Anda di halaman 1dari 10

PENGARUH PENGGUNAAN ES DAN BAHAN SINTETIS

TERHADAP KEMUNDURAN MUTU IKAN

Penanganan Hasil Perairan


Laboratorium Preservasi dan Diversifikasi Hasil Perairan Jumat,
22 September 2016
Nama Asisten : Purnama Arafah

Kinanti Permata Sitaresmi


C34140057
Kelompok 1A

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Ikan menurut Jayanti et al. (2012) merupakan salah satu sumber gizi penting
untuk proses kelangsungan hidup manusia. Ikan merupakan hasil perikanan yang
mengandung zat gizi utama berupa protein, lemak, vitamin, dan mineral. Protein
ikan menyediakan 2/3 dari kebutuhan protein hewani yang dibutuhkan oleh
manusia. Kandungan protein ikan relatif tinggi yaitu 15-25%. Ikan juga
merupakan sumber bahan pangan yang bermutu tinggi. Kualitas produk hasil
perikanan menurut Herawati et al. (2014) identik dengan kesegaran. Upaya
terbaik untuk mempertahankan mutu ikan adalah dengan cara menjaga ikan agar
tetap hidup, namun dalam jangka waktu lama hal tersebut sulit dilakukan tanpa
pemberian pakan serta suplai udara dalam jumlah besar.
Bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan biologis oleh enzim atau
mikroba pembusuk adalah ikan (Florensia et al. 2012). Pembusukan ikan menurut
Rokhima (2014) terjadi segera setelah ikan ditangkap atau mati. Ikan membusuk
dalam waktu 12-20 jam tergantung spesies, alat atau cara penangkapan pada
kondisi suhu tropik. Apabila ikan tidak segar lagi, menurut Siburian et al. (2012)
akan berbau busuk dan biasanya mengapung jika diletakkan di dalam air. Ikan
yang masih segar dagingnya elastis dan berwarna cerah, dan jika ditekan tidak
menimbulkan bekas permanen. Penentuan tingkat kesegaran ikan menurut
Agustina et al. (2013) dapat dilakukan melalui parameter fisika,
sensorik/organoleptik, kimia, maupun mikrobiologi. Analisis organoleptik
merupakan analisis secara subyektif dengan bantuan panca indera manusia untuk
menilai daya terima suatu bahan, dapat juga untuk menilai karakteristik mutu,
yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sifat-sifat fisik suatu bahan.
Ikan mas Pratama et al. (2013) merupakan ikan konsumsi yang popular dan
merupakan jenis ikan air tawar yang bayak dibudidayakan. Total produksi
budidaya ikan mas nasional tahun 2008 ialah 242.322 ton dan sebanyak 110.829
ton dihasilkan oleh Jawa Barat sedangkan sisanya dihasilkan 32 provinsi lainnya.
Perlakuan yang diberikan pada ikan mas ini adalah penggunaan es dan formalin.
Es menurut Susanto et al. (2011) dapat digunakan memperlambat pembusukan
dan memperpanjang shelf-life ikan. Formalin menurut Wardani dan Mulasari
(2016) adalah salah satu zat yang dilarang berada dalam bahan makanan.
Formalin dapat bereaksi dengan lapisan lendir saluran pencernaan dan saluran
pencernaan dan saluran pernafasan, zat ini cepat teroksidasi dalam tubuh
membentuk asam format terutama di hati dan sel darah merah.
Tujuan
Praktikum pengaruh penggunaan es dan bahan sintetis terhadap kemunduran
mutu ikan bertujuan agar mahasiswa dapat melakukan penanganan dengan
penggunaan es. Tujuan selanjutnya adalah membandingkan perbedaan mutu ikan
yang diberi formalin dan es.

METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Praktikum pengaruh penggunaan es dan bahan sintetis terhadap kemunduran
mutu ikan dilaksanakan pada hari Jumat, tanggal 22 September 2016. Praktikum
ini dimulai pada pukul 13.30 hingga 16.30. Praktikum pengaruh es dan garam
terhadap suhu pusat ikan dilakukan di Laboratorium Bahan Baku, Departemen
Teknologi Hasil perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Praktikum pengaruh penggunaan es dan bahan sintetis terhadap kemunduran
mutu ikan menggunakan beberapa bahan dan alat. Bahan-bahan yang digunakan
dalam praktikum yaitu ikan mas, es balok, dan formalin. Alat-alat yang diperlukan
untuk membantu praktikum meliputi skor organoleptic, plastik, gelas ukur, dan
baskom.
Prosedur Kerja
Praktikum pengaruh penggunaan es dan bahan sintetis terhadap kemunduran
mutu ikan menggunakan sampel ikan mas. Tahap pertama adalah ikan mas
dimatikan terlebih dahulu, kemudian diukur dan ditimbang. Ikan mas yang telah
ditimbang, akan diamati secara organoleptik. Ikan mas tersebut diberi tiga
perlakuan yaitu perendaman dengan formalin (konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20%,
25%), penempatan dengan es, dan kontrol. Ikan mas tersebut selanjutnya diamati
secara organoleptik setiap 3 jam hingga ikan dengan perlakuan kontrol mengalami
post rigor. Diagram alir pengaruh penggunaan es dan bahan sintetis terhadap
kemunduran mutu ikan dapat dilihat pada Gambar 1.
Ikan mas

Pematian, penimbangan,
pengukuran,dan pengamatan
mutu foto (Organoleptik)

Perendaman dengan
formalin

Penempatan
dengan es

Kontrol

Pengamatan skor
organoleptik per 3 jam

Pengamatan hingga
mencapai post rigor

Data
Keterangan

: Awal dan akhir proses


: Proses

Gambar 1 Diagram alir pengaruh penggunaan es dan bahan sintetis


terhadap kemunduran mutu ikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Praktikum pengaruh penggunaan es dan bahan sintetis terhadap kemunduran
mutu ikan menggunakan satu sampel, yaitu ikan mas (Cyprinus carpio).
Perlakuan yang diberikan adalah penambahan es dan formalin dengan konsentrasi
yang berbeda. Pengamatan dilakukan 3 jam sekali hingga control mengalami fase
rigor mortis. Hasil penilaian organoleptik ikan mas dengan penggunaan es dan
formalin dapat dilihat pada Tabel 1.
Kelompo
k

Perlakuan

1a, 3a, 7a
2b, 3b, 7b
4a, 4b
5, 6
1a, 8a
1b, 9a
8b, 9b

kontrol
penambahan es
formalin 5%
formalin 10%
formalin 15%
formalin 20%
formalin 25%

0
9
9
9
9
9
9
9

1
8
7
7
8
7
7
7

Penilaian Orlep
2
3
6
6
7
7
7
6
8
7
6
6
7
6
6
6

4
5
6
6
6
6
6
6

5
3
6
5
6
5
6
7

Tabel 1 Hasil organoleptik ikan mas dengan penggunaan es dan formalin


Tabel 1 menunjukkan bahwa pengamatan dilakukan selama 6 kali dan
berhenti hingga control mencapai fase rigor mortis. Ikan mas control mencapai
fase rigor mortis pada jam ke-15 atau pengamatan ke-6 dengan nilai organoleptik
3. Nilai organoleptik ikan mas dengan penambahan es pada pengamatan terakhir
adalah 6, nilai ini sama dengan penambahan formalin 10% dan formalin 20%.

