Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Memberi jaminan pelaksanaan hak dan perlindungan bagi setiap warga negaranya

merupakan tugas dan kewajiban dari sebuah negara. Hal ini juga tertuang pada alinea ke 4
(empat) Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dimana tujuan negara untuk melindungi
segenap tumpah darah bangsa Indonesia. Indonesia sebagai negara multikultural juga
seharusnya dapat melindungi segenap bangsanya tanpa terkecuali. Ironisnya, praktik
marjinalisasi terhadap hak-hak yang dimiliki oleh suku ataupun kelompok asli maupun asing
masih sering terjadi. Hal ini dapat dilihat dalam praktik marjinalisasi dan diskriminasi yang
dialami oleh etnis Tionghoa. Marjinalisasi dan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di
Indonesia telah terjadi sejak zaman Belanda hingga mencapai puncaknya pada zaman Orde
Baru, khususnya pada tragedi kerusuhan Mei 1998 yang menelan banyak korban.
Marjinalisasi dan diskriminasi dilakukan mulai dari pembatasan kegiatan ekonomi etnis
Tionghoa hingga pembantaian massal yang dilakukan oleh negara dilakukan karena terdapat
berbagai wacana yang berkembang dalam masyarakat. Wacana tersebut meliputi etnis
Tionghoa sebagai bangsa asing hingga etnis Tionghoa sebagai pemonopoli kegiatan ekonomi
negara. Hegemoni dan marjinalisasi dari pemerintahan zaman kolonial Belanda hingga
Reformasi yang menghasilkan wacana-wacana ini dapat dikatakan sebagai faktor yang
menimbulkan stigma maupun hate crime yang akhirnya berimbas pada marjinalisasi etnis
Tionghoa di Indonesia. Benarkah demikian? Lalu, bentuk-bentuk marjinalisasi apa sajakah
yang dialami oleh etnis Tionghoa di Indonesia? Kebijakan kriminal apakah yang paling tepat
untuk mengatasi hal ini?
1.2.

Rumusan Masalah
1. Apakah hegemoni dan marjinalisasi pemerintah berpengaruh dalam menghasilkan
dampak stigma dan hate crime terhadap etnis Tionghoa?
2. Bentuk-bentuk apa sajakah marjinalisasi terhadap etnis Tionghoa?
3. Kebijakan kriminal seperti apakah yang telah dilakukan dan yang paling tepat untuk
mengatasi hal ini?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. LANDASAN TEORI
2.1.1. Teori Stigma
Teori ini dikemukan oleh Erving Goffmann yang mengemukakan bahwa stigma
merupakan tanda-tanda yang dibuat oleh bangsa Yunani kuno pada tubuh seseorang untuk
diperlihatkan dan menginformasikan kepada masyarakat bahwa orang-orang yang
mempunyai tanda-tanda tersebut merupakan seorang buruh, kriminal, atau seorang
pengkhianat, yang harus dijauhi dan ditakuti, khususnya di tempat-tempat publik. Tandatanda tersebut merupakan suatu ungkapan atas ketidakwajaran dan keburukan status moral
yang dimiliki oleh seseorang.1 Namun dewasa ini, istilah stigma dikaitkan apabila seseorang
mempunyai atribut yang membuatnya berbeda dari orang-orang yang berada dalam kategori
yang sama dengan dia (seperti menjadi lebih buruk, berbahaya atau lemah), maka dia akan
diasumsikan sebagai orang yang ternodai. Atribut inilah yang disebut dengan stigma. 2
Terdapat 3 (tiga) tipe stigma yang diberikan terhadap seseorang, yaitu stigma yang
berhubungan dengan kecacatan pada tubuh seseorang, stigma yang berhubungan dengan
kerusakan-kerusakan karakter individu dan stigma yang berhubungan dengan ras, bangsa dan
agama.
2.1.2. Marjinalisasi
Marginalisasi berarti menempatkan atau menggeser ke pinggiran. 3 Robert Chambers4
menyatakan adanya konsep deprivation trap atau perangkap kemiskinan dalam menghasilkan
masyarakat marginal, yang dipengaruhi oleh lima unsur, yaitu kemiskinan itu sendiri,
kelemahan fisik, keterasingan atau kadar isolasi, kerentanan dan ketidakberdayaan.

