Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Seksualitas mengandung makna yang sangat luas karena mencakup aspek kehidupan
yang menyeluruh, terkait dengan jenis kelamin biologis maupun sosial (gender), orientasi
seksual, identitas gender, dan perilaku seksual. Seksualitas adalah sebuah proses sosial yang
menciptakan dan mengarahkan hasrat atau birahi manusia (the socially constructed expression
of erotic desire), dan dalam realitas sosial, seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor
biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, agama dan spiritual. 1
Dalam orientasi seksual, terdapat fenomena homoseksualitas. Homoseksualitas merupakan
sebuah rasa ketertarikan secara perasaan dalam bentuk kasih sayang, hubungan emosional baik
secara erotis atau tidak, dimana ia bisa muncul secara menonjol, ekspresif maupun secara
ekslusif yang ditujukan terhadap orang-orang berjenis kelamin sama.

Walaupun World Health Organization (WHO) telah mengeluarkan homoseksualitas dari daftar
penyakit kejiwaan pada tanggal 17 Mei 1981, dan mengeluarkannya dari daftar penyakit pada
tahun 1992 (Kamilia Manaf: 2007), tetapi dampak dari homoseksual tidaklah maini-main. Hal
ini terbukti dari data penderita HIV/AIDS di Amerika. Data pasien AIDS di Amerika
menunjukan bahwa penderita AIDS terbanyak ditunjukan oleh kaum homoseksual atau
biseksual sekitar 65%, pengguna jarum suntik 17%, homoseksual dan suntik 8%, hemofilia
1%, penerima tranfusi darah 2%, heteroseksual 4% dan lainnya 3%.

Referat ini bertujuan untuk mengetahui definisi, orientasi seksual, epidemiologi,


penyebab, skor, dampak, dan penanggulangan medis dari lesbian, gay, bisexsual, serta
transgendre.

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Definisi
Homoseksualitas merupakan sebuah rasa ketertarikan secara perasaan dalam bentuk
kasih sayang, hubungan emosional baik secara erotis atau tidak, dimana ia bisa muncul secara
menonjol, ekspresif maupun secara ekslusif yang ditujukan terhadap orang-orang berjenis
kelamin sama. 3
Homoseksual juga dapat didefinisikan sebagai orientasi atau pilihan seks yang
diarahkan kepada seseorang atau orang-orang dari jenis kelamin yang sama atau ketertarikan
orang secara emosional dan seksual kepada seseorang atau orang-orang dari jenis kelamin
yang sama. 3
Freud berasumsi bahwa semua manusia pada dasarnya adalah makhluk biseksual atau
penggabungan homoseksual dan heteroseksual. Freud kemudian mengemukakan bahwa
individu

menjadi

homoseksual ataupun

heteroseksual

didapat dari

pengalamannya

berhubungan dengan orangtua dan yang lainnya sehingga Freud menyimpulkan bahwa pada
dasarnya individu sudah memiliki potensi sejak lahir untuk menjadi heteroseksual atau
homoseksual. Terjadinya orientasi seks homoseksual, heteroseksual, ataupun biseksual tersebut
dipengaruhi oleh lingkungan, khususnya lingkungan masa kecilnya bersama kedua orangtua.

Sedangkan Charles Socarides mengungkapkan bahwa perkembangan homoseksual individu


dimulai sejak masa pre-oedipal dan sesudahnya. Seorang laki-laki dapat menjadi homoseksual
bila memiliki hubungan yang terlalu erat dengan ibunya atau karena kurangnya atau hilangnya
figur bapak dalam keluarga. Hal ini berlaku terbalik pada kasus perempuan lesbian yang
dimana posisi ibu hilang atau ayah yang terlalu disiplin dan ibu yang terlalu dekat dengan anak
perempuannya. 4
Homoseksualitas pernah berada dalam jajaran DSM. Namun, sejak 1973, the American
Psychiatric Association (APA) sudah menetapkan bahwa homoseksualitas tidak lagi
digolongkan sebagai gangguan mental. Lalu, pada 17 Mei 1990, Organisasi Kesehatan Sedunia
(WHO) secara resmi menyatakan homoseksualitas bukanlah penyakit atau gangguan jiwa. Di
Indonesia, Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa (PPDGJ) III juga mencabut
homoseksualitas sebagai gangguan pada tahun 1993. 1,3
Transgender adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan orang yang
melakukan, merasa, berpikir atau terlihat berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan saat

mereka lahir. Transgender tidak menunjukkan bentuk spesifik apapun dari orientasi seksual
orangnya. Orang-orang transgender dapat saja mengidentifikasikan dirinya sebagai
heteroseksual, homoseksual, biseksual, panseksual, poliseksual, atau aseksual.

