Anda di halaman 1dari 2

Carita orang basudara" adalah ungkapan khas orang Maluku yang secara harfiah berarti "cerita di

antara kaum kerabat". Carita orang basudara biasanya terjadi pada saat pesta-pesta rakyat/budaya
atau acara-acara keagamaan yang mempertemukan seluruh kaum kerabat kendati berbeda agama,
latar belakang sosial, asal kampung dan tingkat pendidikan. Dalam suasana itu tidak ada
segregasi sosial. Semua menyatu menjadi satu ikatan saudara. Di dalam momen semacam ini
relasi-relasi formal luluh dan yang ada hanyalah "pawela" (senda gurau) dan "mop" (saling
menceritakan kisah-kisah lucu). Bahkan hal yang paling sensitif pun ditanggapi sebagai ekspresi
persaudaraan tanpa kecurigaan atau pretensi menghina. Semua ditanggapi sebagai bagian dari
memperkuat ikatan persaudaraan. Itu sebabnya, salah satu kekuatan budaya orang Maluku adalah
bercerita. Nuansa itu sempat pudar saat Maluku digempur oleh konflik sosial beberapa tahun
silam. Banyak sekali carita orang basudara kemudian terkubur dan digantikan oleh cerita-cerita
formal yang sarat nuansa hipokrit atau bahkan cerita-cerita persaudaraan itu berubah menjadi
cerita-cerita heroik penuh kekerasan dan darah. Setelah kondisi berangsur-angsur pulih terutama pasca perjanjian Malino II - narasi-narasi rakyat itu kembali bermunculan yang
kemudian membentuk mozaik perdamaian yang dituturkan kepada generasi berikut untuk
menjadi pelajaran berharga. Tak disangka saya turut merasakan nuansa carita orang basudara itu.
Bukan di Ambon tapi justru di udara, dalam penerbangan dari Ambon menuju Jakarta. Saya
duduk di tengah. Sebelah jendela duduk seorang Ambon (Kristen) dan di sebelah gang duduk
seorang Ambon (Islam). Sejak pesawat take-off kami bertiga masih berdiam diri. Kebisuan pun
pecah ketika di sebelah kiri saya hendak pergi ke toilet. Terpaksa saya (tengah) dan teman di
sebelah kanan harus berdiri memberi jalan. Dari situ mulai terbangun percakapan. Percakapan
makin hangat ketika ternyata kami bertiga mempunyai teman atau kenalan yang juga dikenal
bersama-sama. Alur cerita pun mulai maju-mundur. Bahkan mundur sampai masa-masa
pertemanan di bangku SMA. Terus maju sampai komunikasi pertemanan yang sempat terputus
akibat situasi konflik. Namun ternyata di balik riuh-rendah berita-berita konflik Maluku, banyak
sekali narasi rakyat yang cukup menarik untuk disimak. Kami bertiga - yang berbeda latar agama
- saling bercerita bagaimana peliknya mengatur "strategi" untuk tetap berkomunikasi, berjumpa,
dan bercerita di tengah-tengah situasi masyarakat yang tersegregasi secara geografis maupun
sosiologis. Selalu saja ada cara sembunyi-sembunyi untuk saling melakukan kunjungan ke rumah
para sahabat yang berbeda agama. AC pesawat yang semula dingin lambat-laun terasa hangat
karena percakapan kami bertiga menjadi sebuah carita orang basudara. Kami membicarakan
konflik dengan jujur dan transparan, hingga pada akibat yang harus ditelan oleh rakyat kecil.
Serta-merta ada sebuah pesan penuh makna yang mengalir dari percakapan saya, Ris, dan Rus yang menjadi disatukan oleh cerita kami bersama. Bukan oleh ideologi politik. Bukan pula oleh
kepentingan ekonomi. Tapi semata-mata kami merasa identitas budaya kami menjadi lebih
bermakna untuk menyatukan perbedaan yang ada. "Carita orang basudara" itu terus mengalir
hingga pesawat mendarat mulus di bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Berat mengakhiri
percakapan tersebut tapi toh kami harus berpisah menjalani tujuan kami masing-masing. Kendati
demikian, penerbangan sekitar 3 jam itu telah menjadi sebuah diskursus yang mahal dan
berharga tentang makna hidup dalam keberlainan. Keberlainan sebagai anugerah, bukan
ancaman. Percakapan 3 jam di atas wilayah angkasa Indonesia (Ambon-Jakarta) telah membawa
kami ke dalam sebuah komitmen batin bahwa narasi-narasi persaudaraan mesti menjadi spirit
perlawanan terhadap dominasi narasi-narasi formal yang tak berhati nurani; menjadi protes
terhadap berbagai upaya membisukan aspirasi rakyat; menjadi bara yang terus menghangatkan
arti hidup bersama dalam perbedaan. Pada titik itu, narasi-narasi persaudaraan semestinya terus
mendasari hakikat "menjadi Indonesia". Kita sedang terus "menjadi" dan karena itu benturan-

benturan tak terhindarkan. Namun itu tetap bukanlah tujuan menjadi Indonesia. Menjadi
Indonesia tetap adalah merajut persaudaraan melalui narasi-narasi kehidupan dan kemanusiaan.
Meski batin remuk mendengar berita situasi tegang di Ambon, tetapi optimisme menjadi
Indonesia tetap menyala karena selalu ada celah di mana cahaya harapan tembus di antara
retakan-retakan tembok-tembok. Semoga!
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/stevegaspersz/carita-orangbasudara_550a268a8133111477b1e158

Anda mungkin juga menyukai