Ikan yang memiliki mutu terendah adalah ikan kontrol dengan nilai organoleptik
3 dan ikan yang memiliki mutu tertinggi adalah ikan dengan penambahan
formalin 25% yaitu 7 untuk nilai organoleptiknya.
Pembahasan
Ikan menurut Ariyani et al. (2011) setelah mati terjadi berbagai proses
perubahan fisika, kimia, dan organoleptik yang berlangsung dengan cepat yang
akhirnya mengarah ke pembusukan. Urutan proses perubahan yang terjadi
meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis, aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan
oksidasi. Proses kemunduran mutu pada ikan menurut Saputra dan Nurhayati
(2014) meliputi fase pre rigor (hiperaemia), rigor mortis, post rigor dan busuk.
Fase pre rigor terjadi setelah ikan tersebut mati dan merupakan tahap sebelum
rigor mortis. Fase rigor mortis terjadi setelah tiga jam penyimpanan. Penurunan
nilai pH pada kondisi rigor mortis ini terjadi akibat proses glikolisis yang
mengubah glikogen dalam tubuh ikan menjadi asam laktat. Awal dari proses post
rigor berarti akhir dari fase rigor mortis yang terjadi proses autolisis. Peningkatan
mikroba terjadi pada proses ini, karena semua hasil penguraian enzim selama
proses autolisis merupakan media yang cocok bagi pertumbuhan mikroba.
Pembusukan terjadi setelah fase post rigor.
Penambahan bahan aditif menurut Ali et al. (2014) pada produk perikanan
sulit untuk dihindari mengingat komoditas perikanan termasuk paling mudah
busuk (perishable food). Penggunaan bahan pengawet (food additive) dalam
pengolahan bahan pangan digunakan untuk menjaga daya tahan suatu bahan
pangan, namun dalam praktiknya masih banyak produsen yang menggunakan
bahan pengawet berbahaya seperti formalin pada produk pangan. Proses
pengawetan dengan bahan kimia seperti garam, nitrit dan asam organik untuk
menghambat pertumbuhan spora Clostridium botulinum.
Formalin menurut Wardani dan Mulasari (2016) adalah larutan kimia yang
terdiri dari molekul HCHO, yang digunakan sebagai antiseptik untuk
menghilangkan bau dan digunakan sebagai bahan fumigasi (uap), baunya yang
tajam dapat membuat hewan pengganggu mati lemas. Formalin di rumah tangga
digunakan sebagai desinfektan untuk rumah, dan sebagai larutan pembersih lantai.
Formalin juga dapat digunakan sebagai desinfektan dan pengawet, selain itu juga
digunakan dalam industri tekstil, kayu lapis, kertas, isolator, plastik dan industri
cat. Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC) telah
mengklasifikasikan formalin sebagai Grup 1 karsinogenik manusia
Beberapa cara untuk dapat mengetahui formalin yang ada pada makanan
menurut Wardani dan Mulasari (2016) yaitu dengan menggunakan metode
kolorimetri, spektrofotometri, kromatografi cair kinerja tinggi, dan kromatrogafi
gas. Kadar formalin menurut Farid et al. (2015) dapat dikurangi dengan
menggunakan perendaman dalam air, hal ini disebabkan karena formalin
mempunyai sifat larut dalam air sehingga formalin pada makanan tersebut akan
larut pada pelarutnya yaitu air. Cara ini dapat diterapkan pada produk seperti ikan
asin. Pengujian kadar formalin secara kuantitatif dapat dilakukan dengan
menggunakan metode asam kromatofat. Asam kromatofat digunakan untuk
mengikat formalin agar terlepas dari bahan yang mengandung formalin, formalin

bereaksi dengan asam kromatofat yang menghasilkan senyawa kompleks


berwarna ungu.
Formalin menurut Wardani dan Mulasari (2016) jika ditambahkan ke dalam
makanan maka akan memberikan efek buruk bagi kesehatan, meskipun dalam
dosis sedikit tapi lambat laun apabila sering dikonsumsi maka efeknya akan terasa
bagi kesehatan manusia setelah bertahun-tahun. Hasil yang paling umum dari
keracunan kronis yang disebabkan oleh formalin adalah rusaknya ginjal dan
kanker. Formalin dapat menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak terkendali atau
kanker di perut, paru-paru dan pernafasan. Tingginya konsumsi formalin dapat
menyebabkan kerusakan pada kornea di mata dan mengakibatkan kehilangan
penglihatan. Formaldehida menyebabkan peradangan pada lapisan mulut,
tenggorokan dan saluran pencernaan dan akhirnya ulserasi dan nekrosis lapisan
mukosa dari saluran pencernaan. Formalin menurut Matondang et al. (2015)
tergolong sebagai karsinogen, yaitu senyawa yang dapat menyebabkan timbulnya
kanker, oleh karena itu senyawa formalin tidak boleh digunakan dalam makanan
maupun minuman.
Proses pembusukan ikan oleh bakteri dan fungi menurut Siburian et al.
(2012) dapat dihambat dengan penyimpanan ikan pada suhu 0 oC atau lebih
rendah. Penyimpanan pada suhu dingin dapat mempertahankan mutu dalam
jangka pendek atau beberapa hari dan dalam jangka panjang hingga satu tahun
apabila disimpan pada suhu beku. Penyimpanan dengan suhu dingin dan beku
juga dapat menghancurkan mikroba-mikroba pembusuk. Proses yang terjadi pada
suhu dingin dan beku adalah kenaikan konsentrasi padatan intraseluler sehingga
mengakibatkan perubahan fisik dan kimia sel-sel bakteri dan fungi penyebab
pembusuk.
Cara yang diperlukan untuk memperlambat pembusukan ikan menurut
Susanto et al. (2011) diantaranya adalah mendinginkan dan menyimpannya dalam
es. Tingginya suhu pada negara tropis termasuk Indonesia dan minimnya
penerapan sanitasi dan higiene pada penangkapan ikan menyebabkan ikan lebih
cepat busuk. Penggunaan perbandingan ikan dan es yang berbeda pada prinsipnya
dilakukan untuk mencari perlakuan yang efektif dengan meminimalkan media
pendingin pada ikan. Jumlah es yang terlalu sedikit dibandingkan jumlah ikannya
maka suhu pendinginan yang dihasilkan tidak cukup dingin untuk
mempertahankan kesegaran ikan. Semakin tinggi temperatur akan menyebabkan
waktu berlangsungnya rigor mortis semakin cepat. Ikan yang disimpan pada suhu
yang lebih tinggi mempunyai mutu organoleptik lebih rendah dibandingkan ikan
yang disimpan pada suhu rendah. Suhu yang semakin meningkat menyebabkan
penurunan nilai organoleptik secara signifikan.
Hasil pengamatan organoleptik ikan mas sebagai kontrol mengalami
kemunduran mutu yang paling cepat jika dibandingkan dengan perlakuan es dan
formalin. Hal ini disebabkan oleh bahan pengawet es dan formalin yang diberikan
dapat menunda proses kemunduran mutu. Prinsip proses pendinginan dan
pembekuan menurut Huda et al. (2014) adalah mengurangi atau menginaktifkan
enzim dan bakteri pembusuk dalam tubuh ikan. Es menurut Susanto et al. (2011)
dapat digunakan memperlambat pembusukan dan memperpanjang shelf-life ikan.
Kelompok 1 mendapatkan ikan mas dengan perlakuan formalin 20%, ikan
ini mendapatkan nilai organoleptik 6. Hasil menunjukkan antara perlakuan es
dengan formalin memiliki perbedaan, yaitu ikan dengan es lebih cepat mengalami

kemunduran mutunya jika dibandingkan dengan formalin. Penyebabnya adalah


formalin menurut Hartati (2015) memiliki ikatan antara formaldehid dan protein
yang sulit dipecah, sedangkan apabila es balok mencair maka suhu ikan tersebut
akan kembali seperti semula dan cepat mengalami kemunduran mutu. Ikan dengan
konsentrasi formalin 25% merupakan ikan yang memiliki mutu terbaik diantara
konsentrasi lainnya. Konsentrasi formaldehid menurut Teddy (2007) yang
ditambahkan ke dalam suatu bahan pangan sangat mempengaruhi besarnya kadar
formaldehid yang terserap dan umur simpan bahan pangan tersebut pada suhu
ruang. Semakin besar kadar formaldehid yang terserap maka umur simpan produk
tersebut pada suhu ruang akan semakin lama.

PENUTUP
Simpulan
Penggunaan es dan bahan sintetis (formalin) mempengaruhi kemunduran
mutu ikan. Ikan dengan penambahan es dan formalin memiliki daya awet yang
lebih lama dibandingkan dengan ikan tanpa pengawet. Ikan dengan penambahan
formalin memiliki mutu yang lebih baik dibandingkan dengan es. Hal ini
disebabkan oleh formaldehid yang memiliki ikatan dengan protein yang kuat
sehingga sulit dipisah. Konsentrasi formalin mempengaruhi umur simpan dari
suatu bahan pangan, emakin besar kadar formaldehid yang terserap maka umur
simpan produk tersebut pada suhu ruang akan semakin lama.
Saran
Sampel yang digunakan lebih beragam, seperti ikan laut dan ikan payau.
Pengawetan ikan dapat menggunakan bahan sintetis lainnya seperti nitrit dan
asam organic. Hal ini perlu dilakukan untuk mengamati pengaruh yang dihasilkan
dari sampel dan bahan pengawet yang berbeda, serta menganalisis penyebabnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ali M, Suparmono, Hudaidah S. 2014. Evaluasi kandungan formalin pada ikan
asin di Lampung. Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan. 2(2):
139-144.
Agustina R, Syah H, Ridha M. 2013. Kajian mutu ikan lele (Clarias batrachus)
asap kering. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia. 5(3): 6-11.
Ariyani F, Murtini JT, Andayani F. 2011. Penelitian hubungan parameter sensori
(Demerit Point Score), kimia, dan mikrobiologi pada kemunduran mutu ikan
nila selama pengesan. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan. 6(1): 70-80.

