Anda di halaman 1dari 25

Pelapukan Batuan, Tanah, dan Erosi

Disajikan sebagai Salah Satu Tugas


Pengantar Geologi Fisika
Progam Studi Fisika

oleh
MARGI FITRIAWAN
4211412042

JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


2016

1. Konsep Energi dan Pelapukan


Pelapukan adalah peristiwa penghancuran massa batuan, baik secara fisika, kimiawi, maupun
secara biologis. Proses pelapukan batuan membutuhkan waktu yang sangat lama. Semua
proses pelapukan umumnya dipengaruhi oleh cuaca. Hasil dari pelapukan ini merupakan asal
(source) dari batuan sedimen dan tanah (soil). Kiranya penting untuk diketahui bahwa proses
pelapukan akan menghacurkan batuan atau bahkan melarutkan sebagian dari mineral untuk
kemudian menjadi tanah atau diangkut dan diendapkan sebagai batuan sedimen klastik.
Sebagian dari mineral mungkin larut secara menyeluruh dan membentuk mineral baru. Inilah
sebabnya dalam studi tanah atau batuan klastika mempunyai komposisi yang dapat sangat
berbeda dengan batuan asalnya. Komposisi tanah tidak hanya tergantung pada batuan induk
(asal) nya, tetapi juga dipengaruhi oleh alam, intensitas, dan lama (duration) pelapukan dan
proses jenis pembentukan tanah itu sendiri (Boggs, 1995). Apabila tanah tersebut tidak
bercampur dengan mineral lainnya, maka tanah tersebut dinamakan tanah mineral.

2. Jenis-jenis pelapukan
Dilihat dari prosesnya, pelapukan dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu sebagai berikut:
2.1 Pelapukan mekanik
Pelapukan mekanik (fisis), yaitu peristiwa hancur dan lepasnya material batuan, tanpa
mengubah struktur kimiawi batuan tersebut. Pelapukan mekanik merupakan penghancuran
bongkah batuan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan pelapukan mekanik, yaitu sebagai berikut.
a. Stress release
Batuan yang muncul ke permukaan bumi melepaskan stress menghasilkan kekar atau
retakan yang sejajar permukaan topografi. Retakan-retakan itu membagi batuan
menjadi lapisan-lapisan atau lembaran (sheet) yang sejajar dengan permukaan
topografi. Proses ini sering disebut sheeting. Ketebalan dari lapisan hasil proses
sheeting ini semakin tebal menjauhi dari permukaan. Proses pelapukan jenis ini sering
terjadi pada batuan beku terobosan yang dekat permukaan bumi.

Gambar 1 Sheet

b. Frost action and hydro-fracturing


Pembekuan air dalam batuan. Air atau larutan lainnya yang tersimpan di dalam pori dan/atau
retakan batuan akan meningkat volumenya sekitar 9% apabila membeku, sehingga ini akan
menimbulkan tekanan yang cukup kuat memecahkan batuan yang ditempatinya. Proses ini
tergantung :
keberadaan pori dan retakan dalam batuan
keberadaan air/cairan dalam pori
temperatur yang turun naik dalam jangka waktu tertentu.

Gambar 2 Frost Action

c. Salt weathering
Pertumbuhan kristal pada batuan. Pertumbuhan kristal pada pori batuan sehingga
menimbulkan tekanan tinggi yang dapat merusak/memecahkan batuan itu sendiri.

Gambar 3 Salt Weathering pada Sandstone

d. Insolation weathering (perbedaan temperatur)


Akibat pemanasan dan pendinginan permukaan karena pengaruh matahari. Batuan
akan mengalami proses pemuaian apabila panas dan sekaligus pengerutan pada waktu
dingin. Apabila proses ini berlangsung terus menerus, maka lambat laun batuan akan
mengelupas, terbelah, dan pecah menjadi bongkah-bongkah kecil.
e.

Akibat kegiatan makhluk hidup seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan.


