KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
Pengantar
Merumuskan Peran Baru Pers Mahasiswa
Oleh : Amir Effendi Siregar *
xii
Pengantar
Pers Mahasiswa dan Naluri Perlawanan
Oleh : Eko Prasetyo*
xviii
Pengantar Penulis
xxi
DAFTAR ISI
PPMI Pecah 51
Hambatan Klise 58
Migrasi ke Dunia Maya
66
Profil Pers Mahasiswa
73
Balairung 73
1. Sejarah dan Perkembangan
73
2. Kebijakan Redaksional 79
Catatan Kaki 81
1. Sejarah dan Perkembangan
81
2.
Kebijakan Redaksional 84
Suara USU 85
1. Sejarah dan Perkembangan
85
2.
Kebijakan Redaksional 88
Sistem Pendidikan di Indonesia dari Otonomi
Menuju Komersialisasi
91
Pendidikan dan Penetrasi Neoliberalisme
91
Perubahan Status Menjadi BHMN
97
Berganti Wajah Menjadi BHP
102
Komersialisasi Pendidikan,
Agenda Neoliberal?
107
Pengantar 107
Teks 109
1.
Tematik 110
2.
Skematik 115
3.
Semantik 117
4. Sintaksis 125
5. Stilistik 131
6. Retoris 132
xxiv
xxv
Pendahuluan
Komersialisasi Pendidikan
watchdog dalam relasi kuasa ekonomi politik di kampus.
Ia juga menjalani peran sebagai penyambung sekat-sekat
keilmuan antar fakultas yang menjadi kecenderungan
umum dalam kehidupan akademik di Indonesia.
Ikhtiar kembali ke kampus hadir tersebut tepat
bersamaan dengan kedatangan gelombang liberalisasi
ekonomi politik yang merambah ke berbagai bidang
termasuk pendidikan. Tanggung jawab negara dalam
memenuhi anggaran pendidikan dipangkas sedemikian
rupa. Berbagai regulasi dikeluarkan untuk menghilangkan
tanggung jawab tersebut. Pendidikan dijadikan komoditas
dan menjadi sektor yang terbuka bagi penanaman modal
asing bahkan hingga 49%. Berbagai proses pendidikan
dari mulai subsidi sampai aksesibilitas diserahkan kepada
mekanisme pasar. Masyarakat harus menanggung beban
pembiayaan yang besar agar dapat mengakses pendidikan
berkualitas. Wajah pendidikan di tanah air menjadi
kapitalistik seiring dengan komersialisasi dan swastanisasi
yang merajalela.
Dalam konteks pendidikan tinggi, gejala ini tampak
dari hilangnya subsidi pemerintah terkait operasionalisasi
pendidikan. Akibatnya pengelolaan pendidikan tinggi
berorientasi pada profit. Kampus tidak lagi menjadi kawah
candradimuka yang menghasilkan manusia-manusia
humanis dan berkebudayaan. Mahasiswa, alih-alih menjadi
subjek dalam dunia pendidikan, kemudian dilihat sebagai
konsumen. Mahasiswa dilihat sebagai human capital
yang akan mengisi dunia kerja. Karenanya, mekanisme
pengajaran, susunan kurikulum, sampai aktivitas ekstrakurikuler dirancang untuk melatih ketrampilan mahasiswa
agar sesuai dengan tuntutan pekerjaan. Tekanan untuk lulus
cepat menjadi satu hal yang tak terhindarkan. Tentu, efek
komersialisasi secara langsung dirasakan oleh para aktivis
pers mahasiswa.
Persinggungan antara situasi internal (disorientasi)
dan kondisi eksternal (komersialisasi pendidikan)
menjadi bahan bakar yang menggerakan naluri dasar
2
Komersialisasi Pendidikan
unik yang dimiliki masing-masing pers mahasiswa. Karena
itu, pertanyaan yang diajukan dan berusaha dijawab dalam
studi ini adalah: Apa dan bagaimana strategi wacana
pers mahasiswa dalam memberitakan komersialisasi
pendidikan?
