Anda di halaman 1dari 33

TUGAS

MAKALAH
DASAR DAN TEORI PENDIDIKAN POLITIK

SUMBANGAN KONSEP DAN TEORI-TEORI ILMU SOSIAL LAIN


BAGI PENDIDIKAN POLITIK

Oleh:
Eka Yuniarti Sapitri
NPM. 145710121
Kelas Raden Saleh

Dosen Pengampu:
Dr.Kahar Yoes, M.Si.

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMUPENDIDIKAN


STKIP ARRAHMANIYAH DEPOK
PROGRAM STUDI S2 PPKn
2015

KATA PENGANTAR
Segala puji dan sedalam syukur penulis panjatkan ke haribaan Illahi Rabbi,
sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Rosulullah SAW. Tanpa
syafaat dan hidayahnya tidak mungkin penyusun dapat menyelesaikan kajian
makalah Sumbangan Konsep dan Teori teori Ilmu Sosial Lain Bagi Pendidikan
Politik pada mata kuliah Dasar dan Teori Pendidikan Politik.
Harapan penulis, dengan hadirnya makalah ini, akan dapat mengetahui
tentang sumbangan konsep dan teori teori ilmu sosial lain bagi pendidikan
politik di Indonesia. Semoga apa yang penulis susun ini bermanfaat untuk semua,
mahasiswa, ataupun masyarakat umum.
Penulis menyadari masih banyak adanya kekurangan, maka dari itu segala
masukan, sumbangan saran dari para pembaca yang budiman, pikiran dari kritikan
kontruktif amat diharapkan dan dibutuhkan agar lebih baik lagi. Demikian apabila
ada kekurangan atau kelebihan kami mohon maaf.
Wabillahi taufiq wal hidayah
Depok, 08 April 2015
Penyusun

DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................... i
Daftar Isi .................................................................................................... ii
A. Pendahuluan ................................................................................... 1
B. Pembahasan .................................................................................... 6
1. Konsep Ilmu Sosial ................................................................... 6
2. Teori Ilmu Sosial ....................................................................... 10
3. Pendidikan Politik ...................................................................... 16
4. Sumbangan Ilmu Sosial Lain Bagi Pendidikan Politik ............. 21
C. Kesimpulan ..................................................................................... 27

SUMBANGAN KONSEP DAN TEORI-TEORI ILMU SOSIAL LAIN BAGI


PENDIDIKAN POLITIK
ABSTRAK
Makalah ini bertujuan untuk memberikan sumbangan pikiran dan pendidikan di
Indonesia. Pembahasan dalam makalah ini difokuskan pada sumbangan konsep
dan ilmu sosial lain bagi pendidikan politik. Adapun isi secara garis besar tulisan
ini meliputi : Pendahuluan, Pengertian Konsep Ilmu Sosial,Teori Ilmu sosial,
Pendidikan Politik. Hasil pembahasan menjelaskan tentang sumbangan konsep
dan ilmu sosial lainnya bagi pendidikan politik.
Kata Kunci : Konsep ilmu sosial, teori ilmu sosial,pendidikan politik
A. Pendahuluan
Di kehidupan kita sebagai anggota masyarakat istilah sosial sering
dikaitkan dengan hal hal yang berhubungan dengan manusia dalam
masyarakat, seperti kehidupan kaum miskin di kota, kehidupan kaum berada,
kehidupan nelayan dan seterusnya. Dan juga sering diartikan sebagai suatu
sifat yang mengarah pada rasa empati terhadap kehidupan manusia sehingga
memunculkan sifat tolong menolong, membantu dari yang kuat terhadap yang
lemah, mengalah terhadap orang lain, sehingga sering dikataka sebagai
mempunyai jiwa sosial yang tinggi. Pada dunia pendidikanpun istilah sosial
dipakai untuk menyebut salah satu jurusan yang harus dipilih ketika memasuki
jenjang sekolah menengah atas atau pilihan ketika memasuki perguruan tinggi,
dan jurusan tersebut adalah jurusan yang berkaitan dengan segala aktivitas
yang berkenaan dengan tindakan hubungan antar manusia.
Lebih jauh lagi terdapat dua bidang ilmu yang ada di dunia ini yaitu
ilmu pengetahuan alam dan humaniora, kedua bidang tersebut mempunyai
perbedaan kajian, yaitu bahwa ilmu pengetahuan alam mengarah pada kajiankajian yang bersifat alam dan pasti, sedangkan humaniora berkaitan dengan
kemanusiaan, atau sering orang mengartikannya sebagai seni, bahasa, sastra.
Sosial merupakan bidang yang berada di antara humaniora dan ilmu

pengetahuan alam. Atau juga Ilmu pengetahuan alam dilawankan dengan ilmu
pengetahuan sosial atau ilmu sosial.
Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan sosial dari kenyataankenyataan tentang istilah tersebut di atas. Dilihat dari sasaran atau tujuan dari
istilah tersebut yang berkaitan dengan kemanusiaan, maka dapat diasumsikan
bahwa semua pernyataan tersebut pada dasarnya mengarah pada bentuk atau
sifatnya yang humanis atau kemanusiaan dalam artian kelompok, mengarah
pada

hubungan

antar

manusia

sebagai

anggota

masyarakat

atau

kemasyarakatan. Sehingga dapat dimaksudkan bahwa sosial merupakan


rangkaian norma, moral, nilai dan aturan yang bersumber dari kebudayaan
suatu masyarakat atau komuniti yang digunakan sebagai acuan dalam
berhubungan antar manusia.
Dengan adanya pedoman yang menjadi acuan dalam bertindak dan
berinteraksi antar sesama manusia sebagai anggota masyarakat maka
keharmonisan dan fungsi dari masing-masing hak dan kewajibannya akan
dapat terwujud dalam konteks nyata. kumpulan dari hak serta kewajiban yang
dikenakan pada seorang individu pada satu arena tertentu Perwujudan dari hak
dan kewajiban berupa status tersebut dalam tindakan yang ada disebut juga
sebagai peran-peran yang tampak. Status dengan demikian merupakan dan
suasana tertentu, artinya bahwa status seorang individu akan berlaku pada satu
arena tertentu dan tidak berlaku pada arena lainnya.
Dalam kehidupan suatu masyarakat atau komuniti, seorang individu
akan berhubungan dengan individu lain yang juga anggota masyarakat atau
komuniti yang bersangkutan, dan hubungan tersebut tidak hanya dalam satu
arena tertentu saja akan tetapi sangat berkaitan dengan kebutuhan dari
manusia

itu

sendiri.

Kebutuhan-kebutuhan

manusia

dalam

rangka

kehidupannya terwujud dalam bentuk-bentuk mata pencaharian, kesenian,


bahasa dan struktur kemasyarakatan, kekerabatan, teknologi dan agama.
Wujud pelaksanaan kebutuhan tersebut merupakan elemen dalam kebudayaan
manusia, oleh karena itu masing-masing elemen tersebut memunculkan
suasana-suasana tertentu yang sesuai dengan aktivitasnya.

