Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

KARSINOMA NASOFARING
Oleh :
Debora Angelina Tobing
110100106

Pembimbing:
dr. Kamal Basri Siregar, Sp.B (K) Onk

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Karsinoma Nasofaring.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan arahan
dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada dokter pembimbing
dr. Kamal Basri Siregar, Sp.B (K) Onk yang telah meluangkan waktunya dan memberikan
banyak masukan dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa isi dari makalah ini masih memiliki banyak kekurangan,
baik isi materi, penggunaan bahasa, pengetikan, maupun penataan tulisan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran membangun agar kelak kesalahan tersebut dapat
diperbaiki dalam tulisan selanjutnya. Harapan penulis semoga tinjauan pustaka ini
bermanfaat bagi banyak pihak.

Medan, 7 September 2016

Penulis

DAFTAR ISI
Kata Pengantar

ii

Daftar Isi

iii

Bab 1 Pendahuluan

Bab 2 Tinjauan Pustaka

2.1.1. Anatomi Nasofaring ................................................................................2


2.1.2. Histologi Nasofaring................................................................................9
2.1.3. Karsinoma Nasofaring............................................................................11
2.3.1. Definisi Karsinoma Nasofaring ..................................................11
2.3.2. Epidemiologi Karsinoma Nasofaring.........................................12
2.3.3. Etiologi Karsinoma Nasofaring......................................................12
2.3.4. Patogenesis Tejadinya Keganasan..................................................14
2.3.5. Klasifikasi Karsinoma Nasofaring..............................................15
2.3.6. Stadium Karsinoma Nasofaring..................................................17
2.3.7. Manifestasi Klinis Karsinoma Nasofaring..................................19
2.3.8. Diagnosis Karsinoma Nasofaring....................................................20
2.3.9. Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring......................................22
2.3.10. Prognosis Karsinoma Nasofaring....................................................23
Daftar Pustaka ......................................................................................................

BAB 1
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher
merupakan karsinoma nasofaring, diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus
paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring
dalam presentase rendah. Berdasarkan data laboratorium patologi anatomik tumor
ganas nasofaring sendiri selalu berada dalam kedudukan lima besar dari tumor ganas
tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah
bening dan tumor kulit (Roezin dan Adham, 2007). Biasanya penderita mengeluh
adanya benjolan di leher, atau gangguan pada telinga atau hidung. Karsinoma
nasofaring memiliki 3 tipe yaitu tipe 1, tipe 2, dan tipe 3. Kasus terbanyak pada anak
dan remaja adalah tipe 3, tapi juga ditemukan beberapa kasus tipe 2 (Brennan, 2006).
Sampai saat ini belum diketahui pasti penyebab karsinoma nasofaring. Faktor
ekstrinsik seperti virus Epstein-Barr, nitrosamin, lingkungan dan faktor intrinsik
misalnya gen HLA, gen onkogen, gen supresor dicurigai sebagai faktor penyebab
(Munir, 2008). Pada masyarakat Taiwan kebiasaan mengunyah kacang betel selama
lebih dari 20 tahun meningkatkan resiko terkena karsinoma nasofaring 70%. Di cina
selatan ditemukan kandungan nikel pada nasi, air minum, dan rambut penduduknya
juga dicurigai sebagai faktor penyebab. Di Indonesia sendiri kebiasaan memakan ikan
asin, merokok, dan mengunyah tembakau dianggap sebagai faktor resiko terjadinya
karsinoma nasofaring (Ariwibowo, 2013).
Karsinoma nasofaring terjadi 0,7% pada keselurunan kejadian kanker di
dunia, menempati urutan ke- 24 pada kejadian kanker yang paling sering terdiagnosis
di seluruh dunia. Paling banyak terjadi di negara dengan ekonomi yang berkembang,
tetapi sangat jarang terjadi di negara-negara barat seperti Eropa dan Amerika. Bagian
tenggara asia adalah daerah dengan angka kejadian tertinggi meliputi Cina, Malaysia,
Indonesia, Filipina, Thailand, dan negara disekitarya, dengan ras cina dan melayu
sebagai ras yang paling sering terkena. Ini mungkin lebih dikarenakan genetik karena
di negara-negara dengan angka kejadian rendah penderita yang terkena mayoritas
adalah imigran asal China (Munir, 2008). Pada tahun 2008 terdapat lebih dari 84.000

