Anda di halaman 1dari 23

PENYAKIT JANTUNG KORONER

Coronary heart disease atau penyakit jantung koroner merupakan penyakit


yang disebabkan oleh kelainan pembuluh koroner yang lebih dikenal dengan
sindrom koroner akut.Sindrom koroner akut adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan gejala akibat iskemia miokard akut yang terdiri dari angina tidak
stabil (UA), non ST-elevasi miokard infark (NSTEMI) dan ST elevasi infark
miokard (STEMI).1
Sindrom koroner akut masih menjadi penyebab kematian terbesar di dunia.
World Health Organization (WHO) 2015 memperkirakan 17,5 juta orang yang
mewakili 31% dari semua kematian global, meninggal akibat penyakit
kardiovaskuler pada tahun 2012. Dari kematian ini, diperkirakan 7,4 juta
disebabkan oleh sindrom koroner akut.2Data di Amerika Serikat pada tahun 2009
menunjukkan 683.000 pasien diagnosis sebagai sindrom koroner akut, dengan
25%-40% merupakan STEMI dan 30% pasien dengan STEMI diantaranya adalah
wanita.3 Pada tahun 2012 di Inggris, sekitar 73.500 kematian setiap tahunnya atau
16% kematian laki-laki dan 10% kematian perempuan disebabkan oleh penyakit
jantung koroner.4Di Indonesia, 478.000 pasien didiagnosa sebagai penyakit
jantung koroner pada tahun 2013.Prevalensi STEMI meningkat 25%-40% dari
presentasi infark miokard.5
Sindrom koroner akut disebabkan karena penyempitan arteri koronaria
akibat proses aterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya. 6 Infark
miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) merupakan bagian dari sindroma

koroner akut yang umumnya terjadi jika aliran koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi dari trombus pada plak arteroskelorosis.7
Penatalaksanaan dari sindrom koroner akut sangat penting untuk
mencegah kematian, perawatan terhadap pasien infark miokard ditujukan untuk
meminimalkan keluhan dan stres serta untuk membatasi perluasan kerusakan
miokard.7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Sindrom koroner akut merupakan sekumpulan keluhan dan tanda klinis
yang sesuai dengan iskemia miokard akut yang terdiri dari angina tidak stabil
(UA), non ST-elevasi miokard infark (NSTEMI) dan ST elevasi infark miokard
(STEMI).1,6
Infark miokard akut merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner
akut yang didefinisikan sebagai nekrosis miokard yang disebabkan oleh tidak
adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut arteri koroner.Sumbatan pada
arteri koroner menyebabkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen,
yang mana paling sering disebabkan oleh rupturnya plak dan pembentukan
trombus pada pembuluh darah koroner, sehingga terjadi penurunan suplai darah
ke miokardium.1,2,6
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik
yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada

lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti
merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.7

2.2. Epidemiologi
Sindrom koroner akut masih menjadi penyebab kematian terbesar di dunia.
World Health Organization (WHO) 2015 memperkirakan 17,5 juta orang yang
mewakili 31% dari semua kematian global, meninggal akibat penyakit
kardiovaskuler pada tahun 2012. Dari kematian ini, diperkirakan 7,4 juta
disebabkan oleh sindrom koroner akut.2
Data di Amerika Serikat pada tahun 2009 menunjukkan 683.000 pasien
diagnosis sebagai sindrom koroner akut, dengan 25%-40% merupakan STEMI
dan 30% pasien dengan STEMI diantaranya adalah wanita. 3 Pada tahun 2012 di
Inggris, sekitar 73.500 kematian setiap tahunnya atau 16% kematian laki-laki dan
10% kematian perempuan disebabkan oleh penyakit jantung koroner.4
Di Indonesia, 478.000 pasien didiagnosa sebagai penyakit jantung koroner
pada tahun 2013.Prevalensi STEMI meningkat 25%-40% dari presentasi infark
miokard.5

