BAB VI
DEFLECTION OF CURVED BARS APPARATUS
Semakin kaku suatu batang maka lendutan batang yang akan terjadi pada batang
akan semakin kecil.
2. Besarnya kecil gaya yang diberikan
Besar-kecilnya gaya yang diberikan pada batang berbanding lurus dengan
besarnya defleksiyang terjadi. Dengan kata lain semakin besar beban yang dialami
batang maka defleksi yang terjadi pun semakin kecil.
3. Jenis tumpuan yang diberikan
Jumlah reaksi dan arah pada tiap jenis tumpuan berbeda-beda. Jika karena
itu besarnya defleksipada penggunaan tumpuan yang berbeda-beda tidaklah sama.
Semakin banyak reaksi dari tumpuan yang melawan gaya dari beban maka defleksi
yang terjadi pada tumpuan rol lebih besar dari tumpuan pin (pasak) dan
defleksiyang terjadi pada tumpuan pin lebih besar dari tumpuan jepit.
4. Jenis beban yang terjadi pada batang
Beban terdistribusi merata dengan beban titik, keduanya memiliki kurva
defleksi yang berbeda-beda. Pada beban terdistribusi merata slope yang terjadi pada
bagian batang yang paling dekat lebih besar dari slope titik. Ini karena sepanjang
batang mengalami beban sedangkan pada beban titik hanya terjadi pada beban titik
tertentu saja.
Macam-macam tumpuan, antara lain :
a. Engsel
Engsel merupakan tumpuan yang dapat menerima gaya reaksi vertikaldan
gaya reaksi horizontal. Tumpuan yang berpasak ini mampu melawan gayayang
bekerja dalam setiap arah dari bidang.
b. Rol
Rol merupakan tumpuan yang hanya dapat menerima gaya reaksi vertikal.
Jenis tumpuan ini mampu melawan gaya-gaya dalam suatu garis aksi yang spesifik.
c. Jepit
Jepit merupakan tumpuan yang dapat menerima gaya reaksi vertikal, gaya
reaksi horizontaldan momen akibat jepitan dua penampang. Tumpuan jepit ini
mampu melawan gaya dalam setiap arah dan juga mampu melawan suatu kopel
atau momen.
2. Beban merata
Disebut beban merata karena terdistribusi merata di sepanjang batang dan
dinyatakan dalam qm (kg/m atau kN/m).
memiliki satu dimensi (p / l ) sedangkan jika deformasi memiliki lebih dari satu
dimensi (p, l, t).
2. Deformasi Plastis
Deformasi plastis adalah deformasi yang terjadi akibat adanya
pembebanan yang jika beban tersebut ditiadakan maka ukuran dan bentuk
material tidak dapat kembali ke keadaan semula.
Keterangan:
Batas Elastisitas σE (Elastic Limit)
Dalam gambar dinyatakan dengan titik A. Bila bahan diberi beban sampai
pada titik A, kemudian bebannya dihilangkan maka bahan tersebut akan kembali
ke kondisi semula yaitu regangan “nol” pada titik O.
Batas Proporsional σp (Proportional Limit)
Titik sampai dimana penerapan hukum hooke masih bisa ditolerir.
Tidak ada standarisasi tentang nilai ini. Dalam praktek, biasanya batas
proporsional sama dengan batas elastis.
Deformasi Plastis (Plastic Deformation)
Yaitu perubahan bentuk yang tidak kembali ke keadaan semula. Pada
gambar yaitu bila bahan ditarik sampai melewati batas proporsional dan
mencapai daerah landing.
Tegangan Luluh Atasσuy (Upper Yield Stress)
Tegangan maksimum sebelum bahan memasuki fase daerah landing
peralihan deformasi elastis ke plastis.
LABORATORIUM FENOMENA DASAR MESIN 2015/2016
KELOMPOK 01
DEFLECTION OF CURVED BARS APPARATUS
𝜕𝑈
𝑄𝑖 =
𝜕𝑞𝑖
Dimana:
Qi = gaya [N]
U = energi regangan [Nm]
qi = perpindahan [m]
6.1.5 Momen
Momen adalah kecenderungan sebuah gaya untuk memutar sebuah benda
disekitar sumbu tertentu dari benda tersebut. Bila didefinisikan dari persamaannya
adalah hasil perkalian dari besar gaya (F) dengan jarak tegak lururs (d).
