POKOK BAHASAN
SUB-POKOK BAHASAN
Gambar 1.
Prevalensi stroke di Indonesia adalah sekitar 28% dari keseluruhan penyakit dan di RSU
Prof. dr. R.D. Kandou kelompok diagnosis stroke (stroke hemoragik, stroke iskemik, dan poststroke) mengambil sekitar seperlima (18%) porsi dari keseluruhan penyakit. Di Bagian Neurologi
RSU Prof. dr. R.D. Kandou, stroke menempati urutan pertama dari 10 penyakit terbanyak.
Istilah time is brain untuk penanganan stroke menunjukkan betapa faktor kecepatan
memainkan peranan penting dalam prognosis stroke. Golden period untuk penanganan stroke
Trombosis
Emboli
FAKTOR RESIKO
Resiko stroke meningkat seiring dengan berat dan banyak faktor resiko. Penggolongan
faktor resiko menurut Guidelines Stroke Perdossi 2004 terdapat dalam Tabel I.
TABEL I
FAKTOR RESIKO STROKE
Faktor Resiko Stroke
Dapat dimodifikasi
Hipertensi
Riwayat stroke
Penyakit jantung
Diabetes melitus
Penyakit karotis asimptomatis
(stenosis karotis)
Transient ischemic attack (TIA)
Hiperkolesterolemia
Merokok
Obesitas
Alkoholik
Penggunaan narkotik
Hiperhomosisteinemia
Antibodi antifiosfolipid
Hiperurisemia
Peninggian hematokrit
Peninggian kadar fibrinogen
PATOFISIOLOGI
Sirkulus Willisi dan Kolateral Pembuluh Darah Otak
Parenkim otak terutama memperoleh pasokan darah dari arteri karotis interna kanan dan
kiri serta arteri vertebralis kanan dan kiri. Arteri karotis interna memberi cabang arteri serebri
media dan arteri serebri anterior yang memperdarahi otak depan kiri dan kanan. Arteri vertebralis
menyatu menjadi arteri basilaris. Arteri basilaris kemudian membagi diri menjadi arteri serebri
posterior kiri dan kanan yang memperdarahi otak bagian belakang. Sistem arteri untuk otak
belakang dihubungkan oleh arteri komunikans posterior dengan sistem arteri untuk otak depan.
Sistem arteri untuk otak bagian kanan dihubungkan dengan bagian kiri dengan arteri komunikans
anterior. Struktur ini membentuk suatu lingkaran yang dinamakan sirkulus Willisi (Gambar 2).
a. komunikans anterior
a. serebri anterior
a. serebri media
a. karotis interna
a. komunikans posterior
a. serebri posterior
a. basilaris
a. vertebralis
Gambar 2.
Sirkulus Willisi
Sirkulus Willisi berfungsi sebagai kolateral pembuluh darah (struktur pembuluh darah
alternatif yang terutama berfungsi jika struktur pembuluh darah utama mengalami gangguan).
Sirkulus ini penting dalam keadaan di mana pembuluh utama mengalami gangguan. Misalnya
jika terjadi sumbatan pada arteri serebri anterior kanan maka darah untuk daerah yang
diperdarahi oleh arteri serebri anterior kanan bisa dipasok dari pembuluh darah lain lewat arteri
komunikans, misalnya dari arteri karotis interna kiri lewat arteri komunikans anterior. Dalam hal
ini, arteri komunikans anterior menjadi kolateralnya. Dalam keadaan normal darah pada struktur
kiri dan kanan, depan dan belakang tidak saling bertukar.
Terdapat kolateral-kolateral lain selain di sirkulus Willisi misalnya anastomosis arteriarteri Huebner di daerah superfisial otak.
Untuk stroke hemoragik, selain kaskade iskemik juga terjadi efek akibat tekanan
intrakranial yang meningkat cepat dan efek toksik akibat zat-zat dalam darah yang berkontak
langsung dengan sel-sel saraf.
Di masa kini, pemahaman patofisiologi stroke hingga ke tingkat molekular bersama
dengan pengetahuan tentang terapi gen memberi harapan untuk penemuan terapi stroke yang
lebih baik.
Hemiparesis/ hemiplegia (kelemahan/ kelumpuhan badan pada satu sisi, kiri atau kanan.
Misalnya kelemahan lengan dan tungkai kiri).