1 Erving Goffman. Stigma. 1963. London : Penguin Books. Hlm. 12.


2 Ibid. Hlm 3.
3 Nunuk A. Murniati. Getar Gender. 2004Magelang : Indonesia Tera. Hlm xx.
4Robert Chambers. Rural Development, Putting the Last First. 1983. London : Longman. Hlm. 109.

Kelompok masyarakat marjinal pun dapat diartikan sebagai kelompok masyarakat dengan
golongan rendah dan rentan yang terpinggirkan dalam masyarakat.
2.1.3. Hegemoni
Konsep yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci dan memiliki arti pemenangan pemikiran
yang didapatkan oleh kelompok yang berkuasa dengan penguasaan basis-basis kognitif,
kesadaran kritis dan daya-daya afektif masyarakat melalui konsensus pengiringan kesadaran
masyarakat mengenai masalah sosial dalam pola kerangka pikiran yang sudah ditentukan
oleh penguasa lewat sistem yang ditentukannya. 5Gramsci berargumentasi bahwa kekuasaan
agar dapat abadi dan langgeng membutuhkan paling tidak dua perangkat kerja. Pertama,
adalah perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat memaksa atau
dengan kata lain kekuasaan membutuhkan perangkat kerja yang bernuansa law enforcement.
Perangkat kerja yang pertama ini biasanya dilakukan oleh pranata negara (state) melalui
lembaga-lembaga seperti hukum, militer, polisi dan bahkan penjara. Kedua, adalah perangkat
kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranata untuk taat pada mereka
yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian dan bahkan juga keluarga.6
2.1.4. Kejahatan Kebencian (Hate Crime)
Kejahatan kebencian atau hate crime dapat diartikan sebagai sebagai suatu kejahatan dimana
pelaku kejahatan sengaja memilih korban atau dalam kejahatan properti adanya perhatian dari
pelaku kejahatan yang memperhatikan korbannya berdasar pada ras, warna kulit, kebangsaan,
asal usul kebangsaan, etnisitas, gender, ketidakmampuan,

atau orientasi seksual dari

beberapa orang.7
2.2. ANALISIS MASALAH
Kelompok etnis Tionghoa sebagai kelompok marjinal dan minoritas di Indonesia telah
mendapatkan banyak sejarah panjang akan kekerasan dan diskriminasi, dimulai sejak zaman
kolonila Belanda. Berbagai wacana tentang etnis Tionghoa telah muncul sejak lama, seperti
5 Kasiyan. Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan. 2008. Yogyakarta : Penerbit
Ombak. Hlm. xviii.
6 Ariel Heryanto. "Kekerasan Politik" dalam Forum Keadilan edisi No. 23 Tahun Y.24 Februan 1997.
7 David L. Hudson. Hate Crimes. 2009. New York : Chelsea House Publishers. Hlm. 15.