kasus baru karsinoma nasofaring degan 80% terjadi di Asia dan 5% di Eropa (Zhang
et al, 2013). Terdapat juga daerah lain yang juga memiliki angka kejadian tinggi
seperti Afrika bagian selatan, polinesia, Afrika bagian utara, Alaska, Greenland, dan
Kanada utara (Jemal et al, 2011). Di Indonesia sendiri karsinoma nasofaring cukup
sering terjadi dengan frekuensi kejadian merata di setiap daerah (Roezin dan Adham,
2007).
Karsinoma nasofaring paling sering terjadi pada pria dibanding wanita,
dengan angka kejadian 2-3 kali lebih tinggi. Sebagai daerah kejadian tertinggi di
dunia, di bagian tenggara asia karsinoma nasofaring adalah penyakit ke-6 yang paling
sering terjadi pada pria (Jemal et al, 2011). Penyakit ini ditemukan terutama pada usia
produktif (30-60 tahun), dengan usia terbanyak 40-50 tahun (Asroel, 2002).
Kebanyakan penderita karsinoma nasofaring merokok selama minimal 15 tahun
(51%) dan mengkonsumsi tembakau dalam bentuk lain (47%). Merokok lebih dari 25
tahun meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Merokok lebih dari 40 tahun
meningkatkan 2 kali lipat risiko karsinoma nasofaring (Ariwibowo, 2013).
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis
diperburuk oleh beberapa faktor seperti stadium yang lebih lanjut, usia lebih dari 40
tahun, laki-laki lebih dari perempuan,adanya pembesaran kelenjar leher, kelumpuhan
saraf otak dan kerusakan tulang tengkorak ( Roezin,Anida, 2007).

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Anatomi Nasofaring
Nasofaring adalah bagian atas tenggorokan (faring) yang terletak di

belakangan hidung. Nasofaring berbentuk seperti sebuah kotak berongga. Dan


terletak di bagian lunak atap mulut (soft palate) dan terletak di belakang hidung.
Nasofaring berfungsi untuk melewatkan udara dari hidung menuju ke tenggorokan
yang akhirnya ke paru-paru (American Cancer Society, 2013). Bagian atas nasofaring
dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os oksipital. Sebelah anterior oleh
koana dan pallatum mole, dan sebelah posterior dibentuk oleh vertebra vertikalis,
sebelah inferior nasofaring dilanjutkan oleh orofaring. Orificium tuba eustachius
terletak pada dinding lateral dari nasofaring, dibelakang ujung konka inferior. Di
sebelah atas dan belakang dari orifisium tuba eustachius terdapat penonjolan yang
dibentuk oleh kartilago eustachius. Dibawah dari ujung posterior penonjolan tersebut
terdapat suatu lipatan yang kuat yaitu membran salpingofaringeal. Lipatan membran
mukosa yang tidak terlalu menonjol yaitu membran salpingopalatina, meluas ke
bagian bawah di depan orifisium eustachius. Kantung disudut faring diantara tepi
posterior kartilago eustachius dan dinding posterior dikenal sebagai fosa rosenmuller.
Jaringan adenoid juga sering kali ditemukan disekitar orifisium tuba. Atap serta
dinding posterior nasofaring merupakan tempat kedudukan jaringan limfoid.
Nasofaring sendiri diliputi oleh epitel torak bersilia berlapis semu. Jaringan adeniod
di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat
meluas ke fosa rossenmuller dan orifisium tuba eustachius. Adenoid terdiri dari
jaringan limfoid, yang termasuk dalam retikulum jaringan ikat fibrosa yang kuat
walaupun lunak. Keadan patologi pada adenoid ditandai oleh adanya hiperplasia
jaringan limfoid nasofaring. Epitel yang menutupi permukaan adenoid yang terbuka
dan masuk ke dalam resesus dan kripta adalah lapisan epitel torak bersilia berlapis
semu, yang merupakan lanjutan dari epitel pernapasan dari dalam hidung dan mukosa
sekitar nasofaring (Ballenger JJ, 1994). Nasofaring diperdarahi melalu cabang arteri
karotis eksterna, yaitu faringeal desenden dan asenden serta cabang faringeal arteri

sfenopalatina. Darah vena keluar dari pembuluh darah balik faring di permukaan luar
dari dinding muskuler yang menuju pleksus pterigoid dan vena jugularis interna
(Ballenger JJ, 1994). Daerah nasofaring mendapat persarafan dari saraf sensorik yang
terdiri dari saraf glossofaringeus (N.IX) serta cabang maxilla dari nervus trigeminus
(N.V), yang menuju kebagian anterior nasofaring (Ballenger JJ, 1994). Sistem
limfatik nasofaring tersusun atas pembuluh getah bening yang saling bersilangan
dibagian tengah dan menuju ke kelenjar rouviere yang terletak dibagian ujung dari
retrofaring, seterusnya akan menuju ke kelenjar limfa disepannjang vena jugularis
dan kelenjar limfa yang terletak dipermukaan supraficial (Ballenger JJ, 1994).

Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring

2.2.

Histologi Nasofaring
Epitel permukaan dari nasofaring membentuk tonjolan dan lipatan-lipatan

yang disebut dengan kripta. Sekitar 60% permukaan nasofaring dilapisi epitel
skuamus berlapis. Disekitar koana dan atap dari nasofaring dilapisi oleh epitel
kolumnar bersilia. Sedangkan dinding lateral terdiri atas kumpulan epitel skuamus
berlapis, epitel columnar bersilia dan sedikit epitel transisional. Dipandang dari
sisi onkologi, tempat peralihan antara dua epitel yang berbeda jenis merupakan
tempat yang dibiasa untuk terjadinya karsinoma (Ballenger JJ, 1994).