Jenis Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan metode analisis wacana
(discourse analysis). Jika analisis isi (content analysis) hanya
bisa melihat makna yang terlihat (manifest), analisis wacana
melihat makna yang tidak terlihat (laten). Analisis wacana
merupakan perangkat analisis yang memiliki kemampuan
untuk melihat makna yang tersembunyi di balik sebuah
teks. Analisis wacana juga bisa menjawab persoalan
mengenai ideologi dan konteks yang memproduksi sebuah
teks tertentu. Dalam penelitian ini, analisis wacana yang
digunakan akan mengacu pada definisi yang diberikan
oleh Teun van Dijk. Definisi atau model yang diajukan oleh
van Dijk biasa disebut sebagai model kognisi sosial (social
cognition). Model ini melihat bahwa wacana terdiri dari tiga
dimensi yaitu teks, konteks, dan kognisi sosial.
Sebagai sebuah interface kognisi sosial adalah penghubung antara teks dan konteks, antara wacana dan
masyarakat. Asumsi yang dikemukakan oleh van Dijk,
wacana tidak hanya merupakan persoalan struktur wacana.
Lebih dari itu, wacana juga melibatkan proses produksi
serta pemahaman yang dihayati bersama. Karena itu sebuah
wacana berarti juga melibatkan proses mental atau kognisi
sosial masyarakat. Seperti diungkapkan oleh Van Dijk dalam
Crowley dan Mitchell (1993);
Komersialisasi Pendidikan
mahasiswa senantiasa menempatkan diri sebagai oposisi kepada kekuasaan. Etos ini bisa dipahami karena
pers mahasiswa secara langsung masih dikelola oleh
mahasiswa. Sehingga pada dasarnya, apa yang dilakukan
oleh pers mahasiswa adalah sikap memperjuangkan
dirinya sendiri. Sikap oposisi ini yang membuat Dhakidae
menyebut bahwa pers mahasiswa lebih mirip sebagai
journal of opinion. Alih-alih menunjukkan prinsip-prinsip
jurnalistik secara ketat, berita-berita yang ditampilkan
lebih menunjukkan pandangan dan sikap politik pengurusnya. Etos pers mahasiswa tersebut adalah karakter
pers mahasiswa dari masa ke masa dalam sejarah di
Indonesia. Hal ini rupanya menyimpan potensi kekuatan
yang membahayakan kekuasaan negara.
Di era awal konsolidasi Orde Baru, seperti dicatat
Francois Raillon (1984), pers mahasiswa memiliki peran
penting dalam mendukung ide-ide modernisasi yang
dibawa oleh rezim baru. Pengakuan akan potensi pers
mahasiswa ini pun semakin terlihat jelas selama era
Orde Baru, bahkan menjelang runtuhnya rezim tersebut.1
Pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan.
Dengan berbagai cara, rezim berusaha mereduksi arti
kehadiran pers mahasiswa dengan cara membatasi
istilah-istilah yang boleh dan tidak boleh digunakan.
Definisi pers mahasiswa sendiri bahkan ditentukan.
Seperti dinyatakan Dirjen PPG, Sukarno dalam Didik
Supriyanto (1998:81), definisi dibedakan menjadi:
Penerbitan Kampus adalah semua bentuk penerbitan
yang diselenggarakan oleh kampus dan untuk kepentingan
kampus. Pers-kampus mahasiswa adalah semua bentuk
penerbitan berkala yang diselenggarakan oleh mahasiswa
dalam di dalam kampus dan untuk kepentingan kampus.
Pers mahasiswa adalah semua bentuk penerbitan yang
dikelola mahasiswa di luar kaitan kampus.
Pers
Umum
,
Pers
Mahasiswa
Aktivisme
Mahasiswa
Kegiatan
Akademis
Kehendak
Masa Muda
7
Komersialisasi Pendidikan
Melalui peta sederhana di atas, Hasan mengatakan
bahwa pers mahasiswa mengalami apa yang ia sebut
sebagai split personality. Pers mahasiswa berada dalam
persilangan yang kompleks. Seperti yang diungkapkan
Arifin di atas, di satu sisi pers mahasiswa bersinggungan
dengan pers umum. Ada fungsi-fungsi pers yang ia jalankan
seperti mendidik, menginformasikan, menghibur, dan
kontrol sosial. Sementara dalam sisi yang berlainan, ada
semangat aktivisme yang didasari rasa keingintahuan.