2.3. Etiologi
Penyebab utama dari sindrom koroner akut adalah aterosklerosis. 90%
kasus infark miokard disebabkan akibat trombus akut yang menyumbat arteri
koroner sehingga mengakibatkan ruptur plak dan erosi yang diperkirakan menjadi
pemicu utama terjadinya trombosis koroner.6,8,9
Terjadinya arterosklerosis dipengaruhi oleh faktor-faktor resiko yang
berbeda-beda pada setiap individu. Faktor resiko terjadinya aterosklerosis terdiri

dari faktor resioko yang tidak dapat di modifikasi dan faktor resiko yang dapat
dimodifikasi.10
Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain adalah usia, jenis
kelamin dan riwayat keluarga yang mengalami penyakit jantung koroner pada usia
muda (<55 tahun untuk pria dan < 65 tahun untuk wanita).Sedangkan faktor
resiko terjadinya aterosklerosis yang dapat dimodifikasi adalah merokok,
hipertensi, dyslipidemia (LDL meningkat HDL menurun), diabetes mellitus dan
aktifitas fisik yang kurang.10
Penyebab lain dari infark miokard selain aterosklerosis antara lain:8
1. Oklusi koroner akibat vaskulitis
2. Hipertrofi ventrikel (hipertrofi ventrikel kiri, idiopathic hypertrophic
subaortic stenosis (IHSS),penyakit jantung katup)
3. Emboli arteri koroner, yang diakibatkan oleh kolesterol, udara
4. Anomali koroner kongenital
5. Trauma koroner
6. Vasospasme koroner primer (angina varian)
7. Penggunaan obat (kokain, amfetamin, efedrin)
8. Arteritis
9. Anomali koroner, termasuk aneurisma arteri koroner
10. Faktor yang menyebabkan konsumsi oksigen meningkat seperti latihan
fisik yang berat, demam, hipertiroidisme
11. Faktor yang menyababkan penyampaian oksigen menurun, seperti
hipoksemia karena anemia berat
12. Disseksi aorta, dengan keterlibatan retrograd arteri koroner
13.

Infeksi katup jantung melalui patent foramen ovale (PFO)

2.4. Patofisiologi
Faktor resiko seperti seperti merokok, hipertensi, peningkatan gula darah
dan oksidasi oleh Low Density Lipoprotein-C (LDL-C) mengakibatkan lapisan
endotel pembuluh darah yang normal akan mengalami kerusakan. Kerusakan ini
akan menyebabkan sel endotel menghasilkan cell molecule adhesion seperti
sitokin (interleukin-1), tumor nekrosis faktor (TNF-), kemokin (monocyte
chemoatractant factor-I)dan platelet derived growth factor. Sel inflamasi seperti
monosit dan T-limfosit masuk ke permukaan endotel dan bermigrasi dari
endotelium ke sub endotel. Monosit kemudian berproliferasi menjadi makrofag
dan mengambil LDL teroksidasi yang bersifat lebih aterogenik. Makrofag ini terus
membentuk sel busa. LDL yang teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel
dan menghasilkan respon inflamasi. Sebagai tambahan terjadi respon dari
angiotensin II yang menyebabkan gangguan vasodilatasi dan mengaktifkan efek
protrombin dengan melibatkan platelet dan faktor koagulasi. Akibat kerusakan
endotel terjadi respon protektif yang dipicu oleh inflamasi dan terbentuk lesi
fibrofatty dan fibrous. Plak yang stabil bisa menjadi tidak stabil (vulnerable) dan
mengalami ruptur.1,6,7
Terjadinya ruptur plak menyebabkan aktivasi berbagai agonis seperti
kolagen, adenosin diphosphate (ADP), epinefrin dan serotonin memicu aktivasi
trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan-A2
(vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu reseptor
glikoprotein II/IIIa yang mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino
pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan

fibrinogen. Dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat


platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan
agregasi.1,6,7
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin
menjadi trombin yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri
koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus. Jika
trombus menyumbat total pembuluh darah koroner dalam jangka waktu yang
lama, maka akan menyebabkan STEMI.1,6,7STEMI umumnya terjadi jika aliran
darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak
aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang
berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI juga terjadi jika trombus arteri koroner
terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskular.8

Gambar 2.1 : Jantung dan gambaran pembuluh darah normal dan


aterosklerosis.