Hemihipestesia/ anestesia (berkurangnya rasa atau mati rasa pada salah satu sisi, kiri
atau kanan. Misalnya berkurang rasa pada lengan dan tungkai kanan).
Penglihatan kabur/buta (tiba-tiba) terutama bila pada satu mata ( amaurosis fugax )
Gangguan bicara seperti bicara pelo (disartria) hingga afasia (gangguan berbahasa di
mana penderita tidak mampu mengungkapkan isi pikirannya dengan kata-kata atau
mengerti maksud kalimat lisan/ tulisan atau kedua-duanya).
Nyeri kepala yang hebat yang timbul mendadak, yang tidak jelas penyebabnya
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa jenis pemeriksaan darah harus dilakukan pada semua pasien dengan stroke
iskemik atau TIA. Pemeriksaan lain terbatas pada pasien-pasien yang lebih muda atau jika
terdapat indikasi untuk melakukannya.
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk kasus stroke di antaranya adalah:
-
Darah perifer lengkap (DPL), Hematokrit (Ht), laju endap darah (LED).
Asam urat.
Tes fungsi ginjal (skirining awal dengan pemeriksaan ureum & kreatinin darah), tes fungsi
hepar (skrining awal dengan pemeriksaan SGOT/ SGPT), faal hemostasis {skiring awal
dengan pemeriksaan clothing time (CT), bleeding time (BT), pro-thrombine time (PT)
serta activated pro-thrombine time (APTT)}.
Elektrolit dan analisis gas darah pada pasien yang dicurigai mengalami gangguan
elektrolit, penurunan kesadaran atau asidosis/ alkalosis.
Urinalisis.
Foto toraks.
CT scan.
Stroke iskemik
Stroke hemoragik
Trauma kranioserebral
Hematoma subdural
Abses otak
TABEL II
DIAGNOSIS BANDING STROKE
Diagnosis Banding Stroke
Ensefalitis (radang otak)
Tumor otak
Kejang dengan paralisis postiktal
Hipoglikemia
Migren berat
Meskipun banyak penyakit yang terlihat seperti memberikan gambaran defisit neurologis
akut, namun dalam kenyataannya defisit neurologis yang terjadi berkembang dalam beberapa
jam, hari atau lebih lama. Anamnesis yang teliti diperlukan untuk mengorek keterangan yang
dapat dipercaya dari pasien atau keluarga pasien yang cemas.
TERAPI
Penanganan stroke harus dipandang secara holistik. Artinya tidak terbatas dalam
dinding-dinding rumah sakit dan intervensi medis semata. Penanganan stroke dimulai dengan
pencegahan, baik melalui pendekatan komunitas ataupun pribadi. Jika terjadi serangan, terlebih
dahulu dibuat penanganan di pra-rumah sakit. Saat tiba di rumah sakit, dilakukan penanganan di
gawat darurat. Di rumah sakit, penatalaksanaan stroke dilakukan secara terintegrasi dalam suatu
unit khusus hingga pasien melewati masa akut dan memasuki masa persiapan keluar rumah
sakit. Setelah pasien dirawat jalan, perlu dilakukan pencegahan sekunder untuk mencegah
serangan ulang dan rehabilitasi untuk memperbaiki kualitas hidup. Pembagian fase-fase
penanganan stroke terdapat dalam Gambar 5.
Perawatan stroke unit*
Fase darurat
Fase akut
Fase subakut
0 - 12 jam
12 - 72 jam
3 - 14 hari
Diagnosis
Mengurangi cidera
otak
Pencegahan
komplikasi
Mobilisasi dini
Mulai latihan
Rehabilitasi dini
Pencegahan
komplikasi
Pencegahan sekunder
Transfer
Follow up
Fase transfer
Fase follow up
Fase kronis
30 - 180 hari
>180 hari
14 - 30 hari
Kehidupan aktif
Transfer ke rumah
Kembali ke kehidupan
atau bangsal
yang seaktif mungkin
rehabilitasi
Pencegahan sekunder
Penanganan pasien stroke akut di ruang gawat darurat berupa terapi umum dan terapi
khusus. Terapi umum mencakup tindakan mempertahankan airway/ jalan nafas, breathing/
pernafasan, dan circulation/ sirkulasi jantung & pembuluh darah (tindakan ini disingkat ABC dan
merupakan urut-urutan yang digunakan untuk menangani pasien gawat darurat) pada pasien.