Mahasiswa, seperti layaknya kaum muda sedang berada
dalam masa pencarian jati diri. Ada kelabilan, keinginan
untuk diakui lingkungan, dan hasrat bersenang-senang.
Dalam ikhtiar pencarian jati diri, wajar jika muncul
paradoks dengan analogi dua sisi mata uang seperti yang
diungkapkan oleh Jones dalam Azca (2012:70). Mahasiswa
di satu sisi dipuja sebagai generasi pemimpin masa depan
yang akan mewarisi bangsa ini. Sementara di sisi lain,
dianggap sebagai biang kericuhan yang meruntuhkan
bangunan moralitas bangsa. Naluri eksistensial ini
bertemu dengan kewajiban-kewajiban akademik yang
menjadi konsekuensi belajar di Perguruan Tinggi.
Beban akademik ini membawa pers mahasiswa pada
dilema yang sulit dipecahkan dari masa ke masa. Amir
Effendi Siregar (1983:66) menyebut dilema tersebut
sebagai pertentangan antara profesionalisme dan
amatirisme. Nono Anwar Makarim, ketua Ikatan Pers
Mahasiswa Indonesia periode 1969 dengan nada sendu
bahkan mengatakan dilema ini sungguh pedih. Dalam
laporan pertanggungjawaban kepada kongres luar biasa
IPMI tahun 1969 seperti dikutip Amir Effendi Siregar
(1983:48), Nono mengatakan:
Komersialisasi Pendidikan
membuat bayaran yang didapatkan oleh pengurusnya
adalah pengalaman. Pengalaman bisa berupa proses
belajar jurnalistik, jaringan, dan juga pertemanan.
Prinsip kesetiakawanan dan kesukarelaan menjadi
tulang punggung karena pers mahasiswa tidak
dimiliki oleh pemilik modal layaknya pers umum.
Seperti diungkapkan Amir Husin Daulay (1989:8-9),
independensi dari pemilik modal membuat tulisantulisan yang diterbitkan pers mahasiswa memiliki ciri
khas kritis, inovatif, analitis, objektif dan kaya ide. Pers
mahasiswa menjadi semacam intelectual exercise bagi
para mahasiswa. M. Thoriq dalam Didik Supriyanto
(1998:122) menjelaskan bagaimana aktivis-aktivis
pers mahasiswa memiliki andil yang tinggi dalam
meningkatkan eskalasi kritisisme mahasiswa. Menurut
Thoriq, tugas pers mahasiswa adalah membangkitkan
kesadaran kritis dan keberanian untuk bersikap kritis.
10
Komersialisasi Pendidikan
pada wilayah kesadaran subjektif individu. Realitas
ini misalnya, hadir dalam pendapat yang diucapkan
seseorang mengenai kasus tertentu. Ketika kedua
realitas tersebut saling tumpang tindih dalam berita,
pada gilirannya nanti akan menciptakan realitas dalam
realitas. Realitas tersebut akan menjadi hiperrealitas
setelah menghadapi penafsiran subjektif individu seperti
sempat disebut oleh Littlejohn di atas.
Komersialisasi Pendidikan
bahwa ideologi pendidikan yang bertarung di Indonesia
adalah ideologi liberal dan konservatif. Ideologi liberal
secara gamblang terlihat pada posisi pemerintah.
Ideologi ini memahami bahwa tujuan pendidikan adalah
menyiapkan tenaga kerja yang memiliki kemampuan
profesional dan praktis untuk memenuhi kebutuhan
pasar kerja. Pendidikan dianggap sebagai subsistem dari
ekonomi. Ideologi ini bisa dilihat dalam alur penyusunan
serangkaian regulasi mengenai pendidikan yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Sementara itu, berhadapan
dengan ideologi liberal, adalah ideologi konservatif yang
diwakili oleh para penolak kebijakan ini termasuk pers
mahasiswa. Penganut ideologi ini meyakini bahwa fungsi
pendidikan adalah menjadi penjaga nilai budaya dan
moral.
