Anda di halaman 1dari 16

Lesi Medula Spinalis

Lesi medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan seringkali
oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah L 1 2 dan/ atau di
bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta
kehilangan fungsi defekasi dan berkemih. Lesi medulla spinalis diklasifikasikan sebagai:
1) Komplet: kehilangan sensasi fungsi motorik volunter total
2) Tidak komplet: campuran kehilangan sensasi dan fungsi motorik volunteer.1
Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh
trauma. Pada usia 45 an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena
olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak
dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan

dengan

perubahan

hormonal (menopause).3
LESI MEDULLA SPINALIS
DEFINISI
Segala suatu yang mengganggu fungsi atau merusak kawasan susunan saraf disebut lesi.
ETIOLOGI
Suatu lesi dapat berupa kerusakan pada jaringan fungsional karena:

Perdarahan

Trombosis

Emboli

Peradangan

Degenerasi

Proses desak ruang dan sebagainya

SINDROM MEDULLA SPINALIS


Karena medulla spinalis terdiri dari serabut saraf motorik, sensorik, dan otonom, serta nuclei
dengan hubungan spesial yang erat satu sama lain, lesi pada medulla spinalis dapat
menimbulkan berbagai deficit neurologis, yang dapat dikombinasikan satu dengan yang
lainnya dalam berbagai cara yang berbeda. Pemeriksaaan klinis yang cermat biasanya dapat
menunjukkan lokasi lesi secara tepat.
Lesi pada medulla spinalis jarang hanya mengenai substansia alba atau hanya
substansia grisea tetapi lebih sering mengenai keduanya. Di sini akan dibahas manifestasi
klinis sindrom medulla spinalis yang khas dan ditampilkan dari sudut pandang topikal.1
Sindrom kolumna posterior
Kolumna posterior dapat terlihat secara sekunder oleh proses patologis yang
mengenai sel sel ganglion radiks dorsalis dan radiks posterior. Lesi pada kolumna posterior
umumnya merusak sensasi posisi dan getar, diskriminasi dan streognosis. Lesi ini juga
menimbulkan tanda Romberg yang positif, serta gait ataksia yang memberat secara bermakna
ketika mata ditutup (tidak seperti ataksia serebelar yang mana tidak memberat saat mata
ditutup). Lesi kolumna posterior juga seringkali menyebabkan hipersensitivitas terhadap
nyeri. Kemungkinan penyebabnya antara lain adalah defisiensi vitamin B 12 (misalnya pada
mielosis funikularis), mielopati vakuolar terkait-AIDS, dan kompresi spinal (misalnya pada
stenosis medulla spinalis servikalis).1,3,4

Gambar 8 : Sindrom kolumna posterior.


Sindrom kornu posterius
Sindrom ini dapat menjadi manifestasi klinis siringomielia, hematomielia dan
beberapa tumor intra medular medulla spinalis, dan kondisi-kondisi lainnya. Seperti lesi pada
radiks posterior, lesi kornu posterius menimbulkan deficit somatosensorik segmental namun
tidak seperti lesi radiks posterior yang merusak semua modalitas sensorik, lesi kornu
posterius menyisakan modalitas yang dipersarafi oleh kolumna posterior. Hanya sensasi nyeri
dan suhu segmen ipsilateral yang sesuai yang hilang, karena modalitas ini dikonduksikan ke
sentral melalui neuron kedua di kornu posterius (yang aksonnya berjalan naik di dalam
traktus spinotalamikus lateralis). Hilangnya sensasi nyeri dan suhu dengan menyisakan
sensasi bagian kolumna posterior disebut deficit somatosensorik terdisosiasi. Dapat terjadi
nyeri spontan (nyeri deferentasi) di area yang analgesik. Sensasi nyeri dan suhu di bawah
tingkat lesi tetap baik, karena traktus spinotalamikus lateralis, yang terletak di funikulus
anterolateralis, tidak mengalami kerusakan dan tetap menghantar modalitas tersebut ke
sental.1

