Anda di halaman 1dari 10

TUGAS ANALISA KASUS

ETIKA PROFESI
NTT BERGELUT DENGAN PRO KONTRA TAMBANG

Disusun oleh :

IKHWAN KURNIAWAN
NIM. 135060201111029

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN


TINGGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK MESIN
MALANG
2016

Contoh Kasus
NTT Bergelut dengan Pro Kontra Tambang
DALAM dua hari berturut-turut pada medio November 2011, Kota Ende di
Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) digoyang aksi demonstrasi massa
dalam jumlah lumayan besar. Pada hari Kamis tanggal 17 November 2011, massa yang
tergabung dalam Forum Peduli Kesejahteraan Masyarakat (FPKM) Kabupaten Ende
menggelar aksi demonstrasi damai di kantor bupati dan gedung DPRD setempat.
Mereka menilai DPRD Kabupaten Ende dilangkahi karena Bupati Ende, Drs.
Don Bosco M Wangge, M.Si telah menerbitkan SK izin penambangan pasir besi kepada
pengusaha sementara Perda tentang pertambangan masih dibahas DPRD Kabupaten
Ende. Dalam dialog dengan Ketua DPRD Ende, Ir. Marselinus YW Petu dan Wakil
Ketua, Anwar Liga, FPKM Ende yang dipimpin Ketua, Max A.K.Djeen dan Sekretaris,
Rm. Siprianus Sadipun, Pr mendesak Bupati Ende mencabut kembali SK izin
penambangan karena dinilai ilegal. Forum ini beralasan izin tambang pasir besi di
pesisir selatan Kabupaten Ende yang dikeluarkan bupati tanpa payung hukum
mengingat Perda Pertambangan belum disetujui DPRD Kabupaten Ende.
Sekretaris FPKM, Siprianus Sadipun saat membaca pernyataan keprihatinan
mengatakan, secara geografis NKRI berada pada kawasan rawan bencana. Demikian
pula Pulau Flores dan Kabupaten Ende, NTT berada dalam kawasan bencana. Gempa
bumi, tsunami, tanah longsor, abrasi, banjir, gelombang pasang, kemarau panjang,
kekeringan dan ketiadaan sumber air merupakan kenyataan-kenyataan yang akrab bagi
warga Flores dan Ende. Penambangan yang abai terhadap regulasi dan terutama
pertimbangan aspek lingkungan mencerminkan bahwa pemerintah dengan sengaja
menciptakan bencana bagi masyarakat di kemudian hari.
Dalam kasus penambangan di Kabupaten Ende, forum tersebut menilai telah
terjadi

pengabaian

terhadap

partisipasi

sosial

keterlibatan,

kontribusi

dan

tanggungjawab masyarakat tidak diupayakan dan diberi ruang sebanyak dan seluas
mungkin. Ada kesan ketertutupan dan pemaksaan kehendak pemerintah dalam proses
pengambilan keputusan dan kebijakan politik, kesejahteraan, keselamatan, keamanan
dan kenyamanan masyarakat terancam karena tidak ada jaminan perlindungan.