Karena itu negara tetap bertanggung jawab terutama
untuk membiayai pendidikan. Sebab, jika pendidikan
dijadikan komoditas dan hanya menyediakan tenaga
kerja bagi pasar, maka nilai-nilai budaya yang dikandung
dalam pendidikan akan menghilang. Dan dalam skala
yang lebih besar juga akan menghilangkan identitas
kebangsaan. Dengan landasan ideologis yang jelas,
pers mahasiswa menggunakan berbagai cara untuk
memenangkan pertarungan wacana tersebut. Termasuk
menabrak rambu-rambu jurnalistik dalam berita yang
idealnya menunjukkan objektivitas informasi. Narasi
berita pers mahasiswa menggunakan logika diametral di
mana ada dua pihak yang dipertentangkan secara vis a vis
sesuai dengan ideologi liberal dan konservatif.
Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah tiga pers mahasiswa
yaitu Balairung (UGM), Catatan Kaki (Unhas), dan Suara
USU (USU). Ketiga pers mahasiswa mewakili ekspresi
penolakan terhadap komersialiasi kampus yang serupa
tapi tak sama di tiga pulau besar di Indonesia. Turbulensi
ketiga kampus tersebut dalam isu ini begitu tinggi.
14
1. Pengumpulan Data
a. Penelusuran Dokumen
Dokumen yang dimaksud adalah berita utama
mengenai komersialisasi pendidikan yang dimuat
di Balairung, Catatan Kaki, dan Suara USU dalam
rentang waktu dari tahun 2000 sampai 2004. Tahuntahun ini adalah era awal komersialisasi pendidikan
yang ditandai dengan perubahan status beberapa
perguruan tinggi negeri. Dokumen diperoleh dari arsip
yang dimiliki oleh masing-masing pers mahasiswa
tersebut. Namun tidak semua edisi dalam rentang
waktu tersebut akan dianalisis, data yang dibutuhkan
adalah edisi yang memuat berita utama mengenai
komersialisasi pendidikan. Pemilihan berita dilakukan
dengan beberapa alasan. Pertama, berita yang dipilih
adalah berita utama yang secara langsung memiliki
kaitan dengan kebijakan otonomi kampus yang
selanjutnya menjadi komersialisasi pendidikan sebagai
konsekuensi dari perubahan status.
Berita-berita yang meliput efek lanjutan dari
kebijakan perubahan status, seperti persoalan
organisasi mahasiswa dan sistem akademik, tidak
dimasukkan dalam objek penelitian. Kedua, banyaknya
dokumentasi teks berita yang sudah hilang. Kondisi
ini terjadi karena pers mahasiswa yang bersangkutan
tidak memiliki naskah salinan mengenai berita-berita
yang pernah diterbitkan. Sehingga berita yang diteliti
15
Komersialisasi Pendidikan
terbatas pada naskah berita yang masih ada. Ketiga,
keterbatasan peneliti untuk menelusuri ratusan teks
berita yang diterbitkan ketiga pers mahasiswa dalam
kurun waktu tersebut.
b. Wawancara
Wawancara akan digunakan untuk memperoleh
keterangan lebih dalam mengenai berita-berita yang
ditampilkan oleh Balairung Koran, Catatan Kaki, dan
Suara USU. Untuk itu, wawancara akan dilakukan
dengan pengurus ketiga pers mahasiswa tersebut.
Wawancara difokuskan kepada mereka yang pernah
atau masih aktif sebagai pemimpin redaksi atau
pemimpin umum antara tahun 2000 sampai 2010.
c. Studi Pustaka
Studi Pustaka digunakan untuk menelusuri berbagai
bahan dan ulasan mengenai objek yang akan diteliti.
