Anda di halaman 1dari 7

A.

KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada herpes zoster meliputi :

1. Postherpetic neuralgia merupakan komplikasi herpes zoster yang paling sering


terjadi. Postherpetic neuralgia terjadi sekitar 10-15 % pasien herpes zoster dan
merusak saraf trigeminal. Resiko komplikasi meningkat sejalan dengan usia.
Postherpetic neuralgia didefenisikan sebagai gejala sensoris, biasanya sakit dan mati
rasa. Rasa nyeri akan menetap setelah penyakit tersebut sembuh dan dapat terjadi
sebagai akibat penyembuhan yang tidak baik pada penderita usia lanjut. Nyeri ini
merupakan nyeri neuropatik yang dapat berlangsung lama bahkan menetap setelah
erupsi akut herpes zoster menghilang.

2. Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus trigeminus
sehingga manifestasinya pada mata, selain itu juga memengaruhi cabang kedua dan
ketiga. Jika cabang nasosiliar bagian luar terlibat, dengan vesikel pada ujung dan
tepi hidung (Hutchinsons sign), maka keterlibatan mata dapat jelas terlihat. Vesikel
pada margo palpebra juga harus diperhatikan. Kelainan pada mata yang sering
terjadi adalah uveitis dan keratitis, akan tetapi dapat pula terjadi glaukoma, neuritis
optik, ensefalitis, hemiplegia, dan nekrosis retina akut
3. Infeksi sekunder oleh bakteri yang akan menyebabkan terhambatnya penyembuhan
dan akan meninggalkan bekas sebagai sikatrik
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Herpes zoster dapat didiagnosa secara klinis berdasarkan lesi kulit yang terlibat pada
kebanyakan kasus.Namun, pada keadaan khusus memerlukan pemeriksaan laboratorium
seperti:
a. Tes Smear Tzank
Hapusan lesi ditempatkan pada slide kaca dan diwarnai dengan Giemsa. Jika hapusan
positif akan menunjukan sel keratinosit yang berinti balon dan selmultinuklear raksasa. Tes
ini cepat dan murah.

Gambar 6. Tzank Smear.(5)

b. Biopsi
Biopsi dari lesi herpes zoster menunjukkan gambaran patonogmonik, tetapi biasanya
dilakukan hanya untuk mengetahui gambaran histopatologi lesi atipikal. Biopsi tidak dapat
membedakan HZV dan HSV-1 atau HSV-2 juga terhadap lesi secara diagnosis klinis.(9)
Secara histopatologis terlihat peradangan nekrosis ganglion, kadangkala terlihat
perdarahan ganglia, Pada masa vesikulasi dapat ditemukan virus di vesikel epidermis dan
vaskulitis di lapisan dermis. Lima tanda spesifik secara histopatologis yaitu vesikel di
intraepidermal, degenarasi balon, degenerasi retikuler, sel raksasa berinti banyak dan badan
inklusi eosinofil intranukleus yang sering disebut Lipschutz bodies.(9)

Gambar 7. Gambaran Biopsi. (5)

c. Polymerase Chain Reaction


Tes PCR dilakukan dari spesimen yang menunjukkan sensitivitas 97% dimana tes ini
lebih baik daripada kultur. PCR memberikan hasil yang cepat dan dapat membedakan HZV
dan HSV-1 dan HSV-2. Dengan PCR, HCZ dan HSV dapat dibedakan dalam waktu 6 jam.(9)
d. Kultur virus
Kultur virus dapat dilakukan dengan biakan dari cairan vesikel, darah, cairan
serebrospinalis, jaringan yang terinfeksi atau melalui identifikasi langsung antigen VZV atau
asam nukleat pada spesimen.Pengambilan virus yang infeksius dapat juga merupakan cara
yang dipakai untuk analisa berikutnya misalnya uji sensitivitas obat antivirus. Kultur harus
dilakukan pada saat lesi berupa vesikel agar didapatkan sel hidup dan virus akan segera rusak
jika lesi telah menjadi pustular. Pada keadaan imun rendah, VZV dapat bertahan sampai
seminggu. Meskipun kultur sangat spesifik tetapi masih memiliki sensitivitas yang rendah
dan pada gejala klinis yang khas kultur dapat dilakukan dan biasanya Tes Tzank sudah boleh
mengkonfirmasi Herpes zoster.