Dua puluh empat jam kemudian, tepatnya pada hari Jumat 18 November 2011,
gelombang massa kembali mendatangi kantor bupati dan gedung DPRD Kabupaten
Ende. Kelompok massa yang datang hari Jumat itu merupakan warga desa mulai dari
Desa Borokanda hingga wilayah Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende. Wilayah itu
merupakan lokasi yang telah diizinkan bupati Ende kepada pengusaha untuk
menambang pasir besi meskipun masih dalam tahap eksplorasi.
Berbeda dengan massa Forum Peduli Kesejahteraan Masyarakat (FPKM)
Kabupaten Ende yang sehari sebelumnya menolak aktivitas penambangan, masyarakat
pesisir pantai selatan itu justru menyatakan mendukung bupati yang telah mengeluarkan
izin penambangan pasir besi. Massa pesisir juga mendesak Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Kabupaten Ende segera menetapkan Rancangan peraturan daerah
(Ranperda) Pertambangan menjadi Peraturan Daerah (Perda) agar SK Bupati Ende
memiliki payung hukum.
Dalam dialog dengan DPRD Ende, juru bicara warga pesisir yakni Haji M Djae
HD mengaskan, potensi pasir besi di daerah pesisir selatan Ende merupakan anugerah
Tuhan. Kegiatan tambang pasir besi di wilayah tersebut sangat membantu kehidupan
ekonomi masyarakat, sehingga tidak beralasan kalau ditolak.
Menurut HD Djae, masuknya investor tambang di wilayah mereka bakal
membuka lapangan kerja sekaligus menekan pengangguran. Dulu saya penantang
tambang, tetapi telah menyadari ini adalah anugerah Tuhan yang membawa
kesejahteraan bagi masyarakat,tambah Djae (Harian Pos Kupang, 19 November 2011
halaman 13).
Konflik dan Korban Nyawa
Aksi pro kontra masyarakat terhadap pertambangan di Kabupaten Ende di atas
sekadar contoh kasus. Sejatinya aksi serupa terjadi hampir di setiap kabupaten dan kota
di propinsi ini. NTT terdiri dari 20 wilayah kabupaten dan satu kota madya. Sekitar 90
persen dari wilayah tersebut bergelut dengan masalah pertambangan.
Dalam beberapa tahun terakhir arus investasi di Propinsi NTT memang
meningkat pesat, terutama dalam bidang pertambangan. Sesuai data Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, di NTT terdapat 56 Izin

Usaha Pertambangan (IUP) yang telah disesuaikan dengan Undang-Undang


Pertambangan dan Peraturan Pemerintah No 22 dan 23 tahun 2011.
IUP itu terdiri dari 2 IUP yang dikeluarkan gubernur (IUP Propinsi), Satu (1)
IUP Kabupaaten Kupang, 14 IUP di Kabupaten Belu, 9 IUP di Kabupaten Alor, Ende
(16 IUP) dan Manggarai (14 IUP). Tetapi secara faktual, pertambangan hampir telah
dilakukan di seluruh kabupaten di NTT misalnya penambangan mangan (47 IUP) di
Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), penambangan emas di kawasan Lai Wanggi
Wanggameti (Kabupaten Sumba Timur) dan Kawasan Manupeu Tana Daru (Kabupaten
Sumba Tengah).
Berikutnya kegiatan penambangan emas di wilayah Batu Gosok, Waning dan
Tebedo (Kabupaten Manggarai Barat), Penambangan Emas di Kabupaten Lembata,
Tambang Blok Migas Kolbano yang mencakupi 16 Kecamatan di Kabupaten Timor
Tengah Selatan (TTS) dan 2 Kecamatan di Kabupaten Kupang. Selain itu, ada 23 IUP di
Kabupaten Manggarai, 13 IUP di Kabupaten Manggarai Timur dan 10 IUP di
Kabupaten Manggarai Barat.
Investasi di bidang pertambangan di NTT pun menimbulkan konflik sosial bagi
masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan tambang. Menurut data Harian Pos
Kupang, salah satu media cetak terbesar di NTT, konflik yang terjadi antara lain terjadi
di Timor Tengah Selatan antara manajemen PT. SMR dengan kelompok masyarakat
pekerja tambang, Konflik Bakitolas di Kabupaten TTU, konflik PT Fathi Resources
dengan warga Umbu Ratunggai di Kabupaten Sumba Tengah. Konflik antara
manajemen PT. Istino Mitra Perdana/PT. Arumbai Mangabekti dengan Warga Sirise di
Kabupaten Manggarai, Flores.
Selain menebarkan konflik sosial yang berkepanjangan, investasi pertambangan
di NTT pun telah menimbulkan korban jiwa tidak sedikit. Menurut data Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT, dalam kurun waktu lima tahun terakhir
tercatat 60 orang tewas tertimbun akibat aktivitas penambangan mangan di Plau Timor
dan Flores. Korban terbanyak di Flores terjadi di Kabupaten Manggarai. Para korban
selain tewas tertimbun saat menambang juga meninggal dunia ketika terjadi bencana
banjir disertai longsoran yang melanda permukiman mereka di sekitar kawasan
tambang.