Dengan dasar suasana dan arena yang manusia tersebut harus terlibat,
maka otomatis, seorang individu sebagai anggota suatu masyarakat akan
mempunyai banyak status berkaitan dengan suasana dan elemen budaya yang
ada. Kumpulan hak dan kewajiban atau status yang dipunyai oleh manusia
tersebut pada dasarnya dapat terbagi dalam dua bagian besar yaitu perolehan
(ascribed) dan pencapaian (achieved). Sebagai status perolehan, manusia tidak
akan dapat merubahnya karena sudah secara kodrati diterima. Status perolehan
ini akan diwujudkan oleh individu yang menyandangnya, seperti laki-laki dan
perempuan, anak si Hasan, bapak si Togob, ibu si Sudin, pemuda atau pemudi
berusia 25 tahun, orang tua, anak-anak dan seterusnya. Individu yang
menyandangnya tidak akan dapat merubahnya, dan ini akan diwujudkan
dalam bentuk nyata sebagai peran-peran sesuai dengan status yang
disandangnya.
Di pihak lain, status pencapaian adalah kumpulan hak dan kewajiban
yang disandang seseorang ketika orang tersebut berada pada status tertentu
yang diperolehnya sehingga orang tersebut akan merubah tindakan dan
tingkah lakunya dengan dasar status yang disandangnya, seperti seorang
pemain badminton di sebuah kampung, dan karena seringnya dia berlatih
kemudian mengikuti pertandingan tingkat nasional dan menjadi juara
badminton tingkat nasional maka statusnya menjadi berubah, dari seorang
pemain badminton tingkat dusun menjadi seorang juara badminton nasional.
Sehingga otomatis tingkah laku dan tindakannya akan mengikuti hak dan
kewajiban yang baru disandangnya.
Sering terjadi pertentangan dari peran-peran yang dilakukan oleh dua
orang individu dalam satu arena interaksi.Pertentangan antar peran yang ada
dalam individu berkaitan dengan pola yang ada dalam masyarakat dapat
menjadi permasalahan yang dapat menganggu pola yang sudah ada
sebelumnya seperti adanya nepotisme. Hal ini berkaitan dengan kenyataan
bahwa satu status akan terdiri dari banyak peran atau peranan. Peran-peran
yang diwujudkan oleh individu akan berupa tindakan tindakan yang terkait
dengan pranata sosial yang melingkupinya. Dalam konteks di atas apakah

Mikail mewujudkan peran berkaitan dengan pranata keluarga, atau berkaitan


dengan pranata mata pencaharian. Dari kenyataan tersebut maka tindakan
yang muncul akan dapat menggambarkan sedang mewujudkan pranata sosial
apa si individu yang berinteraksi tersebut.
Untuk menggambarkan kehidupan suatu masyarakat, atau untuk
menerapkan suatu bentuk pembangunan guna meningkatkan kehidupan
masyarakat maka perlu adanya penelaahan terhadap sosial. Dalam konteks ini,
sosial hanya dapat dipahami dengan melihat wujud nyatanya berupa tindakantindakan yang tampak yang dimunculkan oleh individu-individu sebagai
anggota masyarakat yang bersangkutan. Dengan melihat dan mengidentifikasi
tindakan-tindakan yang tampak maka kita dapat merekonstruksi pola-pola
yang menyebabkan munculnya tindakan yang bersangkutan. Pola-pola yang
terwujud tersebut akan mengacu pada pranata sosial yang membentuknya.
Pola-pola yang muncul dari pemahaman terhadap tindakan yang muncul yang
digambarkan oleh individu-individu sebagai anggota masyarakat pada
dasarnya tidak dapat dipahami dari sudut pandang peneliti dari luar
masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu untuk dapat memahami polapola yang berupa sosial dalam masyarakat perlu bagi orang luar masyarakat
untuk dapat hidup dan tinggal bersama masyarakat yang ditelitinya agar
makna dari sosial yang berlaku dapat dipahami dengan mudah. Biasanya
untuk memudahkan suatu program pengembangan masyarakat hal yang paling
cepat memberikan hasil adalah dengan mengidentifikasi masalah sosial yang
muncul dalam kehidupan masyarakat. Dengan melihat masalah sosial berarti
akan tampak ketimpangan-ketimpangan tindakan-tindakan yang dapat
dikatakan melanggar pakem atau pola yang sudah ada dalam masyarakat.
Sehingga dengan demikian penggambaran suatu bentuk kehidupan sosial
masyarakat dapat diidentifikasikan dengan jelas dan fungsional dalam sistem
yang sudah ada dan bekerja sebelumnya.
Pemetaan sosial pada dasarnya adalah usaha untuk menggambarkan,
mendeskripsikan mengidentifikasikan norma-norma, moral, nilai dan aturan
yang digunakan oleh manusia sebagai anggota masyarakat untuk mengatur

hubungan interaksi yang terjadi di dalamnya. Norma, moral, nilai dan aturan
yang terwujud dalam konteks masyarakat biasanya berupa pranata-pranata
yang berlaku dalam masyarakat dan bersumber dari kebudayaan yang dipakai
oleh masyarakat yang bersangkutan, sehingga bersifat abstrak. Usaha
melakukan pemetaan sosial dapat dilakukan dengan berbagai cara atau metode
penjaringan data atas gejala yang tampak, yaitu bisa dengan cara kuantitatif
atau juga dengan kualitatif. Tetapi agar supaya gejala sosial yang diidentifikasi
tersebut dapat tergambar dengan jelas dan berkaitan dengan kebudayaan yang
dipegang oleh masyarakat yang bersangkutan, maka akan lebih baik lagi
menggunakan metode kualitatif yang berisi tentang kualitas dari data yang
diperoleh. Walaupun demikian, data-data sekunder tetap diperlukan untuk
melihat perkembangan secara historis keadaan kenyataan yang terdeteksi dan
pengalaman dari masyarakat dalam menghadapi keadaan-keadaan nyata yang
pernah dialaminya. Kejadian-kejadian nyata yang dialami oleh anggota
masyarakat biasanya tercatat dalam buku catatan yang bersifat permanen dan
berisi tentang data-data empiris pada masanya. Catatan-catatan ini biasanya
berkenaan dengan jumlah penduduk, kepadatan penduduk, pola migrasi,
angka kematian dan kelahiran serta kepemilikan yang ada pada masyarakat.
Kedua data ini yaitu kualitatif dan kuantitatif menjadikan penggambaran
kehidupan masyarakat dapat bersifat menyeluruh atau holistik. Yaitu
menggambarkan secara keseluruhan aspek dari keadaan masyarakat dari setiap
pranata yang ada di dalamnya. Selain penggambaran keadaan masyarakat
secara keseluruhan baik secara diakronis atau historis juga tergambar secara
sinkronis atau fungsional hubungan antar pranata yang berlaku di dalamnya
yang berisi tentang kebiasaan-kebiasaan dari anggota-anggota masyarakat
dalam mewujudkan status dan perannya dalam setiap pranata yang berlaku.
Pemetaan sosial secara mendalam sering dilakukan oleh para peneliti
sosial khususnya antropologi dalam menggambarkan kehidupan secara
menyeluruh suatu masyarakat sukubangsa dengan mengorbankan waktu
bertahun-tahun untuk tinggal bersama masyarakat yang ditelitinya. Usaha

yang dilakukan oleh para antropolog tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah
data etnografi.
Ilmu politik berhubungan dengan ilmu pengetahuan lainnya, seperti
sosiologi, antropologi dan ilmuilmu sosial lainnya, karena ilmu sosial
mempunyai obyek penelitian yang sama, yaitu manusia sebagai anggota
kelompok.
B. Pembahasan
1. Konsep Ilmu Sosial
Sosial di sini yang dimaksudkan adalah segala sesuatu yang dipakai
sebagai acuan dalam berinteraksi antar manusia dalam konteks masyarakat
atau komuniti, sebagai acuan berarti sosial bersifat abstrak yang berisi
simbol-simbol berkaitan dengan pemahaman terhadap lingkungan, dan
berfungsi untuk mengatur tindakan-tindakan yang dimunculkan oleh
individu-individu sebagai anggota suatu masyarakat. Sehingga dengan
demikian, sosial haruslah mencakup lebih dari seorang individu yang
terikat pada satu kesatuan interaksi, karena lebih dari seorang individu
berarti terdapat hak dan kewajiban darimanusia diatur hak dan
kewajibannya yang menunjukkan identitasnya dalam sebuah arena, dan
sering disebut sebagai status, bagaimana individu melaksanakan hak dan
kewajibannya sesuai dengan apa yang telah ada dalam perangkat pedoman
yang ada yang dipakai sebagai acuan.
Kita tidak dapat membayangkan jika kehidupan manusia tidak berada
dalam masyarakat (sosial). Karena manusia adalah makhluk sosial, mereka
tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia membutuhkan
orang lain untuk bisa bertahan hidup (survive). Kesalingketergantungan itu
akan menjadikan suatu kerja sama yang bersifat tetap dan menghasilkan
bentuk masyarakat tertentu.
Secara keilmuan, terdapat banyak teori tentang masyarakat maupun
sosial. Sebelum lahirnya teori-teori sosial raksasa, seperti Thomas Hobbes
(yang