Dalam kajian tentang pers mahasiswa di Indonesia,
studi yang dilakukan Daniel Dhakidae (1977), Francois
Raillon (1985), Amir Effendi Siregar (1984), Didik
Supriyanto (1998), Satrio Arismunandar (2005),
dan Moh. Fathoni (2012) akan dielaborasi untuk
memberikan konteks terkait eksistensi pers mahasiswa
dari masa ke masa. Data tersebut akan menjadi
perbandingan terhadap penelitian dan diharapkan
mampu melengkapi analisis yang diperoleh dalam
penelitian ini. Selanjutnya, fokus pembahasan akan
berpusat pada tulisan-tulisan mengenai tiga pers
mahasiswa tersebut baik dalam bentuk artikel di media
massa, jurnal, maupun buku.
Analisis Data
Analisis data merupakan proses mengatur urut-urutan
data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori,
dan satuan uraian dasar. Dari pengertian tersebut pertama
yang harus dilakukan adalah mengorganisasikan data
yang terkumpul dari lapangan. Dalam hal ini, tahapan
16
Elemen Wacana
Tema
Summary
Story
Semantik
Sintaksis
Stilistik
Retoris
Maksud
Detail
Nominalisasi
Pengandaian
Koherensi
Komentar
Main Event
Konsekuensi
Konteks
Sejarah
Harapan
Evaluasi
Legitimasi
Delegitimasi
Implisit, Eksplisit
Lokal
Global
Bentuk Kalimat dan Kutipan
Metafora
Genre Wacana Lain
Leksikon
Unit
Analisis
Teks
Teks,
Kalimat
Teks,
Kalimat
Teks,
Kalimat
Kata
Kalimat
Kalimat
Teks
Kata
Kata,
Kalimat
17
Komersialisasi Pendidikan
Kemudian, struktur wacana tersebut digunakan
untuk menganalisis teks berita yang dipilah-pilah menjadi
kategori yang berdasarkan level analisis wacana disebut
sebagai korpus. Korpus merupakan suatu himpunan terbatas
dari unsur yang memiliki sifat bersama atau tunduk pada
aturan yang sama, dan karena itu dapat dianalisis secara
keseluruhan. Korpus posisinya menjadi penting karena ia
adalah data utama dalam penelitian ini. Sedangkan untuk
data wawancara, langkah pertama yang akan dilakukan
sebelum melakukan analisis data adalah membuat transkrip
wawancara. Transkrip adalah proses mengubah hasil
wawancara dari bentuk rekaman menjadi bentuk tertulis
berupa teks. Setelah itu transkrip dibaca beberapa kali
agar bisa mendapatkan meaning categorization. Meaning
categorization adalah proses untuk menemukan dan
mengelompokkan makna pernyataan yang dirasakan oleh
responden dengan melakukan horizonaliting yaitu setiap
pernyataan pada awalnya diperlakukan memiliki nilai yang
sama.
Selanjutnya, pernyataan yang tidak relevan dengan
topik dan pertanyaan maupun pernyataan yang bersifat
repetitif atau tumpang tindih dihilangkan, sehingga yang
tersisa hanya horizon atau arti tesktural. Pernyataan
tersebut kemudian dikumpulkan ke dalam unit makna lalu
ditulis gambaran tentang bagaimana pengalaman tersebut
terjadi. Selanjutnya adalah mengembangkan uraian secara
keseluruhan dari fenomena tersebut sehingga menemukan
esensi dari fenomena tersebut. Kemudian mengembangkan
textural description (mengenai fenomena yang terjadi pada
responden) dan structural description (yang menjelaskan
bagaimana fenomena itu terjadi). Setelah itu adalah
memberikan penjelasan secara naratif mengenai esensi
dari fenomena yang diteliti dan mendapatkan makna
pengalaman responden mengenai fenomena tersebut. Hal
ini dilakukan dengan data yang diperoleh dari penelusuran
literatur untuk mendapatkan pemahaman yang utuh atas
teks, kognisi sosial, dan konteks. Data yang diperoleh dari
18
Sistematika Penulisan
Penulisan buku ini akan didasarkan pada tujuh bab
pokok. Bab pertama akan menguraikan latar belakang
yang membuat penelitian ini layak untuk dikaji, metode
pengumpulan data dan pendekatan yang digunakan untuk
menganalisis temuan data. Bagian selanjutnya berisi tentang kerangka pemikiran penelitian yang dibagi dalam
dua bab. Bab dua akan melakukan elaborasi atas studistudi yang pernah dilakukan mengenai pers mahasiswa.