Khusus di Pulau Timor, berdasarkan data Harian Pos Kupang sampai akhir tahun
2011, terdapat 38 korban jiwa akibat penambangan mangan sejak tahun 2009.
Masyarakat Pulau Timor umumnya menambang mangan dengan peralatan seadanya
serta tidak memiliki cukup pengetahuan dan keterampilan tentang keselamatan kerja.
Salah satu korban tewas di Kabupaten Timor Tengah Utara tahun 2010 bahkan menimpa
seorang ibu yang sedang hamil lima bulan.
Tidak Sejahterakan Rakyat
Direktur Eksekutif Walhi NTT, Herry Naif dalam jumpa pers di Kupang 7
November 2011 mendesak pemerintah daerah di NTT agar berani menghentikan
aktivitas pertambangan karena selain merusak lingkungan, sudah terbukti investasi di
bidang ini tidak mensejahterakan masyarakat.
"Dalam konteks negara, terhitung sejak zaman kolonialisme Belanda lewat
regulasi Indische Mijnwet Staatsblad 1899 Nomor 214, Rezim UU No. 11 tahun 1967
lalu berganti rezim UU Nomor 22 tahun 2001 dan UU No. 4 tahun 2009, peraturan dan
pengelolaan tambang di Indonesia yang dilakukan pemerintah terbukti tidak mampu
mensejahterahkan rakyat," kata Herry Naif.
Dia meminta kepada para pelaku dan pemangku kepentingan di Nusa Tenggara
Timur agar segera menghentikan seluruh operasi dan rencana pertambangan untuk
kepentingan keselamatan ekologi serta keberlanjutan hidup anak cucu. "Sebagai forum
yang fokus pada persoalan lingkungan hidup yang adil dan demokratis yang dapat
menjamin hak-hak rakyat atas sumber-sumber kehidupan dan lingkungan hidup yang
sehat, maka Walhi menyerukan segera menghentikan operasi pertambangan di Propinsi
NTT," kata Herry Naif.
Berasas pada visi itu, kata Herry, Walhi NTT terus berupaya melakukan
pendidikan kritis bagi rakyat bahwa hak atas lingkungan hidup adalah hak asasi
manusia. Untuk itu, kata dia perlu dilakukan pengawasan dan monitoring terhadap
aktivitas-aktivitas yang berpotensi merusak dan mencemari lingkungan serta mendorong
terciptanya pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang adil dan demokratis.
Wahli NTT yang rutin melakukan pemantauan atas kondisi ekologi NTT
menemukan begitu banyak aktivitas yang berpotensi merusak lingkungan, seperti
pertambangan, penebangan hutan (destructive logging), penangkapan ikan dengan
pemboman yang merusak terumbu karang serta berbagai aktivitas lain yang merusak

lingkungan. Khusus pertambangan, banyak lokasi bekas galian yang tidak diikuti
dengan program reklamasi sehingga meninggalkan lubang menganga yang mengancam
keselamatan masyarakat sendiri.
Banyak kalangan yang berpendapat wilayah NTT memang tidak cocok untuk
investasi di bidang pertambangan karena lebih banyak mudarat daripada manfaat bagi
masyarakat. Daerah ini sebaiknya fokus pada pertanian, perkebunan dan kelautan yang
memiliki potensi sangat besar. Sebagai propinsi kepulauan, perairan Nusa Tenggara
Timur sangat kaya dengan hasil laut. Namun, potensi yang sangat besar tersebut belum
digarap secara optimal.
Pertanyaan terakhir yang tak kalah penting, bagaimana posisi pers di NTT
terkait sikap pro dan kontra terhadap investasi pertambangan? Pers di NTT sudah tentu
tidak dalam posisi mendukung atau menolak secara membabibuta. Sikap pers di NTT
adalah melakukan kontrol sosial secara proporsional dan profesional agar terciptanya
pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang adil dan demokratis bagi seluruh lapisan
masyarakat.
Pers NTT akan mengawal dengan teguh agar tidak terjadi perselingkuhan antara
penguasa daerah dengan pemilik modal dalam mengeruk kekayaan sumber daya alam
secara serakah tanpa mempertimbangkan keselestarian lingkungan dan keseimbangan
ekologis. Inilah salah satu masalah aktual di Propinsi Nusa Tenggara Timur yang
menjadi prioritas perhatian insan pers di daerah ini. Dirgahayu Pers Nasional. *
Sumber: Buku Solusi Pers Mengatasi Masalah Bangsa, Penerbit RMBOOKS Jakarta,
Februari 2012, halaman 191.