Gambar 9 : Sindrom kornu posterius


Sindrom substansia grisea
Kerusakan pada substansia grisea sentral medulla spinalis akibat siringomielia,
hematomielia, tumor medulla spinalis intramedular atau proses-proses lain mengganggu
semua jaras serabut yang melewati substansia grisea. Serabut yang paling berpengaruh adalah
serabut yang berasal dari sel-sel kornu posterius dan yang menghantarkan sensasi tekanan,
raba kasar, nyeri dan suhu. Serabut-serabut tersebut menyilang di substansia grisea sentral
dan kemudian berjalan naik di traktus spinotalamikus lateralis dan anterior. Suatu lesi yang
mengenainya menimbulkan deficit sensorik terdisosiasi bilateral di area kulit yang dipersarafi
oleh serabut yang rusak.
Siringomielia ditandai dengan pembentukan satu atau beberapa rongga berisi cairan di
medulla spinalis. Penyakit yang serupa di batang otak disebut siringobulbia. Rongga ini
disebut siring, dapat terbentuk oleh berbagai mekanisme yang berbeda dan terdistribusi
dengan pola karekteristik yang berbeda, sesuai dengan mekanisme pembentukannya.
Beberapa siring merupakan perluasan kanalis sentralis medulla spinalis yang berhubungan
atau tidak berhubungan dengan ventrikel keempat. Siringomielia paling sering mengenai
medulla spinalis servikalis, umumnya menimbulkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu di bahu
dan ekstremitas atas. Siring menyebabkan (para) paresis spastik dan gangguan proses
berkemih, defekasi dan fungsi seksual. Siringobulbia sering menyebabkan atrofi unilateral
pada lidah, hiperalgesia atau analgesia pada wajah dan berbagai jenis nistagmus sesuai
dengan lokasi dan konfigurasi siring.

Gambar 10 : Sindrom substansia grisea


Sindrom lesi kombinasi pada kolumna posterior dan traktus kortikospinalis
Sindrom ini paling sering terjadi disebabkan oleh defisiensi vitamin B 12 akibat karena
kurangnya faktor instrinsik lambung dan pada kasus demikian disebut degenerasi kombinasi
subakut. Fokus-fokus demielinasi ditemukan di regio servikal dan torakal di kolumna
posterior (70-80%) dan lebih jarang di traktus piramidalis (40-50%), sedangkan substansia
grisea biasanya tidak mengalami kerusakan. Kerusakan kolumna posterior menyebabkan
hilangnya sensasi posisi dan getar di ekstremitas bawah, menimbulkann ataksia spinal dan
tanda Romberg yang positif (ketidakseimbangan postur saat mata tertutup). Kerusakan traktus
pirimidalis yang menyertainya menimbulkan paraparesi spastik dengan hiperrefleksia dan
tanda Babinski bilateral.1

Gambar 11 : Sindrom lesi kombinasi pada kolumna posterior dan traktus kortikospinalis

Sindrom kornu anterius


Baik poliomyelitis akut maupun berbagai jenis atrofi otot spinal secara spesifik
mempengaruhi sel-sel kornu anterius, terutama pada pembesaran servikal dan lumbalis
medulla spinalis.
Pada poliomyelitis (infeksi virus), sejumlah sel kornu anterius hilang secara akut dan
irreversible, terutama di region lumbalis, menyebabkan paresis flasid pada otot-otot di
segmen yang sesuai. Otot proksimal cenderung lebih terpengaruh berbanding otot distal. Otot
menjadi atrofi dan pada kasus berat dapat tergantikan seluruhnya oleh jaringan ikat dan
lemak. Poliomyelitis jarang mengenai seluruh otot ekstremitas, karena sel-sel kornu anterius
di kolumna vertical yang panjang di dalam medulla spinalis.1,7

Gambar 12 : Sindrom kornu anterius

Sindrom kombinasi kornu anterius dan traktus piramidalis


Terlihat pada sklerosis amitrofi lateral (ALS) sebagai akibat degenerasi neuron
motorik kortikal dan medulla spinalis. Gambaran klinisnya adalah kombinasi paresis flasid
dan spastik. Atrofi otot yang timbul pada awal perjalanan penyakit, umumnya sangat berat
sehingga reflek tendon dalam menghilang, jika hanya mengenai lower motor neuron. Namun
karena kerusakan yang simultan pada upper motor neuron (dengan konsekuensi berupa
degenerasi traktus pirimidalis dan spastisitas), refleks umumnya tetap dapat dicetuskan dan
bahkan dapat meningkat. Degenerasi nuclei nervus kranialis motorik yang menyertainya
dapat menyebabkan disartria dan disfagia (kelumpuhan bulbar progresif).1,3