2.3.

Karsinoma Nasofaring

2.3.1. Definisi Karsinoma Nasofaring


Kanker Nasofaring adalah jenis kanker yang tumbuh di rongga belakang
hidung dan belakang langit-langit rongga mulut.Karsinoma nasofaring merupakan
kanker ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fossa
Rossenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel
kuboid berubah menjadi epitel squamosa (National Cancer Institute, 2009).

2.3.2. Epidemiologi Karsinoma Nasofaring


Secara global KNF terjadi hanya 0.7% pada keselurahan kasus kanker,
menempati urutan ke-24 kanker yang paling sering terjadi. Sedangkan daerah dengan
angka kejadian paling tinggi adalah asia bagian tenggara seperti Cina, Malaysia,
Singapura, Filipina, Thailand. Di cina angka kejadian KNF adalah 2 per sejuta. Untuk
Indonesia

sendiri

penyebarannya

cukup

merata.

Di

RSUPN

Dr.

Cipto

Mangunkusumo Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun. RS. Hasan Sadikin
Bandung rata-rata 60 kasus, Ujug Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, Denpasar
15 kasus, Padang dan Bukit tinggi 15 kasus. KNF juga ditemukan di beberapa daerah
lain di dunia. Menurut data dari Global Cancer Satistic tahun 2011 daerah-daerah
dengan angka kejadian KNF tinggi setelah asia bagian tenggara yaitu Afrika bagian
selatan, Polinesia, Afrika bagian utara, Asia timur, Afrika barat, Asia barat, Afrika
timur, Afrika tengah, juga Australia/selandia baru dan sebagian kecil daerah Eropa
dan Amerika. 92% KNF terjadi di negara dengan ekonomi berkembang (Roezin dan
Adham, 2007;Jemal et al, 2011).
Di seluruh dunia KNF lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita, dengan
angka kejadian 2-3 kali lebih tinggi. Bahkan pada negara-negara yang sering terjadi
KNF angka kejadian pada pria bisa lebih tinggi lagi (Brennan, 2006). Penderita
karsinoma nasofaring lebih sering dijumpai pada pria daripada wanita dengan rasio 23 : 1. Penyakit ini ditemukan terutama pada usia produktif (30-60 tahun), dengan usia
terbanyak adalah 40-50 tahun. Di Amerika sepertiga kasus neoplasma faringeal pada
anak adalah KNF. Di Inggris angka kejadian KNF adalah 0.1 per sejuta pada anak
usia 0-9 tahun dan 0.8 per sejuta pada usia 10-14 tahun. Menurut England and Wales
Cancer Registry data, setidaknya 80% kanker faringeal pada usia 15-19 tahun adalah

karsinoma. Ini menunjukkan 1-2 per sejuta KNF terjadi pada usia 15-19 tahun. Sejauh
ini, penderita termuda ditemuka di India (6 tahun) dan Inggris (7 tahun) (Asroel,
2002; Brennan, 2006).
Dilihat dari daerah yang sering terjadi, dapat dipastikan penderita KNF
terbanyak adalah orang Asia, khususnya ras Mongoloid sehingga kekerapan cukup
tinggi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,
Singapura, dan Indonesia. Di propinsi guang-dong Cina adalah daerah dengan angka
kejadian tertinggi terutama pada suku kanton yaitu 2500 kasus pertahun atau
39.84/100.000 penduduk. KNF juga ditemukan pada orang eskimo di Alaska dan
Greenland yang diduga penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang
diawetkan di musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamin
(Roezin dan Adham, 2007).

2.3.3. Etiologi Karsinoma Nasofaring


1. Faktor Genetik
Karsinoma nasofaring memang tidak termasuk dalam tumor genetik.
Namun kerentanan terhadap kasus ini terhadap kelompok masyarakat tertentu
relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi keluarga. Beberapa penelitian
menunjukan bahwa gen HLA (Human Leukocyte Antigen) serta gen pengkode
enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) adalah gen yang rentan terhadap karsinoma
nasofaring (Nasir, 2009). Pada keluarga dengan karsinoma nasofaring,
haplotipe HLA yang sama ditemukan 21 kali lipat pada penderita dengan
keluarga karsinoma nasofaring. Penelitian di Medan didapati bahwa frekwensi
alel gen yang paling tinggi pada penderita karsinoma nasofaring adalah gen
HLA-DRB1*12 dan HLA-DQB*0301 dimana alel gen yang paling berpotensi
menyebabkan timbulnya karsinoma nasofaring pada suku Batak adalah alel gen
HLA-DRB1*08 (Munir D, 2007).
2. Infeksi Virus Epstein - Barr
Salah satu penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein Barr.
Sebagian besar infeksi VEB tidak menimbulkan gejala. VEB menginfeksi dan
menetap secara laten pada 90% populasi dunia. Di Hong Kong, 80% anak