dikenal

dengan

teori

individualisme

instrumental

dengan

diktumnya homo homini lupus), Adam Smith yang dikenal teori sistem

sosial dengan invisible hand-nya tentang system yang terintegrasi, Karl


Marx yang dikenal dengan teori konflik dan kekuasaan, Durkheim yang
dikenal dengan teori struktur dan fungsi, Max Weber yang dikenal dengan
teori tindakan sosial dan birokrasi rasional, serta Alfred Schutz yang
dikenal dengan pendekatan fenomenologisnya(Campbell, 1994:61-231).
Mereka semua telah memberikan kontribusi yang bermakna dalam
memahami, apa itu manusia dan apa itu masyarakat manusia? Karena
hingga sekarang tidak ada teori sosial yang disetujui bersama.
Konsep kita mengenai social (masyarakat) pun mendasar bagi
pemahaman diri kita sendiri. Dengan kata-kata Aristoteles, manusia adalah
seekor hewan sosial, yakni bahwa ia tidak bisa hidup terus di luar sebuah
kelompok sosial, tetapi apakah kita tergantung pada masyarakat kita hanya
sebagai dukungan dari luar untuk pemeliharaan kehidupan pribadi kita,
ataukah kita tidak memiliki kehidupan lepas dari hubungan-hubungan
social kita? Bagaimana kita menjawab pertanyaan tersebut tidak lepas dari
gambaran yang kita miliki tentang masyarakat atau sosial (Campbell,
1994:7).
Istilah sosial (social dalam bahasa Inggris) dalam ilmu sosial
memiliki arti yang berbeda-beda, misalnya istilah sosial dalam sosialisme
dengan istilah Departemen Sosial, jelas keduanya mailiki arti yang sangat
jauh berbeda. Menurut Soekanto (1993: 464) istilah sosial pun berkenaan
dengan perilaku interpersonal, atau yang berkaitan dengan proses-proses
sosial.
Secara keilmuan, masyarakat yang menjadi objek kajian ilmu-ilmu
sosial, dapat dilihat sebagai sesuatu yang terdiri dari berbagai segi. Dilihat
dari segi ekonomi, akan membahas tentang usaha-usaha manusia untuk
memenuhi kebutuhan materialnya dari bahan-bahan yang terbatas
ketersediaannya. Sedangkan dari segi politik, berhubungan dengan
penggunaan kekuasaan dalam masyarakat. Berbeda dengan psikologi
sosial, yang pada hakikatnya mempelajari perilaku manusia sebagai
individu secara sosial. Selain itu terdapat antropologi budaya yang lebih

menekankan pada masyarakat dan kebudayaannya, dan begitu seterusnya


untuk ilmu-ilmu sosial lainnya, seperti geografi sosial, sejarah, maupun
sosiologi.
Istilah ilmu sosial menurut Ralf Dahrendorf, seorang ahli sosiolog
Jerman dan penulis buku Class and Class Conflict in Industrial Society
yang dikenal sebagai pencetus Teori Konflik Non-Marxis, merupakan suatu
konsep yang ambisius untuk mendefinisikan seperangkat disiplin akademik
yang

memberikan

perhatian

pada

aspek-aspek

kemasyarakatan

manusia.Ilmu-ilmu sosial, mungkin istilah tersebut merupakan bentuk yang


lebih tepat. Ilmu-ilmu sosial mencakup sosiologi, antropologi, psikologi,
ekonomi, geografi sosial, politik, bahkan sejarah walaupun di satu sisi ia
termasuk ilmu humaniora (Dahrendorf, 2000: 999).
Istilah ilmu sosial tidak begitu saja dapat diterima di tengah-tengah
kalangan

akademisi. Sciences

Sociale dan Sizialwissenschaften adalah

istilah-istilah yang lebih mengena, meski keduanya juga membuat


menderita karena diinterpretasikan terlalu luas maupun terlalu sempit
(Dahrendorf, 2000: 1000). Ironisnya, ilmu sosial yang dimaksud sering
hanya untuk mendefinisikan sosiologi, atau hanya teori sosial sintetis.
Berjalannya waktu tidak banyak membantu dalam mengusahakan
diterimanya konsep itu. Ilmu-ilmu sosial tumbuh dari dari filsafat moral. Di
kalangan filsuf moral Skotlandia, kajian ekonomi politik selalu diikuti oleh
kajian isu-isu sosial yang lebih luas, meski tidak disebut sebagai ilmu
sosial. Comte menyebutnya science social, dari Charles Fourier (1808),
untuk mendeskripsikan keunggulan disiplin sintetis dari bangunan ilmu.
Sedikitpun ia tidak ragu bahwa metode ilmu sosial sama sekali tidak
berbeda dengan ilmu-ilmu alam.
Ternyata penggunaan metode ilmu sosial yang digagas oleh Comte
tersebut cukup mengaburkan gambaran metodologis tentang ilmu-ilmu
sosial. Sistem sosial memiliki empat subsistem, yakni ekonomi, politik,
budaya, dan system integratif. Dengan demikian, ekonomi, ilmu politik,
kajian budaya, dan integrasi sosial (sosiologi) merupakan disiplin yang

berhubungan dan interdependen. Turunan dari sistem sosial, yakni semua


subsistem tersebut memerlukan analisis yang serupa.
Pandangan beberapa ahli tentang ilmu-ilmu sosial, tidak sepesimis
Ralf Dahrendorf, namun ia pun tetap kritis terhadap pandangan-pandangan
yang menyeret ilmu sosial. Untuk ilmu kealaman (sains) yang kemudian
sering didefinisikan sebagai pencarian hukum-hukum mengenai alam yang
tetap benar, mengatasi segala ruang dan waktu (Wallerstein, 1997: 4).
Sedangkan untuk ilmu-ilmu sosial, Wallerstein lebih menekankan pada
suatu perilaku sosial yang menekankan jauh melebihi kearifan secara turuntemurun dan merupakan hasil deduksi dari padatnya pengalaman hidup
manusia sepanjang zaman.
a. Pengertian Nilai Sosial Menurut para Ahli
1. Kimball Young, mengemukakan nilai sosial adalah asumsi yang abstrak
dan sering tidak disadari tentang apa yang dianggap penting dalam
masyarakat.
2. A.W.Green, nilai sosial adalah kesadaran yang secara relatif berlangsung
disertai emosi terhadap objek.
3. Woods, mengemukakan bahwa nilai sosial merupakan petunjuk umum
yang telah berlangsung lama serta mengarahkan tingkah laku dan
kepuasan dalam kehidupan sehari-hari
4. M.Z.Lawang, menyatakan nilai adalah gambaran mengenai apa yang
diinginkan,yang pantas,berharga,dan dapat mempengaruhi perilaku
sosial dari orang yang bernilai tersebut.
5. Hendropuspito, menyatakan nilai sosial adalah segala sesuatu yang
dihargai masyarakat karena mempunyai daya guna fungsional bagi
perkembangan kehidupan manusia.
b. Konsep-konsep realitas sosial
Realitas sosial budaya mengandung arti kenyataan-kenyataan sosial
budaya di sekitar lingkungan masyarakat tertentu. Misalkan di jalan raya
kamu melihat orang berlalu-lalang, baik yang mengendarai kendaraan
bermotor atau para pejalan kaki. Contoh tersebut dikenal sebagai realitas
social di masyarakat. Sebagai kumpulan mahluk yang dinamis, kita
senantiasa menemukan realitas social dalam masyarakat.
9