Secara lebih spesifik akan memperlihatkan karakteristik
menentang kekuasaan yang dimiliki oleh pers mahasiswa.
Karakteristik yang juga terbawa sampai saat ini. Sementara
bab tiga melihat situasi pers mahasiswa pasca 1998. Efek
disorientasi, dilema profesionalisme-amatirisme, perpecahan PPMI, juga migrasi ke dunia maya menandai masa transisi
pers mahasiswa menghadapi era masyarakat informasi. Bab
empat kemudian akan memaparkan tiga pers mahasiswa
yang diteliti dalam studi ini. Ketiga pers mahasiswa ini
lahir di era Orde Baru sehingga konteks historis kehadiran
Balairung, Catatan Kaki, dan Suara USU penting dilihat
untuk membaca perkembangan saat ini.
Bab lima akan mendeksripsikan konteks komersialisasi
pendidikan dalam alur kronologis. Arus komersialisasi
pendidikan dimulai dari ratifikasi perjanjian WTO oleh
pemerintah Indonesia yang kemudian diikuti dengan
serangkaian paket kebijakan untuk memutus tanggung jawab
pemerintah atas dunia pendidikan. Kebijakan ini kemudian
memicu respon masyarakat (termasuk pers mahasiswa)
yang menolaknya. Bab enam menjadi pembahasan inti
dari penelitian ini. Bab ini akan berisi analisis atas struktur
wacana anti komersialisasi pendidikan yang dilakukan oleh
ketiga pers mahasiswa. Sedangkan bab tujuh akan menjadi
19
Komersialisasi Pendidikan
penutup berisi kesimpulan dan saran terhadap penelitianpenelitian yang mungkin dilakukan selanjutnya.
20
pers mahasiswa merupakan salah satu kekuatan sosialpolitik dari berbagai kekuatan dalam masyarakat yang
berinteraksi dengan rezim politik tertentu (Raillon, 1985).
Seperti yang dijelaskan oleh Abar (1995) interaksi tersebut
mewujud dalam dua hal, konvergensi dan divergensi.
Konvergensi terjadi ketika konsolidasi kekuasaan negara
sedang terjadi. Posisi negara lemah dan posisi masyarakat
yang terpecah ke dalam berbagai kelompok kepentingan
masih kuat. Negara melakukan proses identifikasi berbagai
kelompok yang bisa diajak dalam sebuah partnership.
Ketika proses identifikasi sudah selesai dan stabilitas
ekonomi politik didapatkan, di titik itulah terjadi divergensi.
Negara menunjukkan kekuasaanya dan cenderung menjadi
otoriter. Kekuatan-kekuatan sosial-politik lain dalam
masyarakat yang dianggap memiliki potensi mengganggu
kekuasaan, geraknya dihambat bahkan dihancurkan.
Hal itu jugalah yang dilakukan oleh negara terhadap
pers mahasiswa. Relasi keduanya selalu dimulai dengan
konvergensi dan diakhiri dengan divergensi.
Komersialisasi Pendidikan
dari 75 harian dengan peredaran kira-kira 400.000 menjadi
104 harian dengan peredaran sebanyak 630.000 eksemplar.
Pers mahasiswa juga muncul dengan segala hirukpikuknya. David Hill (2011:138) menyatakan setidaknya
35 penerbitan yang dikelola oleh mahasiswa dari beraneka
fakultas, universitas, serta kelompok politik dan agama.
Banyaknya penerbitan tersebut juga mencerminkan warnawarni politik sebagai konsekuensi dari Demokrasi Liberal
yang dipraktikan pemerintahan Soekarno. Pers mahasiswa
mendapatkan prestasi tinggi yang menjadi patokan bagi pers
mahasiswa di Indonesia tahun-tahun selanjutnya. Selain itu,
banyak juga tokoh-tokoh pers mahasiswa yang lahir dalam
periode ini seperti Teuku Jacob, Koesnadi Hardjasoemantri,
dan Nugroho Notosusanto.