misalnya wacana tentang etnis Tionghoa sebagai bangsa asing dan bukan pribumi (karena
adanya konsep tentang pribumi yang berarti mempunyai daerah sendiri dalam kesatuan
negara Indonesia8), wacana tentang etnis Tionghoa adalah musuh dalam selimut, wacana
maupun wacana tentang etnis Tionghoa di bidang ekonomi. Untuk memperluas wacana yang
berasal dari gagasan, konsep atau ide tersebut ke seluruh penjuru negeri, maka diperlukan
suatu hegemoni sebagai manuver dari Pemerintah. Gramsci mengatakan bahwa terdapat
upaya pemenangan pemikiran oleh pihak yang berkuasa dan dalam konteks ini adalah negara.
Penulis berasumsi bahwa hegemoni ini adalah produk propaganda dari Pemerintah karena
wacana ini telah ada sejak zaman dahulu dan seakan telah mengakar kuat serta dilegitimasi
dari pihak pemerintah itu sendiri. Menurut Foucault, Dalam suatu masyarakat biasanya
terdapat berbagai macam wacana yang berbeda satu sama lain, namun kekuasaan memilih
dan mendukung wacana tertentu sehingga wacana tersebut menjadi dominan, sedangkan
wacana-wacana lainnya akan "terpinggirkan" (marginalized) atau "terpendam" (submerged).9
Hegemoni yang ada berbentuk konsensus antar masyarakat dan pemerintah; dimana tidak ada
penindasan dari 1 (satu) kelompok ke kelompok lainnya.
Pada zaman kolonial Belanda, terjadi pembantaian yang dilakukan Belanda secara
besar-besaran terhadap orang Tionghoa. Hal ini dimaksudkan agar para golongan pebisnis elit
etnis Tionghoa tunduk kepada Belanda sekaligus mendapat legitimasi dari rakyat bahwa etnis
Tionghoa adalah musuh bersama. Tindakan ini juga berkaitan dengan wacana etnis Tionghoa
di bidang ekonomi juga menempatkan Tionghoa berada dalam lapisan atas dalam strukfur
ekonomi di Indonesia karena kedekatannya dengan kekuasaan dan menguasai perdagangan di
Indonesia. Padahal, pada awal mulanya etnis Tionghoa mengambil lahan perdagangan karena
tak memiliki lahan pekerjaan pasti di Indonesia, namun masyarakat pribumi menganggap
bahwa mereka membahayakan ekonomi masyarakat pribumi. 10 Pandangan dan tindakantindakan semacam ini menjadi bukti marjinalisasi awal terhadap etnis Tionghoa yang
dilakukan oleh Pemerintah. Stigma dan hate crime terhadap masyarakat etnis Tionghoa
8 Leo Suryadinata, Etnik Tiongho4 Pribumi Indonesia dan Kemajemukan: peran Negara, |.i{utl, dan
Budaya dalam Hubungan antaretnis, Institute of Southeast Asian Studies, AntropJlogi Indonesia,2003
9 Ariel Heryanto. Analisis Wacana; pengantar analisis teks media. 2001. Yogyakarta : LkiS. Hlm. 77.
10 Alfarabi. Wacana dan Stigma Etnis Tionghoa di Indonesia dalam Jurnal Komunikasi Islam AnNida, 2010, http://repository.unib.ac.id/572/1/4Jurnal%20Annida%20Alfarabi.pdf. Diakses pada 2
Juni 2015, pukul 06.33 WIB. Hlm 55-56.