Analisa Permasalahan
Dari hasil penglihatan saya, bahwa hasil tambang merupakan suatu aset yang
sangat bernilai tinggi, baik untuk mensejahterakan masyarakatnya dan memajukan
negara. Hasil tambang juga tergantung dari banyak dan daerah/tempat dari sumber biji
tambangnya.
Namun yang menjadi masalah besar bukan daerah/tempat sumber biji
tambangnya, melainkan proses pengolahan biji tambang dari yang masih hanya
bebatuan yang terlihat biasa menjadi bebatuan yang berharga tinggi. Hal ini menjadi
berita buruk yang mana sampai saat ini pun kita masih selalu bergantungan dengan
orang luar/asing dalam proses pengolahan. Mengakibatkan untung yang didapatkan dari
hasilnya kurang dari sebagaimana mesti jika dibandingkan dengan kita dapat
mengolahnya sendiri.
Dari situlah munculnya beberapa gejolakan dari masyarakat daerah Provinsi
Nusa Tengggara Timur terutama dari kalangan Forum Peduli Kesejahteraan Masyarakat
(FPKM) yang menuntut untuk segara membubarkan pabrik tambang. Forum disini
melakukan aksi demonstrasi di depan kantor bupati dan DPRD.
Kasus yang pertama. Dari yang saya lihat dalam tindakan yang dilakukan oleh
bupati merupakan tindakan yang baik dan ingin memajukan segera Kabupaten Ende
untuk menjadi lebih baik, baik dari segi ekonomi dan pendapatan masyarakatnya.
Berbeda dengan sudut pandang dari forum yang menilai bahwa bupati telah melakukan
tindakan yang salah dengan mendahului perizinan yang seharusnya diberikan oleh
DPRD Kabupaten Ende. Dari permasalahan kedua sudut pandang yang bertolak
belakang ini menjadi hal pikiran utama saya. Siapa yang salah? apakah tindakan bupati
telah melanggar etika profesinya sebagai seorang bupati yang mendahului perizinan
yang seharusnya diberikan oleh DPRD Provinsi NTT atau tindakan forum yang hanya
ingin memprovokasi masyarakat Provinsi NTT untuk mengusir investor tambang demi
mendapat keuntungan pribadi?

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang


Pertambangan Mineral dan Batubara pada Pasal 37 (37a, 37b, 37c) menerangkan bahwa
IUP (Izin Usaha Pertambangan) diberikan oleh:

a. Bupati/walikota apabila WIUP berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota;


b. Gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1
(satu) provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c. Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan
rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
*WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan)
Dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara pada Pasal 37 diatas dapat saya lihat bahwa
tindakan yang dilakuan oleh bupati sudah benar dan sesuai dengan peraturan perizinan
yang ada. Yang mana dapat dilihat bahwa pada pasal 37a bupati dapat memberikan izin
apabila masih dalam wilayah Kabupaten. Sementara yang jadi permasalahan utama ini
terjadi pada Kabupaten Ende. Bisa dilihat bahwa yang awalnya terlihat bupati yang
salah dan melanggar etika profesinya, sangat bertolak belakang dengan kenyataan
bahwa bupati disini mengambil tindakan sudah sesuai dengan Undang-undang perizinan
yang ada.
Dalam hal ini saya melihat bahwa yang melakukan pelanggaran adalah Forum
Peduli Kesejahteraan Masyarakat (FPKM) Kabupaten Ende dalam aksi demonstrasinya.
Demonstrasi yang dilakukan oleh forum ini terlihat tanpa mengetahui isi yang
terkandung pada Undang-undang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Aksi demonstrasi ini
terkesan hanya untuk memprovokasi berbagai pihak untuk ikut mengusir investor
tambang segera dari Kabupaten Ende. Selain provokasi, yang dilanggar juga adalah
pencemaran nama baik yang mana menuduh bahwa bupati telah melanggar profesinya
dalam menangani masalah perizinan tambang. Oleh karena itu, sebelum melakukan
tindakan demonstrasi ada kalanya untuk mengetahui terlebih dahulu hal-hal yang
dilanggar yang sesuai dengan Undang-undang yang ditetapkan.

