Anda di halaman 1dari 3

Origami Agustus 16, 2012

Posted by anick in All Posts.


Tags: bung hatta, proklamasi
37 comments
Seorang penulis sejarah yang baik tahu bahwa ia seorang penggubah origami. Ia
membangun sesuatu, sebuah struktur, dari bahan-bahan yang gampang melayang.
Sebab bahan penyusunan sejarah sesungguhnya bagaikan kertas: ingatan.

Ingatan tak pernah solid dan stabil; ingatan dengan mudah melayang tertiup.
Seperti kertas, ketika ia menampakkan diri di depan kita, sebenarnya dalam proses
berubah. Kita yang menemukannya juga berubah: dengan kepala yang tak lagi
pusing atau menatapnya dengan mata yang tak lagi lelah; kertas itu sendiri sedang
jadi lecek atau sumbing, lembap atau menguning.

Origami, di situ, mengandung dan mengundang perubahan. Berbeda dengan


kirigami, ia dilipat tanpa direkat ketat dengan lem atau dijahit mati. Ia bernilai
karena ia sebuah transformasi dari bahan tipis dan rata jadi sebuah bentuk yang
kita bayangkan sebagai, misalnya, burung undan. Dan pada saat yang sama, ia
mudah diurai kembali. Begitu juga penulisan sejarah: ia bernilai karena ia
mengandung pengakuan, masa lalu sebenarnya tak bisa diberi bentuk yang sudah
dilipat mati.

Saya selalu teringat ini tiap 17 Agustus.

Hari itu telah jadi sebuah institusi. Kita memberinya nama dan merayakannya
dalam sebuah lagu (Tujuh belas Agustus tahun empat lima, itulah hari
kemerdekaan kita). Ada yang menjadikannya indikator sebuah revolusi (dengan
R) dan berbicara tentang Revolusi Agustus. Di sekitarnya disusun ritual: tiap
pukul 09.00 teks Proklamasi dengan tulisan tangan Bung Karno yang bergegas itu
dibacakan kembali. Momen 67 tahun yang lalu itu seakan-akan patung pualam yang
tak boleh lekang dan lapuk.

Manusia memerlukan itu: patung, ritual, dan upacara. Tapi itu juga yang membuat
kita memandang masa lalu sebagai sebuah bentuk yang disederhanakan dan

diperindahseperti origami. Di balik 17 Agustus sebagai sebuah ingatan yang


dilembagakan, ada keadaan dan kerja yang tak terhitung ragamnya: para pemuda
yang dengan semangat berapi-api dan jantung berdebar mendesak Bung Karno dan
Bung Hatta untuk berani tak patuh kepada penguasa Jepang; Bung Karno dan Bung
Hatta yang dengan sabar tapi cemas mengikuti desakan itudan kemudian
menyusun teks yang di sana-sini dicoret itu; sejumlah orang yang tak disebut
namanya yang mengawal kedua pemimpin itu kembali dari Rengasdengklok; orangorang yang menyiapkan bendera merah putih, pengeras suara, rekaman, upacara
sederhana, dan berdoa.

Kerja (dan tak jarang dengan kesalahan dan kebetulan) dalam ragam yang tak
habis-habisnya itu bahkan belum bisa membuat suara Bung Karno jadi sebuah
gaung yang tak mati-mati, ke seluruh Indonesia, ke hari-hari mendatang. Setelah
beratus tahun menunggu, tiba-tiba datang satu saat ketika kolonialisme jebol dan
orang Indonesia bisa berkata bahwa dirinya merdeka.

Sejarah, di balik origami yang rapi itu, tak semuanya rapi. Ia punya elemen yang
disebut Bung Karno menjebol. Kata itu menunjukkan sebuah aksi; bukan
penjebolan, bukan jebolan, bukan sebuah kesimpulan, atau hasil ataupun
keadaan. Menjebol menyiratkan sebuah keyakinan yang ada dalam proses. Tapi ia
justru bermula seakan-akan mematahkan waktu di tengah.

Ia, jika kita pakai pandangan Badiou, adalah sebuah kejadian: tiap ikatannya
dengan dunia yang-utuh, dengan situasi yang satu, patah. Kejadian itu seakan-akan
ditakik dari hidup kita yang sehari-hari dan lepas ke bintang-bintang.

Di sini, saya ingin berhati-hati dengan hiperbol. Kata bintang-bintang bisa terasa
terlampau melambung, tak bersentuhan dengan bumi. Salah satu kelemahan
Badiou ialah memberi kesan bahwa dalam politik, kejadian, lvnement, begitu
luar biasa sehingga harus ada orang-orang militan yang lahir sebagai subyek dalam
Kebenaran. Sementara itu kita tahu, 17 Agustus bukanlah sesuatu yang secara
ontologis terpisah dari situasi waktu itu. Sama salahnya dengan menganggap
Peristiwa 30 September sebagai bukti kesaktian Pancasila, kita akan keliru bila
menganggap detik ketika Proklamasi itu dimaklumkan adalah sebuah momen yang
muncul bagaikan mukjizat.

Kita memang bisa menyebutnya sebagai Revolusi. Tapi tiap ingatan tentang
revolusi selalu terdiri atas bagian yang sudah melayang terbang, atau melapuk
seperti kertas.

Bersamaan dengan itu, kata revolusi membawa imaji melodramatik, pertentangan


penuh gairah dan gundah, yang sering mengharukan tapi juga melenceng.
Monumen yang banyak dibangun di Indonesiaprajurit bersenjata, pemuda
membawa bambu runcingmembayangkan kekerasan sebagai bagian esensial
dalam Revolusi itu, meskipun di bulan Agustus 1945 itu tak ada pertempuran apa
pun. Yang sering dilupakan, bahkan sebuah revolusi yang eksplosif datang dari
perubahan-perubahan yang tidak heboh: politik mikro. Tak semuanya menarik,
ganjil, atau heroik.

Itu sebabnya, merdeka adalah proses. Dalam bahasa Indonesia, kata sifat kadangkadang bisa juga berfungsi menjadi kata kerja: daun adalah hijau dan itu juga
berarti daun menghijau. Maka Indonesia merdeka dapat berarti Indonesia adalah
merdeka, tapi juga bisa berarti Indonesia menjalankan kemerdekaan. Seperti
menjebol, kerja itu masih berlangsung.

Pernah ada lelucon pahit. Seseorang yang setelah 17 Agustus 1945 nasibnya tak
jadi lebih baik, bahkan memburuk, bertanya: Kapan merdeka selesai? Jika kita
lihat merdeka adalah sebuah laku, pertanyaan itu tak akan ada. Sebab laku itu
yang berlangsung dalam sejarah sebagai prosestak punya titik yang tetap di
depan untuk dituju. Titik itu, untuk jeda, harus tiap kali diputuskan kembali.

Itu sebabnya kita perlu membayangkan origami itu tak mati. Dalam bentuk seekor
burung undan, kita bayangkan ia terbang tinggi.

~Majalah Tempo Edisi Kamis, 16 Agustus 2012~

Anda mungkin juga menyukai