Masyarakat terbentuk karena manusia menggunakan pikiran,


perasaan

dan

keinginannya

dalam

memberikan

reaksi

terhadap

lingkungannya. Hal ini terjadi karena manusia mempunyai dua kinginan


pokok yaitu, keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lainnya dan
keinginan untuk menyatu dengan lingkungan alamnya.
Menurut Soerjono Soekanto, merumuskan beberapa ciri masyarakat
sebagai berikut:
1. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama. Tingkatan hidup
bersama ini bisa dalam dimulai dari kelompok. Hidup bersama untuk
waktu yang cukup lama. Dalam hidup bersama ini akan terjadi
interaksi. Interaksi yang berlangsung terus menerus akan melahirkan
sistem interaksi yang akan nampak dalam peraturan-peraturan yang
mengatur hubungan antara manusia.
2. Mereka sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan. Mereka
merupakan satu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama
menimbulkan kebudayaan karena setiap anggota kelompok merasa
dirinya terkait satu dengan yang lainnya.
2. Teori Ilmu Sosial
1. Teori Interaksi simbolis (Menurut Noeng Muhadjirin dalan Tjipto .2009:
81)
Konsep interaksi simbolik bertolak pada tujuh posisi dasar, yaitu:
a. Bahwa perilaku manusia itu mempunyai .makna dibalik yang
menggejala,

sehingga diperlukan metoda untuk mengungkapkan

perilaku yang terselubung.


b. Pemaknaan kemanusiaan manusia perlu dicari sumbernya pada
interaksi sosial manusia. Manusia membangun lingkungannya,
manusia membangun dunianya, dan kesemuanya dibangn berdasrkan
simpati, dengan bentuk tertinggi mencintai sesama manusia dan
mencintai Tuhan.
c. Bahwa masyarakat manusia itu merupakan proses yang berkembang
holistik, tidak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga.
d. Perilaku manusia itu berlaku berdasarkan penafsiran fenomenologik,
yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan dan tujuan, bukan di

10

tujukan atas proses mekamik atau otomatik, perilaku manusia


bertujuan dan tidak terduga.
e. Konsep mental manusia itu berkembang dialektik, mengakui adanya
tesis, antithesis, dan sintesis, sifatnya idealitik bukan materialistik.
f. Perilaku manusia itu wajar, dan konstruktif kreatif, bukan elementer
reaktif.
g. Perlu di gunakan metoda instrospeksi simpatetik, menekankan
pendekatan intuitif untuk menangkap makna (Muhadjir, dalam Tjipto
2009: 82).
Dari perspektif simbolik, semua organisasi sosial terdiri dari para pelaku
yang mengembangkan definisi tentang suatu situasi atau prspektif lewat
proses interpretasi dan mereka bertindak dalam makna definisi tersebut.
2. Teori Etnografi (Menurut Bogdan Dan Bilken Dalam Tjipto .2009: 83)
a. dijelaskan bahwa kerangka kerja yang digunakan dalam
melaksanakan studi antropologi adalah konsep tentang kebudayaan
(the concept of culture). Usaha untuk mendiskripsikan budaya atau
aspek budaya disebut (ethnography). Budaya merupakan pengetahuan
yang diperoleh seseorang dan digunakan untuk menginterpretasikan
pengalaman yang menghassilkan sesuatu (Spradly dalam Tjipto,
2009: 83).
b. Beberapa

antropologi

mendefinisikan

kebudayaan

sebagai

Pengetahuan perolehan yang digunakan orang untuk menafsirkan


pengalaman dan membuahkan tingkahlaku (Spradly dalam Tjipto,
2009: 83).
c. Peneliti Etnografi agar dapat mencapai tujuan perlu memperhatikan
prinsip-prinsip sebagai berikut:
Peneliti dituntut memiliki pengetahuan dan dedikasi yang tingi,
sebab

etnografi

diperlukan

pengamatan,

interaksi

dengan

responden, atau anggota komunitas tertentu dalam waktu yang

relative lama.
Etnografi umumnya tidak tertarik dengan generalisasi seperti pada
penelitian psikometrik, tetapi lebih tertarik untuk memotret
kondisi apa adanya.

11

Fokus etnografi adalah situasi nyata dan setting secra alamiah


dimana orang beraktifitas dan berhubungan sosial dengan anggota

masyarakat lainnya.
Etnografi menempatkan pada perlunya koleksi dan interpretasi

data dari hipotesis yang sudah diterapkan.


Etnografi bergerak dari data dalam mencari hipotesis, bukan
hipotesis mencari data.
Dari hipotesis yang dibangun peneliti, etnografi dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu Naturalistic Ecological Hypotheses (NEH) dan


Qualitative Phenomenological Hypothesis (QHP). Naturalistic Ecological
Hypothesis menyatakan bahwa konteks duania perilaku terjadi pada subjek
yang diteliti, memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku subjek
tersebut. Sedangakan dalam penelitian Qualitatif Phenomenological
Hypothesis

lebih

mengkonsentrasikan

etnografi

dibnding

dengan

psikometrik, karena peneliti lebih percaya bahwa perilaku manusia tidak


dapat dimengerti dengan lebih baik tanpa meleburkan diri bersama
(incorporating) kedalam pengamatan persepsi subjek serta system
kepercayaan diri mereks yang terlibat dalam penelitian.
3. Teori diskriptif (William

L.Morrow,

Stephen

P.Robbin,

Stephen

K.Bailey,1986)
Menggambarkan apa-apa yang nyata-nyata terjadi dilapangan
(memotret apa adanya). Artinya, semua kegiatan sosial yang terjadi di
lapangan di gambarkan secara nyata. Misalnya seorang bocah membantu
seorang nenek yang tua renta hendak menyeberang jalan. Sehingga apa
yaang terjadi tersebut digambarkan dengan sebenar-benarnya, tanpa
adanya rekayasa.
4. Teori pre-skriptif (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen
K.Bailey, 1986)
Menggambarkan perubahan-perubahan untuk melakukan pembaharuan,
koreksi dan perbaikan suatu proses teori dan fenomena tertentu.

12

5. Teori Normatif (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen


K.Bailey, 1986)
Pada dasarnya mempersoalkan peranan suatu kebijaksanaan/ perundangundangan/ peraturan tertentu.
6. Teori asumtif (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen
K.Bailey, 1986)
Lebih memusatkan perhatian pada usaha-usaha untuk memperbaiki suatu
praktek dengan memahami hakekat suatu fenomena yang terjadi dalam
lingkungannya.
7. Teori instrumental (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen
K.Bailey, 1986)
Bermaksud

untuk

melakukan

konseptualisasi

mengenai

cara-cara

memperbaiki suatu teknis sehingga dapat dibuat sebagai sasaran yang lebih
realistik (tools of analysis).
8. Teori hubungan manusia (human relation theory) (Menurut William
L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen K.Bailey, 1986)
Menitik beratkan bahwa norma-norma sosial merupakan faktor kunci dalam
menentukan sikap, perilaku dan tindakan seseorang terutama dalam
lingkungan kerja.
9. Teori pengambilan keputusan (decesion making theory) ( Menurut William
L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen K.Bailey, 1986)
Lebih mengkonsentrasikan diri pada analisa proses pengambilan keputusan,
apakah mempergunakan model statistik, model optimasi, model informasi,
model simulasi, model liniar programming, model critical path scheduling,
model inventory, model site location, ataukah model resources allocation, dan
sebagainya (catatan : pada beberapa fakultas dan program training sudah
merupakan mata pelajaran tersendiri).
10. Teori perilaku (behavior theory) (Menurut William L.Morrow, Stephen
P.Robbin, Stephen K.Bailey, 1986)
Orientasi yang dikembangkan adalah efesiensi dan sasaran dengan cara
mengintegrasikan komponen-komponen anggota organisasi, struktur dan

