok pemimpin yang selalu memperhatikan nasib rakyatnya sesuai dengan
tujuan kesejahteraan dalam sila Pancasila. Seorang pemimpin yang Pancasilais adalah
sosok pemimpin yang tidak mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan
masyarakatnya. Pemimpin yang Pancasilais harus mengedepankan kepentingan rakyat
daripada kepentingan-kepentingan yang lain. Pemimpin yang Pancasilais adalah
pemimpin yang tidak terlalu berambisi mengejar jabatan demi kepentingan pribadi,
menanamkan permusuhan dengan lawan-lawan politiknya.
Pemimpin yang Pancasilais adalah sosok pemimpin yang selalu dengan teguh
mengamalkan sila-sila Pancasila dengan sempurna. Ia adalah pemimpin yang memiliki
jiwa religiositas sesuai dengan sila pertama Pancasila, selalu menanamkan jiwa-jiwa
keadilan dalam setiap aspeknya, bersikap toleran dan terbuka sebagai jalan untuk
mempersatukan semua unsur perbedaan yang ada, dan selalu bijak dalam
pengambilan keputusannya. Dalam cara pandang sudut agama, Pancasila telah
mewakili semua agama yang ada di negeri ini. Sebagai jalan penengah di antara
semua unsur perbedaan itu, Pancasila tidak pernah memihak kepada salah satu di
antara semua agama yang ada. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah
nilai-nilai moral universal di mana semua agama mengajarkannya. Seorang agamawan
yang baik sudah pasti mengerti filsafat Pancasila menurut pandangan agamanya.
Sebab, Pancasila bersifat netral. Pancasila sesuai dengan agama apa pun yang ada di
negeri ini karena ia yakin bahwa setiap agama pasti mengajarkan nilai-nilai kebenaran,
keadilan, serta toleransi. Kalaupun ada sekelompok orang yang ingin mengganti
Pancasila dengan hukum-hukum agama tertentu, berarti ia kurang bisa membedakan
dan memahami antara agama dan substansi ajarannya.
kepemimpinan
Pancasila
keterpaduan
pola
pikir
modern
yang
saling
dengan dengan pola pikir Pancasila bertumpu pada azas-azas sebagai berikut:
1. Azas Kebersamaan
Menurut azas kebersamaan, dalam Kepemimpinan Pancasila hendaknya:
a. pemimpin dan yang dipimpin merupakan kesatuan organisasi;
b. pemimpin tidak terpisah dengan yang dipimpin;
c. pemimpin dan yang dipimpin saling pengaruh mempengaruhi;
d. p e m i m p i n
dan
yang
dipimpin
bukan
unsur
melati dan kenangan. Masing-masing tetap dikenal sebagai jenis bunga, tetapi baru akan
dinamakan bunga setaman bila ketiga-ketiganya ada dalam jambangan tersebut, sehingga bunga
setaman ini merupakan suatu kesatuan. Melati tidak mengharapkan agar
mawar dan kenanga berubah menjadi melati semua. Sebaliknya mawar pun tidak
akan memaksa melati supaya berubah menjadi mawar. Bila tidak demikian,
maka tidak akan berbentuk bunga setaman.
4. Azas Selaras, Serasi dan Seimbang
Semua
azas
azask e s e l a r a s a n ,
tersebut
di
keserasian
atas
dan
harus
dijiwai
dan
disemangati
oleh
tidak
d a n pertentangan. Adanya
perbedaan
keanekaragaman
adalah
a k a n menimbulkan
suasana
indah
yang
akan
menumbuhkan
ketentraman batin. Di negara Indonesia, setiap warga negara diharapkan bersikap dan
bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang terkandung dalam Pancasila.
Seorang p e m i m p i n d i h a r a p k a n m e n j a d i c o n t o h t e l a d a n s e r t a p a n u t a n
o r a n g - o r a n g y a n g d i p i m p i n n ya , m a u t i d a k m a u h a r u s b e r s i k a p d a n
b e r t i n g k a h l a k u s e s u a i d e n g a n Pancasila. Ia harus melaksanakan butir-butir
yang merupakan nilai-nilai dan norma-norma Pancasila dalam kehidupan sehari-hari
yang nyata. Perbuatannya tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.
b. Intisari dari warisan pusaka berupa nilai-nilai dan norma-norma kepemimpinan yang
ditulis oleh para nenek moyang.
c. Refleksi dan kontemplasi mengenai hakikat hidup dan tujuan hidup bangsa pada era
pembangunan dan zaman modern, sekaligus juga refleksi mengenai pribadi selaku
manusia utuh yang mandiri dan bertanggung jawab dengan misi hidupnya masingmasing.
I. Landasan Kepemimpinan Pancasila
Selanjutnya, pada tingkat, jenjang serta di bidang apa pun, pemimpin harus
mempunyai landasan pokok berupa nilai-nilai moral kepemimpinan, seperti yang telah
diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Keempat macam landasan pokok
kepemimpinan itu ialah :
1. Landasan diplomasi (bersumber pada ajaran almarhum Dr. R. Sosrokartono):
a) Sugih tanpa banda (kaya tanpa harta benda)
b) Nglurung tanpa bala (melurug tanpa balatentara)
c) Menang tanpa ngasorake (menang tanpa mengalahkan)
d) Weweh tanpa kelangan (memberi tanpa merasa kehilangan)
2. Landasan Kepemimpinan
a) Sifat ratu/raja: bijaksana, adil, ambeg paramarta, konsekuen dalam janjinya.
b) Sifat pandita: membelakangi kemewahan dunia, tidak punya interest, dapat melihat
jauh ke depan/waskita
c) Sifat petani: jujur, sederhana, tekun, ulet, blaka
d) Sifat guru : memberikan teladan baik.
3. Landasan Pengabdian (Sri Mangkunegara 1)
a) Ruwangsa handarbeni (merasa ikut memiliki negara)
b) Wajib melu angrungkebi (wajib ikut bela negara)
c) Mulat Sarira hangrasa wani (mawas diri untuk bersikap berani)
BAB III
KEPEMIMPINAN PANCASILA DALAM PERSPEKTIF PEMIMPIN YANG ADA DI
INDONESIA
yang
berjudul
kepemimpinan
dalam
administrasi
Negara
adalah
kepemimpinan yang Thesis (percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa), kepemimpinan
yang
humanis
(memiliki
rasa
kemanusian),
kepemimpinan
yang
demokratis,
model
ini
berdasarkan
sila
ke-2
pancasila
kita
yaitu
kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka setiap tindakan kepemimpinan harus
berdasarkan perikemanusiaan, perikeadaban dan perikeadilan. Perikemanusiaan
pengikutnya
diatas
segalanya,
pengikutnya.
BAB IV
KESIMPULAN
karena
dia
sebagai
pelayan
rasa
persatuan,
kebersaman
dan
sikap
untuk
membina
Kepemimpinan
Pancasila
adalah
Kepemimpinan
yang
membawa
Dalam
kepemimpinan
Pancasila
keterpaduan
pola
pikir
modern