Anda di halaman 1dari 8

Sand Dunes

Fenomena menarik dari pantai berpasir adalah adanya gumuk pasir atau bukit
pasir (sand dunes) yang terhampar sampai ke arah pesisir di darat. Proses alam
berupa tiupan angin akan membawa material pasir lepas yang ada dipantai
membentuk gugusan khas dan unik berupa gundukan atau gumuk pasir dengan
radius atau jarak

garis pantai. Menurut Verstappen (2000) dalam Fakhrudin

(2010), mencatat lebar gumuk pasir bahkan dapat mencapai jarak 2 kilometer dari
garis pantai. Fenomena ini tidak dapat ditemui di pantai utara Jawa, hanya
terdapat di pantai selatan Jawa (site spesific), terutama di pantai selatan
Yogyakarta. Salah satu pantai selatan yang mempunyai gumuk pasir adalah Pantai
Parangtritis dan sekitarnya. Hamparan atau bentang alam gumuk pasir di Pantai
Parangtritis tidak terbentuk secara instan, tetapi dalam kurun waktu yang cukup
lama membentuk kenampakan fisik yang menarik dan unik. Bentuk gumuk pasir
di Parangtritis dan sekitarnya cukup unik yaitu berbentuk bulan sabit (tipe
barchan). Tipe barchan merupakan satu-satunya bentukan gumuk pasir yang ada
di Asia Tenggara. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan gumuk pasir
merupakan aset berharga bagi Indonesia, sebuah warisan alam (natural heritage)
yang dititipkan untuk manusia (Ongkosongo, 2009 dalam Fakhrudin, 2010).
Menurut Widodo (2003), luas lahan kawasan pantai sangat terbatas, padahal
pemanfaatannya semakin lama semakin meningkat sehingga sering terjadi konflik
kepentingan antar sektor yang membutuhkannya seperti yang terjadi di pantai
selatan Yogyakarta, khususnya pantai Parangtritis di Kabupaten Bantul. Salah
satu daya tarik di pantai Parangtritis ini adalah adanya fenomena alam yang sangat
langka dan unik berupa gumuk pasir tipe barchan, yang terbentuk sebagai akibat
adanya ekosistem parangtritis yang khas yaitu "suplai pasir", bentuk tebing
disebelah timur, angin serta ombak laut yang dinamis.
Daerah pantai landai dan memiliki suplai endapan pasir belimpah, yang
terangkut oleh media air (sungai) akan bermuara di pantai. Angin yang berhembus
cukup kencang, akan menghasilkan perubahan pada endapan pasir pantai yang
bersifat merusak dan membangun. Salah satu contohnya adalah membentuk
gumuk pasir yaitu akumulasi dari pasir-pasir pantai, dan terendapkan sepanjang

pantai oleh pengerjaan angin, dan kenampakan endapan mempunyai ciri khas baik
tingginya maupun pelamparanya (Prasetyadi, 1991 dalam Widodo, 2003).
Gumuk pasir di sebelah barat Pantai Parangkusumo, merupakan laboratorium
alam di mana keberadaannya sangat diperlukan guna memahami kondisi dan
gejala alam yang masih belum diketahui manusia. Kondisi alam sangat banyak
ragamnya dan belum banyak dimengerti. Salah satunya adalah fenomena adanya
gumuk pasir di daerah tropis.Gumuk Pasir di daerah tropis sangat banyak
macamnya dan yang paling unik adalah ditemukannya jenis barchan dune dan
transversal dune yang di Indonesia hanya terdapat di kawasan wisata Parangtritis,
Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Keberadaan gumuk pasir dengan
tipe barchan di Parangtritis sangat unik dan menarik untuk diteliti, dipahami, dan
perlu dilestarikan. Gumuk Pasir ini merupakan fenomena yang menarik dipandang
sebagai obyek wisata (Purnamawati, 2012).
Di daerah-daerah pantai beriklim tropis biasanya jarang dijumpai adanya
gumuk pasir. Demikian pula halnya dengan wilayah Kepulauan Indonesia yang
beriklim tropis, di daerah pantainya jarang terbentuk gumuk pasir pantai. Dengan
terdapatnya gumuk pasir di Pantai Parangtritis dapat dianggap sebagai
pengecualian ataupun keistimewaan tersendiri.Klasifikasi gumuk pasir pada
umumnya didasarkan pada segi morfologi atau bentuknya, atau keadaan butiran
material pasir, tekstur dan strukturnya (Purnamawati, 2012).
Dengan demikian berdasarkan kriteria itu, morfologi, tekstur dan strukturnya,
dapat diinterpretasikan ataupun ditentukan arah dan kekuatan angin yang
membentuk gumuk pasir tersebut.
1.