13

prosesnya. Dengan kata lain teori perilaku lebih memahami pentingnya aspek
dan faktor manusia sebagai alat utama untuk mencapai tujuan organisasi
( catatan : teori perilaku ini juga sudah merupakan mata kuliah tersendiri
sebagai mata kuliah perilaku organisasi).
11. Teori sistem (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen
K.Bailey, 1986)
Merupakan suatu cara pendekatan yang memandang bahwa setiap fenomena
mempunyai berbagai komponen yang saling berinteraksi satu sama lain agar
dapat bertahan hidup (survival). Dalam sistem memiliki beberapa unsur sistem
antara lain : unsur lingkungan, unsur masukan (input), unsur pengelola
(konversi/throught put), unsur keluaran (out put/product), unsur efek atau
unsur akibat (consequences), dan unsur umpan balik (feed back)
12. Teori kontingensi (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen
K.Bailey, 1986)
Sebagai perkembangan dari teori sistem yang dipersamakan dengan
pendekatan situasional yang mengakui adanya dinamika dan kompleksitas
antar hubungan (interaksi sosial).
13. Teori deskriptif eksplanatori (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin,
Stephen K.Bailey, 1986)
Menjelaskan keaneka ragaman isi yang terkandung dalam fenomena
lingkungan nyata (cenderung ke metode content analysis, discourse analysis,
framing analysis).
14. Sosiologi adalah ilmu positip (Menurut August Comte)
Masyarakat. Ia menggunakan kata positip yang artinya empiris. Jadi sosiologi
baginya adalah studi empiris tentang masyarakat. Menurut August Comte,
obyek studi dari sosiologi adalah tentang masyarakat, ada dua unsure yaitu
struktur masyarakat yang disebut statika sosial dan proses-proses sosial di
dalam masyarakat yang disebut dinamika sosial.
15. Teori Struktural Fungsional (Konstruksionisme) (Menurut Talcott Parson)
Teori ini menjelaskan tingkah laku manusia berdasarkan suatu sistem sosial
yang terbentuk oleh jaringan hubungan berbagai fungsi yang ada dalam suatu

14

masyarakat, yaitu fungsi-fungsi seperti : peran, status, pendapatan, pekerjaan


dll. Hubungan antara fungsi-fungsi sosial tersebut dianggap sama dengan
hubungan antara fungsi-fungsi biologis dalam suatu organisme.
16. Teori Struktural Historis (Menurut Max Weber)
Dimana tingkah laku manusia seakan-akan ditentukan hanya oleh pranata
ekonomi dengan tekanan khusus, padahal kenyataannya bahwa tingkah laku
manusia

berhubungan

langsung

dengan

hubungan

produksi

yang

melibatkannya.
17. Teori Struktural Historis (Menurut Hegel)
Dengan demikian orang-orang yang mempunyai akses terhadap faktor-faktor
produksi akan mempunyai bentuk tingkah laku yang berbeda dari mereka
yang tidak memiliki akses tersebut.
18. Teori Struktural Historis (Menurut Karl Marx)
Relasi produksi tersebut menimbulkan klas-klas sosial dalam masyarakat, dan
tingkah laku sosial sebetulnya tidak lebih dari masalah yang muncul dari
pertarungan antar kelas.
19. Teori Struktural A-Historis (Menurut Levi Strauss)
Teori ini beranggapan bahwa tingkah laku manusia ditentukan oleh beberapa
struktur apriori yang asal-usulnya tidak dapat dijelaskan oleh perkembangan
sejarah, bahkan sebaliknya sejarah dibentuk oleh watak struktur-struktur
tersebut.
20. Teori Fenomenologi (Menurut Muhadjir, Dalam Tjipto 2009: 68)
Pendekatan fenomenologi mengakuai adanya kebenaran empiric etik yang
memerlukan akal budi untuk melacak dan menjelasskan serta berargumentasi.
Akal budi ini mengandung makna bahwa kita perlu menggunakan criteria
lebih tinggi lagi dari sekedar true or false.

3. Pengertian Pendidikan Politik


Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bahwa pendidikan dan
politik memiliki makna yang berbeda namun saling bahu-membahu dalam
15

proses pembentukan karakteristik masyarakat.

Kata politik sebenarnya

berasal dari bahasa Yunani; politikos, yang berarti dari, untuk, atau yang
berkaitan dengan warga negara. Berdasarkan penjelasan ini, dapat
dikembangkan pengertian politik sebagaiproses pembentukan dan pembagian
kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan
keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya
penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik
yang dikenal dalam ilmu politik. Sedangkan pendidikan adalah usaha sadar
yang dilakukan manusia untuk mencerdaskan manusia lain melalui
pengajaran, pelatihan dan penelitian. Dari penjelasan kedua istilah tersebut di
atas dapat dirumuskan bahwa pendidikan politik adalah proses pembelajaran
dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga
negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ramlan Surbakti dalam bukunya yang berjudul memahami ilmu
politik (1999:117) mengemukakan bahwa pendidikan politik dan sosialisasi
politik memiliki kesamaan dalam istilah. Dalam bahasa Inggris kedua
istilah ini memang sering disamakan. Istilah political sosialization jika
diartikan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia akan bermakna
sosialisasi politik.

Oleh karena

itu, dengan

menggunakan

istilah

politicalsosialization banyak yang mensinonimkan istilah pendidikan


politik dengan istilah Sosialisasi Politik, karena keduanya memiliki makna
yang hampir sama. Dengan kata lain, sosialisasi politik adalah pendidikan
politik dalam arti sempit.Melalui proses sosialisasi politik para anggota
masyarakat dapat memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan
politik yang berlangsung dalam masyarakat. Atau dengan kata lain, di
dalam pendidikan politik terjadi

proses pembelajaran dan pemahaman

tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan politik dalam tulisan ini dipahami sebagai perbuatan
memberi latihan, ajaran, serta bimbingan untuk mengembangkan kapasitas
dan potensi diri manusia, melalui proses dialogik yang dilakukan dengan suka

16

rela antara pemberi dan penerima pesan secara rutin, sehingga para penerima
pesan dapat memiliki kesadaran berdemokrasi dalam kehidupan bernegara.
Hal ini dimaksudkan agar dapat mewujudkan kesadaran dan partisipasi
berdemokrasi dalam kehidupan bernegara.
Definisi pendidikan politik ini mengandung tiga anasir penting, yakni:
Pertama, adanya perbuatan memberi latihan, ajaran, serta bimbingan untuk
mengembangkan kapasitas dan potensi diri manusia. Kedua, perbuatan di
maksud harus melalui proses dialogik yang dilakukan dengan suka rela antara
pemberi dan penerima pesan secara rutin. Ketiga, perbuatan tersebut ditujukan
untuk para penerima pesan dapat memiliki kesadaran berdemokrasi dalam
kehidupan bernegara.
Pemahaman di atas pada dasarnya menunjukan bahwa Pelaksanaan
pendidikan politik harus dilakukan tanpa unsur paksaan dengan fokus
penekanan pada upaya untuk mengembangkan pengetahuan (Kognisi),
menumbuhkan nilai dan keberpihakan (Afeksi) dan mewujudkan kecakapan
(Psikomotorik) warga sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok.
a. Landasan Hukum Pendidikan Politik
Pendidikan politik sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran
berbangsa dan bernegara memiliki landasan hukum yang berpegang teguh
pada falsafah dan kepribadian bangsa Indonesia. Berdasarkan Inpres No.
12 tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda, maka
yang menjadi landasan hukum pendidikan politik adalah sebagai
berikut:
Landasan pendidikan politik di Indonesia terdiri dari:
a.

landasan ideologis, yaitu Pancasila

b.

landasan konstitusi, yaitu UUD 1945

c.