Definisi yang tepat untuk transgender tetap mengalir, namun mencakup:

Tentang, berkaitan dengan, atau menetapkan seseorang yang identitasnya tidak sesuai
dengan pengertian yang konvensional tentang gender laki-laki atau perempuan,
melainkan menggabungkan atau bergerak diantara keduanya.

Orang yang ditetapkan gendernya, biasanya pada saat kelahirannya dan didasarkan
pada alat kelaminnya, tetapi yang merasa bahwa deksripsi ini salah atau tidak
sempurna bagi dirinya.

Non-identifikasi dengan, atau non-representasi sebagai, gender yang diberikan kepada


dirinya pada saat kelahirannya.4

2.2 Orientasi seksual


Orientasi seksual individu pada dasarnya terbagai menjadi 3 yaitu heteroseksual, yang
merupakan reaksi seksual antara makhluk berbeda jenis kelamin; homoseksual, reaksi seksual
antara mahluk sesama jenis kelamin; dan biseksual yang merupakan gabungan antara
keduanya. Perlu diingat bahwa orientasi seksual ini tidak sama dengan aktivitas seksual, ini
terbukti dengan bahwa remaja yang lesbian, gay, ataupun biseksual belum tentu pernah
melakuakn hubungan seksual secara nyata. Begitu pula sebaliknya orang yang pernah
berhubungan seks sesama jenis bukan berarti adalah lesbian, gay, atau biseksual.

2.3 Epidemiologi
Secara signifikan keberadaan kaum homoseksual di dunia ini patut diperhitungkan. Di
suatu survei di Amerika Serikat pada saat dilangsungkan pemilu 2004, diketahui bahwa 4%
dari seluruh pemilih pria menyatakan bahwa dirinya adalah seorang gay. Di Kanada,
berdasarkan statistik Kanada menyatakan bahwa diantara warga Kanada yang berumur 18
sampai 59 tahun, terdapat 1% homoseksual dan 0.7% biseksual. Sedangkan di Indonesia, data
statistik menyatakan bahwa 8 sampai 10 juta populasi pria Indonesia pada suatu waktu pernah
terlibat pengalaman homoseksual. 1,3
2.4 Etiologi
Tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan subjek menjadi homoseksual. Penyebab
homoseksualitas sebenarnya sulit dikemukakan karena penyelidikan ilmiah atas masalah ini
merupakan suatu hal yang baru. Di samping itu, ada banyak teori yang menjelaskan sebab-

sebab homoseksualitas, tetapi penjelasan yang diberikan itu masih kurang memuaskan. Berikut
ini akan disampaikan beberapa teori mengenai sebab-sebab terjadinya homoseksualitas.

4,6

a. Psikodinamika
Menurut Freud, setiap orang dilahirkan dengan potensi biseksual. Selama perkembangan
psikoseksual, seorang anak dapat berkembang menjadi homoseks atau heteroseks, tergantung
pada pengalaman masa kanak-kanak atau pendidikannya. 4

Charles Socarides (Kadir, 2007), menerangkan adanya 5 tipe penyebab homoseksual, yaitu:
1). Pre-oedipal, merupakan hasil fiksasi perkembangan pada 0-3 tahun.
2). Oediphal, timbulnya homoseksual karena kegagalan dalam fece oediphal.
3). Schizohomosexuality, schizoprenia dan homoseksualitas yang terdapat pada satu orang.
4). Situational homoseksual, terjadi karena situasi.
5). Variational homosexual, sebagai variasi dari perilaku seksual seorang heteroseksual.