terinfeksi pada umur 6 tahun, hampir 100% mengalami serokonversi pada umur
10 tahun. Infeksi VEB primer biasanya subklinis. Transmisi utama melalui
saliva, biasanya pada negara berkembang yang kehidupannya padat dan kurang
bersih. Limfosit B adalah target utama VEB, jalur masuk VEB ke sel epitel
masih belum jelas, replikasi VEB dapat terjadi di sel epitel orofaring. Virus
Epstein-Barr dapat memasuki sel-sel epitel orofaring, bersifat menetap
(persisten), tersembunyi (laten) dan sepanjang masa (longlife) (Yenita, 2012).
Selain itu, Virus Epstein-Barr (VEB) juga berperan dalam perkembangan
karsinoma nasofaring. Reaktivasi VEB pada sel B sel bisa dipicu oleh produk
seluler tumor sel. Sebaliknya, VEB mungkin bertindak sebagai umpan balik
untuk promoter tumorgenesis. Reaktivasi VEB dikaitkan dengan peningkatan
tingkat sitokin dan faktor pertumbuhan, yaitu, interleukin-6, interleukin-10,
mengubah faktor pertumbuhan-1, dan endotel vascular faktor pertumbuhan,
yang dapat berkontribusi terhadap poliferasi sel, sistem gangguan kekebalan
tubuh, dan angiogenesis (Guo et al, 2014).
3. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang diduga berperan dalam terjadinya karsinoma
nasofaring adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa,
obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut
dengan karsinoma nasofaring masih belum dapat dijelaskan. Serbuk kayu pada
industri mempunyai hubungan yang kuat dengan penderita karsinoma
nasofaring. Karsinoma nasofaring juga berhubungan akibat sering kontak
dengan bahan karsinogen antara lain bezopyrenen, benzoanthrancene, gas
kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa ekstrak tumbuhan (Ahmad, 2002).

2.3.4. Patogenesis Terjadinya Keganasan

Gambar 2.2. Skema Patofisiologi terjadinya Keganasan


(Dikutip dari: Maitra, Anirban dan Kumar, Vinay. Buku Ajar Patologi Robbins,
Ed. 7, Vol.2. Jakarta : EGC.)
2.3.5. Klasifikasi Karsinoma Nasofaring
Klasifikasi karsinoma nasofaring berdasarkan gambaran
histopatologi menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dibagi
atas 3 tipe, yaitu :
1. Karsinoma

sel

skuamosa

berkeratinisasi

(Keratinizing

Squamous Cell Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi


diferensiasi baik, sedang dan buruk.
2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada

tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada


diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada
umumnya batas sel cukup jelas.
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma).
Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti
yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli
yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan
jelas.

Tipe

tanpa

diferensiasi

dan

tanpa

keratinisasi

mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif.


Sedangkan

jenis

dengan

keratinisasi

tidak

begitu

radiosensitif (Brennan, 2006).


2.3.6. Stadium Karsinoma Nasofaring
Penentuan stadium pada karsinoma nasofaring menurut AJCC/UICC tahun
2010 (American Cancer Society, 2013), adalah:

Tumor primer (T)


TX : Tumor primer tidak ditemukan
T0 : Tidak ada bukti tumor primer
Tis : Karsinoma in situ
T1 : Tumor terbatas di nasofaring, atau tumor menyebar ke orofaring
dan/atau rongga hidung tanpa perluasan parafaring
T2 : Tumor dengan perluasan parafaring
T3 : Tumor menginvasi ke struktur tulang dan/atau sinus paranasal
T4 : Tumor dengan ekstensi intracranial dan/atau keterlibatan saraf
kranial, fossa infratemporal, hipofaring, atau orbita, atau ruang
masticator

Kelenjar limfe regional (N)


NX : Pembesaran kelenjar limfe regional tidak dapat ditemukan

N0 : Tidak dijumpai metastasis kelenjar limfe regional


N1 : Metastasis kelenjar limfe unilateral, ukuran 6 cm, terletak di atas
fossa supraklavikular
N2 : Metastasis kelenjar limfe bilatelar, ukuran 6 cm, terletak di atas
fossa supraklavikular
N3 : Metastasis kelenjar limfe
N3a : Ukuran >6cm
N3b : Meluas ke fossa supraklavikular

Metastasis Jauh (M)


M0 : Tidak dijumpai metastasis
M1 : Dijumpai metastasis jauh
Tabel 2.1. Stadium Karsinoma Nasofaring

(American Cancer Society, 2013)