landasan operasional, yaitu GBHN


d. landasan historis, yaitu Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan
Proklamasi 17Agustus 1945".
Landasan yang tersebut di atas merupakan landasan pokok
pendidikan politik yang disertai landasan kesejarahan. Hal ini penting
17

karena warga negara terutama kaum muda harus mengetahui sejarah


perjuangan bangsa agar memiliki jiwa, semangat, dan nilai-nilai
kejuangan 1945.
b. Tujuan Pendidikan Politik
Pendidikan politik dapat dikatakan sebagai media penyampaian
konsep politik yang memiliki tujuan akhir untuk membuat warga negara
menjadi lebih melek politik. Warga negara yang melek politik adalah
warga negara yang sadar akan hak dan kewajiban sehingga dapat ikut
serta dalam kehidupan berbangsa dan hernegara dalam setiap proses
pembangunan. Pendidikan politik diperlukan keberadaannya terutama
untuk mendidik generasi muda saat ini yang nantinya akan menjadi
generasi penerus bangsa.
Instruksi Presiden (Inpres) No. 12 tahun 1982 tentang pendidikan
politik

bagi Generasi Muda menyatakan bahwatujuan pendidikan

politik adalah memberikan pedoman kepada generasi muda Indonesia


guna meningkatkan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sedangkan tujuan pendidikan politik lainnya ialah menciptakan
generasi muda Indonesia yang sadar akan kehidupan berbangsa dan
bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai salah satu
usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Berdasarkan pemaparan tentang tujuan pendidikan politik di atas,
penulis berpendapat bahwa yang menjadi tujuan utama dari pendidikan
politik adalah agar generasi muda saat ini memiliki kemampuan untuk
memahami situasi sosial politik penuh konflik. Aktifitas yang dilakukan
pun diarahkan pada proses demokratisasi serta berani bersikap kritis
terhadap kondisi masyarakat di lingkungannya. Pendidikan politik
mengajarkan mereka untuk mampu mengembangkan semua bakat dan
kemampuannya dalam aspek kognitif, wawasan kritis, sikap positif, dan
keterampilan politik. Kesemua itu dirancang agar mereka dapat
mengaktualisasikan diri dengan jalan ikut berpartisipasi secara aktif
dalam bidang politik.Singkat kata pendidikan politik dapat membentuk

18

kepribadian, kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam kehidupan


berbangsa dan bernegara.
c. Pendidikan politik membentuk kepribadian berpolitik masyarakat
Pendidikan politik adalah aktifitas yang bertujuan untuk membentuk
dan menumbuhkan orientasi-orientasi poltik pada individu. Ia meliputi
keyakinan konsep yang memiliki muatan politis, meliputi juga loyalitas
dan perasaan politik, serta pengetahuan dan wawasan politik yang
menyebabkan seseorang memiliki kesadaran terhadap persoalan politik
dan sikap politik.
Inpres

No.

12

Tahun

1982

tentang

Pendidikan

Politik

mengisyaratkan akan pembentukan kepribadian sesorang melalui


pendidikan politik. Di sana dijelaskan bahwa Kaum muda dalam
perkembangannya berada dalam proses pembangunan dan modernisasi
dengan segala akibat sampingannya yang bisa mempengaruhi proses
pendewasaanya sehingga apabila tidak memperoleh arah yang jelas
maka corak dan warna masa depan negara dan bangsa akan menjadi lain
daripada yang dicita-citakan.
Perkembangan zaman yang terasa sangat cepat jika tidak
dibarengi dengan wawasan berpikir yang luas hanya akan membawa
generasi muda bangsa ini ke dalam kehidupan yang lepas kendali. Oleh
karena itu, pendidikan politik diperlukan sebagai .filter terhadap segala
pengaruh buruk yang mungkin datang.Pembentukan kepribadian politik
dilakukan melalui metode tak langsung, yaitu pelatihan dan sosialisasi,
serta metode langsung berupa pengajaran politik dan sejenisnya.

d. Pendidikan politik membentuk kesadaran berpolitik masyarakat


Kualitas demokrasi indonesia tercermin dalam kedewasaan dan
kesadaran dalam berpolitik.Menurut Surbakti (2007), kesadaran politik

19

adalah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Tingkat
kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat
menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan
(Budiardjo, 1985). Lebih jauh, Surbakti (2007) menyebutkan ada dua
variabel penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi
politik seseorang, salah satu variabel tersebut adalah kesadaran politik.
Jadi, jika individu memiliki kesadaran politik maka ia akan memiliki
kesadaran akan posisi dirinya dalam sebuah tatanan kehidupan bernegara.
Selain sadar akan posisinya, ia juga akan menaruh perhatian terhadap
proses-proses politik dan pemerintahan yang berlangsung. Perhatian
tersebut seperti dengan mengikuti perkembangan informasi politik dan
pemerintahan terkini atau bahkan terlibat langsung dalam proses tersebut.
Wujud dari kesadaran politik salah satunya bentuknya adalah
partisipasi politik dalam pemilu. Partisipasi politik yang dilandasi oleh
kesadaran politik akan mendorong individu menggunakan hak pilihnya
secara rasional. Untuk menumbuhkan kesadaran politik ditempuh melalui
metode dialog dan pengajaran langsung kepada masyarakat.
e. Pendidikan politik membentuk partisipasi berpolitik masyarakat
Partisipasi politik masyarakat sangat berhubungan erat dengan
kesadaran politik. Partisipasi politik tanpa kesadaran politik itu bisa saja
terjadi. Seorang pemilih bisa saja hanya menggunakan hak pilihnya,
namun sebenarnya dia hanya asal memilih tanpa sebuah kesadaran akan
akibat lanjut dari pilihannya. Sebaliknya, partisipasi politik yang dilandasi
oleh kesadaran politik akan menghasilkan pilihan yang baik dan sesuai
dengan aspirasi yang bersangkutan. Dia sungguh menyadari akan
tanggung jawabnya sebagai warga negara yang menentukan masa depan
bangsa. Partisispasi politik dapat terwujud dengan keikutsertaaan individuindividu secara sukareladalam kehidupan politik masyarakatnya. Selain itu
pembinaan politik dapat dilakukan melalui aktivitas pembinaan pemikiran
berdasarkan kaidah-kaidah tertentu. Pemikiran itu haruslah pemikiran
yang mendasar dan menyeluruh yang mampu memancarkan sistem hidup,
20

atau biasa disebut dengan ideologi. Dengan begitu, masyarakat akan


memiliki gambaran yang jelas tentang sistem hidup (baca: aturan hidup)
yang akan diterapkan, dan siapa (baca: penguasa) yang pantas untuk
menjalankannya.
Kesadaran politik akan memunculkan peran aktif masyarakat dalam
meningkatkan mutu kehidupan dengan melakukan pengawasan ketat atas
kebijakan penguasa. Apalagi jika hal ini dilandasi oleh kesadaran atas
hubungannya dengan Tuhan yang mewajibkannya untuk memikirkan
urusan masyarakat. Tidak akan ada hambatan dan ancaman yang akan
menghentikannya.

Tidak

akan

ada

bujukan,

rayuan

yang

akan

memalingkannya. Maka terciptalah social control yang berasal dari people


power yang cerdas dan bermoral. Dalam kondisi seperti ini, perubahan
dari kehidupan 'gelap' menuju 'terang' tinggal menunggu waktu. Dari
masyarakat seperti ini juga akan lahir pemimpin-pemimpin yang mumpuni
dan amanah yang siap untuk mengambil alih kepemimpinan mewujudkan
kehidupan damai, sejahtera, adil dan beradab.
4. Sumbangan Ilmu Sosial Lain Bagi Pendidikan Politik
Politik sangat berhubungan erat dengan ilmu-ilmu sosial lainnya karena
ilmu politik mempelajari gejala-gejala sosial lainnya yang selalu berubah atau
mepelajari manusia sebagai makhluk sosial yang bisa rasional tetapi juga
irasional.
Beberapa asumsi yang perlu diketahui dalam ilmu politik adalah:
a. Setiap masyarakat menghadapi kelangkaan dan keterbatasan sumbersumber sehingga konflik timbul dalam proses penentuan distribusi;
b. Kelompok yang dominant (pemerintah) menentukan distribusi dan
pengalokasian melalui keputusan politik
c. Pemerintah mengalokasikan kepada beberapa kelompok dan individu,
tetapi mengurangi atau tidak mengalokasikan kepada kelompok dan
individu lain. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan pemerintah tidak
pernah menguntungkan semua pihak;
d. Ada tekanan terus menerus untuk mengalokasikan sumber-sumber yang
langka;

21

e. Tekanan-tekanan tersebut menyebabkan kelompok dan individu yang


diuntungkan berupaya keras untuk mempertahankan struktur yang
menguntungkan tersebut;/kelompok konservatif.
f. Semakin mampu penguasa meyakinkan bahwa system politik yang ada
memiliki legitimasi, maka semakin mantap kedudukan penguasa dan
kelompok yang diuntungkan dalam perjuangan mereka menghadapi
golongan yang menghendaki perubahan;/radikal.
g. Banyak kebijakan ideal yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah
yang dihadapi masyarakat ternyata hanya burupa pemecahan yang semu,
h.

sebab sulit dilaksanakan dalam kenyataan.