e. Tes serologik
Tes ini digunakan untuk mendiagnosa riwayat varisela dan herpes zoster dan untuk
membandingkan stadium akut dan konvalesen.Tes ini juga dapat mengidentifikasi dan

mengisolasi individu yang diduga mengalami herpes zoster sehingga dapat digunakan sebagai
pencegahan.Teknik yang paling sering digunakan adalah solid-phase enzyme-linked
immunoabsorbent assay.Kekurangan dari tes ini adalah tidak memiliki sensitivitas dan
spesifitas terhadap orang yang memiliki antibodi herpes zoster dan menunujukkan hasil
positif palsu pada orang tersebut.
C. DIAGNOSIS
Diagnosis Herpes Zoster dapat di tegakkan dengan gejala klinis dan pemeriksaan tes
penunjang yang di anjurkan seperti di atas.
D. DIAGNOSIS BANDING
a. Herpes Simpleks
Herpes zoster dapat muncul di daerah genital sehingga harus didiagnosis banding
dengan herpes simpleks.Sering ditemukan gejala prodromal local sebelum timbul vesikel
berupa rasa panas, nyeri, dan gatal.(8,12)

Gambar 11. Lesi pada penderita herpes simpleks (4)

b.

Dermatitis kontak
Herpes zoster juga bisa di diagnosa dengan dermatitis kontak alergi.Pada dermatitis

kontak alergi, penderita umumnya mengeluh gatal.Pada yang akut dimulai dengan bercak
eritematosa yang berbatas jelas kemudiannya diikuiti oleh edema, papulovesikel, vesikel atau
bula. Vesikel atau bula dapat pecah dan menimbulkan erosi atau eksudasi. Pada yang kronik
terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga fisur, dan batasnya
tidak jelas.(7)

Gambar 1 .Lesi pada penderita dermatitis kontak alergi.(1)


c. Gigitan serangga
Her pes zoster juga bisa didiagnosa dengan gigitan serangga. Sebagai contoh,
penyakit kulit dermatitis marin menyerupai gejala yang dimiliki oleh herpes zoster. Lesi
dermatitis marin ini sering didapatkan sesudah mandi di laut. Lesi mula timbul dalam waktu
4 hingga 24 jam selepas terpapar dengan air laut dengan gejala seperti eritema, papula,
macula dan urtikaria yang disertai dengan rasa nyeri dan sensasi panas. Lesi akan berlanjutan
menjadi vesikulopapul yang akan pecah menjadi krusta, seterusnya akan sembuh dalam
jangka waktu 7 smpai 10 hari. Dermatitis marin ini juga turut disertai dengan gejala sistemik
seperti sub-febril, menggigil serta mual, muntah, nyeri kepala, spasma otot, dan malaise.(1)

Gambar 13.lesi pada penderita dermatitis marin. (1)

E. TERAPI
Tujuan penatalaksanaan herpes zoster adalah mempercepat proses penyembuhan,
mengurangi keparahan dan durasi nyeri akut dan kronik, serta mengurangi risiko
komplikasi. Untuk terapi simtomatik terhadap keluhan nyeri dapat diberikan analgetik
golongan NSAID seperti asam mefenamat 3 x 500mg per hari, indometasin 3 x 25 mg
per hari, atau ibuprofen 3 x 400 mg per hari. Kemudian untuk infeksi sekunder dapat

diberikan antibiotik.4 Sedangkan pemberian antiviral sistemik direkomendasikan untuk