Barchan dune, gumuk pasir ini bentuknya menyerupai bulan sabit dan

terbentuk pada daerah yang tidak memiliki barrier. Besarnya kemiringan lereng
daerah yang menghadap ke arah datangnya angin, akan memiliki slope atau
kemiringan lereng yang lebih landai dibandingkan dengan kemiringan lereng
daerah yang membelakangi angina (slip face), sehingga apabila dibuat penampang
melintang, akan menghasilkan bentuk penampang yang tidak simetri dan
mempunyai

ketinggian

antara

5-17

m.

Gumuk

pasir

ini

merupakan

perkembangan, karena proses eolian tersebut terhalangi oleh adanya beberapa


tumbuhan, sehingga terbentuklah gumuk pasir seperti ini, dan daerah yang

menghadap angin lebih landau, dibandingkan dengan kemiringan lereng daerah


yang membelakangi angin. (Gambar 1).

Gambar 1. Barchan dune. di lokasi penelitian (Sumber: Kamera Peneliti, 2012).


2.

Gumuk pasir transversal terbentuk di daerah yang tidak berpenghalang dan

memiliki banyak cadangan pasirnya. Bentuknya melintang memanjang,


menyerupai ombak di lautan dan tegak lurus terhadap arah angina (Gambar 2).

Gambar 2. Transversal dune di lokasi penelitian (Sumber: Kamera Peneliti, 2012).


3.

Awalnya, gumuk pasir ini hanya beberapa saja, kemudian karena proses

eolian yang terus menerus berlangsung dengan material pasir yang cukup, maka
terbentuklah bagian yang lain dari gumuk pasir ini dan menjadi sebuah koloni
atau kumpulan dari beberapa gumuk pasir yang memiliki tipe yang sama. ada
daerah penelitian, gumuk pasir ini terletak pada koordinat E 110 E 19 0,6 dan S
08 0 E 080 Wind 01 0,44 dengan elevasi 17 m dari permukaan laut. Gumuk
pasir transversal ini akan berkembang menjadi bulan sabit apabila pasokan
pasirnya berkurang.
(Purnamawati,
2012).
Pantai Parangtritis memiliki kelebihan lain yang tidak dimiliki oleh obyek
wisata pantai di tempat lain, yaitu terdapatnya deretan gumuk pasir bulan sabit
(crescent sand dunes). umuk pasir ini membentuk formasi spesifik yang
menempati areal sampai ratusan hektar. Materi utama gumuk pasir pada umumnya

berasal dari endapan daerah pedalaman (daratan), yang dibawa oleh 4 sungai
bermuara di pantai Selatan yaitu Sungai Progo, Winongo, Opak dan Oyo.
Material pasir inilah yang akan membentuk dataran alluvial pantai (Budiyanto,
2011).
Darmawijaya (1992), menyatakan bahwa tanah bukit (gumuk)pasir dapat
berasal dari materi abu volkanik yang dibawa angin dan diendapkan di suatu
tempat. Gaya ombak laut memilih pasir ringan, untuk kemudian dibawa ke arah
daratan, sementara pasir yang lebih berat terendapkan di sepanjang garis pantai
membentuk dataran alluvial pantai. Pasir yang kering selanjutnya diterbangkan
angin kearah daratan dan diendapkan di tempat yang bervegetasi sebagai
penumpu sehingga terbentuklah deretan bukit pasir.
Terdapat dua arah angin di Pantai Parangtritis, yaitu tegak lurus garis pantai
dan sebagian akan membentur tebing Cliffs Formasi Wonosari di sebelah Timur,
yang akan mengubah arah angin menuju Barat Laut. Dua arah angin inilah yang
akan membawa partikel pasir kering ke arah daratan dan diendapkan dalam posisi
yang berlainan antara satu ujung gumuk pasir dengan ujung yang lain. Deretan
gumuk pasir yang lebih kurang sejajar garis pantai, masih mengalami usikan
pantulan angin dari arah Timur, sehingga ujung barisan gumuk pasir bagian Timur
akan kembali bergerak menuju arah Barat Laut, yang akhirnya akan membentuk
formasi gumuk pasir bulan sabit (crescent sand dunes). Formasi secara
keseluruhan

