Anda di halaman 1dari 4

Hijau Desember 3, 2007

Posted by anick in All Posts, Identitas, Modernisme, Sastra.


trackback
Di dunia yang letih, orang sering mengutip sebaris sajak Federico Garcia Lorca:
Verde que te quiero verde

Hijau, kumau engkau hijau:


Bintang agung beku dingin
Tiba dengan bayang ikan
Yang merintis fajar

Puisi Lorca mempesona karena loncatan-loncatannya warna hijau, bintang agung,


bayang ikan, hari fajar yang tak pernah bisa dipertalikan rapi dalam satu tafsir,
tapi memperkaya kita dengan imaji-imaji yang mengejutkan, baru, segar, tak
terulangi, seperti dalam mimpi.

Maka di dunia yang mulai lelah, puisi, atau imaji yang menari, segar, meloncatloncat, dan tak disangka-sangka ya, juga warna hijau jadi alternatif (yang tak
diakui) bagi sebuah kehidupan yang mengabaikan itu semua. Modal, mesin dan
birokrasi telah membuat sistem yang meringkus tarian seperti itu, sistem yang
hanya kenal persisnya lajur laporan keuangan dan bagan eksak di buku-buku teknik.
Baik kapitalisme (digerakkan orang Eropa dan Amerika) maupun sosialisme (dimulai
di Uni Soviet dan Cina) sama-sama membentuk dunia dalam garis lurus itu garis
modernitas dan kemajuan, garis nalar yang menghitung, mencapai, dan
menghasilkan. Itulah garis penaklukan dunia. Puisi yang menari, sebaliknya, tak
hendak menaklukkan. Ia tak hendak memaksa apa yang di luar dirinya, elemen
hidup yang tak terduga. Le pote ne force pas le rel, kata Ren Char.

Sudah lama sebenarnya masalah ini dikemukakan. Tapi sebagaimana Lorca hanya
mengutarakan hasratnya di antara lanskap yang memukau tapi tragis di Andalusia,
puisi dan pelbagai suara yang gundah menyaksikan modernitas dan
kemajuan hanya bisa bicara secara terbatas.

Memang suara yang menghendaki hijau itu terkadang membingungkan. Ia tak


menawarkan cara bagaimana menghentikan keniscayaan pertumbuhan ekonomi
dan perlunya kemajuan teknologi. Sesekali bahkan ia mengandung racun
kecurigaan dan kebencian: di tahun 1930-an, di Jerman, pemujaan akan Blut und
Boden (darah dan tanah) dikobarkan para penganjur Naziisme, yang ingin
menjaga kemurnian Jerman dengan tradisi dan alamnya yang perawan, agar Volk,
bangsa atau ras, tak tercemar oleh persentuhan dengan yang-asing dan yangborjuis di kota besar.

Memang ada yang indah, tapi kuno, juga konyol, atau reaksioner dalam seruan
hijau di masa lampau.

Tapi abad ke-21 mengubah semua itu. Sambutan kepada film dokumenter An
Incovenient Truth adalah indikasinya: film dokumenter yang dibuat dengan ongkos
satu juta dollar in begitu laris di mana-mana; ia dapat menghjimpun dana 49 juta
dollar lebih. Al Gore, tokoh di pusat film yang memperingatkan perubahan iklim
global itu, mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2007. Berjuta-juta
penonton akan selalu ingat suaranya:

Anda pandang sungai yang lembut mengalir melintasi itu. Anda perhatikan daun
berkerisik pada angin. Anda dengar suara burung; anda dengar katak pohon. Di
kejauhan ada lenguh seekor lembu. Anda rasakan rerumputan itu.Hening; damai.
Dan tiba-tiba, ada yang bergerak berubah dalam diri anda. Rasanya seperti
menarik nafas dalam-dalam dan berbisik, Ah, ya, aku telah lupa semua ini.

Kata-kata itu tak istimewa, sebenarnya. Tapi mau tak mau, bersama itulah hasrat
Lorca, kumau engkau hijau, menemukan makna dan wibawa lain. Hijau telah
jadi hasrat untuk menggapai sesuatu yang terasa begitu menggerakkan hati tapi
tak hadir: bumi yang tak rusak oleh polusi dan keserakahan.

Hijau, melalui proses percakapan dan pergulatan kepentingan, berangsur-angsur


telah jadi kepentingan umum. Ia jadi pesan yang universal.

Dalam arti tertentu, di sini telah berlangsung globalisasi yang berbeda dengan
globalisasi kapital, justru ketika bangunan global satu-satunya ini terancam
musnah. Kini yang diserukan Barbara Ward dan Ren Dubos dalam buku mereka

yang terkenal, Only One Earth (dalam bahasa Indonesia, Hanya Satu Bumi), yang
ditulis buat Konferensi PBB di Stockholm di tahun 1972, mendapatkan pendengar.
Pelbagai identitas yang berbeda-beda yang ditandai nama negara, bangsa,
kelompok etnis, kelas sosial, gender berada dalam posisi setara, di bulatan bumi
yang satu, di sebutir planet yang genting.

Di saat seperti ini, identitas makin tak bisa berlaku seperti benteng tertutup. Dalam
diri tiap negara, atau bangsa, atau kelompok etnis, atau kelas, atau gender, ada
anasir yang akan membuka diri ke luar, memahami nasib hanya satu bumi ini.
Tapi ada juga yang justru akan melihat hanya satu bumi hanyalah ilusi; mereka
akan kembali menutup pintu, bersiaga. Dengan kata lain, globalisasi kecemasan
ini tak berarti akan menghasilkan sebuah dunia yang tanpa konflik tak peduli
betapa bersemangat, tulus, dan sopannya para kepala negara berbicara di Bali.

Tapi tak bisakah kita berharap? Saya kira bisa. Justru kini harapan lebih punya
sandaran ketimbang di masa lampau.

Dulu pesan yang universal itu datang secara menakutkan dan mencurigakan,
seperti ketika Eropa mengkristenkan orang Amerika Selatan atau ketika
Pencerahan-nya mengubah muka bumi dengan kolonialisme dan kemajuan
yang sebenarnya satu ekspansi peradaban sekelompok manusia ke kelompokkelompok manusia lain.

Kini, apa yang universal adalah sebuah utopia hijau melawan kematian yakni
kematian yang akan mengenai siapa saja. Juga melawan ketidak-adilan, karena
mereka yang kaya adalah yang paling merusak bumi, sementara yang miskin akan
jadi korban pertama kali. Walhasil, pesan yang universal kali ini datang bukan dari si
kuasa, tapi praktis dari siapa saja yang hidup di bawah lapisan ozon yang
berlubang, cemas kehilangan.

Kini aku bukan diriku


Rumahku bukan rumahku
Biarkan aku sebentar naik ke beranda tinggi
Biarkan aku pergi! Biarkan aku naik

Ke beranda hijau
Tempat air bergema pelan
Di balustrada bulan

~(Edisi revisi dari) Majalah Tempo Edisi. 41/XXXVI/03 9 Desember 2007~

Anda mungkin juga menyukai