b. Biologis Hormonal
Pada tahun 1992, Isay yang merupakan anggota komite APA (American Psychiatric
Association) untuk masalah homoseksual, mengemukakan bahwa penyebab homoseksual
adalah konstitusional (biologis, telah ada sejak lahir). 1
1). Faktor Genetik
Dalam penelitian Master pada tahun 1992 dilaporkan temuan yang mendukung pandangan
bahwa homoseksualitas adalah hasil kondisi genetik. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa
karena kedua anak kembar yang terkena lingkungan orangtua dan postnatal yang sama,
penyebab genetik untuk homoseksualitas akan muncul sebagai tingkat konkordansi tinggi
diantara kembar inentical, akan homoseksual bukan yang satu menjadi homoseksual dan satu
heretoseksual. 3
2). Faktor Hormonal
Beberapa jenis penelitian telah membuktikan kemungkinan bahwa hormonal merupakan
penyebab atau predisposisi untuk homoseksualitas. Pertama, telah didokumentasikan dengan
baik bahwa pengobatan hormon kehamilan dari berbagai jenis menyebabkan munculnya pola
perilaku homoseksual laki-laki atau perempuan pada beberapa spesies yang berbeda-beda.
Kedua, beberapa temuan menunjukkan bahwa kelebihan atau kekurangan hormon kehamilan
dapat berhubungan dengan homoseksualitas. Ketiga,

perhatian besar telah difokuskan pada perbandingan kadar hormon dalam homoseksual dan
heteroseksual dewasa. 3
c. Teori Belajar
Teori belajar berasumsi bahwa kebanyakan perilaku (termasuk didalamnya perilaku seksual)
yang diakibatkan oleh adanya proses belajar. Sikap ini mengarah pada perilaku homoseksual
karena dorongan kepuasan, kepuasan seks dengan sesama jenis, atau karena tidak senang,
ketidakpuasan, serta ketakutan terhadap pengalaman heteroseksual.

d. Teori Disonansi Kognitif


Teori disonansi kognitif merupakan sebuah teori yang membahas mengenai perasaan
ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan perilaku yang tidak
konsisten. Kaum homoseksual, berdasarkan pandangan mereka pada perilakunya, dapat dibagi
menjadi dua yaitu yang menerima perilaku homoseksual itu sendiri dan yang tidak menerima
tetapi tidak punya daya untuk mengatasi masalahnya. 4,6
Kaum homoseksual yang biasanya menerima perilaku homoseksualnya sebagai sebuah
aktivitas seksual yang membawa kesenangan, dan dapat menikmati hubungan homoseksual
(homoseksual dan lesbian), biasanya tidak terlalu memikirkan akan adanya pertentangan antara
perilakunya dengan keyakinan agama dan kepercayaan yang dianutnya. Mereka akan berusaha
meyakinan masyarakat yang selama ini menolak perilaku homoseksual sebagai sebuah
penyimpangan. Kaum homoseksual ini bahkan sudah banyak yang mendapatkan legalisasi
hubungan mereka dibeberapa negera-negara Eropa dan beberapa Negara bagian di Amerika
Serikat. 4,6
Berbeda dengan kaum homoseksual yang tidak menerima perilakunya sendiri, karena adanya
perbedaan akan perilakunya selama ini dengan agama dan keyakinan yang dianutnya. Selain
itu, masyarakat juga masih massif menentang akan perilaku tersebut. Masyarakat belum bisa
menerima perlaku homoseksual mereka. Inilah yang dimaksud dengan disonansi kognisif,
dimana keyakinan yang dimiliki oleh kaum homoseksual berbeda dengan perilakunya, tetapi
mereka tidak punya daya untuk keluar dari masalahnya. 4,6
Kaum homoseksual yang mengalami disonansi kognitif sebenarnya adalah sebuah
penyimpangan tingkah laku. Bantuan psikologis memang bisa diberikan kepada kaum
homoseksual yang mengalami disonansi kognitif ini untuk membantu