gumuk

pasir

ini

menciptakan

pemadangan

eksotik

yang

menyuguhkan konfigurasi perbedaan mikro relief antara lembah dan punggung


gumuk yang nyaman untuk dinikmati serta menjadi nuansa pelengkap pada saat
pengunjung menikmati terbenamnya di ufuk Barat (sunset) (Budiyanto, 2011).
Marsh (1991) menyatakan bahwa pada kebanyakan daerah pantai,
pembentukan gumuk pasir dimulai pada areal arus pasang terjauh (backshore)
yang diikuti dengan pembentukan punggung bukit pasir rendah yang berderet
sejajar garis pantai, dan pada pertumbuhan selanjutnya tiupan angin pada titik area
tertentu akan membawa pasir ini menuju daratan. Gumuk pasir ini akan tumbuh
dan bergerak menuju daratan, bukan saja bertambah panjang tetapi juga akan
bertambah tebal sejalan dengan bertambahnya deposit pasir. Oleh karena itu setiap

rencana pemanfaatan kawasan gumuk pasir ini disarankan untuk menyesuaikan


dengan kondisi ekologi yang ada.
Selanjutnya Marsh (1991) menyatakan bahwa gumuk pasir memiliki pesona
untuk dikembangkan menjadi tempat peristiratahan atau pengembangan bagi
kepentingan rekreasi lain yang dapat menyajikan pemandangan vista yang terbuka
tetapi

gumuk

pasir

ini

juga

memperlihatkan

ingkat

kesulitan

dalam

pengelolaannya. Lebih tegas McHarg (1992) membagi kawasan gumuk pasir


pantai menjadi beberapa bagian yaitu gumuk pasir primer (primary dunes),
lembah gumuk (through area), gumuk pasir sekunder (secondary dunes), dan area
dibalik gumuk (backdunes). Gumuk pasir primer merupakan area yang tidak
toleran bagi pemanfaatan lahan, area ini murni terlarang untuk dimanfaatkan,
lembah gumuk merupakan area yang lebih toleran, pengembangan dan
pembangunan ornamen ornamen tertentu dapat dilakukan, gumuk pasir
sekunder juga merupakan area yang tidak toleran untuk dimanfaatkan dan
dikembangkan, dan area dibalik gumuk yang merupakan area yang dapat
dimanfaatkan dan dikembangkan.
Kemiringan Lereng Pantai
Kemiringan pantai adalah sudut antara bidang datar permukaan bumi
terhadap suatu garis atau bidang lurus yang ditarik dari titik terendah hingga
tertinggi pada suatu bidang tertentu untuk mengukur kemiringan lereng disuatu
dasar perairan lokasi dititik pengamatan digunakan metode jaring-jaring.
Kemiringan suatu pantai ialah suatu pengkajian tentang bentuk suatu pantai,
evolusinya, proses-proses yang bekerja padanya, dan perubahan- perubahan yang
terjadi pada saat sekarang ini. Kemiringan suatu pantai digunakan untuk
melindungi pantai terhadap kerusakan serangan gelombang dan arus dan
mencegah terjadinya erosi. (Bambang triatmojo 1999).
Untuk mengetahui kemiringan lereng suatu areal dasar laut, maka dapat
dihitung dengan sistem grid berdasarkan peta kedalaman perairan, yaitu dengan
metode jaring-jaring Wentworth (Hasriyanti, 2013).
Pengukuran kemiringan pantai dilakukan dengan menggunakan water pass.
Pengambilan data dengan water pass ditambah dengan peralatan lain seperti
meteran, dan juga satu buah kayu range sepanjang 2 meter. Langkah pertama,

