Di Susun oleh :
Difla Hanum
Fajar Handayani
Retno Dwi Jayanti
Arini Milati
Aditya Gilang Ramadhan
Atrisa Aidila
Muiz Abdul A
Chalida Jannah
Irma Syarif
(08613136)
(09613149)
(10613055)
(10613125)
(10613160)
(10613150)
(10063253)
(10613260)
(10613249)
(10613264)
(10613310)
(10613314)
Rike Fisabililah
Avivah Reishawati
Yaya Hapnafia Raif
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI FARMASI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2014
1. Kasus
Pasien Tewas Setelah Diinfus
indosiar.com, Tegal - Seorang warga di Tegal, Jawa Tengah tewas diduga
akibat mal praktek saat dirawat di rumah sakit. Korban diberi cairan infus yang sudah
kadaluarsa saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal sehingga
kondisinya terus memburuk dan akhirnya tewas. Sementara itu pihak Rumah Sakit
Mitra Siaga mengatakan, pemberian infus kadaluarsa tersebut bukan merupakan
kesengajaan.
Solihul, warga Surodadi, Tegal, Jawa Tengah meninggal Selasa (25/03/08)
kemarin, di Rumah Sakit Harapan Anda Tegal. Tangis keluarga korban pun tak
terbendung saat mengetahui korban sudah meninggal.
Istri korban Eka Susanti bahkan berkali-kali tak sadarkan diri. Salah satu
keluarga korban berteriak-teriak histeris sambil menunjukkan sisa infus kadaluarsa
yang diberikan ke korban saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal
Sabtu pekan lalu tempat sebelumnya korban dirawat.
Pada kemasan infus tertera tanggal kadaluarsa 14 Januari 2008. Keluarga
korban menuding pemberian infus kadaluarsa inilah yang menyebakan korban
meninggal. Pihak Rumah Sakit Mitra Siaga dinilai teledor karena memberikan infus
yang sudah kadaluarsa.
Menurut keluarga korban, sejak diberi infus kadaluarsa, kondisi korban terus
memburuk. Korban yang menderita gagal ginjal awalnya dirawat di Rumah Sakit
Mitra Siaga Tegal selama 10 hari. Karena tak kunjung sembuh, pihak keluarga
kemudian memutuskan merujuk korban ke RSI Islam Harapan Anda Tegal. Korban
langsung menjalani perawatan di ruang ICU. Namun tiga hari menjalani perawatan di
ICU kondisi korban terus memburuk, hingga akhirnya meninggal dunia.
Direktur Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal, Dokter Wahyu Heru Triono
mengatakan, tidak ada unsur kesengajaan dalam kasus infus kadaluarsa yang di
berikan kepada pasien Solihul, namun pihaknya mengakui insiden ini menunjukkan
adanya kelemahan monitoring logistik farmasi.
Meski belum dapat dipastikan meninggalnya korban akibat infus kadaluarsa,
pihaknya akan menjadikan kasus ini sebagai evaluasi untuk memperbaiki monitoring
logistik farmasi.
Sementara
itu
keluarga
korban
mengaku
tetap
akan
menuntut
pertanggungjawaban pihak Rumah Sakit Mitra Siaga atas terjadinya kasus ini.
Pasalnya, tidak saja telah kehilangan nyawa, namun keluarga korban tetap harus
membayar biaya perawatan sebesar 7 juta rupiah. (Kuncoro Wijayanto/Sup)(1).
dipergunakan. Pada sediaan infus yang telah kadaluarsa, kemungkinan telah tumbuh
mikroorganisme sehingga sediaan tersebut tidak steril yang dapat membahayakan
tubuh pemakai. Apabila infus tidak steril, bakteri maupun virus (pirogen) dapat
langsung berada di pembuluh darah dan menyerang organ tubuh tanpa didahului
mekanisme penyaringan terlebih dahulu(2).
Tanggung jawab seorang farmasis rumah sakit adalah dalam hal pengawasan
obat di Rumah Sakit. Kelalaian dalam penyelenggaraan pemantauan atau pemantauan
yang tidak mengikuti standar (kurang tepat) oleh farmasis klinik dapat dikatagorikan
dalam kegiatan malpraktek kefarmasian. Hal inilah yang telah terjadi pada kasus di
atas.