M = F.d
Keterangan:
M = Momen (Nm)
F = Gaya (N)
d = jarak tegak lurus (m)
Arah momen gaya tergantung dari perjanjian, misalnya searah jarum jam
(CW/ClockWise) atau berlawanan arah jarum jam (CCW/Counter ClockWise) begitu
pula dengan perjanjian tanda positif dan negatif dari CW dan CCW. Macam-macam
momen:
1. Momen Gaya (Torsi)
Perubahan gaya translasi pada sebuah benda dapat terjadi jika resultan gaya
yang mempengaruhibenda tidak sama dengan nol. Jika resultan gaya adalah nol
maka benda mungkin akan tetap diam atau bergerak lurus beraturan. Untuk
mengubah keceepatan dibutuhkan gaya. Hal ini sesuai dengan Hukum II Newton.
Peristiwa yang sama juga berlaku pada gerak rotasi jika benda tersebut diberi
momen gaya. Dengan adanya momen gaya maka benda akan mengalami
perubahan kecepatan sudut. Momen gaya merupakan besaran vektor dan secara
matematis dituliskan:
𝜏 = F. r
Keterangan :
𝜏 = Momen Gaya (Nm)
F = Gaya (N)
r = jarak tegak lurus (m)
2. Momen Kopel
Momen kopel dinotasikan dg M, satuannya Nm. Kopel adalah pasangan dua
buah gaya yang sama besar berlawanan arah dan sejajar. Besarnya kopel dinyatakan
denganmomen kopel (M). Momen kopel merupakan besaran vektor dengan satuan
Nm. Pengaruh kopel terhadap benda yaitu dapat menyebabkan banda berotasi.
Formula: M = F x d
Keterangan:
M = momen kopel (Nm)
F = gaya (N)
d = jarak antara kedua gaya (m)
3. Momen Inersia
Momen inersia merupakan ukuran kelebaman suatu benda untuk
berotasi terhadap porosnya. Besaran ini adalah analog rotasi daripada massa.
Momen inersia berperan dalam rotasi seperti massa dalam dinamika dasar,
menentukan hubungan antara momentum sudut dan kecepatan sudut,
sertamomen gaya dan percepatan sudut.
I = k. m. r2
Keterangan:
I = Momen Inersia (Kgm2)
k = konstanta inersia
m = massa (kg)
r = jari-jari objek dari pusat massa (m)
4. Momen Bending
Momen bending adalah jumlah dari semua komponen momen gaya luar
yang bekerja pada segmen yang terisolasi, yaitu beban luar yang bekerja tegak
lurus sepanjang sumbu axis. Sebagai contoh momen bending adalah terjadi pada
konstruksi jembatan.
𝑀 𝜎
=
𝐼 𝑦
Keterangan:
M = Momen Bending (Nm)
I = Momen Inersia (kgm2)
y = jarak dari sumbu netral ke permukaan benda (m)
𝜎= tegangan bending (Pa)
Spesimen
Bahan : Baja 25,4 × 3,2 mm
E = 2 × 107 gr/mm
Spesimen 1 : a = 75 mm R = 75 mm b = 75 mm
Spesimen 2 : a = 0 R = 150 mm b=0
Spesimen 3 : a = 0 R = 75 mm b = 75 mm
Spesimen 4 : a = 150 mm R=0 b = 150 mm
Spesimen 3
pembebanan
No X Y
(gram) ΔX ΔY