menyelaraskan antara keyakinan yang dimiliki, dan nilai-nilai yang dianut dengan perilakunya
yang abnormal. 4,6
2.5 Kategori homoseksual
Coleman, Butcher dan Carson menggolongkan homoseksualitas ke dalam beberapa jenis
yaitu :
a. Homoseksual Tulen
Jenis ini adalah gambaran streotipe populer tentang laki-laki yang keperempuan-perempuanan
atau sebaliknya.
b. Homoseksual Malu-malu
Kelompok jenis ini adalah laki-laki yang terdorong hasrat homoseksual, namun tidak mampu
dan tidak berani menjalin hubungan personal yang cukup intim dengan orang lain.
c. Homoseksual Tersembunyi
Kelompok ini berasal dari kelas sosial ekonomi menengah dan memiliki status sosial yang
dirasa perlu dilindungi dengan cara menyembunyikan identitas seksual.
d. Homoseksual Situasional
Kelompok ini adalah kelompok yang didorong oleh situasi disekitarnya untuk melakukan seks
dengan sesama jenis. Dan biasanya kelompok ini akan mempraktikan heteroseksualnya setelah
keluar dari situasi tersebut.
e. Biseksual
Kelompok ini adalah orang-orang yang mempraktikkan baik homoseksual maupun
heteroseksual sekaligus.
f. Homoseksual Mapan
Kelompok ini adalah kelompok homoseksual yang menerima keadaan homoseksualnya,
memenuhi aneka peran kemasyarkatan secra bertanggungjawab, dan mengikat diri dengan
komunitas homoseksual setempat. 6
Davison dan Neale kemudian menjelaskan bahwa sesungguhnya homoseksual dibagi menjadi
dua kategori, yaitu : 6
a. Gay

Istilah gay menunjuk pada homoseksual laki-laki. Gay adalah kecenderungan pada pria untuk
menyukai secara seksual terhadap sesama jenis.

b. Lesbian
Lesbian adalah kecenderungan pada wanita yang secara seksual menyukai sesama jenis.
Alfred Kinsey, Wardell Pomeroy, and Clyde Martin ditahun 1948 mengadakan suatu penelitian
terhadappopulasi yang dimasukkan dalam Jurnal Sexsual Behavior in the Human Male.
Penelitian ini berusaha menjelaskan bahwa ada orang yang memiliki riwayat perilaku dan
perasaan ketertarikan seksualnya tidak konsisten selalu sama. Beberapa kasus dalam penelitian
ini mengatakan bahwa ada orang-orang yang tidak selalu berperilaku seksual sebagai
heteroseksual sebagai heteroseksual murni, tetapi juga sekali atau beberapa kali juga
berperilaku homoseksual. Penelitian ini akirnya menghasilkan suatu skala yang disebut Skala
Kinsey seperti yang tertera di bawah ini, yaitu: 5
0 : sepenuhnya heteroseksual
1 : heteroseksual, sesekali homoseksual
2 : heteroseksual, homoseksual lebih dari sekali
3 : biseksual
4 : homoseksual, heteroseksual lebih dari sekali
5 : homoseksual, sesekali heteroseksual
6 : sepenuhnya homoseksual
2.6 Dampak
Menjadi seorang homoseksual rentan terhadap berbagai resiko, hal ini dapat dilihat dari dua
sudut pandang yaitu berdasarkan sumber resiko dan jenis resiko.
1. Sumber Resiko 1,3,6
a) Resiko yang harus dihadapi dari lingkungan eksternal
Keberadaan kaum homoseksual di tengah masyarakat dalam berinteraksi/ bersosialisasi dengan
lingkungan senantiasa dihadapkan pada hukum, norma, nilai-nilai, dan aturan tertulis maupun
tidak tertulis, serta stereotipe yang berlaku di masyarakat. Misalnya saja hukum negara yang
tidak memperbolehkan terjadinya pernikahan antara sesama jenis kelamin, norma agama yang
tidak memperbolehkan hubungan homoseksual, aturan tidak tertulis yang berlaku di
masyarakat untuk menghindari relasi dengan kaum homoseksual, menutup kesempatan bagi
kaum homoseksual untuk berkarya / bekerja, bersekolah atau pun kesempatan untuk mendapat
pelayanan kesehatan yang sama dengan yang lain.