pasien berikut :
1. Infeksi menyerang bagian kepala dan leher, terutama mata (herpes zoster oftalmikus).
Bila tidak diterapi dengan baik, pasien dapat mengalami keratitis yang akan
menyebabkan penurunan tajam penglihatan dan komplikasi ocular lainnya
2. Pasien berusia lebih dari 50 tahun
3. Herpes zoster diseminata (dermatom yang terlibat multipel) direkomendasikan
pemberian antiviral intravena
4. Pasien yag imunokompromais seperti koinfeksi HIV, pasien kemoterapi, dan pasca
transplantasi organ atau bone marrow. Pada pasien HIV, terapi dilanjutkan hingga
seluruh krusta hilang untuk mengurangi risiko relaps
Obat antiviral yang dapat diberikan adalah asiklovir atau modifikasinya, seperti
valasiklovir, famsiklovir, pensiklovir. Obat antiviral terbukti efektif bila diberikan pada
tiga hari pertama sejak munculnya lesi, efektivitas pemberian di atas 3 hari sejauh ini
belum diketahui.13 Dosis asiklovir adalah 5 x 800mg per hari dan umumnya diberikan
selama 7-10 hari. Sediaan asiklovir pada umumnya adalah tablet 200 mg dan tablet 400
mg. Pilihan antiviral lainnya adalah valasiklovir 3 x 1000mg per hari, famsiklovir atau
pensiklovir 3 x 250 mg per hari, ketiganya memiliki waktu paruh lebih panjang dari
asiklovir.4,10 Obat diberikan terus bila lesi masih tetap timbul dan dihentikan 2 hari
setelah lesi baru tidak timbul lagi.
Untuk pengobatan topikal, pada lesi vesikular dapat diberikan bedak kalamin atau
phenol-zinc untuk pencegahan pecahnya vesikel. Bila vesikel sudah pecah dapat
diberikan antibiotik topical untuk mencegah infeksi sekunder. Bila lesi bersifat erosif dan
basah dapat dilakukan kompres terbuka.
Sebagai edukasi pasien diingatkan untuk menjaga kebersihan lesi agar tidak terjadi
infeksi sekunder. Edukasi larangan menggaruk karena garukan dapat menyebabkan lesi
lebih sulit untuk sembuh atau terbentuk skar jaringan parut, serta berisiko terjadi infeksi
sekunder. Selanjutnya pasien tetap dianjurkan mandi, mandi dapat meredakan gatal.
Untuk mengurangi gatal dapat pula menggunakan losio kalamin. Untuk menjaga lesi dari
kontak dengan pakaian dapat digunakan dressing yang steril, non-oklusif, dan nonadherent
Pasien dengan komplikasi neuralgia postherpetic dapat diberikan terapi kombinasi
atau tunggal dengan pilihan sebagai berikut14:
1. Antidepresan trisiklik seperti amitriptilin dengan dosis 10-25 mg per hari pada malam
hari;

2. Gabapentin bila pemberian antidepresan tidak berhasil. Dosis gabapentin 100-300mg


per hari;
3. Penambahan opiat kerja pendek, bila nyeri tidak tertangani dengan gabapentin atau
antidepresan trisiklik saja;
4. Kapsaicin topical pada kulit yang intak (lesi telah sembuh), pemberiannya dapat
menimbulkan sensasi terbakar; dan
5. Lidocaine patch 5% jangka pendek.
Pada herpes zoster otikus (sindroma Ramsay Hunt) diindikasikan pemberian
kortikosteroid. Kortikosteroid oral diberikan sedini mungkin untuk mencegah paralisis
dari nervus kranialis VII. Dosis prednisone 3 x 20 mg per hari, kemudian perlu
dilakukan tapering off setelah satu minggu. Pemberiannya dikombinasikan dengan obat
antiviral untuk mencegah fibrosis ganglion karena kortikosteroid menekan imunitas.
Namun perlu diingat kontraindikasi relatif atau absolut kortikosteroid seperti diabetes
mellitus.14 Pada komplikasi seperti ini, rujukan kepada spesialis terkait sangat
dianjurkan.
F. PROGNOSIS
Prognosis penyakit ini umumnya baik, pada herpes oftalmikus prognosis
bergantung pada tindakan perawatan secara dini

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Djuanda S, Hamzah M.,Aisah S.,editor.2010. Ilmu Penyakit Kulit dan


Kelamin.Edisi Kedua. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia.
2.

Handoko RP. Penyakit Virus. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-6. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2010; 110-2.

3.

McCrary ML, Severson J, Tyring SK. 2009. Varicella Zoster Virus. Journal of the American
Academy of Dermatology;41:1-13.

4.

Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W. 2014. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisike7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

5.

Oxman MN & Schmander KE. 2012. Varicella and Herpes Zooster. Dalam Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine Edisi ke-8 Volume 2. Amerika Serikat: McGraw Hill: 2383-2401
Wolff K, Johnson RA, Saavedra AP. 2013. Fitzpatricks color atlas & synopsis of clinical

6.

dermatology. Edisi ke-7. Singapura: Elsevier Saunders

7.

Roxas M. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia: Diagnosis and Therapeutic


Consideration. Alternative Medicine Review 2006 vol 11 no 2; p.88.

Anda mungkin juga menyukai