2.3.7. Manifestasi Klinis Karsinoma Nasofaring

Gejala Dini
Gejala Hidung
Gejala epistaksis dan ingus berdarah merupakan gejala tersering yang
terjadi pada hidung. Keluarnya darah ini biasanya sedikit, berulang-ulang
disebabkan oleh adanya iritasi ringan pada mukosa tumor yang rapuh.
Sputum yang bercampur darah juga sering dijumpai karena adanya
mukosa yang mengalami ulserasi (Hidayat, 2009). Sumbatan hidung
menetap biasanya dijumpai pada kasus KNF yang masa tumornya telah
menyumbat koana. Gejala berupa pilek kronis kadang disertai gangguan
penciuman. (Hidayat, 2009)
Gejala Telinga
Gejala pada telinga yang paling sering muncul adalah gangguan
pendengaran disertai rasa penuh pada telinga dan rasa berdengung.
Biasanya hanya mengenai satu telinga. Hal ini disebabkan adanya
penyumbatan pada tuba eustaskhius oleh masa tumor. Gejala ini
merupakan gejala yang sangat dini dan perlu diperhatikan apakah gejala
menetap atau tidak. Hal ini sering berlanjut pada ditemukannya otitis
media serosa sampai dengan terjadi perforasi membran timpani. (Hidayat,
2009)
Gejala Neurologis
Gejala neurologis biasa yang biasa ditemukan pada pasien KNF ialah sakit
kepala atau gejala saraf kranial, yang menandakan telah terjadi penjalaran
lokal dari tumor. Sakit kepala merupakan gejala yang paling sering muncul
pada pasien KNF. Sakit kepala persisten unilateral merupakan salah satu
gejala yang khas pada pasien KNF. Hal ini disebabkan oleh erosi basis
kranii atau iritasi nervus kranialis. Saraf kranialis VI merupakan yang
paling sering terkena sehingga akan menyebabkan diplopia. Gejala
lanjutan dari saraf ini adalah ptosis. Kombinasi kelainan neurologis kranial
yang sering tejadi adalah N II sampai N VI (Jacods syndrome) serta
kelainan N IX sampai N XII (Villarets syndrome). Gejala neurologis lain
ialah sindroma parafaring. Keadaan ini timbul jika telah terjadi penjalaran

tumor hingga masuk kedalam foramen jugularis dan infiltrasi tumor pada
kanalis nervus hipoglossus. Keluhan yang timbul dapat berupa nyeri pada
telinga atau otalgia. (Hidayat, 2009)

Gejala Lanjut
Limfadenopati Servikal
Kelenjar limfe leher merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk kasus
karsinoma nasofaring agar sel-sel kanker tidak langsung bermetastasis ke
bagian tubuh lain yang lebih jauh. Namun di dalam kelenjar ini sel-sel
tumor

dapat

berkembang

biak

sehingga

akan

menimbulkan

pembengkakan. Sebagian besar pasien datang dengan pembesaran kelenjar


limfe leher yang biasanya unilateral sesuai daerah tumor. Kondisi ini
biasanya tidak disertai rasa nyeri sehingga sering

diabaikan

pasien

(Ahmad, 2002).
Gejala Tambahan dan Gejala Metastasis Jauh
Trismus merupakan gejala tambahan yang dapat terjadi pada kasus KNF.
Hal ini disebabkan infiltrasi tumor pada muskulus pterigoideus sehingga
menyebabkan kekauan untuk membuka mulut ( Munir, 2009). Gejala
metastasis jauh apabila sel-sel kanker telah menyebar ke bagian-bagian
tubuh lain yang letaknya jauh dari nasofaring. Ini disebabkan sel-sel
kanker ikut mengalir bersama aliran limfa atau darah. Gejala metastasis
biasanya dijumpai pada pasien stadium lanjut. Organ yang sering terkena
ialah paru, tulang, hepar dan otak. Hal ini tentunya akan berakibat fatal
dan meningkatkan angka mortalitas dari penyakit ini (Munir, 2009).

2.3.8. Diagnosis Karsinoma Nasofaring


A. Anamnesis
Diagnosis karsinoma nasofaring dapat ditegakkan dengan anamnesis
yang terarah dan teliti. Gejala yang timbul sangat bervariasi antara tiap