Tindakan khusus tergantung jenis stroke. Pada stroke iskemik dipertimbangkan
pemberian anti-platelet (seperti aspirin, dipiridamol, tiklopidin, silostazol, klopidogrel atau
kombinasinya), anti-koagulan (seperti heparin, low molecular weight heparin = LMWH, warfarin,
dan kumarin), dan agen fibrinolisis {recombinant tissue plasminogen activator (rTPA)}.
Pada stroke hemoragik terutama dilakukan stabilisasi pasien. Penanganan selanjutnya
bisa secara konservatif atau operatif.
Pada perdarahan sub-araknoid dapat diberikan obat penyekat kanal kalsium (calcium
channel blocker) yaitu nimodipin.
Pasien-pasien stroke umumnya memiliki tingkat disabilitas tinggi karena gangguan gerak/
mobilisasi, gangguan mengunyah dan menelan, masalah higiene mulut, gangguan BAB/ BAK,
tirah baring, dan penyulit-penyulit lain yang timbul karena perawatan lama di rumah sakit (infeksi
nosokomial, radang paru-paru, luka-luka di kulit akibat tekanan, kekakuan otot dan sendi,
gangguan gizi, dll). Hal ini menjadikan pasien stroke sangat tergantung pada orang lain yang
merawatnya. Jadi, selain terapi, perawatan pasien berperan penting dalam pemulihannya.
Rehabilitasi (penggunaan berbagai modalitas fisik seperti fisioterapi, terapi okupasi,
terapi wicara, psikoterapi, dll untuk pemulihan pasien) sebaiknya dilakukan sedini mungkin
setelah pasien stabil.
PENCEGAHAN
Tidak ada terapi stroke yang sesukses dan sehemat pencegahan. Telah banyak hal yang
diketahui tentang pencegahan stroke yang secara bermakna menurunkan insiden stroke.
Pencegahan stroke melibatkan dua strategi yang berbeda. Yaitu pencegahan primer dan
sekunder.
Pencegahan primer mencakup terapi untuk menghambat gangguan iskemik pembuluh darah
baik untuk populasi besar atau kelompok lebih kecil beresiko tinggi yang asimptomatik.
Pencegahan sekunder mencakup terapi untuk mencegah stroke atau gangguan pembuluh darah
lain pada seseorang yang sudah pernah mengalaminya/ simptomatik. Kelompok beresiko tinggi
Angina pektoris (nyeri dada tumpul pada pasien dengan gangguan penyempitan
pembuluh darah koroner).
Klaudikasio (nyeri dan pegal pada tungkai yang diprovokasi oleh berjalan lama).
Amaurosis fugax (kebutaan salah satu mata yang berlangsung tidak lama/ langsung
pulih).
Stroke iskemik.
Dalam kenyataannya, pembagian menjadi pencegahan primer dan sekunder banyak kali tidak
jelas sebab penanganan kedua kelompok hampir sama.
Pencegahan Primer
Dalam pencegahan primer seseorang perlu mengetahui faktor resiko stroke apa saja
yang dimilikinya (yang tidak dapat dimodifikasi dan dapat dimodifikasi). Pemeriksaan penyakit
pembuluh darah sebagai tes penyaringan mulai banyak dilakukan misalnya dengan uji latih
jantung (treadmill), ultrasonografi, angiografi, dll. Penulis belum menemukan kepustakaan
tentang rekomendasi pelaksanaan pemeriksaan ini secara mendetil.
Langkah pertama yang dilakukan untuk mencegah stroke adalah dengan memodifikasi
gaya hidup. Rekomendasi Guideline Stroke Perdossi tahun 2004 untuk gaya hidup sehat untuk
pencegahan stroke adalah:
-
Menghentikan rokok.
nonfarmakologis. Jika modifikasi nonfarmakologis gagal baru dilakukan terapi farmakologis untuk
mengatasi penyakit dasarnya.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder melibatkan hal-hal berikut ini:
-
Pengendalian faktor resiko stroke atau aterosklerosis melalui modifikasi gaya hidup.
10
hemostasis.
Edukasi Masyarakat
Edukasi masyarakat dilakukan sesuai dengan latar belakang pendidikan, sosial, budaya
dan ekonomi setempat. Beberapa komponen edukasi masyarakat yang perlu diberikan adalah:
-
Penyakit periodontal umum ditemui dan memiliki prevalensi sekitar 90% di seluruh dunia.