Situasi di atas berpotensi menghasilkan reaksi dari lingkungan, ada yang bersikap biasa, ada
yang memandang sebelah mata, ada pula yang hingga memberikan perlakuan yang tidak
menyenangkan seperti dikucilkan, disisihkan/ dijauhi oleh keluarga, teman, dan lingkungan
kerja, serta masyarakat. Tidak menutup kemungkinan ada kaum homoseksual yang
menghadapi situasi dan respon berbeda dari masyarakat. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan
hukum dan budaya yang berlaku antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
b) Resiko yang berasal dari perilaku sendiri / lifestyle
Seorang homoseksual sering berhadapan dengan adanya realitas gaya hidup tertentu yang
berlaku di kalangan kaum homoseksual. Gaya hidup ini meliputi cara, perilaku, dan kebiasaan
tertentu baik itu dalam mengekspresikan orientasi seksual, bersosialisasi, maupun menjalani
hidup sehari-hari.
Gaya hidup tertentu pada kaum homoseksual dapat beresiko buruk terhadap kesehatan fisik
maupun mental & emosional, seperti: berganti-ganti pasangan dalam berhubungan seksual
(berhubungan intim), melakukan hubungan seksual yang tidak aman (tidak menggunakan
kondom), melakukan anal seks, minum-minuman keras dan narkoba.
Gaya hidup demikian beresiko terhadap terganggunya kesehatan fisik, seperti: STI's (Sexual
Transmitted Infections) / STD's (Sexual Transmitted Diseases) termasuk HIV-AIDS, dan
terganggunya kesehatan mental dan emosional, seperti: kecemasan berlebihan, depresi,
merusak / menyakiti diri sendiri, dan sebagainya.
2. Jenis Resiko 2,3,6
a) Resiko sehubungan dengan kesehatan mental dan emosional
Resiko gangguan kesehatan mental dan emosional yang dapat terjadi terhadap homoseksual,
seperti: depresi, gangguan mental, gangguan kecemasan, gangguan perilaku (melakukan
penganiayaan-kekerasan seksual atau fisik / sexual or physical abuse), menyakiti / melukai diri
sendiri, hingga perilaku bunuh diri.
Penyebab terjadinya gangguan kesehatan mental dan emosional pada homoseksual :
Tekanan psikologis terhadap penderitaan / kondisi yang tidak menyenangkan,
seperti: homophobia; HIV-AIDS; non HIV STD's seperti: Syphilis, Anal Cancer, Gonorrhoea,
Chlamydia, Herpes, Genital Warts; masalah body image. Tekanan psikologis dapat membuat
seorang homoseksual menjadi stres dan ketika ia tidak mampu menghadapi stres ini (distress),
dirinya

menjadi tidak terkendali dan tidak mampu mengkontrol dirinya sendiri. Dalam situasi
demikian orang ini dikendalikan sepenuhnya oleh emosi-emosi negatif di dalam dirinya
seperti: depresi, kecemasan / ketakutan yang berlebihan, mengasihani diri sendiri, amarah, iri
hati, dan lain-lain.
Negative self image. Negative self image terjadi ketika seseorang memandang dan
meyakini dirinya sendiri tidak berharga, rendah diri, dan tidak berdaya (internalised
homophobia). Negative self image terbentuk pada seorang homoseksual ketika ia dihadapkan
pada: pengalaman masa lalu yang menyakitkan (ditolak dan dianiaya / disakiti baik fisik
maupun emosional oleh keluarga, teman-teman bermain di masa kecil, ataupun di sekolah);
perlakuan yang tidak menyenangkan dari masyarakat (homophobia) seperti dengan:
memberlakukan stereotipe tertentu mengenai homoseksual, men-cap atau memberikan label
negatif tertentu, memberikan tekanan / memaksakan nilai-nilai, sikap, atau tindakan tertentu;
serta faktor diskriminatif dalam hal beberapa hal seperti hukum, norma, nilai-nilai, dan aturanaturan tertentu.
Terlibat dalam melakukan hubungan seksual (hubungan intim) homoseksual.
Persepsi dan sikap seorang homoseksual terhadap hubungan seksual yang dilakukan memiliki
konsekuensi terhadap kesehatan mental dan emosionalnya. Ketika ia menaruh persepsi dan
sikap negatif terhadap hubungan seksual yang dilakukannya maka perasaan-perasaan tidak
menyenangkan akan hadir dalam dirinya dan mengganggunya. Persepsi dan sikap negatif ini
bisa berwujud guilt (perasaan bersalah), fear (ketakutan), shame (rasa malu) karena keyakinan
bahwa hubungan seksual yang dilakukannya tersebut tidaklah baik, keyakinan bahwa
hubungan seksual yang dilakukannya bukanlah atas kehendak bebasnya sendiri, keyakinan
bahwa hubungan seksual yang dilakukannya tidak membawanya pada apapun, tidak
memberikan sesuatu yang berarti, atau tidak akan ada ujungnya, menjadikan hubungan seksual
sebagai sebuah pelarian atau pelampiasan atas emosi-emosi negatif yang dirasakannya.
Akibatnya, setiap habis mengecap kenikmatan sesaat, dirinya malah terluka oleh rasa tidak
berguna, rasa kesepian yang dalam, kehampaan, rasa bersalah, rasa berdosa, dan sebagainya.
Akhirnya terbentuk mata rantai yang patologis (tidak sehat), melakukan hubungan seksual
kemudian merasa terluka, akhirnya menyakiti diri sendiri