1 2 1 2
1 50 0,13 0,09 0,11 0,10 0,10 0,10
2 100 0,22 0,23 0,225 0,20 0,23 0,215
3 150 0,34 0,34 0,34 0,46 0,48 0,47
4 200 0,41 0,41 0,41 0,54 0,57 0,565
5 250 0,47 0,50 0,485 0,74 0,79 0,765
6 300 0,51 0,53 0,52 0,94 0,95 0,945
7 350 0,54 0,57 0,555 1,01 1,07 1,04
8 400 0,64 0,71 0,675 1,17 1,17 1,17
9 450 0,80 0,80 0,80 1,40 1,40 1,40
10 500 0,88 0,88 0,88 1,54 1,54 1,545
Ʃ 4,94 5,06 5 8,1 8,31 8,205
Tabel 5.5 Hubungan antara beban dengan defleksi teoritis horizontal (∆p) berbagai
spesimen
defleksi horisontal (X)
no pembebanan
spesimen 1 spesimen 2 spesimen 3 spesimen 4
1 50 0.062 0.061 0.304 0.061
2 100 0.124 0.122 0.061 0.122
3 150 0.186 0.182 0.091 0.182
4 200 0.248 0.243 0.121 0.243
5 250 0.310 0.304 0.152 0.304
6 300 0.371 0.365 0.182 0.365
7 350 0.433 0.426 0.212 0.426
8 400 0.495 0.487 0.243 0.487
9 450 0.557 0.547 0.273 0.547
10 500 0.619 0.608 0.304 0.608
Tabel 5.6 Hubungan antara beban dengan defleksi teoritis vertikal (∆w) berbagai
spesimen
defleksi vertikal (Y)
No pembebanan
spesimen 1 spesimen 2 spesimen 3 spesimen 4
1 50 0.097 0.095 0.027 0.124
2 100 0.194 0.191 0.054 0.247
3 150 0.291 0.286 0.081 0.371
4 200 0.388 0.382 0.109 0.494
5 250 0.486 0.477 0.136 0.618
6 300 0.583 0.573 0.163 0.741
7 350 0.680 0.668 0.190 0.865
8 400 0.777 0.764 0.217 0.988
9 450 0.874 0.859 0.244 1.112
10 500 0.971 0.955 0.271 1.235
a. Spesimen 3
Defleksi Vertikal
𝑊𝑎2 𝑊𝑅 𝜋𝑎2 𝜋𝑅 2 𝑊 2
∆𝑤 = + [ + + 2𝑎𝑅] + (𝑎 𝑏 + 2𝑎𝑏 2 + 𝑏𝑅 2 )
3𝐸𝐼 𝐸𝐼 2 4 𝐸𝐼
50 𝑥 02 50 𝑥 75 𝜋 𝑥 02 𝜋 𝑥 752
∆𝑤 = 3 x 2.107x 69.358933 + [ + + 2 𝑥 0 𝑥 75 ]
2.107 x 69.358933 2 4
50
+ x (02 𝑥 75 + 2 𝑥 0 𝑥 752 + 75 𝑥 752 )
2.107 x 69.358933
∆𝑤 = 0.027143 mm
Defleksi Horizontal
𝑊𝑅 2 𝜋 𝑅 𝑊 𝑎𝑏 2 𝑏2𝑅
∆𝑃 = [𝑎 (2 − 1 + 2 )]+ 𝐸𝐼 (𝑎𝑏𝑅 + 𝑏𝑅 2 + + )
𝐸𝐼 2 2
50 𝑋 752 𝜋 75 50
∆𝑃 = 2.107 𝑋 69.358933 [0 (2 − 1 + )]+ 2.107 𝑋 69.358933 (0 𝑥 0.75 𝑥 0.75 +
2
0 𝑥 752 752 𝑥 75
75 𝑥 752 + + )
2 2
∆𝑃 = 0.030412 mm
b. Spesimen 2
Defleksi vertikal
𝑊𝑎2 𝑊𝑅 𝜋𝑎2 𝜋𝑅 2 𝑊
∆𝑤 = + [ + + 2𝑎𝑅] + (𝑎2 𝑏 + 2𝑎𝑏 2 + 𝑏𝑅 2 )
3𝐸𝐼 𝐸𝐼 2 4 𝐸𝐼
50 𝑥 02 50 𝑥 150 𝜋 𝑥 02 𝜋 𝑥 1502
∆𝑤 = 3 x 2.107 x 69.358933 + [ + +
2.107 x 69.358933 2 4
50
2 𝑥 0 𝑥 150 ] + x (02 𝑥 0 + 2 𝑥 0 𝑥 02 + 0 𝑥 1502 )
2.107 x 69.358933
∆𝑤 = 0,09549509 mm
Defleksi horizontal
𝑊𝑅 2 𝜋 𝑅 𝑊 𝑎𝑏 2 𝑏2 𝑅
∆𝑃 = [𝑎 (2 − 1 + 2 )]+ 𝐸𝐼 (𝑎𝑏𝑅 + 𝑏𝑅 2 + + )
𝐸𝐼 2 2
50 𝑋 02 𝜋 0 50
∆𝑃 = 2.107 𝑋 69.358933 [150 ( 2 − 1 + 2)]+ 2.107 𝑋 69.358933
150 𝑥 1502 1502 𝑥 0
(150 𝑥 75 𝑥 0 + 75 𝑥 02 + + )
2 2
6.5.3.1 Grafik Hubungan Defleksi Horisontal dan Vertikal terhadap Variasi Pembebanan Pada Spesimen 2