Gambar 2.2. Kaskade pembentukan trombus


2.5. Diagnosis
Menurut

European Society of Cardiology/ACCF/AHA/World Heart

Federation Task Force for The Universal Definition of Myocardial Infraction


ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG
adanya ST elevasi minimal pada 2 sadapan prekordial yang berdampingan serta
peningkatan enzim jantung.7
2.5.1 Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis
yang cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau diluar jantung. Jika
dicurigai dari jantung, perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau
bukan. Perlu dianamnesis juga apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya
serta faktor faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia,
merokok, stres, serta riwayat penyakit jantung koroner pada keluarga.7
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut: 1,6,7
1. Lokasi: substernal, retrosternal, dan precordial
2. Sifat nyeri: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, rasa diperas dan dipelintir.
3. Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga keleher, rahang bawah,
gigi, punggung, perut dan dapat juga ke lengan kanan.
4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau pemberian nitrat.

5. Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah
makan.
6. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin,
cemas dan lemas.
2.5.2 Pemeriksaan fisik
Tujuan penting dari pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah untuk
menyingkirkan penyebab nyeri dada non-kardiak dan gangguan jantung noniskemik (antara lain: emboli paru, disseksi aorta, perikarditis, penyakit jantung
katup) atau penyebab ekstrakardiak yang potensial seperti penyakit paru akut
(seperti: pneuomotoraks, pneumonia, atau effusi pleura).1,6
Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa
beristirahat (gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi
nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat
adanya STEMI.7
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
A. Elektrokardiografi
Elektrokardiografi (EKG) memberi bantuan untuk diagnosis dan
prognosis. Rekaman yang dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat.
EKG sebaiknya dilakukan dalam 10 menit saat kedatangan di IGD.1,6,7
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien
dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI sebagai landasan dalam
menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak
diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan
kuat STEMI, EKG serian dengan interval 5-10menit atau pemantauan EKG 12
sandapan

secara

kontinyu

harus

dilakukan

untuk

mendeteksi

potensi

perkembangan elevasi segmen ST. EKG sisi kanan harus diambil pada pasien
dengan STEMI inferior, untuk mendeteksi kemungkinan infark ventrikel kanan.7

Gambar 2.3. Evolusi EKG pada STEMI


Untuk menentukan lokasi iskemia atau infark miokard serta predileksi
pembuluh koroner mana yang terlibat, diperlukan dua atau lebih sadapan yang
berhubungan yang menujukkan gambaran anatomi daerah jantung yang sama dan
dapat ditentukan sebagai berikut:3

Lokasi Infark

Gelombang Q/elevasi

Arteri koroner

Antero-septal

ST (sadapan)
V1, V2, V3, V4

Anterior

V3 dan V4

Arteri coroner kiri


Cabang LAD diagonal

Lateral

V5 dan V6

Arteri coroner kiri


Cabang LAD diagonal
Cabang sirkumflex

Anterior Ekstensif

I, aVL, V2 V6

Arteri coroner kiri


Maksimal LAD

Antero lateral

I, aVL, V3, V4, V5, V6

Arteri coroner kiri


Cabang LAD diagonal
Cabang sirkumflex

Septal

V1, V2

Arteri koroner kiri


Cabang LAD septal

Posterior

V7 V9 (V1 V2)