Periodontitis terjadi akibat hilangnya jaringan ikat dan dukungan tulang serta merupakan
penyebab utama gigi tanggal pada orang dewasa. Beberapa penyakit periodontal
ternyata berhubungan dengan keluaran (outcome) yang buruk dari kehamilan dan
beberapa penyakit seperti penyakit kardiovaskular, paru-paru, diabetes melitus, termasuk
juga stroke (meski hubungan sebab-akibatnya belum jelas). Pencegahan dan perawatan
diarahkan pada pengendalian biofilm bakteri (dental plaque) dan faktor resiko lainnya,
menghentikan perlangsungan penyakit, serta mengembalikan dukungan terhadap gigi.
Nyeri gigi merupakan keluhan yang sering ditemui. Sebagian besar disebabkan oleh
sebab dalam rongga mulut. Namun dokter gigi juga perlu mengetahui bahwa pada
sebagian kecil kasus, diseksi/ robekan spontan arteri karotis interna bisa memberikan
gejala yang menyerupai nyeri gigi.
Ateroma pada arteri karotis yang merupakan faktor yang melatarbelakangi terjadinya
stroke bisa terlihat pada radiografi panoramik yang biasa dimintakan oleh dokter gigi.
Keberadaan plak ateroma ini perlu dikonfirmasi lagi dengan pemeriksaan ultrasonografi
(trans-cranial Doppler ultrasound=TCD).
11
Dalam pencegahan dan terapi stroke sering diberikan obat-obat yang mempengaruhi faal
hemostasis seperti antiplatelet dan antikoagulan. Antiplatelet seperti aspirin sebaiknya
dihentikan sebelum proses ekstraksi gigi karena dapat menyebabkan memanjangnya
waktu perdarahan. Waktu penghentian aspirin yang ideal adalah sekitar 5 7 hari.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan waktu perdarahan (bleeding time = BT) dan waktu
pembekuan (clothing time = CT) untuk menilai fungsi platelet.
Beberapa literatur mengatakan bahwa pemberian antikoagulan seperti warfarin tidak
perlu dihentikan sebelum ekstraksi gigi asalkan hasil pemeriksaan laboratoriumnya
(International Normalized Ratio = INR) berada dalam batas normal. Overdosis warfarin
sendiri bisa diterapi dengan penghentian obat, pemberian vitamin K, dan pada kasuskasus berat, transfusi plasma beku segar (fresh frozen plasma = FFP). Di pusat-pusat
kesehatan
dengan
keterbatasan
pemeriksaan
dan
terapi,
banyak
yang
tetap
12
KEPUSTAKAAN
1.
Aminoff M.J, Greenberg D.A, Simm R.P. Clinical Neurology. 3rd edition Boston: Lange; 1996.
2.
Sekeld WM, Whitly RJ, Durace DT. Infections of the central nervous system. New York: Raven
Press; 1991.
3.
Henry GL, Little N, Jagoda A, Pellegrino TR. Neurologic emergency a symptom oriented approach.
2nd edition. Neurologic trauma. New York: McGraw-Hill; 2003. p. 213 42.
4.
Duus P. Dianosis topik neurologi: anatomi, fisiologi, tanda, gejala. Edisi ke-2. Alih bahasa: Ronardy
DH. Suwono WJ. Editor edisi bahasa Indonesia. Jakarta: EGC; 1996.
5.
Pokdi
6.
Perkin GD. Mosbys color atlas and text of neurology. 2nd edition. Edinburgh: Mosby; 2004.
7.
8.
9.
Misbach J, Hamid AB, Mayza A, Saleh MK. Buku pedoman standar pelayanan medis (SPM) &
standar prosedur operasional (SPO) neurology koreksi tahun 1999 & 2005. Jakarta:
Perdossi; 2006.
stroke
2004
seri
ketiga.
Jakarta:
Pokdi
10. Rosenberg HM, et al. Birth and deaths: United States, 1995. Monthly Vital Statistics Report.
1996;45(3), Suppl 2.
11. Rose LF, et al. Oral care for patients with cardiovascular disease and stroke. JADA; vol. 133; June
2002. p. 37S 44S.
12. Joshipura K. The relationship between oral conditions and ischemic stroke and peripheral vascular
disease. JADA; vol. 133; June 2002. p. 23S 30S.
13. Gage B, et al. Warfarin therapy for an octogenarian who has atrial fibrillation. Ann Int Med; vol. 134;
number 6; 20 March 2001. p. 465 74.
13