Anda di halaman 1dari 9

Youre A Bad Friend

TEEEETTT
Bel sekolah berdering dengan nyaringnya, menandakan kalau
pelajaran untuk hari ini telah usai.

Aku mengerang pelan sambil

menjatuhkan kepalaku ke atas meja.


Siksaan, akhirnya selesai juga.
kulakukan sekarang?

Keluhku.

Bisakah aku bermain?

Lalu apa yang akan

Tidak tidak, aku tidak

bisa bermain. Jika aku bermain maka aku harus putus sekolah.
Mungkin aku hanya berlebihan jika mengatakan kalau aku
bermain maka aku harus putus sekolah.
begitulah yang akan terjadi.

Tapi hampir bisa dibilang

Namaku Helena Bumilestari.

Aku

merupakan siswi yang biasa-biasa saja namun aku masuk ke sekolah


luar biasa yang memiliki predikat Internasional. Tapi aku bisa masuk ke
sekolah yang cukup mahal ini karena aku beruntung. Aku mendapat
beasiswa penuh selama tiga tahun sekolah di SMA ini dengan usaha
mati-matianku dan harus melawan peserta beasiswa lainnya. Dan aku
masuk di dalam daftar juga di urutan terakhir. Paling akhir sehingga
bila ada peserta lainnya yang nilainya lebih tinggi, maka aku
ketendang. Tapi sekali lagi, aku beruntung.
Tapi tentu saja setelah masuk sekolah ini aku tak bisa santaisantai. Pihak sekolah selalu mengawasi seluruh peserta beasiswa. Bila
nilai

mereka

turun,

maka

tak

segan-segan

mereka

akan

memberhentikan beasiswa itu dan mengharsukan membayar sisa


tahun pendidikan. Karena keluargaku termasuk keluarga yang biasabiasa saja dan aku memiliki adik yang cukup banyak, jadi aku tak bisa
mengharapkan
merepotkan.

bantuan

dana

dari

keluargaku

karena

itu

Sementara bisa dibilang otakku biasa-biasa saja.

akan
Aku

pintar bukan karena aku memang pintar darisananya, tapi karena aku
belajar mati-matian.

Jika tidak belajar, aku akan mati.

Mati bukan

dalam arti yang sebenarnya. Mati dalam arti aku akan putus sekolah
dan harus bersekolah di sekolah biasa. Padahal aku sangat menyukai

sekolah ini yang memiliki fasilitas lengkap dan merupakan suatu


kebanggaan untukku bisa masuk ke sekolah ini. Jadi, di sekolah ini aku
tak bisa main-main.
Helena, kamu mau pulang kapan? tanya seorang perempuan
yang suaranya sudah kukenal dengan baik.
Aku mengangkat wajah suramku dan menatapnya malas. Hai,
Serena, sapaku.
Serena Angkasa Putri, temanku yang bisa dibilang cukup dekat
denganku.

Bukan karena kita memang berteman dekat, tapi entah

kenapa, dari awal aku masuk ke sekolah ini, perempuan inilah yang
pertama kali mendekatiku.

Dan sejak dari situ ia mulai mengikutiku

kemana saja. Kelas 10 memang kelas kita sama, tapi kelas 11 kelas
kita berbeda.

Tapi ia tidak pernah lupa datang ke kelas walaupun

hanya sekedar menyapa. Selain itu, wajahnya sangat mirip denganku,


walaupun tinggi badan lebih tinggi badanku, dari dari cara gerak,
potongan rambut hingga potongan baju pun kami sama.

Terkadang

teman-teman suka memanggil dia sebagai kembaranku dan kulihat dia


tidak masalah.

Tapi aku lah yang masalah.

perempuan sembarangan.

Serena bukanlah

Sesuai namanya, dia memang berada di

tingkat Angkasa. Keluarganya merupakan keluarga kaya raya, selain


itu otaknya memang jenius banget, pintar sosialisasi pula. Dan karena
aku suka disandingkan dengan Serena, hal itu bisa membuatku iri dan
kesal terhadap Serena.

Kenapa dia dilahirkan begitu beruntung

dengan hidup enak sementara aku tidak.


Kamu kenapa? tanyanya, membuyarkan lamunanku.
Aku menggeleng.