Arteri coroner kanan


Sirkumfleks

Arteri coroner kiri


Cabang LAD diagonal
Cabang LAD septal

Inferior

II, III dan aVF

Arteri coroner kanan


Cabang
desendens
posterior
Cabang arteri

Right ventrikel

V3R V4R

kiri
Arteri

coroner

coroner
kanan

bagian proksimal
Tabel 2.1 Regio infark miokard
B. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam
tatalaksana pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi
reperfusi. Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah
creatinin kinase (CK) MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang
dilakukan secara serial. cTn digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien
STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini juga akan
diikuti peningkatan CKMB.7
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi ST
dan gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan
nilai enzim diatas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis
jantung.7
1. CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
2. cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2
jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan

cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 510 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase
(CK), Lactic dehydrogenase (LDH). Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard
adalah leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam
setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.00015.000/ul.7

Gambar 2.4. Pemeriksaan enzim jantun pada infark miokard akut

2.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari STEMI saat ini mengacu pada guideline dari
ACC/AHA tahun 2013 dan ESC tahun 2012. Tujuan penatalaksanaan IMA adalah
diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi

reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombolitik dan terapi


antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi.7

2.6.1. Tatalaksana awal


Penatalaksanaan pra rumah sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok
komplikasi umum yaitu komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik
(pump failure).3,7,11
Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan
adnya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam
pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama.
Sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai
STEMI antara lain:3,7,11

Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis

Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan


resusitasi

Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU


serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih

Melakukan terapi perfusi


Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya

bukan selama transportasi ke rumah sakit melainkan karena lama waktu mulai
onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan pertama.
Hal ini bisa ditanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga
profesional kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini.3,7,11

Pemberian fibrinolitik prahospital hanya bisa dikerjakan jika ada


paramedis di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasikan EKG dan
tatalaksana STEMI dan kendali komando medis online yang bertanggungjawab
pada pemberian terapi. Di Indonesia saat ini pemberian trombolitik pra hospital
belum bisa dilakukan.7
Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan
kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat
di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.3,7,11
2.6.2. Tatalaksana umum
1. Tirah baring total dilakukan minimak 12 jam.3,6,7
2. Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi
oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat
diberikan oksigen selama 6 jam pertama.3,6,7
3. Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman
dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5
menit. 3,6,7
4. Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai
dosis total 20 mg.3,6,7
5. Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI
dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat

siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2


dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang
emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162 mg.3,6,7
6. Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa
diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis,
dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah sistolik
> 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm
dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan
dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan
dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam.3,6,7

2.6.3 Tatalaksana STEMI


Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna.7
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI
dapat dicapai dalam 90 menit.3,7
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting
terhadap luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolitik dalam
menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan

dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan infark
miokard dan menurunkan angka kematian.7
Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada pasien.
Jika terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi
risiko perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk
memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harus
mempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi intervensi
merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan.7
Percutaneous Coronary Interventions (PCI)
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam mengembalikan
perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut.
PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang
tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang
yang lebih baik.7 PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama
pada pasien < 75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada
sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang
mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal
personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana,
hanya di beberapa rumah sakit.7
Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door
to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan utamanya

adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam
obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase,
tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu konversi
plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin.3,7
Aliran di dalam arteri koroner yang terlibat digambarkan dengan skala
kualitatif sederhana dengan angiografi, disebut thrombolysis in myocardial
infarction (TIMI) grading system:3,7
1) Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang
terkena infark.
2) Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik
obstruksi tetapi tanpa perfusi vaskular distal.
3) Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke arah distal
tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan aliran arteri normal.
4) Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan
aliran normal.
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3 karena perfusi penuh
pada arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam
membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri, dan menurunkan
laju mortalitas, selain itu waktu merupakan faktor yang menentukan dalam
reperfusi, fungsi ventrikel kiri, dan prognosis penderita. Keuntungan ini lebih
nyata bila streptokinase diberikan dalam 6 jam pertama setelah timbulnya gejala,
dengan anjuran pemberian streptokinase sedini mungkin untuk mendapatkan hasil
yang semaksimal mungkin.3,7