sebagai musuh negara dan pribumi sekaligus bangsa asing pun mulai tumbuh dalam
masyarakat pribumi.
Perlakuan rasialis terhadap etnis Tionghoa kemudian terus berlanjut pada masa Orde
Lama. Terjadi banyak peristiwa diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang dilakukan oleh
negara pada masa ini; mulai dari tindakan pengejaran terhadap mereka sebagai bentuk
pelaksanaan politik anti Tionghoa. Adanya praktik nasionalisasi perusahaan juga
memarjinalisasi etnis Tionghoa yang dimanifestasikan dalam PP No. 10/1959 (pelarangan
izin bagi semua usaha dagang kecil milik orang asing di tingkat desa). Pada masa itu, etnis
Tionghoa juga mendapat bentuk kekerasan verbal (dengan sebutan Cina) maupun
kekerasan lainnya yang dilakukan oleh pihak aparatur negara. Berlanjut ke masa Orde Baru,
marjinalisasi dan diskriminasi etnis Tionghoa tak berhenti sampai situ saja. Tindakan
diskriminasi tersebut meliputi adanya kebijakan penandaan khusus pada Kartu Tanda
Penduduk, pelarangan warga etnis Tionghoa menjadi pegawai negeri serta tentara, pelarangan
warga etnis Tionghoa untuk memiliki tanah di pedesaan dan masih banyak bentuk
pelanggaran hak lainnya. Tidak adanya upaya pelurusan dan pembersihan nama bagi etnis
Tionghoa dimulai dari masa Orde Lama menjadi bukti bahwa wacana tentang etnis Tionghoa
seakan memang dilanggengkan dan diwariskan dari zaman kolonial Belanda dulu. Contoh
dari wacana yang dilanggengkan adalah wacana tentang kehidupan orang-orang Tionghoa
yang esklusif dan memisahkan diri dari kehidupan masyarakat sekitar merupakan pengaruh
dari kebijakan kolonial yang tidak ingin adanya solidaritas antar etnis. 11 Terlebih lagi, adanya
wacana etnis Tionghoa yang diduga terlibat atau berafiliasi dengan G 30 S dan PKI, yang
akhirnya menambah stigma, hate crime dan akhirnya memperkuat hegemoni wacana oleh
pemerintah.
Masa Orde Baru, marjinalisasi dan diskriminasi rasial mulai berkurang dengan adanya
proses asimilasi yang dilakukan oleh pemerintah. Proses ini meliputi adanya aturan
penggantian nama, pelarangan segala bentuk penerbitan degan bahasa serta aksara Cina,
pembatasan kegiatan-kegiatan keagamaan hanya dalam keluarga, pelarangan sekolah-sekolah
Tionghoa dan menganjurkan anak-anak Tionghoa untuk masuk ke sekolah umum negeri atau
11 Sewaktu datang di Indonesia, Belanda menghadapi perlawanan yang sengit dari masyarakat
Indonesia, kelompok masyarakat Tionghoa bersama dengan masyarakat pribumi melakukan
perlawanan. Belanda kemudian membuat siasat untuk memecah belah kekuatan yang sudah ada.
Caranya, memisahkan antara pribumi dan Tionghoa itu dengan berbagai aturan menyangkut hak-hak
sosial dan ekonomi. Batas etnik diperjelas. Dan akhirnya, kekuatan ini memang pecah.

swasta dan lain-lain. Kebijakan asimilasi ini pada dasarnya dapat dilihat sebagai bentuk
penerimaan negara terhadap etnis Tionghoa sebagai bagian dari warga negara Indonesia dan
sebagai kebijakan yang dapat meringankan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa.
Namun meskipun demikian, negara tetap menetapkan peraturan yang diskriminatif
bagi etnis Tionghoa, seperti Instruksi Presidium Kabinet RI No. 37/U/IN/6/1967 tentang
Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina, Surat Edaran Presidium Kabinet RI No.
SE-36/Pres/Kab/6/1967 tentang Masalah Cina, Instruksi Presiden No.14/1967 tentang
Agama, Kepercayaan, dan Adat istiadat Cina, Instruksi Presiden No.15/1967 tentang
Pembentukan Staf Khusus Urusan Cina, Instruksi Mendagri No. 455.2-360 tentang Penataan
Klenteng, Keputusan Kepala Bakin No. 031/1973 tetang Badan Koordinasi Masalah Cina,
SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang Pelarangan Impor, Penjualan,
dan Pengedaran Terbitan dalam Bahasa dan Aksara Cina, Surat Edaran Menteri Penerangan
No. 02/SE/Di tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan
Berbahasa Cina.12 Terdapat pula Buku Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia
terbitan Badan Koordinasi Intelijen Negara terbitan tahun 1979.
Mencapai puncaknya pada zaman Orde Baru, pada saat itulah terjadi tragedi
kerusuhan Mei 1998 yang menelan banyak korban. Peristiwa dipicu oleh penembakan 4
(empat) mahasiswa Universitas Trisakti dan krisis finansial Asia serta berkonsentrasi di
wilayah Jakarta, Medan dan Surakarta. Tindakan pembantaian, penjarahan, pelecehan hingga
pemerkosaan yang dialami oleh sebagian besar etnis Tionghoa pada tragedi tersebut
menimbulkan teror dan trauma yang mendalam bagi mereka. Tak sedikit etnis Tionghoa yang
semula menetap di Indonesia akhirnya memutuskan untuk pindah ke luar negeri karena
merasa tak aman. Selain itu, diskriminasi juga membuat etnis Tionghia mengalami krisis
identitas, dimana bangsa Indonesia pribumi dirasa tidak menerima etnis ini menjadi bagian
dari warga negara Indonesia.
Namun, kebijakan yang berpihak terhadap etnis Tionghoa muncul dari pihak
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang semula adalah Ketua Umum PBNU, yang
mengajak para etnis Tionghoa yang ada di luar negeri pasca kerusuhan Mei 1998 untuk
kembali ke Indonesia. Beliau bersedia untuk menjamin keselamatan mereka dan menghimbau
12 Dikutip dari Tionghoa.info, http://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnis-tionghoa-di-indonesiapada-masa-orde-lama-dan-orde-baru/. Diakses pada 30 Mei 2015, pukul 16.24 WIB.