individu. Namun biasanya pada stadium awal gejala yang akan timbul
adalah yang berhubungan dengan gejala hidung, gejala telinga, dan
gejala neurologis serta limfadenopati leher. Gejala karsinoma
nasofaring dapat berupa gangguan pendengaran, telinga terasa penuh
dan berdenging, hidung tersumbat serta ditemukannya pendarahan dari
hidung ataupun bercak pada ingus dan sputum. Gejala tersebut dicurigai
terutama bila tidak jelas penyebabnya dan bersifat unilateral. Pada kasus
lanjut maka gejala diatas akan semakin jelas terlihat ditambah adanya
pembesaran kelenjar limfe leher dan gangguan saraf kranialis
bergantung kepada saraf kranialis yang teriritasi. Pada stadium yang
lebih lanjut akan ditemukan tanda metastasis ke organ lain (Munir,
2009).
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan ini harus dilakukan apabila dicurigai pada anamnesis
adanya suatu karsinoma nasofaring.
1. Rinoskopi Posterior
Pemeriksaan nasofaring secara konvensional dengan menggunakan
kaca rinoskopi posterior. Namun pada pemeriksaan ini sering
ditemukan kesulitan terutama pada pasien dengan variasi anatomi atau
yang tidak kooperatif (Hidayat, 2009).
2. Nasofaringoskop
a. Nasofaringoskop rigid
Nasofaringoskop dapat dilakukan dengan dua cara yaitu transnasal
(teleskop dimasukkan melalui hidung), transoral (teleskop
dimasukkan melalui mulut).
b. Nasofaringosop lentur
Flexibible fibrescope merupakan alat yang bersifat lentur dengan
dilengkapi alat

biopsi pada ujungnya. Dengan alat ini dapat

melihat nasofaring secara langsung (Munir, 2009).


C. Pemeriksaan Penunjang
1. Biopsi nasofaring

Merupakan pemeriksaan utama dan prosedur tetap terhadap pasien


yang menderita karsinoma nasofaring. Agar biopsi dapat dilakukan
dengan tepat sasaran, sebaiknya biopsi dilakukan di bawah kontrol
endoskopi dan dengan bantuan anastesi. Obat anastesi lokal dapat
disemprotkan ke daerah nasofaring dan orofaring. Pemeriksaan dapat
dilakukan dengan posisi duduk atau telentang (Hidayat, 2009).
2. Pemeriksaan plain x-ray
Pemeriksaan plain x-ray nasofaring dan dasar tulang tengkorak dapat
mendeteksi tumor di nasofaring, erosi tulang pada dasar tengkorak
dan metastasis di tulang belakang (Munir, 2009).
3. CT-Scan Nasofaring
Pemeriksaan ini memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
plain x-ray terutama pada stadium kanker dini. Pemeriksaan ini
dapat juga mendeteksi penyebaran tumor kejaringan sekitar yang
belum terlalu luas, dan juga dapat mendeteksi erosi dari tulang dasar
tengkorak dan penjalaran tumor ke intrakranial. Selain itu, dapat
juga menilai kekambuhan tumor setelah pengobatan dan juga
komplikasi paska pengobatan seperti atrofi kelenjar hipofise
(Hidayat, 2009).
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI nasofaring lebih akurat dibandingkan dengan CT-Scan
nasofaring dalam mendeteksi dan menetapkan stadium dari
karsinoma nasofaring. Tetapi seperti sifat MRI yaitu kurang baik
dalam mendeteksi kelainan pada tulang. Pemeriksaan ini khusus
untuk mendeteksi perluasan tumor pada perineural dan intrakranial.
Selain itu, MRI juga dapat membedakan densitas jaringan lunak
yang tidak normal seperti tumor dengan radanga atau jaringan parut
setelah radioterapi (Munir, 2009).
5. Positron Emission Tomography (PET)
Merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk mendeteksi
adanya tumor residual atau rekuren pada nasofaring (Wei & Sham,

2005).
D. Pemeriksaan Patologi Anatomi
1. Sitologi
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa
karsinoma

nasofaring.

Bahan

yang

akan

digunakan

untuk

pemeriksaan dapat diambil dari permukaan nasofaring dengan


menggunakan brush, swab atau alat khusus yang mempunyai
penghisap. Fine Needle Aspiration (FNA) pada kelenjar limfe leher
untuk pemeriksaan sitologi sangat membantu terutama jika tumor
primer tidak terdeteksi. Pemeriksaan sitologi dapat diwarnai untuk
mendeteksi EBNA dengan menggunakan antibodi monoklonal
spesifik. Jika ditemukannya EBNA maka keberadaan KNF sangat
dicurgai (Munir, 2009).
2. Imunohistokimia
Pemeriksaan imunohistokimia adalah pemeriksaan dengan teknik
deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan deteksi subtansi
kimia spesifik dalam jaringan dengan menggunakan derivat antibodi
terhadap substans. Antibodi digunakan terhadap potongan jaringan
dan dibiarkan berikatan dengan antigen yang sesuai. Deteksi
antibodi ini dihubungkan dengan molekul pertanda seperti zat
fluorescent (Hidayat, 2009).
3. Histopatologi
Histopatologi adalah pemeriksaan pasti untuk penegakan diagnosa
karsinoma nasofaring. Merupakan lanjutan dari pemeriksaan biopsi
jaringan. Sediaan yang telah diambil dari nasofaring dengan teknik
biopsi selanjutnnya akan diberi pewarna dan diamati dengan bantuan
mikroskop. Selain itu, pemeriksaan ini dapat juga menilai subtype
KNF (Hidayat, 2009).
4. Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi
virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi

karsinoma nasofaring. Tetapi hanya digunakan untuk menentukan


prognosis pengobatan (Hidayat, 2009).