Gambar 13 : Sindrom kombinasi kornu anterius dan traktus piramidalis

Sindrom traktus kortikospinalis


Hilangnya

neuron

motorik

kortikal

yang

diikuti

oleh

degenerasi

traktus

kortikospinalis pada beberapa penyakit, termasuk sklerosis lateralis primer (varian sklerosis
amiotrofik lateralis) dan bentuk yang lebih jarang paralisis spinal spastic herediter. Bentuk
yang lebih sering pada penyakit ini terjadi akibat mutasi gen untuk ATPase dari family AAA
pada kromosom 2. Penyakit ini muncul pada masa kanak-kanak dan memberat secara lambat
setelahnya, awalnya pasien mengeluh rasa berat yang dilanjutkan dengan kelemahan pada
ekstemitas bawah. Paraparesis spatik dengan gangguan cara berjalan pasti timbul dan
memberat secara perlahan. Refleks lebih kuat daripada normal. Paresis spastik pada
ekstremitas atas tidak timbul hingga lama setelahnya.1

Gambar 14 : Sindrom traktus kortikospinalis

Sindrom kombinasi keterlibatan kolumna posterior, traktus spinoserebelaris dan


(kemungkinan ) traktus piramidalis.
Ketika proses patologis mengenai semua sistem tersebut, diagnosis banding harus
menyertakan ataksia spinoserebelaris tipe Friedreich, bentuk aksonal neuropati herediter
(HSMN II), dan ataksia lainnya.
Karekteristik menifestasi klinis timbul oleh lesi pada masing-masing sistem yang
terkena. Ataksia Friedreich dimulai sebelum usia 20 tahun dengan hilangnya sel-sel ganglion
radiks dorsalis, yang menyebabkan degenerasi kolumna posterior. Akibat klinisnya adalah
gangguan sensasi posisi, diskriminasi dua titik, dan stereognosis, dengan ataksia spinalis dan
tanda Romberg yang positif. Sensasi nyeri dan suhu sebagian besar atau seluruhnya tidak
terganggu. Ataksia berat, baik karena kolumna posterior ataupun traktus spinoserebelaris
terkena. Hal ini terlihat jelas ketika pasien mencoba berjalan, berdiri dan duduk, serta pada
saat pemeriksaan jari-hidung-jari dan uji heel-knee-shin. Cara berjalan pasien tidak
terkoordinasi dengan festinasi, dan juga menjadi spastik seiring perjalanan waktu karena
degenerasi progresif pada traktus piramidalis. Sekitar setengah jumlah pasien menunjukkan
deformitas rangka seperti skoliosis atau pes kavus (yang disebut kaki Friedreich).
Menurut Harding, ataksia Friedreich dapat didiagnosis jika ditemukan kriteria klinis berikut:

Ataksia progresif tanpa diketahui penyebabnya, dimulai sebelum usia 25 tahun.


Diturunkan secara autosomal resesif.
Tidak adanya refleks tendon dalam di ekstremitas bawah
Gangguan kolumna posterior
Disartria dalam 5 tahun setelah onset.
Diagnosis dapat ditegakkan secara definitif dengan pemeriksaan genetik molekuler

untuk mengindentifikasi defek genetik yang mendasarinya.1

Gambar 14 : Sindrom kombinasi keterlibatan kolumna posterior, traktus spinoserebelaris


dan (kemungkinan ) traktus piramidalis.

Sindrom hemiseksi medulla spinalis/ sindrom Brown-Sequard


Sindrom ini jarang dan biasanya tidak komplet. Penyebab tersering adalah karena
trauma medula spinalis dan herniasi diskus servikalis. Interupsi jaras motorik desendens pada
satu sisi medulla spinalis pada awalnya menyebabkan paresis flasid ipsilateral di bawah
tingkat lesi (syok spinal), yang kemudian menjadi spastik dan disertai oleh hiperefleksia,

tanda Babinsky dan gangguan vasomotor. Pada saat yang bersamaan gangguan kolumna
posterior pada satu sisi medulla spinalis menimbulkan hilangnya sensasi posisi, getar, dan
diskriminasi taktil ipsilateral di bawah tingkat lesi. Ataksia yang normalnya terlihat pada lesi
kolumna posterior tidak terjadi kerena paresis ipsilateral yang bersamaan. Sensasi nyeri dan
suhu sesisi lesi tidak terganggu, karena serabut yang mempersarafi modalitas ini telah
menyilang ke sisi kontralateral dan berjalan naik ke dalam traktus spinotalamikus lateralis,
tetapi sensasi nyeri dan suhu kontralateral hilang di bawah tingkat lesi karena traktus
spinnotalamikus ipsilatral terganggu.
Sensasi taktik sederhana tidak terganggu karena modalitas ini dipersarafi oleh dua
jaras serabut yang berbeda. Kolumna posterior (tidak menyilang) dan traktus spinotalamikus
anterior (menyilang).
Hemiseksi medulla spinalis menyisakan satu dari kedua jaras tersebut untuk sensasi
taktil pada kedua sisi tubuh tetap intak-kolumna posterior kontralateral untuk sisi
kontralateral lesi dan traktus spinotalamikus anterior kontralateral untuk sisi ipsilateralis.
Selain interupsi traktus yang panjang, sel-sel kornu anterius dapat mengalami
kerusakan dengan luas yang bervariasi pada tingkat lesi, kemungkinan menyebabkan paresis
flasid. Iritasi radiks posterior juga dapat menyebabkan parestesia atau nyeri radikular di
dermatom yang sesuai dengan batas atas gangguan motorik.1,2,3,7