Akar tumbuhan akan merusak struktur batuan, begitu juga dengan hewan yang selalu
membawa butir-butir batuan dari dalam tanah ke permukaan. Selain makhluk hidup
dan tumbuh-tumbuhan, manusia juga memberikan andil dalam terjadinya pelapukan

mekanis

(fisik). Dengan

pengetahuannya,

batuan

sebesar

kapal

dapat

dihancurkan dalam sekejap dengan menggunakan dinamit.


2.2 Pelapukan kimiawi
Pelapukan kimiawi, yaitu proses pelapukan massa batuan yang disertai dengan perubahan
susunan kimiawi batuan yang lapuk tersebut. Pelapukan ini terjadi dengan bantuan air, dan
dibantu dengan suhu yang tinggi. Proses yang terjadi dalam pelapukan kimiawi ini disebut
dekomposisi.
Terdapat empat proses yang termasuk pada pelapukan kimia, yaitu sebagai berikut.
(a) Hidrasi
Proses penambahan air pada suatu mineral sehingga membentuk mineral baru.
Contoh yang umum dari proses ini adalah penambahan air pada mineral hematit
sehingga membentuk gutit.

Gambar 4 Hidrasi, Hematit dan Goetit

(b) Hidrolisis
Reaksi antara mineral silikat dan asam (larutan mengandung ion H+) dimana
memungkinkan pelarut mineral silikat dan membebaskan kation logam dan silika.
Mineral lempung seperti kaolin, ilit dan smektit besar kemungkinan hasil dari
proses pelapukan kimia jenis ini (Boggs, 1995). Pelapukan jenis ini memegang
peran terpenting dalam pelapukan kimia. Jenis proses pelapukan ini terkait dengan
pembentukan tanah liat.

Gambar 5 Hidrolisis alam

(c) Oksidasi
Batuan yang mengalami proses oksidasi umumnya akan berwarna kecoklatan,
sebab kandungan besi dalam batuan mengalami pengkaratan. Proses pengkaratan
ini berlangsung sangat lama, tetapi pasti batuan akan mengalami pelapukan.

Gambar 6 Contoh Oksidasi

(d) Karbonasi
Pelapukan batuan oleh karbondioksida (CO2). Gas ini terkandung pada air hujan
ketika masih menjadi uap air. Jenis batuan yang mudah mengalami karbonasi
adalah batuan kapur. Reaksi antara CO2 dengan batuan kapur akan menyebabkan
batuan menjadi rusak. Pelapukan ini berlangsung dengan batuan air dansuhu yang
tinggi. Air yang banyak mengandung CO2 (Zat asam arang) dapat dengan mudah
melarutkan batu kapur (CaCO3). Peristiwa ini merupakan pelarutan dan dapat

menimbulkan gejala karst. Proses pelapukan batuan secara kimiawi di daerah


karst disebut kartifikasi.
(e) Spheroidal dan Eksfoliasi

Pelapukan batuan pada singkapan atau bongkahan terlihat pada lapisan tipis
seperti kulit atau cangkang dipermukaannya yang lepas dari tubuh batuan tersebut.
Pelapukan ini ditemukan pada batuan diorite.

Proses ini dikenal sebagai

eksfoliasi. Eksfoliasi disebabkan oleh differensial strees dalam batuan, terutama


akibat pelapukan kimia. Misalnya feldspar yang lapuk menjadi mineral lempung.
Dibawah permukaan tanah pelapikan kimia sering kali membuat hasil lapukannya
melingkari batuan yang segar (belum lapuk). Air yang bergerak pada seluruh sisi
permukaan batuan segar menjadikan batuan segarnya makin kecil dan membulat,
dilingkari pelapukannya. Gejala ini dinimakan pelapukan mengulit bawang.