para warga pribumi untuk dapat membaur dengan mereka. Ketika ia menjabat menjadi
presiden RI, mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama
Kepercayaan dan Adat Istiadat China. Inpres itu kemudian dilanjutkan oleh Megawati dengan
penetapan Hari Raya Imlek sebagai hari libur Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor
19 tahun 2002. Sejak itulah, etnis Tionghoa di Indonesia bebas merayakan Imlek tanpa
tekanan.13 Gus Dur juga melakukan rekonsiliasi dengan para investor Tionghoa untuk
membangun yang ia sebut dengan nama guanxi (jaringan) guna memulihkan perekonomian
Indonesia. Beliau juga secara aktif menyerukan kesetaraan hak dari etnis Tionghoa sesuai
dengan UUD 1945 dan setara dengan berbagai etnis lainnya di Indonesia. Kebijakankebijakan yang digagas oleh Gus Dur ini dapat dikatakan menjadi kebijakan yang paling baik
bagi etnis Tionghoa, meskipun memang cukup lama untuk akhirnya dirasakan manfaatnya
karena masih banyak sentimen-sentimen oleh masyarakat yang masih dipengaruhi stigma dan
hate crime yang telah mengakar sejak lama. Seiring berjalannya waktu, etnis Tionghoa pun
mulai mendapatkan tempat di antara masyarakat Indonesia meski masih belum sepenuhnya.
Masih banyak kebijakan yang belum diterapkan, seperti misalnya kebijakan kriminal
terhadap para pelaku diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya yang dialami
oleh etnis Tionghoa di masa silam yang seharusnya ditindaklanjuti dalam proses hukum yang
berlaku. Namun, kebijakan yang dilakukan oleh Gus Dur menjadi sebuah tonggak legitimasi
etnis Tionghoa sebagai bangsa Indonesia untuk mengurangi tindakan diskriminatif yang ada
dan menjadi kebijakan yang mengubah kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia.

BAB III
PENUTUP
3.1.

Kesimpulan
Kelompok etnis Tionghoa sebagai kelompok marjinal dan minoritas di Indonesia telah

mendapatkan banyak sejarah panjang akan kekerasan dan diskriminasi, dimulai sejak zaman kolonial
Belanda. Adanya pemenangan pemikiran dalam bentuk wacana atau hegemoni kebencian akan etnis
13 Dikutip dari Merdeka, http://www.merdeka.com/peristiwa/perjuangan-gus-dur-untuk-etnistionghoa.html. Diakses pada 2 Juni 2015, pukul 05.13 WIB.