Gambar 15 : Sindrom hemiseksi medulla spinalis/ sindrom Brown-Sequard

Sindrom transseksi medulla spinalis

Sindrom transseksi medulla spinalis Akut


Sindrom transseksi medulla spinalis total paling sering disebabkan oleh trauma ,
jarang disebabkan oleh inflamasi atau infeksi. Trauma medulla spinalis akut awalnya
menimbulkan keadaan yang disebut syok spinal, gambaran klinis yang patofisiologinya
belum difahami secara total. Di bawah tingkat lesi terdapat paralisis flasid komplet dan
semua modalitas sensasi hilang. Fungsi berkemih, defekasi dan seksual juga hilang. Hanya
refleks bulbokavernosus yang tetap ada. Juga terdapat perubahan tropik di bawah tingkat lesi
khususnya hilangnya berkeringat dan gangguan termoregulasi. Terdapat kecenderungan
bermakna untuk terbentuknya ulkus dekubitus. Batas ada deficit sensorik sering dibatasi oleh
suatu zona hiperalgesia.
Dalam beberapa hari dan minggu setelah kejadian, neuron spinalis perlahan-lahan
kembali mendapatkan fungsinya, setidaknya sebagian, tetapi tetap terputus sebagian besar
impuls neuron yang berasal dari sentral yang normalnya mengatur neuron tersebut. Kemudian
neuro-neuron ini menjadi otonom dan timbul otomatisme spinal. Pada banyak kasus
stimulus di bawah tingkat lesi mencetuskan fleksi tiba-tiba pada panggul, lutut, dan
pergelangan kaki (refles fleksor). Jika sindrom transseksi medulla spinalis total, ekstremitas
tetap berada pada posisi fleksi dalam jangka panjang setelah stimulus karena elevasi spastik
pada tonus otot. (sebaliknya pada sindrom transseksi medulla spinalis inkomplet, tungkai
pada awalnya mengalami fleksi saat distimulasi, tetapi kemudian kembali ke posisi semula).
Defekasi dan miksi perlahan-lahan berfungsi kembali, tetapi tidak berada di bawah kendali
volunteer bahkan kandung kemih dan rectum secara refleksif mengosongkan diri ketika terisi
pada jumlah tertentu. Disnergia sfingter detrusor menyebabkan retensi urin dan miksi
refleksif yang sering. Reflek tendon dalam dan tonus otot perlahan-lahan kembali dan dapat
meningkat secara patologis, namun potensi seksual tidak kembali.7

Sindrom transseksi medulla spinalis progresif


Ketika Sindrom transseksi medulla spinalis muncul perlahan-lahan dan bukan tibatiba, misalnya karena tumor yang tumbuh secara lambat, syok spinal tidak terjadi. Sindrom
transseksi pada kasus seperti ini biasanya parsial bukan total. Paraparesis spastik yang berat
dan progresif terjadi dibawah tingkat lesi, disertai oleh deficit sensorik, disfungsi miksi,
defekasi dan seksual serta manifesatasi otonomik.
Sindrom transseksi medulla spinalis servikalis
Transseksi medulla spinalis di atas sevikal III fatal karena dapat menghentikan
pernafasan (hilangnya fungsi nervus frenikus dan nervi interkostales secara total). Pasien

tersebut hanya dapat bertahan jika diberikan ventilasi buatan dalam beberapa menit setelah
trauma penyebabnya, keadaan yang sangat jarang terjadi. Transeksi pada tingkat servikal
bawah menyebabkan kuadriparesis dengan keterlibatan otot-otot interkostal, pernafasan dapat
sangat terganggu. Ekstremitas atas terkena dengan luas yang bervariasi bergantung pada
tingkat lesi. Tingkat lesi dapat ditentukan secara tepat dari deficit sensoris yang ditemukan
pada pemeriksaan fisik.1