lantas mencari pleasure / hal-hal yang dapat menyenangkan dirinya (mengobati dari rasa sakit)
dengan melakukan hubungan seksual lagi dan kemudian berulang lagi dan demikianlah
seterusnya.
b) Resiko sehubungan dengan kesehatan fisik / biologis
Perilaku seksual tertentu dapat beresiko mengganggu kesehatan fisik / biologis pada kaum
homoseksual. Seperti: melakukan hubungan seksual bebas / berganti-ganti pasangan bahkan
dengan orang yang tidak dikenal; melakukan hubungan seksual yang tidak aman seperti: tidak
menggunakan kondom dan tidak mengetahui diagnosis atau status kesehatan seksual (HIVAIDS, penyakit kelamin) pasangan main; dan melakukan anal seks adalah perilaku-perilaku
seksual yang beresiko besar mengganggu kesehatan fisik / biologis kaum homoseksual.
Resiko-resiko gangguan kesehatan yang dapat dialami dari perilaku seksual tidak sehat
tersebut adalah sebagai berikut:
HIV-AIDS
STI's / STD's lainnya, seperti: chlamydia trachomatis, cryptosporidium, giardia lamblia,
herpes simplex virus, human papilloma virus (HPV) or genital warts, isospora belli,
microsporidia, gonorrhea, viral hepatitis types B & C and syphilis.
c) Resiko yang sehubungan dengan kedua-keduanya (kesehatan mental dan emosional dan
kesehatan fisik / biologis)
Perilaku dibawah ini menyangkut resiko rusaknya kondisi fisik, terganggunya kesehatan fisik /
biologis serta terganggunya kondisi mental dan emosional seorang homoseksual. Kedua faktor
ini saling terhubung satu sama lain.
o Domestic Violence / Sex - Physical - Emotional Abuse
Hubungan di antara sesama homoseksual seringkali diwarnai dengan kekerasan baik itu
kekerasan seksual, fisik, maupun emosional. Motif dibaliknya seringkali dikarenakan masalah /
gangguan mental dan emosional pada diri si pelaku homoseksual.
o Substance Abuse / Penyalahgunaan NAPZA ( Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) /
Narkoba
Kondisi mental dan emosional yang bermasalah serta lifestyle kaum homoseksual dapat
mempengaruhi seseorang untuk menggunakan narkoba dan minum minuman keras.
Penyalahgunaan zat-zat aditif ini meliputi narkoba (ectasy, putauw / heroin, ganja, morfin,
kokain / shabu-shabu, cannabis), dan

minuman keras. Penyalahgunaan zat demikian dapat mempengaruhi kesehatan tubuh seperti
(gangguan otak, saraf, hati), juga dapat mempengaruhi kesehatan mental dan emosional
(menjadi lebih emosional, lebih numb / tidak merasakan apapun, paranoid, delusi, halusinasi).
Penyalahgunaan narkoba dan minum-minuman keras membuat seseorang berada dalam
keadaan tidak sepenuhnya sadar, dan dalam keadaan demikian orang tersebut tidak dapat
mengendalikan dirinya sendiri. Pada saat demikian, banyak sekali resiko yang harus siap
dihadapi.
2.7 Penanggulangan
Yang paling utama dalam terapi ini adalah dengan adanya motivasi yang kuat yang berasal dari
dalam diri individu itu sendiri. Sedangkan agar meminimalsir kemungkinan homoseksualitas
maka pada saat masih kanak-kanak, individu harus diberikan pendidikan secara proporsional
oleh kedua orang tua khususnya pada usia 4 tahun keatas. Serang ayah harus memerankan
perannya sebagai seorang bapak yang baik dan begitu pula seorang ibu harus memerankan
perannya sebagai seorang ibu secara baik pula. Oleh karena itu pola asuh orang tua yang baik
dapat meminimalisir kemungkinan individu menjadi homoseksual. 4,6
Sejak lebih dari 150 tahun para ahli Medis-Seksologi dan Psikologis telah berusaha untuk
menyelidiki etiologi pembentukan prefensi homoseksual. Faktor-faktor sebagai penyebab
kemungkinan penyimpangan kehidupan seksual dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini :

4,6

Adanya faktor khusus sebagai penyebab homoseksual Penyebab Homoseksual karena faktor

yang ada sebelum dilahirkan.