Gambar 7. Pelapukan Spheroidal

2.3 Pelapukan organik (biologis)


Pelapukan biologis atau disebut juga pelapukan organis terjadi akibat proses organis.
Pelakunya adalah mahluk hidup, bisa oleh tumbuh-tumbuhan, hewan, atau manusia. Akar
tumbuh-tumbuhan bertambah panjang dapat menembus dan menghancurkan batuan, karena
akar mampu mencengkeram batuan. Bakteri merupakan media penghancur batuan yang
ampuh. Cendawan dan lumut yang menutupi permukaan batuan dan menghisap makanan dari
batu bisa menghancurkan batuan tersebut. Pelapukan biologis disebabkan oleh makhluk
hidup yang memecah batu baik secara fisik maupun kimia. Makhluk hidup penyebab
pelapukan ini mencakup berbagai macam organisme dari bakteri hingga tanaman dan hewan.
Misalnya, lumut memainkan peran penting dalam pelapukan karena mereka kaya akan agen
chelating yang menangkap unsur-unsur logam dari batuan yang lapuk. Beberapa lumut hidup

di permukaan batu (epilithic), beberapa aktif hingga menembus permukaan batuan atau dalam
batuan (endolithic), dan yang lain hidup di cekungan dan retakan di batu (chasmolithic).
Sering kali terjadi kebingungan dalam membedakan antara erosi dan pelapukan. Meskipun
pada dasarnya terlihat seperti peristiwa atau proses yang sama, sering kali hal ini yang
berakibat menyamakan erosi dengan pelapukan. Hal sebenarnya adalah ada perbedaan yang
sangat mendasar antara erosi dan pelapukan. Erosi terjadi pada saat partikel batuan (pada
umumnya terlepas oleh peristiwa pelapukan) berpindah dari batuan asalnya. Hal ini dapat
diakibatkan oleh gravitasi, udara (angin), air atau es. Pelapukan sendiri merupakan peristiwa
yang menyebabkan partikelpartikel batuan terlepas. Salah satu cara yang paling mudah
untuk mengingat perbedaan pelapukan dan erosi adalah jika gaya fisika atau kimia
menyebabkan terlepasnya partikel batuan dan partikel tersebut masih berada di tempat ia
jatuh, maka peristiwa tersebut pelapukan. Akan tetapi, bila partikel tersebut mulai bergerak
atau berpindah, peristiwa perpindahan tersebut adalah erosi. Pelapukan ini juga disebabkan
oleh intervensi binatang, tumbuhan dan manusia. Binatang yang dapat melakukan pelapukan
antara lain cacing tanah, serangga, lumut menghancurkan batuan. Akar pohon dapat
menghancurkan batuan.

Gambar 8. Pelapukan Biologis oleh lumut

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pelapukan


Ada empat faktor yang mempengaruhi terjadinya pelapukan batuan, yaitu sebagai berikut.

3.1 Keadaan struktur batuan


Struktur batuan adalah sifat fisik dan sifat kimia yang dimiliki oleh batuan. Sifat fisik batuan,
misalnya warna batuan, sedangkan sifat kimia batuan adalah unsur-unsur kimia yang
terkandung dalam batuan tersebut. Kedua sifat inilah yang menyebabkan perbedaan daya
tahan batuan terhadap pelapukan. Batuan yang mudah lapuk misalnya batu lempeng (batuan
sedimen), sedangkan batuan yang susah lapuk misalnya batuan beku.
3.2 Keadaan topografi
Topografi muka bumi juga ikut mempengaruhi proses terjadinya pelapukan batuan. Batuan
yang berada pada lereng yang curam, cenderung akan mudah melapuk dibandingkan dengan
batuan yang berada di tempat yang landai. Pada lereng yang curam, batuan akan dengan
sangat mudah terkikis atau akan mudah terlapukkan karena langsung bersentuhan dengan
cuaca sekitar. Tetapi pada lereng yang landai atau rata, batuan akan terselimuti oleh berbagai
endapan, sehingga akan memperlambat proses pelapukan dari batuan tersebut.
3.3 Cuaca dan iklim
Unsur cuaca dan iklim yang mempengaruhi proses pelapukan adalah suhu udara, curah hujan,
sinar matahari, angin, dan lain-lain. Pada daerah yang memiliki iklim lembab dan panas,
batuan akan cepat mengalami proses pelapukan. Pergantian temperatur antara siang yang
panas dan malam yang dingin akan semakin mempercepat pelapukan, apabila dibandingkan
dengan daerah yang memiliki iklim dingin.
3.4 Keadaan vegetasi
Vegetasi atau tumbuh-tumbuhan juga akan mempengaruhi proses pelapukan, sebab akar-akar
tumbuhan tersebut dapat menembus celah-celah batuan. Apabila akar tersebut semakin
membesar, maka kekuatannya akan semakin besar pula dalam menerobos batuan. Selain itu,
serasah dedaunan yang gugur juga akan membantu mempercepat batuan melapuk. Sebab,
serasah batuan mengandung zat asam arang dan humus yang dapat merusak kekuatan batuan.