Dalam politik tidak ada yang serba gratis, maksudnya setiap aksi yang
dilakukan selalu ada ongkos yang harus dibayar atau resiko yang mesti

ditanggung.
Hubungan ilmu Politik dengan ilmu-ilmu lainnya.
1. Hubungan ilmu Politik dengan ilmu Ekonomi.
Ilmu politik dan Ekonomi sejak dulu sampai sekarang selalu sangat erat
hubungannya. Dalam setiap tindakan politik ada aspek ekonominya,
demikian

pula

struktur

perekonomian

suatu

masyarakat

dapat

mempengaruhi lembaga-lembaga politik yang sudah ada. Pada zaman


Yunani, ilmu politik mengatur kehidupan politik orang-orang Yunani,
sedangkan ekonomi (oikonomos) mengatur kemakmuran material dari
warga negara Yunani. Pada abad 17, Montchretien de Watteville
memperkenalkan istilah Ekonomi Politik yang menggambarkan begitu
eratnya ilmu politik dan Ekonomi. Pada akhir PD I di Inggris
dikemukakan ide tentang Negara kesejahteraan (Welfare state) artinya
Negara Mensejahterakan rakyatnya, bukan sekedar Negara penjaga
malam.
2. Hubungan ilmu politik dengan ilmu hukum
Setiap masyarakat baik moderen maupun primitive harus berdasarkan
kepada ketertiban. Hukum dibuat, dijalankan dan dipertahankan oleh suatu
kekuasaan. Pada saat ini, kekuasaan itu adalah Negara. Dalam hal ini
sudah nampak hubungan antara ilmu politik dan ilmu hukum, yaitu dalam
peranan Negara sebagai pembentuk hukum dan dalam objek ilmu hukum
itu sendiri yaitu hukum. Ilmu politik juga menyelidiki hukum tetapi tidak
22

menitik beratkan pada segi-segi teknis dari hukum, melainkan terutama


menitikberatkan pada hukum sebagai hasil persaingan kekuatan-kekuatan
social, sebagai hasil dari factor-faktor kekuasaan.
Hukum juga merupakan salah satu diantara sekian banyak alat politik
yang dapat digunakan untuk mewujudkan kebijakan penguasa dan Negara.
Tidak semua bagian hukum positif mempunyai hubungan yang erat
dengan ilmu poltik, misalnya: hukum public dan hukum Negara adalah
yang paling erat hubungannya, sedang hukum perdata atau hukum dagang
relative kecil hubungannya.
3. Hubungan Ilmu Politik dengan Sosiologi
Menurut Giddings, sarjana-sarjana ilmu politik harus menlengkapi dirinya
dengan pengetahuan dasar sosiologi, karena sosiologi sebagai ilmu
masyarakat dengan hasil-hasil penyelidikannya, menyebabkan ilmu politik
tidak perlu lagi mengadakan penyelidikan yang telah dihasilkan oleh
sosiaologi tersebut. Sosiologi meliputi berbagai cabang pengetahuan
antara lain sosiaologi tentang kejahatan, sosiologi pendidikan, sosiologi
agama, sosiologi politik dan sebagainya.
Terutama sosiologi politik, sangat erat hubungannya dengan ilmu politik,
sebab sosiologi politik bagian dari sosiologi yang menganalisis prosesproses yang menitik beratkan pada dinamika tingkahlaku politik.
Sebagaimana tingkahlaku itu dipengaruhi oleh berbagai proses spsoal,
seperti kerjasama, persaingan, konflik dsb. Hal-hal tersebut juga dianalisis
oleh ilmu politik.
4. Hubungan Ilmu Politik dengan Psikologi Sosial
Psikologi berasal dari bahasa Yunani psycos yang berarti jiwa dan
logos yang berarti ilmu, jadi ilmu yang mempelajari tentang jiwa
manusia. Proses pendekatan ilmu politik banyak memakai hukum-hukum
dan dalil-dalil psikologi dalam menjelaskan gejala-gejala politik dan
penyelidikan tentang motif-motif yang menjadi dasar setiap proses politik.
Sarjana psikologi mengembangkan pendapat-pendapat mereka tentang
naluri, emosi, dan kebiasaan individu atau psyche seseprang.
Pengetahuan psyche seseorang dapat menjelaskan seluruh tingkah laku
dan sikal orang itu. Dalam penyelidikan pendapat umum, propaganda,

23

parpol, masalah kepemimpinan dan revolusi amat banyak dipergunakan


hukum-hukum dan dalil-dalil psikologi itu.
Jika dahulu psikologi agak diabaikan dalam penyelidikan ilmu politik,
dewasa ini keadaan itu berubah. Pengetahuan psikologi diperlukan
dimanapun dan kapanpun diadakan penyelidikan politik secara ilmiah.
Menurut Lasswell, di AS kini ilmu politik sedang mengalami peninjauan
kembali atas metode serta peristilahannya. Peninjauan kembali ini
terutama disebabkan oleh pengalaman dalam pelaksanaan prosedurprosedur psikologis dalam penyelidikan ilmu politik. Menurut Lasswell,
psikologi akan memainkan perannya yang lebih besar lagi di masa depan,
karena bertambah intensifnya perjuangan untuk mempertahankan dan
memperoleh kebebasan individu.
5. Hubungan Ilmu Politik dengan Antropologi Budaya.
Antropologi budaya menyelidiki aspek-aspek cultural dari setiap hidup
bersama dimasa lampau dan masa kini. Sebagai ilmu yang mempelajari
kebudayaan masyarakat, maka hasil-hasil penyelidikan antropologi dapat
bermanfaat

bagi

ilmu

politik.

Terutama

hasil-hasil

penyelidikan

kebudayaan dimasa lampau yang meliputi semua aspek cultural


masyarakat, termasuk ide-ide dan lembaga-lembaga politiknya, dapat
dijelaskan kepada sarjana-sarjana ilmu politik menjadi timbul suatu
pertumbuhan dan perkembangan ide-ide dan lembaga-lembaga politik itu
salah satu konsep antropologi budaya yang merupakan penemuan yang
penting adalah konsep kebudayaan (culture concept) sebagaimana
dikembangkan oleh Ralph Tipton dan sarjana-sarjana antropologi lainnya.
Konsep ini menyatakan eratnya hubungan antara kebudayaan sesuatu
masyarakat dengan kepribadian individu-individu dari masyarakat itu,
antara kebudayaan dengan lembaga-lembaga dan ide-ide terdapat yang
terdapat dalam masyarakat itu. Kebudayaan memberikan corak dan ragam
pada lembaga-lembaga dan ide-ide dalam masyarakat itu.
6. Hubungan Ilmu Politik dengan Sejarah
Sejarah adalah deskriptif kronologis peristiwa dari zaman silam. Sejarah
merupakan penghimpunan kejadian-kejadian konkret di masa lalu. Ilmu
politik tak terbatas pada apa yang terdapat dalam sejarah. Mengetahui
24