Sindrom transseksi medulla spinalis torasika


Transseksi medulla spinalis torasika bagian atas tidak mengganggu ekstremitas atas,
tetapi mengganggu pernafasan dan juga dapat menimbulkan ileus paralitis melalui
keterlibatan nervus splanknikus. Transseksi medulla spinalis torasika bagian bawah tidak
mengganggu otot-otot abdomen dan tidak mengganggu pernafasan.1

Sindrom transseksi medulla spinalis lumbalis


Transseksi medulla spinalis lumbalis menyebabkan gangguan berat karena secara
bersamaan terjadi kerusakan arteri utama yang menyuplai medulla spinalis bagian bawah,
arteri radikularis mayor. Hasilnya adalah infark pada seluruh medula spinalis lumbalis dan
sakralis.1

Sindrom epikonus
Sindrom epikonus disebabkan oleh lesi medulla spinalis setinggi L4 hingga S2, relatif

jarang. Tidak seperti sindrom konus, sindrom epikonus berkaitan dengan paresis spastik dan
flasid ekstremitas bawah, tergantung pada segmen lesi yang tepat. Terdapat kelemahan atau
paralisis total pada rotasi ekterna panggul (L4-S1) dan ekstensi panggul (L4-L5) dan
kemungkinan juga fleksi lutut (L4-S2) serta fleksi dan ekstensi pergelangan kaki dan jari-jari
kaki (L4-S2). Reflek Achilles menghilang, sedangkan refleks lutut tetap ada. Deficit sensorik
terbentang dari L4-S5. Pengosongan kandung kemih dan rectum hanya secara refleksif,
potensi seksual hilang dan pasien laki-laki sering mengalami priapisme. Terdapat paralisis
vasomotor sementara serta kehilangan kemampuan berkeringat sementara.1,3

Sindrom konus
Sindrom ini diakibatkan oleh lesi setinggi atau di bawah S3. Juga jarang terjadi dan

biasanya disebakan oleh tumor spinal, iskemia atau herniasi diskus lumbalis massif.
Lesi konus medularis terisolasi menimbulkan berbagai defisit neurologi seperti:

Arefleksia destrusor dengan retensi urin dan inkontinensia overflow.


Inkontinensia
Impotensia
Saddle anestesia
Hilang refleks ani

Ekstremitas bawah tidak paresis dan refleks Achilles tetap ada (L5-S2).
Jika sindrom konus disebabkan oleh tumor, radiks lumbalis dan radiks sakralis yang
berjalan menurun di sepanjang konus medularis akan terkena, cepat atau lambat. Pada kasuskaus tersebut, manifestasi sindrom konus disertai oleh deficit akibat keterlibatan kauda
ekuina :kelemahan ekstremitas bawah dan deficit sensori yang lebih luas dibandingkan
dengan defisit pada sindrom konus murni.1,3,7

Sindrom kauda equina

Sindrom ini melibatkan radiks nervi lumbalis dan radiks nervi sakralis yang berjalan
ke bawah di sepnjang sisi dan bawah konus medularis dan menembus ruang subarachnoid
lumbosakral dan keluar melalui foramennya. Tumor biasanya penyebab yang umum. Pasien
awalnya mengeluhkan nyeri radikuler pada distribusi nervus ischiadiks dan nyeri pada
kandung kemih yang hebat dan memberat saat batuk dan bersin. Kemudian, deficit sensorik
radikuar dengan berat yang bervariasi, mengenai semua modalitas sensorik, timbul pada
tingkat L4 atau di bawahnya. Lesi yang mengenai bagian atas kauda equina menimbulkan
deficit sensorik pada tungkai dan area saddle. Dapat terjadi paresis flasid pada ekstremitas
bawah dengan arrefleksia, juga terdapat inkontinensia urin dan alvi, bersamaan dengan
disfungsi seksual. Pada lesi di bagian bawah kauda equina, deficit sensorik hanya terdapat
pada daerah saddle (S3-S5) dan tidak terjadi kelemahan tungkai, tetapi fungsi miksi, defekasi
dan seksual terganggu. Tumor yang mengenai kauda equina tidak seperti tumor konus,
menimbulkan manifestasi klinis dengan progresivtas lambat dan ireguler karena masingmasing radiks saraf terkena dengan kecepatan yang berbeda dan beberapa di antaranya tidak
mengalami kerusakan hingga akhir perjalanan klinis. 1,3

Anda mungkin juga menyukai