4. Soil (Tanah)
Tanah (soil) adalah suatu hasil pelapukan biologi (Selley, 1988), dimana komposisinya terdiri
atas komponen batuan dan humus yang umumnya berasal dari tetumbuhan. Dalam Geologi
studi tanah ini (umumnya disebut pedologi) lebih dipusatkan pada tanah purba
(paleosoil),dimana akan membantu untuk mengetahui perkembangan sejarah geologi pada
daerah yang bersangkutan. Akan tetapi perlu kiranya diketahui bahwa ciri dan ketebalan
tanah hasil pelapukan sangat erat hubungannya dengan batuan induk (bedrock), iklim (curah
hujan dan temperatur), kemiringan lereng dari batuan induk itu sendiri.
Pedologist (ahli tanah) membagi tanah menjadi tiga zona (Gambar 7):
1. Zona A atau lapisan eluvial, merupakan bagian paling atas pada umumnya berwarna
gelap karena humus. Zona A ini merupakan zona dimana kimia (terutama oksidasi) dan
biologi berlangsung kuat. Pada zona ini material halus (lempung) dicuci dan terbawa ke
bawah lewat di antara butiran.
2. Zona B atau lapisan iluvial, material halus (lempung) yang tercuci dari zona A akan
terperangkap pada lapisan ini. Zona B ini dikuasai oleh mineral dan sedikit sedikit jasad
hidup.
3. Zona C adalah zona terbawah dimana pelapukan fisik berlangsung lebih kuat dibandingkan
pelapukan jenis yang lain. Ke bawah zona C ini berubah secara berangsur menjadi batuan
induk yang belum lapuk.

Gambar 9 Zona Tanah

Ketebalan setiap zona sangat bervareasi pada setiap tempat. Demikian juga keberadaan setiap
zona tidak selalu dijumpai. Ketebalan zona sangat tergantung dari kecepatan pelapukan,
iklim, komosisi dan topografi batuan induk.
Fosil tanah atau tanah purba atau paleosoil adalah suatu istilah untuk tanah yang berada di
bawah bidang ketidakselarasan. Tanah purba ini merupakan bukti bahwa lapisan itu pernah
tersingkap pada permukaan. Akan tetapi perlu diingat bahwa tanah purba di bawah
ketidakselarasan ini tentu bagian atasnya pernah tererosi sebelum terendapkan lapisan
penutupnya. Lapisan tanah purba dalam runtunan batuan sedimen pada umumnya ditemukan
pada endapan sungai dan delta. Tanah purba ini juga umum ditemukan di bawah lapisan
batubara dimana kaya akan akar dan sering berwarna putih karena proses pencucian yang
intensif (Selley, 1988).
Peranan tanah purba ini semakin besar dimasa kini; sehingga timbul pertanyaan bagaimana
mengenali tanah purba ini dengan mudah. Fenwick (1985) memberikan kreteria sebagai
berikut:
1. hadirnya suatu lapisan yang kaya akan sisa jasad hidup,
2. lapisan merah yang semakin jelas ke arah atas,
3. penurunan tanda mineral lapuk ke arah atas,
4. terganggunya struktur organik oleh aktifitas jasad hidup (seperti cacing) atau proses fisik
(contohnya pengkristalan es).