Tidak.

Mungkin hanya karena aku mulai

mabok dengan pelajaran yang bertubi-tubi ini.


Serena tertawa. Ya kalau begitu jangan dipaksakan, sahutnya
ringan. Bagaimana kalau bisa bermain dulu, pergi kemana gitu, untuk
mengistirahatkan otak.

Dalam hati terbitlah rasa kesalku lagi.

Dengan mudahnya dia

berkata seperti itu.


Kamu tidak mau ya? tanyanya. Kalau tidak mau tidak apaapa kok. Tapi jangan tekuk mukanya seperti itu, candanya.
Tanpa

kusadari,

aku

menyiratkan

ketidaksukaanku

melalui

wajahku. Aku buru-buru menggeleng dan langsung tersenyum. Tidak


kok. Bukannya aku tidak mau.

Tapi, kau tahu, aku tidak bisa.

Aku

harus belajar. Aku kan tidak sejenius kau.


Aku tidak sejenius itu kok, elaknya. Kalau begitu bagaimana
kalau aku main ke rumah mu saja?

Kita belajar bareng di sana.

Apakah adik-adikmu sudah pulang?


Eh... kau mau main ke rumahku?

tanyaku dan mendapat

anggukan semangat Serena. Bo-boleh saja sih... Tapi, jangan lamalama ya. Aku tidak mau diganggu soalnya, kataku. Aku tahu kalau
Serena main ke rumahku, bukannya belajar tapi dia malah main.
Apalagi kalau sudah ada adikku di rumah, dia malah main sama
mereka dan mengabaikan pelajarannya.
Oh.... Baiklah, serunya.
Tunggu.

Apa aku salah lihat.

Kenapa Serena terlihat begitu

murung. Kenapa dengannya? Biasanya dia oke oke saja dengan itu.
Malahan dia tidak menggubris perkataanku dan tetap pulang malam
hingga sopirnya menjemputnya.

Tapi Serena langsung berloncat-

loncat girang dan cengar-cengir tidak jelas seperti yang biasa dia
lakukan.

Dasar perempuan bahagia.

Dia tidak pernah merasakan

penderitaanku sih. Kalau iya, pasti ia tidak akan tersenyum seperti itu.
Aku pun langsung menganggap kalau tadi aku hanya salah lihat.
Lalu berangkatlah kita ke rumahku.

Rumahku memang tidak

terlalu besar, tapi cukup untuk menampung enam anggota keluarga,


yaitu Ayah, Ibu, aku dan ketiga adikku. Ketika aku sampai ke rumah,
kami langsung disambut dengan meriah oleh Ibuku dan adikku yang
laki-laki yang sudah SMP.

Sementara adik kembarku yang masih TK

sedang tidur siang.

Aku langsung saja menarik Serena ke kamarku

sebelum dia ikutan heboh juga.


Kami belajar dengan serius hampir dua jam penuh, sebelum adik
kembarku masuk ke kamar.
Ka Celena!! teriak mereka berbarengan.
Serena langsung saja menghampiri mereka dan memeluk
mereka dengan pelukan kasih sayang.
Aku mencibir, Kenapa ka Helena tidak disapa?
Adik kembarku melihat ku lalu saling lirik satu sama lain. Lalu
mereka tersenyum jail. Kakak jelek sih, jadi ndak kelihatan!
Aku pun langsung ngamuk sementara adik kembarku langsung
lari.

Aku berhasil mendapatkan Farah, sementara Firah bisa lolos

dariku. Dia langsung saja ku cubit pipinya hingga merah, dan dia pun
langsung nangis dan pergi.

Tak bisa kututupi rasa bahagiaku.

Dan

kulihat Serena juga tertawa, walaupun aku yakin ia tidak tega


melakukan hal itu kepada adikku.
Maaf ya, gara-gara tadi, belajar kita jadi terganggu, ujarku.
Serena hanya menggeleng. Ini juga yang menjadi alasanku kenapa
aku tidak betah di rumah. Di rumah rasanya ramai sekali, sehingga
aku sulit berkonsetrasi.
Begitu ingin kembali serius, tiba-tiba Ibu dan langsung memukul
pantatku. Dia mengomeliku karena mencubit pipi Farah.
Habis Farahnya nakal bu. Masa ngatain aku jelek. Omelin dia
juga bu, rengekku.
Farah tuh masih kecil, lah kamu udah gede.