1.2
0
0 100 200 300 400 500 600
Pembebanan (gram)
Analisa Grafik
Secara umum grafik hubungan antara defleksi horizontal dan vertikal terhadap
variasi pembebanan pada spesimen 2 cenderung mengalami peningkatan hal ini
disebabkan karena adanya penambahan beban sehingga defleksi semakin bertambah dan
deformasi yang terjadi akibat beban selalu kontinyu. Pertambahan nilai defleksi terhadap
beban sesuai dengan rumus
𝑊𝑎2 𝑊𝑅 𝜋𝑎2 𝜋𝑅 2 𝑊 2
∆𝑤 = + [ + + 2𝑎𝑅] + (𝑎 𝑏 + 2𝑎𝑏 2 + 𝑏𝑅 2 )
3𝐸𝐼 𝐸𝐼 2 4 𝐸𝐼
𝑊𝑅 2 𝜋 𝑅 𝑊 𝑎𝑏 2 𝑏2𝑅
∆𝑃 = [𝑎 ( 2 − 1 + 2 )]+ 𝐸𝐼 (𝑎𝑏𝑅 + 𝑏𝑅 2 + + )
𝐸𝐼 2 2
6.5.3.2 Grafik Hubungan Defleksi Horisontal dan Vertikal terhadap Variasi Pembebanan Pada Spesimen 3
1.000000
0.800000
0.600000
0.400000
0.200000
0.000000
0 100 200 300 400 500 600
Axis Title
Analisa Grafik :
Secara umum grafik hubungan antara defleksi horizontal dan vertikal terhadap
variasi pembebanan pada spesimen 3 yang cenderung mengalami peningkatan hal ini
disebabkan karena adanya penambahan beban sehingga defleksi horizontal semakin
meningkat dan deformasi yang terjadi akibat beban selalu kontinyu.
Pada grafik defleksi horizontal dan vertikal teoritis spesimen 3, peningkatan
grafik ini sesuai dengan rumus :
𝑊𝑎2 𝑊𝑅 𝜋𝑎2 𝜋𝑅 2 𝑊 2
∆𝑤 = + [ + + 2𝑎𝑅] + (𝑎 𝑏 + 2𝑎𝑏 2 + 𝑏𝑅 2 )
3𝐸𝐼 𝐸𝐼 2 4 𝐸𝐼
𝑊𝑅 2 𝜋 𝑅 𝑊 𝑎𝑏 2 𝑏2 𝑅
∆𝑃 = [𝑎 ( 2 − 1 + 2 )]+ 𝐸𝐼 (𝑎𝑏𝑅 + 𝑏𝑅 2 + + )
𝐸𝐼 2 2
6.5.3.3 Grafik Hubungan Defleksi Horisontal Teoritis Terhadap Variasi Pembebaban Berbagai Spesimen
0.7
Spesimen 1
0.6
Spesimen 2
0.5 Spesimen 3
Defleksi (mm)
0.4 Spesimen 4
0.3
0.2
0.1
0
0 100 200 300 400 500 600
Pembebanan (gram)
Gambar 5.18 Grafik Hubungan Defleksi Horisontal Teoritis Terhadap Variasi Pembebaban Berbagai Spesimen
Analisa Grafik :
Pada grafik di atas menjelaskan tentang pengaruh pembebanan terhadap defleksi
yang terjadi secara horizontal. Semakin tinggi nilai pembebanan yang diberikan kepada
specimen maka semakin tinggi pula nilai defleksi horizontal yang terjadi. Seperti pada
rumus berikut :
Spesimen 1
𝑊𝑅 2 𝜋 𝑅 𝑊 𝑎𝑏 2 𝑏2 𝑅
∆𝑃 = [𝑎 ( − 1 + )]+ (𝑎𝑏𝑅 + 𝑏𝑅 2 + + )
𝐸𝐼 4 2 𝐸𝐼 2 2
Spesimen 2
𝑊𝑅 3
∆𝑃 = 2𝐸𝐼
Spesimen 3
𝑊 𝑏2 𝑅
∆𝑃 = 𝐸𝐼 (𝑏𝑅 2 + )
2
Spesimen 4
𝑊 𝑎𝑏 2
∆𝑃 = 𝐸𝐼 ( )
2
Keterangan :
∆𝑃 : defleksi horizontal (mm)
𝑊 : beban (kg)
𝐸 : modulus elastisitas (kg/mm2)
𝐼 : momen inersia (mm4)
𝐴 : lengan horizontal (mm)
𝐵 : lengan vertikal (mm)
𝑅 : radius kelengkungan (mm)
3. Besar kecil gaya yang diberikan pada batang berbanding lurus dengan besarnya
defleksi yang terjadi.