5. Erosi Tanah
Erosi adalah proses berpindahnya massa tanah atau batuan dari satu tempat ke tempat lain
yang dibawa oleh tenaga pengangkut yang bergerak dimuka bumi. Tenaga pengangkut
tersebut bisa berupa angin, air maupun gletser atau es yang mencair. Erosi bisa terjadi di darat
maupun di Pantai. Erosi tanah merupakan keadaan dimana lapisan tanah bagian atas menjadi
menipis akibat terjadinya pengikisan tanah oleh beberapa elemen seperti angin, air, atau es.
Erosi tanah juga disebabkan berdasarkan letak astronomis yang berpengaruh terjadinya erosi.
Pengikisan tersebut juga bisa disebabkan oleh adanya kegiatan makhluk hidup seperti hewan
yang membuat sarang atau liang di tanah, atau bisa juga karena pengaruh gravitasi. Pada saat

terjadi erosi maka tanah akan mengalami pengikisan atau longsor sehingga hanyut oleh air
maupun angin
Tanah pertanian yang tererosi bersamaan dengan hanyutnya partikel-partikel tanah, akan
menghanyutkan bahan-bahan organik serta unsur-unsur hara yang penting sebagai bahan
makanan bagi tanaman. Oleh karena itu untuk mencegah atau mengurangi erosi yang terjadi,
diperlukan pengendalian, usaha pencegahan serta usaha perbaikan (rehabilitasi) terutama oleh
manusia itu sendiri. Pengendalian dapat dilakukan baik secara teknis, secara vegetasi, serta
dengan cara kimiawi. Usaha pencegahan juga dapat dilakukan dengan memperkirakan laju
erosi setiap tahunnya.

5.1 Sebab-Sebab Terjadinya Erosi Tanah


Terjadinya erosi tanah menyebabkan lapisan tanah atas yang subur akan rusak dan
menjadikan lingkungan alam lainnya ikut rusak. Sebab-sebab terjadinya erosi tanah antara
lain:
1. Kondisi tanah gundul atau tidak ada tanamannya,
2. Tanah tidak dibuat tanggul pasangan sebagai penahan erosi,
3. Pada tanah miring tidak dibuat teras-teras dan guludan sebagai penyangga air dan

tanah yang larut,


4. Pada permukaan tanah yang berumput digunakan untuk penggembalaan liar sehingga

tanah atas semakin rusak, dan


5. Penebangan hutan secara liar menyebabkan hutan menjadi gundul.

5.2 Proses Terjadinya Erosi Tanah


Erosi tanah dapat menyingkirkan serta mengangkut material-material tanah dari tempatnya
semula. Erosi tanah bisa terjadi melalui tahapan-tahapan proses seperti :
1. Detachment
Pada saat terjadi tumbukan air maupun angin yang terjadi dengan intensitas yang
tinggi, maka hal tersebut dapat menyebabkan pecahnya agregat tanah menjadi
partikel-partikel tanah yang akhirnya akan terlepas.

2. Transportation
Partikel-partikel tanah yang terlepas pada akhirnya akan ikut terhanyut oleh aliran air
di permukaan menuju tempat yang lebih rendah
3. Depotition atau sedimentation
Pada akhirnya, partikel-partikel tanah yang terlepas tersebut akan mengalami
pengendapan di tempat yang baru, yaitu daerah yang lebih rendah seperti di dasar
sungai atau waduk.

Gambar 7 Proses Erosi


Tanah memiliki jenis-jenis yang bisa menyebabkan erosi tanah yang menyebabkan beberapa
faktor penyebab erosi tanah yang terjadi karena buatan atau alami dari bumi. Erosi tanah juga
memberikan dampak positif maupun negatif bagi kehidupan makhluk hidup yang bergantung
hidup di dataran tanah.

5.3 Jenis-jenis Erosi


Menurut kenampakan lahan sebagai dampak terjadinya, erosi dibedakan menjadi :
1. Splash erosion (erosi percik), yaitu erosi yang terjadi karena terlepasnya partikel tanah
oleh tetesan air hujan, terutama di awal terjadinya hujan.
2. Sheet erosion (erosi lembar), yaitu erosi yang terjadi akibat adanya genangan yang
memiliki kedalaman +/- 3 kali butir hujan. Namun karena pemindahan partikelpartikel tanah terjadi secara merata di seluruh permukaan tanah, maka terjadinya erosi
ini sangat sulit untuk diketahui.