Kasus yang kedua yaitu masalah pabrik pertambangan yang banyak


menimbulkan korban jiwa dan tidak mensejahterakan masyarakat Provinsi NTT. Disini
dapat saya lihat bahwa dari beberapa tahun terakhir korban jiwa yang meninggal dunia
akibat pertambangan ini cukup banyak. Dugaan yang bisa diprediksi masalah regulasi
K3 (keselamatan dan kesehatan kerja) yang tidak berjalan dengan baik atau bahkan
tidak sesuai dengan standar K3 yang ada. Selain itu lingkungan yang tercemar akibat
dari limbah tambang yang tidak diolah dengan baik muingkin bisa menjadi dugaan yang
cukup meyakinkan. Permasalahan ini, Investor tambang telah melanggar Undangundang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang ada, yaitu Pasal 36 ayat 1 yang berbunyi:
IUP terdiri atas dua tahap:
a. IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi
kelayakan;
b. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
Dan juga pada pasal 39 ayat 2 yang berbunyi:
IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b wajib
memuat ketentuan sekurang-kurangnya:
a. Nama perusahaan
b. Luas wilayah
c. Lokasi penambangan
d. Lokasi pengolahan dan pemurnian
e. Pengangkutan dan penjualan
f. Modal investasi
g. Jangka waktu berlakunya IUP
h. Jangka waktu tahap kegiatan
i. Penyelesaian masalah pertanahan
j. Lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pascatambang
k. Dana jaminan reklamasi dan pascatambang
l. Perpanjangan IUP
m. Hak dan kewajiban pemegang IUP
n. Rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah
pertambangan

o. Perpajakan
p. Penerimaan negara bukan pajak yang terdiri atas iuran tetap dan iuran produksi
q. Penyelesaian perselisihan
r. Keselamatan dan kesehatan kerja
s. Konservasi mineral atau batubara
t. Pemanfaatan barang, jasa, dan teknologi dalam negeri
u. Penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang baik
v. Pengembangan tenaga kerja Indonesia
w. Pengelolaan data mineral atau batubara dan
x. Penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan mineral atau
batubara.
Dari penjambaran 2 pasal diatas sudah cukup jelas bahwa pelanggaran yang
dilakukan oleh investor tambang cukup banyak. Dari sini pabrik tambang memang telah
melanggar regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan juga Undang-undang
pertambangan yang ada. Oleh karena itu, dari masyarakat dan juga petinggi pemerintah
diharapkan untuk segera menindak kasus ini dan memberikan sanksi pada invenstor
tambang agar dapat mengurangi korban jiwa dan mensejahterakan rakyat tanpa harus
menutup atau mengusir investor tambang untuk menambang di Provinsi NTT. Perlu
diingat, bahwa negara kita kaya akan tambang dan mineral. Oleh karena itu sebisa
mungkin kita sebagai warga negara Indonesia dapat memanfaatkan hasil alam ini
dengan sebaik mungkin, tanpa harus merusaknya karena kita pasti bisa dengan tetap
mengikuti semua standar regulasi pertambangan yang ada.
Demikian ulasan singkat yang dapat saya sampaikan terhadap permasalahan
kasus pertambangan yang terjadi di Provinsi NTT ini. Saya harap Bapak dapat
memahami ulasan yang telah saya sampaikan dan juga mungkin bisa jadi bahan pikiran
kita bersama. Mohon maaf apabila terdapat salah kata yang mungkin tidak sesuai dan
kurang bisa dipahami.
Terimakasih.

Anda mungkin juga menyukai