sejarah politik suatu Negara belum memberikan gambaran yang tepat


tentang keadaan politik negera itu di masa lampau dan masa yang akan
datang. Sejarah hanya menvatat apa yang pernah terjadi, sedang ilmu
politik disamping menyelidiki apa yang pernah terjadi, juga apa yang kini
sedang berlangsung dan mengadakan ramalan hari depan suatu
masyarakat, ditinjau dari segi politik.
Politik membutuhkan sejarah dan hamper semua peristiwa histories adalah
peristiwa politik. Ilmu politik memperkaya materinya dengan peristiwa
sejarah, mengadakan perbandigan dari buku-buku sejarah. Sejarah
merupakan gudang data bagi ilmu politik.
8. Hubungan Ilmu Politik dengan Geografi
Segala penyelidikan atas kehidupan manusia tidak akan bermanfaat dan
tidak akan sempurna jika penyelidikan itu tidak meliputi keadaan geografi.
Dengan kata lain kehidupan manusia akan dipengaruhi oleh letak geografi,
luas wilayah, kekayaan alam, iklim dsb. Misalnya letak geografis
menentukan apakan suatu Negara akan menjadi Negara land power atau
sea power demikian juga letak suatu Negara akan mempengaruhi dalam
diplomasi dan strategi perang.
Dalam hal ini, terdapat cabang geografi, yaitu geopolitik yang memberikan
penafsiran geografis atas hubungan-hubungan internasional. Geopolitik
berusaha melukiskan hubungan yang erat antara factor-faktor geografis dan
peristiwa-peristiwa politik.
Bagi sarjana-sarjana Jerman seperti Haushofer, kekalahan Jerman dalam
PD I terutama disebabkan oleh apa yang mereka sebut dengan kekalahan
geografis peristiwa tersebut menunjukkan betapa eratnya hubungan ilmu
politik dengan geografi.
9. Hubungan Ilmu Politik dengan Etika
Etika adalah pengetahuan tentang hal-hal yang baik dan buruk, tentang
keharusan dan hal-hal yang wajib dibiarkan. Hubungan ilmu politik dan
etika dilukiskan sebagai suatu hubungan yang membatasi ilmu politik,
terutama praktek politik. Etika mengatakan apa yang harus dilakukan,
tetapi disamping itu juga menetapkan batas-batas dari apa yang wajib
dibiarkan. Etika memberikan dasar moral kepada politik. Apabila

25

menhilangkan moral dari politik, maka akan kita dapatkan politik yang
berisfat Machiavelistis yaitu politk sebagai alat untuk melakukan segala
sesuatu, baik atau buruk tanpa mengindahkan kesusilaan. Hanya dengan
jalan menjadikan kesusilaan sebagai dasar politik, dapat diharapkan akan
adanya politik yang mengindahkan aturan-aturan permainan, apa yang
harus dilakukan dan apa yang wajib dibairkan.

C. Kesimpulan
Dari

pembahasan

makalah

tersebut

diatas

maka

menyimpulkan bahwa, teori-teori ilmu social sebagai berikut:


1. Teori Interaksi simbolis
2. Teori Etnografi
3. Teori diskriptif
4. Teori pre-skriptif
5. Teori Normatif
6. Teori asumtif
7. Teori instrumental
8. Teori hubungan manusia (human relation theory)
9. Teori pengambilan keputusan (decesion making theory)

26

penulis

dapat

10. Teori perilaku (behavior theory)


11. Teori sistem
12. Teori kontingensi
13. Teori deskriptif eksplanatori
14. Sosiologi adalah ilmu positip
15. Teori Struktural Fungsional (Konstruksionisme)
16. Teori Struktural Historis
17. Teori Struktural Historis
18. Teori Struktural Historis
19. Teori Struktural A-Historis
20. Teori Fenomenologi
Konsep kita mengenai social (masyarakat) pun mendasar bagi
pemahaman diri kita sendiri. Dengan kata-kata Aristoteles, manusia adalah
seekor hewan sosial, yakni bahwa ia tidak bisa hidup terus di luar sebuah
kelompok sosial, tetapi apakah kita tergantung pada masyarakat kita hanya
sebagai dukungan dari luar untuk pemeliharaan kehidupan pribadi kita,
ataukah kita tidak memiliki kehidupan lepas dari hubungan-hubungan social
kita? Bagaimana kita menjawab pertanyaan tersebut tidak lepas dari gambaran
yang kita miliki tentang masyarakat atau sosial(Campbell, 1994:7).
Pendidikan politik dalam masyarakat manapun mempunyai institusi dan
perangkat yang menopangnya. Yang paling mendasar adalah keluarga,
sekolah, partai-partai politik dan berbagai macam media penerangan.
Pendidikan politik juga memiliki dasar-dasar ideologis, sosial dan politik .

27

bertolak dari situlah tujuan-tujuannya dirumuskan. Jika yang dimaksud dengan


Pendidikan adalah proses menumbuhkan sisi-sisi kepribadian manusia
secara seimbang dan integral, maka Pendidikan Politik dapat dikategorikan
sebagai dimensi pendidikan, dalam konteks bahwa manusia adalah makhluk
politik . sebagaimana halnya bahwa pendidikan mempunyai fungsi pemikiran
moral, dan ekonomi, maka pendidikan politik juga mempunyai fungsi politik
yang akan direalisasikan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Pendidikan
politik itulah yang akan menyiapkan anak bangsa untuk mengeluti persoalan
sosial dalam medan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan politik
juga dapat berperan menyiapkan mereka untuk mengemban tanggung jawab
dan memberi kesempatan yang mungkin mereka bisa menunaikan hak dan
kewajibannya. Pendidikan politik inilah yang mentransfer nilai-nilai dan
ideology politik dari generasi ke generasi, dimulai dari usia dini dan terus
berlanjut sepanjang hayat. Pendidikan politik merupakan kebutuhan darurat
bagi masyarakat, karena berbagai faktor yang saling mempengaruhi, dengan
demikian pendidikan politiklah yang dapat membentuk perasaan sebagai
warga Negara yang benar, membangun individu dengan sifat-sifat yang
seharusnya, lalu mengkristalkannya sehingga menjadi nasionalisme yang
sebenarnya. Tuntunan ini demikian mendesak dan sangat dibutuhkan oleh
masyarakat kita, mengingat bahwa penumbuhan perasaan seperti itu
menjadikan seorang warga Negara serius mengetahui hak dan kewajibannya,
serta berusaha memahami berbagai problematika masyarakat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kaitan antara ilmu politik
dan ilmu pengetahuan sosial lainnya sangat erat dan saling memengaruhi.
Pendekatan ilmu sosial sangat berguna bagi analisa-analisa politik, sepanjang
ilmu sosial mampu menempatkan masalah-masalah politik dalam konteks
sosial yang lebih umum. Ilmu politik menjadi lebih berkembang dengan
adanya ilmu sosial lainnya.

28

DAFTAR PUSTAKA
Almond, Gabriel. (1990) Budaya Politik, Tingkah Laku, Demokrasi di Lima
NegaraJakarta: Bumi Aksara.

29

Al Muchtar, Suwarma (2000) Pengantar Studi Sistem Politik Indonesia. Bandung.


Gelar Pustaka Mandiri.
Budiardjo, Miriam. (1998) Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka utama.
Ahmad, Abu. 1988. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bina Aksara
Aziz, Amricun. 2008. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bumi Aksara
Hartomo. 1990. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bumi Aksara
Kantaprawira, Rusadi. (2004) Sistem Polilik Indonesia: Suatu Model
PengantarBandung: Sinar Baru Algensindo
Mawardi, Dkk. 2000. IAD-IBD-ISD. Jakarta: Pustaka Setia
Sastroatmodjo, Sudijone. (1995) Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press
Sudiarja, (2006), Karya lengkap Driyarkara. Jakarta: Obo
Surbakti, Ramlan. (1999) Memahami Ilmu Polilik. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. (2003) Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Republik
Indonesia.
Wahyu, Drs. MS. 1986. Wawasan Ilmu Sosial Dasar. Surabaya: Usaha Nasional
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik

30

Anda mungkin juga menyukai