3. Rill erosion (erosi alur), yaitu erosi yang terjadi karena terbentuknya alur-alur yang
memanjang di sepanjang permukaan tanah oleh aliran air. Alur-alur tersebut biasanya
memiliki kedalaman kurang dari 50 cm.
4. Gulley erosion (erosi parit / selokan), yaitu erosi yang terjadi karena alur-alur yang
ditimbulkan oleh aliran air dipermukaan tanah telah berkembang atau membentuk
parit atau bisa juga membentuk huruf V atau U dengan kedalaman mencapai 50
hingga 300 cm. Pada beberapa kasus, alur-alur tersebut juga dapat membentuk jurang
yang memiliki kedalaman lebih dari 300 cm.
5. Stream Bank Erosion (erosi tebing sungai), yaitu erosi yang terjadi pada area tebingtebing sungai yang stabil. Erosi ini disebut juga erosi saluran (channel erosion).

Gambar 8 Jenis-Jenis Erosi

Menurut Proses terjadinya, erosi dibedakan menjadi :


1. Erosi normal, yaitu erosi yang terjadi karena bebatuan atau bahan induk tanah
mengalami pelapukan, baik itu secara geologi maupun secara alamiah. Erosi ini sering
juga dikenal dengan erosi geologi atau erosi alami.
2. Erosi dipercepat, yaitu erosi yang terjadi karena kerusakan tanah lebih cepat dari
proses pembentukannya. Hal ini disebabkan oleh aktivitas yang dilakukan manusia
dalam mengelola tanah guna meningkatkan produktivitas tanah tersebut.

5.4 Faktor-Faktor Penyebab Erosi Tanah


Erosi tanah bisa terjadi secara alamiah maupun ulah manusia. Erosi tanah juga dapat
menyebabkan kerusakan hutan di sekitar lingkungan. besar kecilnya peristiwa tersebut sangat
tergantung pada beberapa faktor seperti :
1. Faktor iklim
Faktor iklim sangat berpengaruh pada terjadinya suatu erosi tanah. Perubahan musim,
kecepatan angin, intensitas hujan, frekuensi terjadinya badai, maupun suhu rata-rata
suatu wilayah dapat menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya pengikisan tanah.
Wilayah yang memiliki curah hujan dengan frekuensi yang tinggi maupun wilayah
yang memiliki frekuensi terjadinya badai dan terpaan angin yang lebih intens akan
lebih mudah mengalami erosi.
2. Faktor Geologi
Terjadinya erosi tanah juga sangat dipengaruhi oleh kondisi geologi suatu area seperti
kemiringan lahan, panjangnya lahan, tipe batuan, tipe sedimen, maupun permeabilitas
lahan. Semakin curam suatu area, maka energi air untuk mengangkut materialmaterial tanah akan semakin besar.
3. Faktor Biologis
Faktor biologis seperti vegetasi, kondisi tanah, serta makhluk hidup yang tinggal
disuatu area juga memberikan pengaruh pada terjadinya erosi tanah.

5.5 Pencegahan dan Pengurangan Erosi


Erosi yang berlangsung secara terus-menerus akan berakibat fatal bagi kehidupan manusia.
Hilangnya sumber daya alam yang ada, khususnya tanah dan berkurangnya tingkat kesuburan
tanah akan merugikan manusia. Untuk menjaga kestabilan tanah di daerah miring dan untuk
mengurangi tingkat erosi tanah, maka diperlukan beberapa langkah antara lain sebagai
berikut.
1. Terasering, yaitu pola bercocok tanam dengan sistem berteras-teras (bertingkat) untuk
mencegah terjadinya erosi tanah.

Gambar 9 Terasering

2. Contour farming, yaitu menanami lahan menurut garis kontur (kemiringan), sehingga
perakarannya dapat menahan tanah dari erosi.

Gambar 10 Contour farming

3. Pembuatan tanggul pasangan (guludan) untuk menahan laju erosi.


4. Contour plowing, yaitu membajak tanah searah garis kontur, sehingga terjadilah aluralur horizontal untuk mencegah terjadinya erosi.