2.4.9. Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring


Penatalaksanaan KNF terdiri dari beberapa bentuk yaitu: radiasi,
kemoterapi, pembedahan, atau kombinasinya.KNF tidak dapat diangkat melalui
pembedahan disebabkan oleh lokasinya secara anatomis (berdekatan dengan basis
tengkorak).Karena itu, radioterapi merupakan pilihan pertama untuk penanganan
KNF.Namun, didapati bahwa sebanyak 30% pasien mempunyai metastasis jauh
setelah dilakukan radioterapi definitive primer(Huang et al., 2010).
1. Radioterapi
Radioterapi sebagai terapi standar karsinoma nasofaring sudah dimulai sejak
lama (sekitar tahun 1930-an). Hasil radioterapi untuk karsinoma nasofaring
stadium dini cukup baik dengan complete response sekitar 80-100%. Respon
tumor terhadap radioterapi secara keseluruhan sebesar 25-65%. Selain itu,
paska radioterapi cukup sering dijumpai metastase jauh dan komplikasi akibat
lokasi tumor yang dekat dengan organ-organ dengan dosis radiasi terbatas
seperti batang otak, medulla spinalis, aksis hipofise-hipotalamus, lobus
temporalis, mata, telinga tengah dan telinga dalam, dan kelenjar parotis (Wei
dan Sham, 2005).
2. Kemoterapi
Alternatif lain untuk mengobati penderita karsinoma sel skuamosa kepala dan
leher yang secara lokal berstadium lanjut adalah kemoterapi induksi diikuti
dengan kemoradioterapi sebagai terapi radikal, terutama pada penderita dengan
respon yang baik terhadap kemoterapi induksi. Kombinasi kemoterapi
bersamaan radioterapi secara signifikan meningkatkan kelangsungan hidup
pasien dengan karsinoma nasofaring lokoregional (Blanchard et al, 2015). Dari
banyak laporan penelitian, ternyata kemoradioterapi konkuren merupakan yang
paling efektif dalam penanganan karsinoma nasofaring. Dibandingkan dengan

kemoterapi induksi yang diikuti dengan radioterapi, kemoradioterapi


konkomitan lebih disukai. Dosis obat kemoterapi yang paling optimal hanya
dapat dicapai dengan kemoterapi neoadjuvan (Wei dan Sham, 2005).

3. Pembedahan
a. Diseksi leher radikal
Hal ini dilakukan jika masih ada sisa kelenjar paska radiasi atau adanya
kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan
bersih. Adanya fibrosis dan reaksi jaringan paska radiasi sering menjadi sulit
untuk memperkirakan perluasan penyakit pada kelenjar limfe servikal baik
secara klinis maupun radiologi (Wei, 2006).
b. Nasofaringektomi
Ketika tumor di nasofaring yang menetap atau berulang meluas ke dalam
rongga paranasofaringeal, atau terlalu besar untuk radiasi interna, maka
pilihan selanjutnya adalah operasi. Nasofaringektomi efektif dalam eradikasi
penyakitpenyakit terlokalisir. Nasofaring dapat dicapai secara inferior
dengan teknik transpalatal, transmaksila, dan transservikal. Pendekatanpendekatan ini berguna untuk tumor yang terletak di tengah dan dinding
posterior nasofaring. Secara umum selama tumor menetap atau berulang
dapat direseksi dengan batas yang jelas, maka hasilnya cukup memuaskan
(Wei, 2006).
4. Obat-obatan Sitostatika
Obat-obatan sitostatika dapat diberikan sebagai obat tunggal maupun
kombinasi. Obat tunggal pada umumnya dikombinasikan dengan radioterapi.
Obat yang dapat dipergunakan sebagai sitostatika tunggal adalah Bleocyne,
Fluorouracyle, methotrexate, metomycine C, Endoxan, dan Cisplastin. Obat ini
memberikan efek adiktif dan sinergistik dengan radiasi dan dapat diberikan
pada permulaan seri pemberian radiasi. Obat kombinasi dapat diberikan sebagai
pengobatan lanjutan setelah radiasi, serta sangat penting pada pengobatan
karsinoma yang mengalami kekambuhan. Banyak kombinasi obat ganda yang

dipakai antara lain kombinasi: ABUD (Adriamycin, Bleomycin, Umblastin dan


Decarbazine), BCMF (Bleomycin, Cyclophosphamide, Methotrexat dan
Fluoroacil), dan COMA (Cyclophosphamide, Vincristine, Methotrexat, dan
Adriamycin) (Guigay J et al, 2006).
5. Obat Antivirus
Acyclovir mampu menghambat sinteis DNA virus, sehingga obat antivirus ini
penting pada karsinoma nasofaring anaplastik yang merupakan VEB carrying
tumor dengan pemeriksaan DNA EBV positif (Guigay J et al, 2006).
2.4.10. Prognosis Karsinoma Nasofaring
Prognosis