Tidak malu apa

dilihatin teman yang mirip sama kamu.


Aku hanya bisa bersungut-sungut.
Lalu Ibu menyuruh kami ke ruang tamu untuk makan malam.
Saat makan malam semua anggota keluargaku berkumpul dan kembali
heboh.

Dan yang menjadi topik menyenangkan adalah seluruh

anggota keluargaku senang sekali meledekku. Mulai dari yang muda


hingga tua. Bahkan Ayah yang jarang di rumah pun suka bikin cerita
yang tidak-tidak tentangku.

Alhasil, aku pun yang selalu jadi bahan

ledekkan saat makan malam.


Setelah itu, niatnya aku mau kembali belajar.

Tapi sepertinya

Serena sudah tidak tertarik karena begitu selesai, ia langsung


nimbrung main bersama kedua adik kembarku dan adikku yang SMP,
Faisal.

Entah apa yang mereka mainkan, yah, sepertinya mereka

bahagia.

Dan mereka memaksaku ikut bermain juga.

Terpaksa aku

juga bermain.
Waktu berlalu terlalu cepat hingga tak sadar udah hampir jam
sepuluh. Tumben sekali Serena belum pulang. Biasanya sebelum jam
sembilan pun dia sudah pulang. Ketika ku tanya, aku melihat suatu
raut aneh dalam wajahnya. Tapi, mungkin saja aku salah lihat.
Begitu Serena menghubungi sopirnya untuh datang, kami
menunggu di luar rumahku.
Terimakasih ya Helen, atas hari ini, katanya.

Hari ini amat

menyenangkan.
Hem... Hem... gumamku malas. Lebih tepatnya dialah yang
menganggu jam belajarku.
Keluargamu seru ya. Ramai terus, ujarnya.
Ramai

sih

ramai,

tapi

mereka

selalu

meledekku

dan

mengangguku. Aku lah yang selalu menjadi bahan keributan mereka.


Serena hanya tertawa.
Lalu aku mengeluarkan handphone ku, dan

untuk memeriksa

pesan masuk.
Itu gantungan handphone dari ku kan? tanyanya. Kelihatan
takjub.
Aku mengangguk. Bagus sih. Jadi aku pakai saja. Tidak cocok
ya dengan hape jadulku.

Serena menggeleng. Lalu ia mengeluarkan handphone nya yang


merupakan handphone masa kini, dan menunjukkan gantungan yang
sama denganku. Aku juga memakainya. Kita samaan dong.
Tentu saja sama.

Kan kamu yang beli dan kamu pernah

mengatakan hal yang sama kepadaku. Pikirku. Entah kenapa Serena


hari ini berhasil membuatku bingung dan heran.

Tidak biasanya dia

pulang sampai malam begini dan ketika aku mengingatkannya untuk


pulang, sepertinya dia tidak mau pulang.
Kamu enak ya lahir di keluarga yang seperti ini, ujarnya tibatiba.
Aku hanya mencibir.
pintar

hampir

jenius,

Kau lah yang beruntung.

punya

keluarga

yang

bisa

Udah cantik,
mencukupi

kebutuhanmu dan sayang padamu, dan bisa senang-senang tanpa


harus memikirkan perihal beasiswa.
Serena kembali tertawa.

Kau benar, sahutnya dengan nada

yang sedikit aneh menurutku.

Sepertinya setiap keluarga memiliki

keunggulannya dan kelemahannya masing-masing. Dan apa yang kita


pikirkan tentang suatu keluarga sebaiknya dibuktikan dengan datang
ke keluarga itu dan melihat bagaimana situasi yang sebenarnya.
Setelah itu barulah kita bisa menilai.
melanjutkan.

Di menghela napas sebelum

Terkadang apa yang kita pikirkan, berbeda dengan

kenyataan.
Sebenarnya aku kurang mengerti dengan apa yang Serena
maksud.

Ketika aku mau bertanya padanya, sopirnya sudah datang

menjemput. Dia pun langsung loncat ke dalam mobil.