Gambar 11 Contour Plowing

5. Contour strip cropping, yaitu bercocok tanam dengan cara membagi bidang-bidang
tanah dalam bentuk memanjang dan sempit dengan mengikuti garis kontur sehingga
bentuknya berbelok-belok. Masing-masing ditanami tanaman yang berbeda-beda
jenisnya secara berselang seling (tumpang sari).

Gambar 12 Contour strip cropping

6. Crop rotation, yaitu usaha pergantian jenis tanaman supaya tanah tidak kehabisan
salah satu unsur hara, akibat diserap terus menerus oleh salah satu jenis tanaman.

Gambar 13 Crop Rotation

7. Reboisasi, yaitu menanami kembali hutan-hutan yang gundul untuk mencegah


terjadinya erosi, tanah longsor, dan banjir.

Gambar 14 Reboisasi

5.5 Laju Erosi


1. Model USLE
USLE (the universal soil loss equation) merupakan suatu model parametric untuk
memprediksi erosi dari suatu bidang tanah. Prediksi erosi dengan metode USLE diperoleh
dari hubungan antara faktor-faktor penyebab erosi itu sendiri yaitu:
A = R*K*LS*C*P
dimana:
A = Banyaknya tanah tererosi (ton ha-1 yr-1)
R = faktor curah hujan dan aliran permukaan (Erosivitas) (MJ mm ha-1 hr-1yr-1)
K = faktor erodibilitas tanah (ton ha hr MJ-1 mm-1 ha-1)
LS = faktor panjang dan kemiringan lereng (dimensionless)
C = faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman (dimensionless)
P = faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah (dimensionless)
a. Faktor Erosivitas (R)
Erosivitas (R) hujan adalah tenaga pendorong (driving force) yang menyebabkan terkelupas
dan terangkutnya partikel-partikel tanah ke tempat yang lebih rendah. Bowles (1978)
menentukan besarnya faktor erosivitas dengan persamaan :
R = 6,119(RAIN)1.21(DAY S)-0,47(MAXP)0,53

dimana :
R = indeks erosivitas rata-rata bulanan
RAIN = curah hujan rata-rata bulanan (cm)
DAYS = jumlah hari hujan rata-rata perbulan
MAXP = curah hujan maksimum selama 24 jam dalam bulan bersangkutan
Cara lainnya adalah dengan metode matematis yang dikembangkan oleh Utomo dan Mahmud
berdasarkan hubungan antara R dengan besarnya hujan tahunan. Rumus yang digunakan
adalah :
R = 237,4 + 2,61 P
dimana :
R = EI30 (erosivitas hujan rata-rata tahunan) (N/h)
P = Besarnya curah hujan tahunan (cm)
b. Faktor Erodibilitas (K)
Faktor erodibilitas tanah (K) menunjukkan resistensi partikel tanah terhadap pengelupasan
dan transportasi partikel-partikel tanah tersebut oleh adanya energi kinetik air hujan. Pada
prinsipnya sifat-sifat tanah yang mempengaruhi erodibilitas tanah adalah :
a. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi, permeabilitas dan
kapasitas tanah menahan air.
b. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahanan struktur tanah terhadap disperse
dan pengikisan oleh butir-butir air hujan dan aliran permukaan.
Menurut Wischmeier (1971) dalam Arsyad (1989) persamaan umum kehilangan tanah adalah
sebagai berikut :
100K = 2,1M1,14(10-4)(12-a)+3,25(b-2)+2,5(c-3)
dimana :
K = erodibilitas
M = ukuran partikel (% debu + % pasir halus)(100-%liat)

a = kandungan bahan organik (% Cx1,724)


b = kelas struktur tanah
c = kelas permeabilitas
Nilai M untuk beberapa kelas tekstur tanah disajikan pada Tabel 1 berikut ini :
Tabel 1. Nilai M untuk beberapa kelas tekstur tanah

Nilai K untuk beberapa jenis tanah di Indonesia yang dikeluarkan oleh Dinas RLKT, Departemen
Kehutanan, dapat diperoleh sesuai dengan Tabel 2 berikut ini :
Tabel 2. Jenis tanah dan nilai faktor erodibilitas tanah ( K )

c. Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)


Pada prakteknya, variabel S dan L dapat disatukan, karena erosi akan bertambah besar
dengan bertambah besarnya kemiringan permukaan medan dan dengan bertambah
panjangnya kemiringan. Gambar 1. berikut menunjukkan diagram untuk memperoleh nilai
kombinasi L S, dengan nilai LS = 1 jika L = 22,13 mm dan S = 9%.