kayu range yang berukuran 2 m diletakkan secara horizontal di atas pasir dan
dilekatkan tepat pada batas pantai teratas. Kemudian waterpass diletakkan di atas
kayu range berukuran 2 m, lalu kayu tersebut dipastikan horizontal sampai air
pada alat water pass tepat berada di tengah. Setelah dipastikan horizontal, hitung
ketinggian kayu range tersebut dengan meteran. Sehingga dapat diketahui
kemiringan pantai tersebut dengan cara menghitung sudut yang dibentuk antara
garis horizontal dan vertikal yang didapatkan. Pengukuran ini dilakukan dari batas
pantai teratas sampai pantai yang tepat menyentuh air. (Zarkasi, 2011).

Ket : = Sudut kemiringan pantai ()


Y = Ketinggian Total pantai (1+2+3+4)
Jarak antara garis tegak lurus yang dibentuk oleh kayu horizontal
dengan permukaan pasir dibawahnya
X = Jarak total pantai (a+b+c+d)
Lereng pantai diukur dengan kompas geologi, dengan parameter besar sudut
lereng gisik / pantai dalam satuan derajat () dan persen (%) (Damayanti, 2008).
Menurut Sunarto, (1991) dalam Patty (2010), kriteria klasifikasi kemiringan
lereng terdiri dari: lereng datar (0,0-2,9%), lereng landai (3,07,9%), lereng miring
(8,0-13,9%), lereng sangat miring (14,0-20,9%), lereng curam (21,0-55,9%),
lereng sangat curam (56140,9%) dan lereng terjal (>140,9%).

DAFTAR PUSTAKA
Budiyanto, Gunawan. 2011. Teknologi Konservasi Lanskap Gumuk Pasir Pantai
Parangtritis Bantul DIY. Jurnal Lanskap Indonesia. Agroteknologi, Fakultas
Pertanian. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Vol. 3 (2).
Damayanti, A dan Ranum, A. 2008. Karakter Fisik dan Pemanfaatan Pantai
Karst Kabupaten Gunung Kidul. Departemen Geografi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia.
Fakhrudin, M. 2010. Dinamika Pemanfaatan Lahan Bentang Alam Gumuk Pasir
Pantai Parangtritis Kabupaten Bantul. Jurnal Ilmiah Geomatika. Vol. 16 (2).
Hasriyanti. 2013. Analisis Kelerengan Dan Jenis Butir Sedimen Dasar Perairan
Untuk Wisata Pantai di Pulau Samalona Makassar Sulawesi Selatan. Jurnal
Sainsmat. Jurusan Geografi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Makassar. ISSN 2086-6755. Vol. II. (2): 198-208.
Marsh,W.M. 1991. Landscape Planning, environmental Applications. 2. John
Wiley & Sons,Inc. New York : 200-206.
McHarg ,I. L. 1992. Design with Nature. John Wiley and Sons,Inc. New York: 715.
Patty, W. 2010. Karakteristik Tipe Dasar dan Pemanfaatan Perairan Disekitar
Pulau Gangga, Kabupaten Minut. Staf Pengajar pada Program Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. UNSRAT.
Manado. Vol. VI (2).
Purnamawati, D.I, dan Ferdinandus, W. 2012. Analisis Arah dan Kekuatan Angin
Pembentuk Barchan Dune dan Transversal Dune di Pantai Parangtritis,
Propinsi DIY Berdasarkan Data Geologi. Prosiding Seminar Nasional
Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III. ISSN: 1979-911X.
Yogyakarta.
Triatmojo. B. 1999.

Widodo, L. 2003. Gumuk Pasir Parangtritis Konversi Versus Konservasi (Sebuah


Tinjauan Penggunaan Lahan dengan Model Dinamik). J. Tek.Ling P3TLBPPT. Vol. 4 (1): 21-26.
Zarkasi, M, et al. 2011. Analisis Distribusi Sarang Penyu Berdasarkan
Karakteristik Fisik Pantai Pulau Wie Kecamatan Tambelan Kabupaten
Bintan. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan. Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Anda mungkin juga menyukai