Salam kepada keluargamu ya, katanya dengan wajah cerah
seperti biasanya. Dan Helen...
Aku pun hanya terdiam ketika Serena mengucapkan kata-kata
itu.

Entah kenapa kata-kata itu seperti sebuah nasihat untukku.

Seperti tamparan untukku yang selalu mengeluh tentang kehidupanku.


Walaupun nadanya seperti bukan nasihat sih. Bagaimana bisa disebut

nasihat jika yang memberikannya saja sambil cengar-cengir dan


melambaikan tangannya.
Dan keesokan harinya, merupakan hari yang tak terduga
untukku. Semua yang kupikirkan selama ini berhasil diputarbalikkan
oleh Serena.

Fakta-fakta yang kuketahui... bukan, bukan fakta,

melainkan opini ku tentang Serena. Baru kusadari kalau selama ini aku
tidak terlalu mengenal Serena seperti Serena mengenalku. Aku tidak
pernah ke rumahnya, ke kamarnya, bahkan ketemu keluarganya. Aku
hanya mendengar cerita-cerita tentang keluarga Serena juga dari
orang-orang. Tapi kan itu hanya cerita. Tidak pernah kudengarkan
cerita itu langsung dari mulut Serena. Dan wajah Serena yang selalu
ceria berhasil menipuku.

Sehingga aku selalu menganggap diriku

adalah manusia yang paling menderita, padahal bukan.


Hari ini, aku mendapat berita kalau Serena bunuh diri karena ia
sudah tidak tahan dengan kedua orang tuanya yang selalu berantem.
Kedua orang tua Serena sudah mengajukan perceraian dan mereka
sedang dalam proses merebutkan hak asuh Serena.

Menurut yang

kudengar Serena merasa tertekan karena kedua orang tuanya dan


keadaannya saat ini. Sehingga karena ia tidak bisa bergantung pada
siapapun, hingga akhirnya ia mengakhiri hidupnya.
Ketika mendengar berita itu aku hanya bisa terdiam. Bukan rasa
kasihan atau sedih yang kudapat, tapi aku merasa kesal, marah dan
benci.

Aku kesal kepada Serena karena Serena berhasil menggubris

semua anggapanku selama ini.

Aku membencinya karena hanya

dialah yang berhasil membuatku merasa memiliki nasib paling jelek di


antara yang lain. Aku membencinya karena ia tidak pernah mau cerita
atau berkeluh kesah kepadaku tentang keluarganya atau apapun itu.
Aku membencinya sebesar aku membenci diriku sendiri sekarang.
Sekarang aku mengerti apa maksud dari perkataan Serena
sebelumnya.

Dia

bermaksud

menyindirku.

Dia

berusaha

memberitahuku kalau anggapanku salah. Ya, aku memang salah, salah

besar. Dan aku kembali teringat kata-kata terakhir Serena sebelum ia


pulang.
Bersyukurlah karena kamu memiliki keluarga yang seperti ini.
bersyukurlah karena kamu merupakan salah satu orang yang paling
beruntung di dunia ini.
Semenjak dari situ, aku mulai tidak terlalu keras kepada diriku
sendiri. Aku mulai santai menjalani hidupku dan tidak membandingkan
hidupku dengan kehidupan orang lain.

Benar apa kata Serena,

kehidupan orang memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.


Jadi bersyukurlah dengan apa yang kumiliki sekarang.
Dan aku baru sadar kalau selama ini aku sangat bergantung
dengan Serena. Aku baru merasa kehilangan Serena. Biasanya ada
seseorang yang menghampiriku dengan senyuman cerahnya dan
menanyakan keadaanku.

Sekarang tidak.

Biasanya ada yang

mengajakku pulang bareng, sekarang tidak. Dan biasanya ada yang


mendengarkan keluh kesahku, sekarang tidak.
Mengetahui hal itu, aku baru sadar kalau Serena itu jahat.
Sangat jahat.

Karena ia membuatku tersadar kalau ia adalah

sahabatku yang terbaik dan aku sangat menyayanginya.


kehilangan saudari kembarku.

Aku telah

Data Penulis
Nama

: Maydina Sifa Fauziah

Facebook

: Maydina Sifa Fauziah

Twitter

: cimonte_ukii

Email

: maydina.fafau@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai