Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindroma Nefrotik merupakan penyakit yang sering ditemukan dari beberapa
penyakit ginjal dan saluran kemih. Sindroma Nefrotik (SN) dapat terjadi secara primer
dan sekunder, primer apabila tidak menyertai penyakit sistemik. Sekunder apabila timbul
sebagai bagian daripada penyakit Sistemik atau yang berhubungan dengan obat / Toksin.
Pada anak-anak kira-kira 90% disebabkan oleh panyakit Glomerulus primer dan
10% adalah sekunder disebabkan oleh penyakit Sistemik. Resiko penyakit jantung
koroner atau Aterosklerosis pada penderita Sindroma Nefrotik anak belum diketahui
dengan jelas. Dalam laporan-laporan pemeriksaan post mortem pada anak-anak dan
dewasa yang menderita Sindroma Nefrotik Idiopatik tercatat adanya Ateroma yang awal.
Semua penyakit yang mengubah fungsi glomerulus sehingga mengakibatkan
kebocoran protein (khususnya albumin) ke dalam ruang Bowman akan menyebabkan
terjadinya sindrom ini. Etiologi SN secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital,
glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti pada
purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sitemik. Sindrom nefrotik pada tahun
pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan
kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk
1.2 Rumusan masalah
1. Apa itu Sindrom Nefrotik?
2. Bagaimana konsep teori Sindrom Nefrotik ?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah diharapkan mahasiswa mampu:
1. Mengetahui pengertian sindrom nefrotik
2. Mengetahui konsep teori dari sindrom nefrotik

1.4 Manfaat
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Memahami pengertian dari sindrom nefrotik


Memahami etiologi dari penyakit sindrom nefrotik
Memahami patofisologi sindrom nefrotik
Memahami penatalaksanaan sindrom nefrotik
Memahami prognosis sindro nefrotik
Memahami komplikasi sindrom nefrotik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2

2.1 Definisi
Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai
pada anak, merupakan suatu kumpulan. Sindrom Nefrotik adalah Status klinis
yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap
protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L.
Wong, 2004)
Sindroma ini bisa terjadi pada segala usia. Pada anak-anak, paling sering
timbul pada usia 18 bulan sampai 4 tahun, dan lebih banyak menyerang anak lakilaki.
Sindrom nefrotik bukan suatu penyakit tersendiri, melainkan merupakan
complex gejala klinik yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, dengan ciriciri sebagai berikut :
1.edema umum (anasarka), terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital.
2.Proteinuria, termasuk albuminuria; sebagai batas biasanya ialah bila kadar protein
plasma total kurang dari 6 gram per 100 ml dan fraksi albumin kurang dari 3
gram per 100 ml.
3. Hiperlipidemi, khususnya hiperchlolesterolemi ; sebagai batas biasanya ialah bila
kadar cholesterol plasma total lebih dari 300 miligram per 100 ml.
4. Lipiduria ; dapat berupa lemak bebas, sel epitel bulat yang mengandung lemak
(ovel fat bodie), torak lemak.
Kadang-kadang tidak semua gejala tersebut di atas ditemukan. Ada yagn
berpendapat bahwa proteinuria, terutama albuminuria yagn masif serta
hipoalbuminemi sudah cukup untuk menegakkan diagnosis sindrom nefrotik.
2.2

Etiologi
Sebab yang pasti belum diketahui ; akhir-akhir ini dianggap sebagai satu

penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi.


Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi :
I. Sindrom nefrotik bawaan
3

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya


adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua
pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa
neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam
bulan-bulan pertama kehidupannya.
II. Sindrom nefrotik sekunder
1. Malaria kuartana atau parasit lain
2. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura
anafilaktoid.
3. Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, trombosisis vena
renalis.
4. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas,
sengatan lebah, racun oak, air raksa.
5. Amilodisosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membrano
proliferatif hipokomplementamik.
III. Sindrom nefrotik idiopatik (tidak diketahui sebabnya).
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan
pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk. Membangi
dalam 4 golongan yaitu :
1.

Kelainan minimal

Dengan mikrospok biasa glomerulus tampak normal, sedangkan dengan


mikroskop elektron terdapat IgG atau imunoglobulin bet-1C pada dinding
kapiler glomerulus.
Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak daripada orang dewasa.
2.

Nefropati membranosa

Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang tersebar


tanpa proliferasi set. Tidak sering ditemukan pada anak.
Prognosis kurang baik.
3. Glomerulonefritis proliferatif
4

a. Glomerulonefritis proliferatif eksudatif difus.


Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus.
Pembengkakan

sitoplasma

endotel

yang

menyebabkan

kapiler

tersumbat. Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis yang timbul


setelah infeksi dengan Streptococcus yang berjalan progresif dan pada
sindrom nefrotik.
Prognosis jarang baik, tetapi kadang-kadang terdapat penyembuhan
setelah pengobatan yang lama.
b. Dengan penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)
Terdapat proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel simpai
(kapsular) dan viseral.
c. Dengan bulan sabit (crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel simpai
(simpai (kapsular) dan viseral.
d. Glomerulonefritis membranopliferatif.
Proliferasi sel mesangial dan penempaan fibrin yang menyerupai
membrana basalis di mesangium. Titer globulin beta-1C atau beta 1A
rendah.
e. Lain-lain.
Misalnya perubahan proliferasi yang tidak khas.
4.Glomeruloksklerosis fokal segmental.
Pada kelainan ini yang menyolok sklerosis glomerulus. Sering
disertai dengan atrofi tubulus.
2.3 Patofisiologi
Penyakit nefrotik sindoma biasanya menyerang pada anak-anak pra
sekolah. Hingga saat ini sebab pasti penyakit tidak ditemukan, tetapi berdasarkan
klinis dan onset gejala yang muncul dapat terbagi menjadi sindroma nefrotik
bawaan yang biasanya jarang terjadi; Bentuk idiopati yang tidak jelas penyebabnya

maupun sekunder dari penyakit lainnya yang dapat ditentukan faktor


predisposisinya; seperti pada penyakit malaria kuartana, Lupus Eritematous
Diseminata, Purpura Anafilaktoid, Grumeluronefritis (akut/kronis) atau sebagai
reaksi terhadap hipersensitifitas (terhadap obat).Nefrotik sindroma idiopatik yang
sering juga disebut Minimal Change Nefrotic Syndrome (MCNS) merupakan
bentuk penyakit yang paling umum (90%).
Patogenesis penyakit ini tidak diketahui, tetapi adanya perubahan pada
membran glumerolus menyebabkan peningkatan permeabilitas, yang
memungkinkan protein (terutama albumin) keluar melalui urine (albuminuria).
Perpindahan protein keluar sistem vaskular menyebabkan cairan plasma pindh ke
ruang interstitisel, yang menghasilkan oedema dan hipovolemia. Penurunan
volume vaskuler menstimulasi sistem renin angiotensin, yang memungkinkan
sekresi aldosteron dan hormon antidiuretik (ADH). Aldosteron merangsang
peninkatan reabsorbsi tubulus distal terhadap Natrium dan Air, yang menyebabkan
bertambahnya oedema. Hiperlipidemia dapat terjadi karena lipoprotein memiliki
molekul yang lebih berat dibandingkan albumin sehingga tidak akan hilang dalam
urine.
Proteinuria
Proteinuria umunya diterima kelainan utama pada SN, sedangkan gejala
klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria dinyatakan
berat untuk membedakan dengan proteinuria yang lebih ringan pada pasien
yang bukan sindrom nefrotik. Eksresi protein sama atau lebih besar dari 40
mg/jam/m2 luas permukaan badan, dianggap proteinuria berat.
Hipoalbuminemia
Jumlah albumin di dalam ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan
pengeluaran akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan gastrointestinal. Dalam
keadaan seimbang, laju sintesis albumin, degradasi ini hilangnya dari badan adalah
seimbang. Pada anak dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju sekresi
6

protein urin dan derajat hipoalbuminemia. Namun keadaan ini tidak responsif
steroid, albumin serumnya dapat kembali normal atau hampri normal dengan atau
tanpa perubahan pada laju ekskresi protein. Laju sintesis albumin pada SN dalam
keadaan seimbang ternyata tidak menurun, bahkan meningkat atau normal.
Jumlah albumin absolut yagn didegradasi masih normal atau di bawah
normal, walaupun apabila dinyatakan terhadap pool albumin intravaskular secara
relatif, maka katabolisme pool fraksional yagn menurun ini sebetulnya meningkat.
Meningkatnya katabolisme albumin di tubulus renal dan menurunnya katabolisme
ekstrarenal dapat menyebabkan keadaan laju katabolisme absolut yagn normal
albumin plasma yang rendah tampaknya disebabkan oleh meningkatnya eksresi
albumin dalam urin dan meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin (terutama
disebabkan karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus renal) yang
melampaui daya sintesis hati. Gangguan protein lainnya di dalam plasma adalah
menurunnya - 1 globulin, (normal atau rendah), dan - 2-globulin, B globulin
dna figrinogen meningkat secara relatif atau absolut. Meningkatnya - 2 globulin
disebabkan oleh retensi selektif protein berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan
adanya laju sintesis yang normal. Pada beberapa pasien, terutama mereka dengan
SNKM, IgM dapat meningkat dan IgG menurun.
2.4 Penatalaksanaan
1.

Diperlukan tirah baring selama masa edema parah yang menimbulkan keadaan
tidak berdaya dan selama infeksi yang interkuten. Juga dianjurkan untuk
mempertahankan tirah baring selama diuresis jika terdapat kehilangan berat badan
yang cepat.

2. Diit. Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/
hari dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis
dan edema menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan masukan
protein yang seimbang dalam usaha memperkecil keseimbangan negatif nitrogen
yang persisten dan kehabisan jaringan yang timbul akibat kehilangan protein. Diit
7

harus mengandung 2-3 gram protein/ kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami
anoreksia akan memerlukan bujukan untuk menjamin masukan yang adekuat
3. Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit. Trauma
terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester atau verban
harus dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan plester harus diangkat dengan
lembut, menggunakan pelarut dan bukan dengan cara mengelupaskan. Daerah
popok harus dijaga tetap bersih dan kering dan scrotum harus disokong dengan
popok yang tidak menimbulkan kontriksi,
4. hindarkan menggosok kulit.
5. Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak mata dan
untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.
6.

Kemoterapi:

7. Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang mempunyai


efek samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga dosis pemeliharaan
sebesar 5 mg diberikan dua kali sehari. Diuresis umumnya sering terjadi dengan
cepat dan obat dihentikan setelah 6-10 minggu. Jika obat dilanjutkan atau
diperpanjang, efek samping dapat terjadi meliputi terhentinya pertumbuhan,
osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters mellitus, konvulsi dan hipertensi
8. Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat
cairan berlebihan, misalnya obat-abatan spironolakton dan sitotoksik
( imunosupresif ). Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada dugaan imunologis
dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan seperti 6-merkaptopurin dan
siklofosfamid.
9. Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan mengeluh nyeri abdomen dan
mungkin juga muntah dan pingsan. Terapinya dengan memberikan infus plasma
intravena. Monitor nadi dan tekanan darah.
10. Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom nefrotik cenderung mengalami
infeksi dengan pneumokokus kendatipun infeksi virus juga merupakan hal yang
menganggu pada anak dengan steroid dan siklofosfamid.
8

11. Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan grafik cairan yang tepat,


penimbnagan harian, pencatatan tekanan darah dan pencegahan dekubitus.
12. Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali tergangu
dengan penampilan anak. Pengertian akan perasan ini merupakan hal yang penting.
Penyakit ini menimbulkan tegangan yang berta pada keluarga dengan masa remisi,
eksaserbasi dan masuk rumah sakit secara periodik. Kondisi ini harus diterangkan
pada orang tua sehingga mereka mereka dapat mengerti perjalanan penyakit ini.
Keadaan depresi dan frustasi akan timbul pada mereka karena mengalami relaps
yang memaksa perawatan di rumah
2.5 Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Prognosis sindroma nefrotik tergantung dari beberapa factor antara lain umur,
jenis kelamin, penyulit pada saat pengobatan dan kelainan histopatologi ginjal.
prognosis pada umur muda lebih baik daripada umur lebih tua, pada wanita lebih baik
daripada laki-laki. Makin dini terdapat penyulitnya, biasanya prognosisnya lebih
buruk. Kelainan minimal mempunyai respons terahdap kortikosteroid lebih baik
dibandingkan dengan lesi dan mempunyai prognosis paling buruk pada
glomerulonefritis proliferatif. Sebab kematian pada sindroma nefrotik berhubungan
dengan gagal ginjal kronis disertai sindroma uremia, infeksi sekunder (misalnya
pneumonia).

2.6 Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada penderit SN tergantung faktor-faktor sebagai
berikut : histopatologi renal, lamanya sakit, umur dan jenis kelamin penderita.
1. Infeksi
Infeksi terjadi karena terjadinya penurunan mekanisme pertahanan tubuh yaitu
gama globulin serum, penurunan konsetnrasi IgG, abnormalitas komplemen,
penurunan konsentrasi transferin dan seng, serta pungsi lekosit yang berkurang.
Infeksi yang

serign terjadi berupa pertonitis primer, selulitas infeksi saluran

kemih, bronkpneumonia dan infeksi virus.


2. Tromboemboli dan gangguan koagulasi
pada penderita SN terjadi hiperkoagulasi dan dapat menimbulkan
tromboemboli baik pada pembuluh darah vena maupun arteri. Keadaan ini
disebabkan oleh faktor-faktor :
perubahan zymogen dan kofaktor dalam hal ini penignkatan fakto V.X.VII.
Fibrinogen dan fakto von Willebrand.
perubahan fungsi platelet karena hipoalbuminemai, hiperlipodemia
perubahan fungsi sel endotelial karena perubahan sirkulasi lipid
Peran obat kortikosteroid : yakni meningkatkan konsentrasi Fc. VIII dan
memperpendek Protrombin time dan PTT Namun dalam dosisi besar
kostikosteroid akan menignkatkan AT III dan mencegah agregasi trombost.
Diuretik akan menurunkan voluem plasma sehingga meninggikan angka
hematokrit dengan demikian viskositas darah dan konsentrasi fibrinogen akan
meningkat.
3. Perubahan metabolisme lemak, karbohidrat dan protein. Pada penderita SN
terjadi peningkatan total kolesterol, LDL dan VLDL seta apolipoprotein di dalam
plasma sementara HDL dapt normal atau turun khususnya HDL 2. Hiperlipidemia
ini berlangsung lama dan tidak terkontrol dapat mempercepat proses
aterosklerosis pembuluh darah koroner. Aorta dan arteria renalis. Hal ini dapat
10

menyebabkan terjadinya penyakti jantung eskemik ataupun trombosis arteri


Renalis. Tidak sepeti pada lemak, penelitian mengenai perubahan metabolisme
karbohidrat belum komprehensif. Namun telah diketahui pada hati yang
mensintesis protein lebih besar akan meningkatkan ptikogenolisis, selain itu
didapatkan penignkatan ambang vespin terhadap insulin dan glukosa. Hal ini
dapat terjadi hipoalbuminemia pada keadaan malnutrisi kronik. Sejumlah protein
plasma yang penting pada transport besi, hormon dan obat-obatan, karena
molekulnya kacil, dengan mudah keluar melalui urin, kehilangan zat-zat tersebut
akan mengakibatkan hal-hal sebagai berikut :
Transferin ion yang menurun menyebabkan anemia
Penurunan seruloplasmin belum dilaporkan akibat klinisnya
Berkurangnya albumin pengikat seng dan besi menyebabkan hipogensia dan
penurunan sel-sel imunitas.
Berhubungan protein pengikat vitamin D akan mempengaruhi metabolisme
kalsium sehingga terjadi osteomalasia dan hiper paratiroid.
Berkurangnya protein pengikat kostisol menyebabkan dibutuhkannay dosis
lebih besar terhadap kortikosteroid.
Kehilangan sejumlah besar protein ini akan menyebabkan penderita jatuh
dalam keadaan malnutrisi. Karena itu dilanjutkan diet tinggi protein diberikan 2-3 5
gram/kg/24 jam untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen. Diet rendha protein,
meski dapat mengurangi proteinuria dalam jangka penek mempunyai risiko
kesimbangan negatif di masa mendatang.
4. Gagal Ginjal Akut (GGA)
Komplikasi ini mekanismenya belum jelas. Namun banyak ditemukan pada
penderita SN dengan lesi minimal dan gromerulosklerosis fokal. diperkirakan
akibat hipovelemia dan penurunan perfusi ke ginjal. akibat dari GG pada
penderita SN cukup serius. 18% meninggal. 20% dapt bertahan tapi tidak ada
perbaikan fungsi ginjal dan memerlukan dialisis.

11

2.7 Hasil dan Pembahasan Jurnal


a. Karakteristik Pasien
Tabel 1: Distribusi frekuensi subjek penelitian berdasarkan umur
Kelompok
Umur (tahun)

Frekuensi Persentase
(%)

1-<2
2-6
>6

3
22
31

5,4
39,3
55,4

Total

56

100

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa kelompok umur tertinggi pada anak
dengan SN adalah > 6 tahun sebanyak 31 orang (55,4%) dan terendah pada
kelompok umur 1-<2 tahun sebanyak 3 orang (5,4%). Hal ini tidak jauh berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh Nasution dan Aumas (2001) periode 19972000 di bagian IKA RSUP Dr. M. Djamil Padang yang menemukan penderita
sindrom nefrotik anak tertinggi usia 5-12 tahun.2
Pada penelitian ini didapatkan umur anak dengan sindrom nefrotik bervariasi dari
yang terendah adalah 1 tahun dan tertinggi adalah 14 tahun. Rata-rata umur anak dengan
SN adalah 6,983,91 tahun
Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang didapatkan oleh Garniasih dkk (2008)
di Bagian Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RS dr. Hasan Sadikin Bandung mulai bulan
Juli - September 2007 bahwa usia rata-rata anak dengan sindrom nefrotik adalah
6,803,39 tahun.8
Tabel 2: Distribusi frekuensi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin
Jenis
Kelamin
Laki-laki

Frekuensi
33

Persentase
(%)
58,9

12

Perempuan

23

41,1

Total

56

100

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa anak dengan SN laki-laki lebih banyak
daripada anak perempuan. Rasio kejadian SN pada anak laki-laki dengan
perempuan sebesar 1,43:1. Khairani (2007) mendapatkan hasil yang hampir sama
pada penelitian yang dilakukannya di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 20012006 yaitu kejadian SN lebih banyak terjadi pada anak laki-laki dengan rasio antara
laki-laki dan perempuan adalah 1,42:1.9

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Telah dibicarakan penyakit sindroma nefrotik yang merupakan penyakit
ginjal yang terbanyak. Umumnya menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan
klinis dan pemeriksaan laboratorium terhadap sindroma nefrotik tersebut.
Penyebab yang paling sering dijumpai adalah sindroma nefrotik primer. Kelainan
minimal memberikan respons yang baik terhadap pengobatan dan mempunyai

13

prognosis baik. Untuk memperoleh hasil pengobatan yang optimum perlu kerja
sama antara penderita dan dokter yang mengobatinya.

14

DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2003. Medical Surgical Nursing (Perawatan Medikal
Bedah), alih bahasa: Monica Ester. Jakarta : EGC.
Purnawan Junadi, Atiek. S. Soemasto, Gusna Amelz. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi
Kedua, Penerbit Media Aescullapius, FKUI, 1982.
M.W. Haznam, Terapi Standard Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FKUP RSHS.
Rani,azis A, Soegondo,sidartawan, Uyainah Z,Anna. Panduan Pelayanan
Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I. Edisi IV. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

15

Anda mungkin juga menyukai