Homoseksual terjadi setalah dilahirkan, jadi diperoleh dalam waktu hidup, artinya faktor

dalam perkembangan hidup.

BAB III KESIMPULAN


3.1 Kesimpulan
Dalam refrat ini akan dibahas mengenai definisi, orientasi seksual, epidemiologi, penyebab,
skor, dampak, dan penanggulangan medis dari lesbian, gay, bisexsual, serta transgendre.
LGBT merupakan kepanjangan dari Lesbian, Guy, Biseksual, dan Transgender. Lesbian dan
gay termasuk dalam homoseksualitas yang merupakan sebuah rasa ketertarikan secara
perasaan dalam bentuk kasih sayang, hubungan emosional yang ditujukan terhadap orangorang berjenis kelamin sama. Biseksual merupakan gabungan dari homoseksual dan
heteroseksual. Sementara transgender adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan
orang yang melakukan, merasa, berpikir atau terlihat berbeda dari jenis kelamin yang
ditetapkan saat mereka lahir.
Orientasi seksual terbagai menjadi 3 yaitu Heteroseksual, yang merupakan reaksi seksual
antara makhluk berbeda jenis kelamin; Homoseksual, reaksi seksual antara mahluk sesama
jenis kelamin; dan Biseksual, yang merupakan gabungan antara keduanya.
Dari studi epidemiologis, data statistik menyatakan bahwa 8 sampai 10 juta populasi pria
Indonesia pada suatu waktu pernah terlibat pengalaman homoseksual.
Penyebab dari LGBT bisa dikarenakan genetik, hormonal, dan lingkungan.
Secara klasifikasi, homoseksual dibagi menjadi homoseksual tulen, homoseksual malu-malu,
homoseksual tersembunyi, homoseksual situasional, biseksual, homoseksual mapan.
3.2 Saran
Seorang dokter tidak hanya dituntut untuk bersikap kuratif, namun juga untuk bersikap
promotif dan preventif. Tidak menutup kemungkinan bagi seorang dokter menghadapi kasuskasus seperti LGBT ini. Seorang dokter semestinya menyadari bahwa gaya hidup kaum LGBT
dampak menimbulkan berbagai resiko buruk terhadap kesehatan fisik maupun mental &
emosional. Karena itu dokter harus dapat memberikan edukasi pada masyarakat secara umum
atau kaum LGBT secara khusus tentang bahaya-bahaya yang dapat timbul dari gaya hidup
mereka.

DAFTAR PUSTAKA
1. Committee on Lesbian, Gay, Biseksual, and Transgender Health Issues and Research Gaps
and Opportunities Institute of Medicine of The Natinal Academy. The Health of Lesbian, Gay,
Biseksual, and Transgender People. Washington D.C.. www.nap.edu
2. Tomlinson, Hank, PhD.2007. Population estimates for and HIV prevalence among LGBTQ
youth: What are the numbers? Presented in DASH FPM LGBTQ JWG Ancillary Meeting. In
www.apa.org [10 Oktober 2014]
3. Adesla, Veronica. Resiko Yang Rentan Dihadapi Oleh Homoseksual. [Online]. tersedia:
http://www.e-psikologi.com/epsi/klinis_detail.asp?id=566 [10 Oktober 2014]
4. Mustanski, B. S., R. Garofalo, and E. M. Emerson. 2010b. Mental health disorders,
psychological distress, and suicidality in a diverse sample of lesbian, gay, bisexual, and
transgender youths. American Journal of Public Health 100(12):24262432.
5. http://www.kinseyinstitute.org/research/ak-hhscale.html
6. Meyer, I. H. 2007. Prejudice and discrimination as social stressors. In The health of sexual
minorities: Public health perspectives on lesbian, gay, bisexual, and transgender populations,
edited by I. H. Meyer and M. E. Northridge. New York: Springer Science + Business Media.
Pp. 242267.

Anda mungkin juga menyukai