Gambar 15 Diagram untuk memperoleh nilai kombinasi LS (Sumber : Soemarto,C.D.,1999)

Faktor panjang lereng (L) didefinisikan secara matematik sebagai berikut (Schwab et al.,1981
dalam Asdak,2002) :
L = (l/22,1)m
dimana :
L = panjang kemiringan lereng (m)
m = angka eksponen. Angka ekssponen tersebut bervariasi dari 0,3 untuk lereng yang panjang
dengan kemiringan lereng kurang dari 0,5 % sampai 0,6 untuk lereng lebih pendek dengan
kemiringan lereng lebih dari 10 %. Angka eksponen rata-rata yang umumnya dipakai adalah
0,5
Faktor kemiringan lereng S didefinisikan secara matematis sebagai berikut:
S = (0,43 + 0,30s + 0,04s2) / 6,61
dimana : S = kemiringan lereng aktual (%)
Untuk lahan berlereng terjal disarankan untuk menggunakan rumus berikut ini
( Foster and Wischmeier, 1973 dalam Asdak, 2002).
Dimana :
LS = (l/22)mC(cos)1,50[0,5(sin )1,25 + (sin )2,25]
m

= 0,5 untuk lereng 5 % atau lebih


= 0,4 untuk lereng 3,5 4,9 %

= 0,3 untuk lereeng 3,5 %


C

= 34,71

= sudut lereng

= panjang lereng (m)

Departemen Kehutanan memberikan nilai faktor kemiringan lereng, yang


ditetapkan berdasarkan kelas lereng, seperti dalam Tabel 3.

Tabel 3. Penilaian kelas lereng dan faktor LS

d. Faktor Penutup Lahan (C)

Faktor C merupakan faktor yang menunjukan keseluruhan pengaruh dari faktor vegetasi,
seresah, kondisi permukaan tanah, dan pengelolaan lahan terhadap besarnya tanah yang
hilang (erosi). Penentuan yang paling sulit adalah faktor C, karena banyaknya ragam cara
bercocok tanam untuk suatu jenis tanaman tertentu dalam lokasi tertentu. Pola pertanaman
dan jenis tanaman yang dibudidayakan sangat berpengaruh terhadap erosi dan aliran
permukaan karena berpengaruh terhadap penutupan tanah dan produksi bahan organik yang

berfungsi sebagai pemantap tanah. Berikut ini adalah tabel nilai C untuk beberapa jenis dan
pengelolaan tanaman.
Tabel 4. Nilai C untuk jenis dan pengelolaan tanaman

e. Faktor Tindakan Khusus Konservasi Tanah (P)


Faktor P adalah nisbah antara tanah tererosi rata-rata dari lahan yang mendapat perlakuan konservasi
tertentu terhadap tanah tererosi rata-rata dari lahan yang diolah tanpa tindakan konservasi, dengan
catatan faktorfaktor penyebab erosi yang lain diasumsikan tidak berubah. Pada Tabel 5 berikut ini
disajikan faktor pengelolaan dan konservasi tanah di Jawa.

Tabel 5. Faktor pengelolaan dan konservasi tanah di Jawa

Daftar Pustaka
Richard C. Selley. 2000. Applied Sedimentology Second Edition. California : ACADEMIC
PRESS.
Sam Boggs, Jr. and David Krinsley. 2006. Application of Cathodoluminescence Imaging to
The Study of Sedimentary Rocks. Cambridge : CAMBRIDGE UNIVERSITY
PRESS.
Mustofa. 2011. Geomorfologi Dasar. Pontianak : SKTKIP Persatuan Guru Republik
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai