Anda di halaman 1dari 2

Empat Kelemahan Kader-kader Dakwah

alhikmah.ac.id Lazimnya sebuah perjuangan, rintangan dan hambatan itu menjadi niscaya.
Ketika lawan menebar hambatan, itu bermakna kita ada kekuatan. Saat jaring-jaring jebakan
terpasang. Itu berarti geliat perjuangan itu nyata. Besarnya rintangan dan hambatan, justru
seiring dengan laju, suhu, dan daya jelajah perjuangan itu sendiri. Pantas sebuah syair Arab
mengatakan,
Jika suatu bangsa berharap melegenda.
Sepatutnya ia songsong takdir nyata.
Malam itu tak selamanya gelap gulita.
Rintangan apapun akan punah tiada.
Bangsa yang enggan memeluk peluh kehidupan.
Ia akan tenggelam dan hilang dari peredaran.
Nistalah orang yang hanya mencaci keadaan.
Namun berharap maju dan menjadi pemenang.
Sekian puluh tahun Indonesia merdeka, kepemimpinan hanya didominasi Bani Soekarno, Bani
Soeharto, Bani Sarwo Edhie, dan para pensiunan yang energi dan visi ke-Indonesiaannya (jangan
tanya visi keIslaman) sangat memprihatinkan. Alih-alih Indonesia tinggal landas, yang terjadi
adalah tinggal ludes. Apa penyebabnya? Tak lain karena kaum muda Indonesia tak memiliki
narasi yang jelas, dan sibuk dengan narasi-narasi konseptual yang tercerabut dari realitas.
COba perhatikan! Saat umat bodoh, miskin, dan termarjinal. Diskusi anak-anak muda bukan
menciptakan pekerjaan dan meningkatkan penghasilan. Tapi berdebat panjang tentang Golput,
Haramnya Demokrasi, Khilafah Syariah solusinya! Lebih tragis lagi, saat mayoritas umat buta
tentang Nabi dan lebih mencintai perayaan Noni, anak-anak muda sibuk berdebat seputar
Memperingati Maulid Nabi! Narasi yang benar-benar garing. Jauh dari realita! Umat dimana,
para dai kemana!
Mengapa para juru dakwah mengalami kehilangan narasi? Ada lima penyebabnya:
1. Dunuwwul Himmah (Rendahnya motivasi dan visi hidup).
Dakwah yang menyulitkan, mengejek, menakut-nakuti, atau menyalah-nyalahkan adalah model
dakwah yang sangat rendah. Apalagi ada pengklaim memperjuangkan Syariah-Khilafah, namun
memosisikan akhlak dan jihad berada di posisi buncit dalam perjuangannya.
Apalagi paham yang meniadakan nasionalisme dan cinta tanah air. Rasul saja sempat menangisi
Mekkah. Rakyat Palestina hingga kini tak jelas rimba, saat tanah air direbut paksa Israel. Lalu
apakah kita umat Islam Indonesia harus menyerahkan setiap jengkal tanah kepada kaum LiberalSekuler-Noni-LGBT? Sungguh pemahaman antinasionalisme adalah paham yang digunakan
Zonis-Salibis agar umat Islam enggan mengurusi negerinya dan membiarkan penjajah menguasai
SDA di seluruh negeri-negeri Islam.
2. Adamu Ats-Tsiqqoh bin-Nafsi (Tidak percaya diri).

Mental tidak percaya diri akan hadir saat juru-juru dakwah memiliki mental tangan di bawah.
Atau tak memiliki prestasi nyata dalam kehidupan. Faaqidussyai laa yuthi (orang tenggelam tak
mungkin memberi pualam). Cirinya mudah. Yaitu mudah dengki, hasud, iri. Penyakit SMS
(Senang Melihat orang Susah; Susah Melihat Orang lain Senang). Sibuk mencari aib. Fitnah
dianggap nasihat. Satu lagi, merasa dirinya paling benar dan paling dekat dengan surga.
Mental ini ternyata yang marak dalam kehidupan para juru dakwah. Perhatikan para juru
dakwah. Mengaku paling sunnah hanya dengan celana cangkring, janggut panjang, atau
mengibarkan bendera tauhid. Lalu tidak menjalankan sunnah Nabi yang lain; unggul dalam
pengabdian, luhur dalam akhlak, muncul dalam bisnis-niaga-dagang, agung dalam
kepemimpinan.
3. Ghiyaabul Hadfi (Target/tujuan yang tiak realistis).
Perjuangan yang tidak jelas targetnya, maka tidak akan jelas fase-fase perjuangannya.
Perjuangannya cenderung; Pokoke. Sayangnya tidak terukur dalam teritori tertentu. Sebagai
contoh, jika kader satu organisasi dakwah menguasai satu teritori selama 5 tahun. Maka target
dan sasaran yang ingin dicapai sangat jelas. Anggarannya ada. Aparat dan birokrasi pelaksana
juga tersedia. Lalu bagaimana dengan organisasi dakwah yang sama sekali tidak memiliki
teritori? Jadi RT pun tak pernah! Lantas ingin memimpin dunia?
4. Sijnul Maadhi (Terpenjara masa lalu).
Sejarah itu adalah bagian dari kehidupan. Sebagai muslim, kita tak boleh tercerabut dari akar
sejarah. Namun tak boleh juga terkungkung dalam nostalgia masa lalu. Kita cenderung
membangga-banggakan generasi shahabat, tabiin, salafus shalih. Namun sayangnya kita tak
pernah mampu menyerap saripati kebesaran mereka untuk direalisasikan dalam kehidupan saat
ini dan akan datang. Lalu kita hanya menjadi narator sejarah, bukan kreator sejarah!
Kita agungkan Muhammad AlFatih sebagai Sang Pemusar Gelombang! Namun kita tak pernah
memiliki sifat-sifat yang sama dengan Muhammad Al-Fatih. Lalu nama AlFatih ditempelkan
menjadi gelar/laqob. Bayangkan namanya AlFatih, AlFaruq, Al-Al lainnya. Namun akhlak saja
tak jelas. Masih hobi dengan hal-hal syubhat. Menikmati apa yang diharamkan. BUkankah
merusak citra AlFatih?

Anda mungkin juga menyukai