karsinoma

nasofaring

secara

umum

tergantung

pada

pertumbuhan lokal dan metastasenya. Karsinoma skuamosa berkeratinasi


cenderung lebih agresif daripada yang non keratinasi dan tidak berdiferensiasi,
walau metastase limfatik dan hematogen lebih sering pada ke-2 tipe yang
disebutkan terakhir. Prognosis buruk bila dijumpai limfadenopati, stadium lanjut,
tipe histologik karsinoma skuamus berkeratinasi . Prognosis juga diperburuk oleh
beberapa faktor seperti stadium yang lebih lanjut,usia lebih dari 40 tahun, laki-laki
dari pada perempuan dan ras Cina daripada ras kulit putih ( National Cancer

Institute, 2013) .

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad A, 2002, Diagnosis dan Tindakan Operatif Pada Pelaksanaan Karsinoma
Nasofaring,

Simposium

Perkembangan

Multimodulitas

Penatalaksanaan

Karsinoma Nasofaring dan Pengobatan Suportif, Hotel Millenium, Jakarta.


American Cancer Society, 2013. Nasopharyngeal Cancer. Available from:
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003124-pdf.
Ballenger J.J, 1994. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi ke
13. Binarupa Aksara, Jakarta.
Orphanet

Brennan,2006.

Rare

Dis.2006;1:23

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1559589/

Blanchard P, Lee A, Marguet S, Leclercq J, Ng WT, Ma J, Chan AT, Huang


PY, Benhamou E, Zhu G, Chua DT, Chen Y, Mai HQ, Kwong DL, Cheah
SL, Moon J, Tung Y, Chi KH, et al , 2015. Chemotherapy and
radiotherapy in nasopharyngeal carcinoma: an update of the MACNPC
meta-analysis.

Available

from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25957714
Guigay J, Temam S, Bourhi J. 2006. Nasopharyngeal carcinoma and therapeutic
management:

the

place

of

chemotherapy.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17018743

Avalaible

from:

Guo S, Huang PY, Chen QY, Liu H, Tang LQ, Zhang L, Liu LT, Cao KJ, Guo L,
Mo HY, Guo X, Hong MH, Mai HQ, 2014. The impact of smoking on the clinical
outcome

of

locoregionally

advanced

nasopharyngeal

carcinoma

after

chemoradiotherapy. Avalaible from: http://www.rojournal.com/content/9/1/246


Hidayat,2009.Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak
Dan Stadium Tumor Pada Penderita Karsinoma Nasofaring. Available
from : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6424/1/09E01722.pdf .

Jemal, A., Bray F., Center, M.M., Ferlay, J., Ward, E., Forman, D., 2011. Global
Cancer

Statistic.

Available

from

:http://onlinelibrary.wiley.com/store/10.332/caac.20107/asset/20107_ftp.pdf?
v=1&t=huy816ge&s=9f014226be7a19789c0d30daf481f7e02bd13469
Munir, D., 2007. Asosiasi Antara Alel Gen HLA DRB -DRB1 dan HLADQB1 dengan Kerentanan Timbulnya Karsinoma Nasofaring pada
Suku Batak. Medan:FK-USU.
Munir, D., 2009. Karsinoma Nasofaring Kanker Tenggorok. Medan:
FK -USU.
National Cancer Institute,2009. Nasopharyngeal Cancer Treatment.U.S.A:National
Cancer

Institute.Available

from:

http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/nasopharyngeal/HealthProfessiona
l/page9.

National Cancer Institute, 2013. Nasopharyngeal Cancer


Treatment.

Available

from:

http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/nasoph
aryngeal

Nasir N, 2009. Karsinoma Nasofaring. Kedokteran Islam. Available from:


Http://www.Nasriyadinasir.co.cc/2009/12/karsinomanasofaring_20.html
Roezin

,A,Andham,S,2007.Karsinoma

Hidung,Tenggorok

Kepala

Dan

Nasofaring.Dalam:Buku

Leher.Edisi

Ajar

6,Jakarta:Fakultas

Telinga

Kedokteran

Universitas Indonesia,146-150.

Wei, WI, 2006, Nasopharyngeal Cancer, In: Bailey BJ, Johnson JT, Head and
Neck Surgery Otolaryngology, 4th ed, vol.2, Lippincott Williams and Wilkins,
Philadelpia, USA, pp.1657-7.
Yenita, Aswiyanti Asri, 2012. Korelasi antara Latent Membrane Protein-1 Virus
Epstein-Barr dengan P53 pada Karsinoma Nasofaring. Available from:
http://jurnal.fk.unand.ac.id/articles/ vol_1no_1/01-05.pdf.
Zhang, L., et al., 2013. Emerging Treatment Options for
Nasopharyngeal Carcinoma. Dove Medical Press.

Anda mungkin juga menyukai