Pelanggaran-pelanggaran yang terkait mengenai peran kerja Apoteker dalam
kasus tersebut adalah :
1. PP 51 tahun 2009 Tentang pekerjaan kefarmasian :
Pasal 1 ayat 1 : Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk
pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep
dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional(3).
Pasal 1 ayat 3 : Pekerjaan Kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah,
keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, dan perlindungan serta kelesamatan pasien
atau masyarakat yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi yang memenuhi standar
dan persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan(3).
2. Kode Etik Apoteker Indonesia
untuk mendeteksi secara dini suatu penyimpangan distribusi atau pengalihan obat.
Hal yang paling terpenting untuk menekan angka terjadinya malapraktik, harus
ada saling kontrol antara dokter, farmasis, dan perawat, karena ketiganya memiliki
tahap penyaluran obat kepada pasien tersalur dengan baik dan adanya proses KIE
(Konseling, Informasi dan Edukasi).
memberikan pelayanan tidak bisa diwakilkan. Seperti anda periksa ke dokter, yang
memeriksa harus dokternya sendiri. Bukan asistennya, bukan adiknya atau kakaknya,
tutur Ahaditomo(8).
Sosialisasi Aturan
Kerja apoteker juga terikat sumpah, sebab apoteker bertanggung jawab atas
mutu obat yang dikonsumsi masyarakat. Selain itu, apoteker bertanggung jawab atas
penyimpanan, kontrol dan distribusi obat.Jadi kalau ada yang melakukan
penyimpanan obat dan itu bukan apoteker, sudah melanggar hukum. Jika ada apotek
yang tidak memiliki apoteker, menyimpan obat, menjual obat terutama daftar G, itu
melanggar hukum, kata Ahaditomo. KFN sebagai organisasi yang dibentuk tahun
2011 akan terus melakukan sosialisasi aturan tersebut. Yakni Undang-Undang 36
Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
Didalamnya disebutkan tentang persyaratan apoteker dan tenaga kefarmasian.Jika
terjadi pelanggaran, maka menjadi kewenangan Dinas Kesehatan wilayah setempat
yang akan dibahas apakah termasuk pidana, ataukah pelanggaran etika apoteker.
Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Jawa Tengah, Jamaludin Al J Efendi mengatakan
apoteker harus setia pada sumpahnya.Dibutuhkan konsistensi dan integritas profesi
apoteker. Sebab profesi ini berhubungan dengan keselamatan masyarakat, kata
Jamaludin. (H89)(8).
2.
d. Klinik
e. Toko Obat; atau
f. Praktek bersama.
2. Bab III tentang Pekerjaan Kefarmasian Dalam Produksi Sediaan Farmasi
Dan Bagian IV Pekerjaan Kefarmasian Dalam Distribusi atau Penyaluran Sediaan
Farmasi
3. Pasal 14 ayat 1 Setiap Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi
berupa obat harus memiliki seorang Apoteker sebagai penanggung jawab.
4. Pasal 21 ayat 2 Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter
dilaksanakan oleh Apoteker.
5. Pasal 51 ayat 1 Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau instalasi
farmasi rumah sakit hanya dapat dilakukan oleh Apoteker(3).
3.
Refleksi
Bab III : Tenaga Kefarmasian (pasal 33, pasal 34 1c)
(menurut
saya,
apoteker
tersebut
belum
menjalankan
pekerjaannya
Daftar Pustaka
1) Anonim, http://www.indosiar.com/patroli/pasien-tewas-setelahdiinfus_6883.html/ diakses tanggal 9 Desember 2014 17:55 WIB.
2) Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2007, Jakarta.
3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51, 2009, Tentang Pekerjaan
kefarmasian, Jakarta.
4) Kode Etik Apoteker Indonesia Dan Implementasi Jabaran Kode Etik, 2009,
Jakarta.
5) Republik Indonesia, 1992, Undang-Undang No. 32 Tentang Kesehatan,
Sekretariat Negara, Jakarta.
6) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/ Menkes/ SK/ XII/ 1999 tentang Standar
Pelayanan Rumah Sakit, Available at : http://keputusan-menteri-kesehatan-nomor1333-menkes-sk-xii-1999-tentang-standar-pelayanan-rumah-sakit.pdf/ diakses
tanggal 9 Desember 2012 19:42 WIB.