Indikasi terapi fibrinolitik menurut ACCF-AHA 2013:3


Kelas I :
1. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukan pada
pasien STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan elevasi ST > 0,1 mV pada
minimal 2 sandapan prekordial atau 2 sandapan ekstremitas
2. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik diberikan pada pasien
STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan LBBB baru atau diduga baru.
Kelas II a
1. Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada
pasien STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan EKG 12 sandapan
konsisten dengan infark miokard posterior.
2. Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada
pasien STEMI dengan onset mulai dari < 12 jam sampai 24 jam yang
mengalami gejala iskemi yang terus berlanjut dan elevasi ST 0,1 mV pada
sekurang-kurangnya 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau
minimal 2 sandapan ekstremitas.
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan
penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik.
Fibrinolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien paska
CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI.

Kontraindikasi terapi fibrinolitik:3


Kontraindikasi absolut
1. Setiap riwayat perdarahan intraserebral

2. Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)


3. Terdapat neoplasia ganas intrakranial
4. Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam
5. Dicurigai diseksi aorta
6. Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi)
7. Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan

Kontraindikasi relatif
1. Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
2. Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS>180 mmHg atau
TDS>110 mmHg)
3. Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau diketahui
patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi
4. Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau operasi besar
(<3 minggu)
5. Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu
6. Pungsi vaskular yang tak terkompresi
7. Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari sebelumnya
atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini
8. Kehamilan
9. Ulkus peptikum aktif

10. Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi risiko
perdarahan.

Obat Fibrinolitik3,7
1. Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang
pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya
karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan.
Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan
intrakranial yang rendah. Dosis streptokinase adalah 1,5 juta unit dalam
100 cc NaCl 0,9% atau dextrose 5% diberikan secara infus selama 30-60
menit.
2. Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) :Global Use of Strategies to
Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan
mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapatkan tPA
dibandingkan SK. Namun, tPA harganya lebih mahal disbanding SK dan
risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi. Dosis tPA 15 mg bolus
IV, dilanjutkan 0,75 mg/kgBB dalam 60 menit. Dosis tidak boleh lebih
dari 100 mg.
3. Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan
sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial dengan dosis bolus
lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.
4. Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki
spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator
inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 1- B menunjukkan tenekteplase

mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang sama


dibandingkan dengan tPA.

Terapi lainnya
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua pasien
dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet (aspirin,
clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin
(UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACEinhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker.7

2.7. Komplikasi
1. Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
disebut remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya
gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan
dengan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada
apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang
nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.7
2. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di
rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi

dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari
infark) dan sesudahnya.7
3. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90%
terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.7
4. Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang
berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau
tanpa hipotensi.7
5. Aritmia paska STEMI
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem
saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di
zona iskemi miokard.7
6. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua pasien
STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam
mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI.7
7. Takikardia dan fibrilasi ventrikel
Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia
sebelumnya dalam 24 jam pertama.7
8. Fibrilasi atrium
9. Aritmia supraventrikular
10. Asistol ventrikel

11. Bradiaritmia dan Blok


12. Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding
ventrikel.7

2.8. Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca infark
miokard akut:7

1. Klasifikasi Killip

Kelas

Definisi

Mortalitas (%)

Tak ada tanda gagal jantung 6


kongestif

II

+ S3 dan/atau ronki basah

17

III

Edema paru

30-40

IV

Syok kardiogenik

60-80

Tabel 2.2. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut7


2. Klasifikasi Forrester
Kelas

Indeks Kardiak

(L/min/m2)
I
>2,2
II
>2,2
III
<2,2
IV
<2,2
*
PCWP (Pulmonary capilary wedge pressure)

PCWP* (mmHg)

Mortalitas (%)

<18
>18
<18
>18

3
9
23
51

Tabel 2.3. Klasifikasi Forrester untuk Infark Miokard Akut7

Anda mungkin juga menyukai