Pada grafik diatas, spesimen mengalami pertambahan defleksi horizontal seiring
dengan bertambahnya beban yang diberikan. Namun disini terdapat perbedaan defleksi
antar spesimen. Untuk spesimen 1 mengalami defleksi horizontal yang lebih tinggi
daripada spesimen yang lainnya. Namun selisih antara grafik spesimen 1,2, dan 4 tidak
terlalu tinggi. Ini dikarenakan beban horizontal berhubungan dengan momen, dan momen
berhubungan dengan jarak beban terhadap tumpuan. Pada spesimen 1,2, dan 4 jarak beban
terhadap titik tumpuan sama yaitu 150 mm. Karena jarak beban terhadap titik tumpuan
sama, maka besarnya defleksi horrizontal pada kedua spesimen hampir sama.
Pada spesimen 3, defleksi horisontal yang terjadi paling kecil. Hal ini dikarenakan
jarak antara beban dengan tumpuan tidak terlalu jauh, yaitu 75 mm. Ini mengakibatkan
momen yang diterima oleh spesimen 3 tidak terlalu besar sehingga defleksi horisontal
yang terjadi tidak terlalu besar.
6.5.3.4 Grafik Hubungan Defleksi vertikal Teoritis Terhadap Variasi Pembebaban Berbagai Spesimen
1.4
Spesimen 1
1.2
Spesimen 2
1 Spesimen 3
Defleksi (mm)
0.8 Spesimen 4
0.6
0.4
0.2
0
0 100 200 300 400 500 600
Pembebanan (gram)
Gambar 5.19 Grafik Hubungan Defleksi vertikal Teoritis Terhadap Variasi Pembebaban Berbagai Spesimen
𝑊𝑎2 𝑊𝑅 𝜋𝑎2 𝜋𝑅 2 𝑊 2
∆𝑤 = + [ + + 2𝑎𝑅] + (𝑎 𝑏 + 2𝑎𝑏 2 + 𝑏𝑅 2 )
3𝐸𝐼 𝐸𝐼 2 4 𝐸𝐼
Spesimen 2 :
𝜋𝑊𝑅 3
∆𝑤 =
4𝐸𝐼
Spesimen 3 :
𝜋𝑊𝑅 3 𝑊𝑏𝑅 2
∆𝑤 = +
4𝐸𝐼 𝐸𝐼
Spesimen 4 :
𝑊𝑎2 𝑊 2
∆𝑤 = + (𝑎 𝑏 + 2𝑎𝑏 2 )
3𝐸𝐼 𝐸𝐼
Keterangan :
∆𝑤 : defleksi vertikal (mm)
𝑊 : beban (kg)
𝐸 : modulus elastisitas (kg/mm2)
𝐼 : momen inersia (mm4)
𝐴 : lengan horizontal (mm)
𝐵 : lengan vertikal (mm)
𝑅 : radius kelengkungan (mm)
3. Sudut atau tanpa adanya radius menimbulkan pemusatan tegangan sehingga defleksi
yang terjadi lebih besar, disbanding dengan specimen yang memiliki radius.
Dari rumus diatas dapat di hubungkan dengan grafik yang menunjukkan bahwa
urutan dari defleksi yang paling tinggi 4,1,2,3 yaitu karena spesimen 4 tidak memiliki
Radius ( R ) sehingga terjadi pemusatan tegangan, dilanjutkan dengan spesimen 1
dikarenakan lengannya yang lebih kecil yaitu sebesar 75. Kemudian spesimen 2 yang
memiliki radius sebesar 150 sehingga distribusi tegangan lebih merata dibanding
spesimen 1. Dilanjutkan dengan spesimen 3 dimana tidak mempunyai lengan dan radius
kecil sehingga defleksinya juga kecil.
Pada spesimen 3, defleksi vertikal yang terjadi paling kecil. Hal ini dikarenakan
jarak antara beban dengan tumpuan tidak terlalu jauh, yaitu 75 mm. Ini mengakibatkan
momen yang diterima oleh spesimen 3 tidak terlalu besar sehingga defleksi vertikal yang
terjadi tidak terlalu besar.
Saran
1. Spesimen yang digunakan sebaiknya diperbarui untuk meminimalisir perbedaan
defleksi antara aktual dan teoritis
2. Bagi asisten sebaiknya lebih diperkenalkan mengenai alat – alat yang akan dibuat
praktikum .
3. Bagi praktikan diharapkan untuk menguasai dasar teori agar lebih mudah dalam
kegiatan asistensi.
4. Praktikan sebaiknya dating tepat waktu