Farid M, Jannah A, Maunatin A. 2015. The temperature and time influence of


immersion in water solvent against formaldehyde salted lever belanak fish
(Mugil cephalus). Journal of Chemistry. 4(2): 121-126.
Florensia S, Dewi P, Utami NR. 2012. Pengaruh ekstrak lengkuas pada
perendaman ikan bandeng terhadap jumlah bakteri. Unnes Journal of Life
Science. 1(2): 113-118.
Hartati S. 2015. Efektivitas kunyit (Curcuma domestica) sebagai pereduksi
formalin pada tahu serta sumbangsihnya pada mata pelajaran biologi materi
peranan tumbuhan bagi kehidupan manusia di kelas X SMA. [skripsi].
Palembang (ID): Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri
Raden Fatah.
Herawati DP, Darmanto YS, Romadhon. 2014. pengaruh cara kematian dan
tahapan penurunan kesegaran ikan terhadap kualitas pasta ikan mas
(Cyprinus carpio). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan.
3(3): 23-31.
Huda MA, Baheramsyah A, Cahyono B. 2013. Desain sistem pendingin ruang
muat kapal ikan tradisional dengan menggunakan campuran es kering dan
cold ice yang berbahan dasar Propylene Glycol. Jurnal Teknik Pomits. 2(1):
37-40.
Jayanti S, Ilza M, Dasmelati.2012. pengaruh penggunaan minuman berkarbonasi
untuk menghambat kemunduran mutu ikan gurami (Osphronemus
gouramy). Jurnal Perikanan dan Kelautan. 17(2): 71-87.
Matondang RA, Rochima E, Kurniawati N. 2015. Studi kandungan formalin dan
zat pemutih pada ikan asin di beberapa Pasar Kota Bandung. Jurnal
Periakanan dan Kelautan. 2(1): 70-77.
Pratama RI, Rostini I, Awaluddin MY. 2013. Komposisi kandungan senyawa
flavor ikan mas (Cyprinus carpio) segar dan hasil pengukusannya. Jurnal
Akuatika. 4(1): 55-67.
Rokhima I. 2014. efektivitas perendaman ikan segar dalam larutan chitosan dari
limbah cangkang udang terhadap sifat fisik ikan segar. Unnes Journal of
Public Health. 3(3): 1-8.
Saputra D, Nurhayati T. 2014. Teknik pengawetan fillet ikan nila merah dengan
senyawa anti bakteri asal Lactobacillus acidophilus dan bifido bacteria
biffidum. Jurnal ComTech. 5(2): 1021-1030.
Siburian ETP, Dewi P, Kariada N. 2012. Pengaruh suhu dan waktu penyimpanan
terhadap pertumbuhan bakteri dan fungi ikan bandeng. Unnes Journal of
Life Science. 1(2): 101-105.
Susanto E, Agustini TW, Swastawati F, Surti T, Fahmi AS, Albar MF, Nafis MK.
2011. Pemanfaatan bahan alami untuk memperpanjang umur simpan ikan
kembung (Rastrelliger neglectus). Jurnal Perikanan. 8(2): 60-69.
Teddy. 2007. Pengaruh konsentrasi formalin terhadap keawetan bakso dan cara
pengolahan bakso terhadap residu formalinnya. [skripsi]. Bogor (ID):
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Wardani RI dan Mulasari SA. 2016. Identifikasi formalin pada ikan asin yang
dijual di kawasan Pantai Teluk Penyu Kabupaten Cilacap. Jurnal Kesmas.
10(1): 15-24.

LAMPIRAN
Lampiran 1 Dokumentasi praktikum

Pengamatan ke-3

ke-0
PenyayatanPengamatan
daging

Lampiran 2. Data uji organoleptik

Pengukuran
Organoleptik
panjang
ikanbaku
Penimbangan
Pencucian
ikan

Lampiran 3 Contoh perhitungan

Dik : M1 = 40 %
M2 = 25%
V2 = 1000 ml
Dit : V1 ?
Jawab :
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 40% = 1000 ml x 20%
V1 = 500 ml
Ket :
M1 = Molaritas formalin dalam pengenceran
M2 = Molaritas formalin yang akan diencerkan
V1 = Volume formalin dalam pengenceran
V2 = Volume formalin yang akan diencerkan

Anda mungkin juga menyukai