Tionghoa yang disebarkan oleh pemerintah dari zaman kolonial Belanda hingga reformasi sehingga
menimbulkan marjinalisasi dan diskriminasi yang berkepanjangan bagi etnis Tionghoa. Dan dengan
adanya hegemoni pula, muncul stigma dan hate crime oleh masyarakat terhadap mereka. Wacana
tersebut meliputi etnis Tionghoa sebagai bangsa asing hingga musuh ekonomi. Hegemon yang
dilakukan oleh pemerintah pun bersifat konsensus, tanpa adanya pertentangan atau penindasan dari 1
(satu) kelompok terhadap kelompok lainnya. Berbagai kebijakan kriminal untuk mengatasi masalah
konflik antara etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi telah dilakukan; mulai dari kebijakan
asimilasi, penerbitan Buku Pedoman Penyelesaian Masalah Cina, hingga kebijakan-kebijakan

yang diterapkan oleh Gus Dur telah dilakukan. Dapat dikatakan bahwa kebijakan yang
diterapkan oleh Gus Dur seperti merangkul kembali etnis Tionghoa dan menghimbau
pembauran masyarakat pribumi dengan mereka; penetapan Imlek sebagai hari raya nasional;
hingga rekonsiliasi ekonomi dengan mengajak kerjasama investor Tionghoa menjadi
kebijakan yang baik diterapkan dalam upaya mengikis marjinalisasi dan diskriminasi yang
dialami oleh etnis Tionghoa
3.2.

Saran

. Kebijakan yang diterapkan oleh Gus Dur menjadi sebuah kebijakan, yang mesti
membutuhkan waktu, namun menjadi ebuah tonggak legitimasi etnis Tionghoa sebagai
bangsa Indonesia untuk mengurangi tindakan diskriminatif yang ada dan menjadi kebijakan
yang mengubah kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia. Maka dari itu, diperlukan adanya
pembuatan kebijakan-kebijakan yang berpihak bagi kesetaraan hidup etnis Tionghoa seperti
kebijakan yang diterapkan oleh Gus Dur. Membiasakan diri dengan nilai-nilai toleransi,
keterbukaan dan kesetaraan harus dapat dimulai sejak dini oleh Pemerintah sehingga
perbedaan yang ada tak menjadi sumber konflik bagi kelompok-kelompok marjinal dan
minoritas tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
Alfarabi. 2010. Wacana dan Stigma Etnis Tionghoa di Indonesia dalam Jurnal Komunikasi
Islam

An-Nida,

http://repository.unib.ac.id/572/1/4Jurnal%20Annida%20Alfarabi.pdf.

Diakses pada 2 Juni 2015, pukul 06.33 WIB.


Goffman, Erving. 1963. Stigma. London : Penguin Books.
Heryanto, Ariel. Analisis Wacana; pengantar analisis teks media. 2001. Yogyakarta : LkiS.

Murniati, Nunuk A. 2004. Getar Gender. Magelang : Indonesia Tera. Hlm xx.
Robert Chambers. 1983. Rural Development, Putting the Last First. London : Longman.
Dikutip dari Merdeka, http://www.merdeka.com/peristiwa/perjuangan-gus-dur-untuk-etnistionghoa.html. Diakses pada 2 Juni 2015, pukul 05.13 WIB.
Dikutip dari Tionghoa.info, http://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnis-tionghoa-diindonesia-pada-masa-orde-lama-dan-orde-baru/. Diakses pada 30 Mei 2015, pukul 16.24
WIB.

UNIVERSITAS INDONESIA

Hegemoni Politis Pemerintah dan Keterkaitannya dalam


Marjinalisasi Etnis Tionghoa
MAKALAH UJIAN AKHIR SEMESTER KEBIJAKAN KRIMINAL
AULIA AMINDA DHIANTI
1306383470

DEPARTEMEN KRIMINOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
2015

Anda mungkin juga menyukai