Pada tahun 1955, sepuluh pers mahasiswa dari
beberapa daerah di Indonesia mengadakan konferensi pers
mahasiswa di Kaliurang, Yogyakarta. Konferensi ini adalah
konferensi tingkat nasional pertama pers mahasiswa dalam
sejarah republik. Beberapa hal yang patut dicatat dalam
konferensi adalah terbentuknya organisasi pers mahasiswa
yang berupa IWMI (Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia)
dan SPMI (Serikat Pers Mahasiswa Indonesia). Selain
itu Kode Jurnalistik Mahasiswa juga berhasil disusun
sebagai panduan operasional bagi aktivis pers mahasiswa
di Indonesia. Dua orang perwakilan dari organisasi
tersebut juga ikut serta dalam konferensi internasional
pers mahasiswa di Manila. Konferensi ini menyepakati
bahwa peran pers mahasiswa di negara berkembang harus
diarahkan pada pembentukan nation building (Satrio
Arismunandar, 2005:86). Konferensi juga menyepakati
diadakannya konferensi lanjutan yang lebih sempurna.
Era ini merupakan puncak romantisme antara pers
mahasiswa dengan pemerintah. Wisaksono Noeradi
(2008:42-43) mencatat:
22
Komersialisasi Pendidikan
unjuk rasa ini. Sebuah koran terkemuka bahkan tidak jadi
menurunkan peristiwa ini sebagai berita utama karena
ketakutan akan ditindak oleh aparat keamanan (Wisaksono
Noeradi, 2008:41).
Sementara itu setelah konferensi internasional, IWMI
dan SPMI sepakat untuk melebur menjadi satu organisasi.
Kesepakatan ini diambil oleh perwakilan pers mahasiswa
yang hadir pada kongres pers mahasiswa Indonesia II
pada tahun 1958. Nama Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia
(IPMI) diambil sebagai wadah tunggal yang representatif
dalam mewakili kepentingan pers mahasiswa di Indonesia.
Sayang, kelahiran IPMI ini datang dalam konteks waktu
yang tidak tepat. Pertengahan tahun 1958 adalah titik balik
bagi bangsa Indonesia termasuk juga relasi antara negara
dan pers mahasiswa yang berubah dari konvergensi menjadi
divergensi. Herberth Feith (2007) mencatat titik balik ini:
...tahap masa peralihan struktural berakhir. Keadaan amat
sulit diramalkan selama dua tahun sejak pertengahan
1956 telah beralih kepada interaksi yang berpola lebih
jelas, kepada apa yang disebut sebagai suatu sistem.
Lalu, apa determinan-determinan untuk sistem sesudah
pertengahan 1958: demi kemudahan, kita hendaknya
mengacu kepada sistem baru ini sebagai demokrasi
terpimpin...
25
Komersialisasi Pendidikan
Aku jewer kupingnya. Ini berarti, aku melarang terbit
koran yang bersalah itu selama seminggu. Kadangkadang dua minggu. Kalau terjadi lagi, aku cabut izin
terbitnya selama tiga minggu. Sebagai tindakan terakhir,
aku menutup korannya sampai waktu yang tidak tertentu.
(Cindy Adams, 2011:339)
Komersialisasi Pendidikan
harian ini sebagian besar merupakan aktivis Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Dengan sinis mereka mengatakan bahwa pers Indonesia adalah pers yang tidak mampu, tidak berdaya,
dan hanya mengabdi pada kepentingan penguasa. Ketidakberdayaan warisan otoritarianisme Demokrasi Terpimpin
yang membatasi gerak pers dan menjadikannya bersikap
konformis, malas secara intelektual, dan pasif (Francois
Raillon, 1985:339). Kritikan ini dilanjutkan dengan
gaya jurnalisme yang meledak-ledak dan serangan yang
gencar terhadap Soekarno dengan membongkar mitos
pengkultusan individu terhadap Soekarno. Rangkaian seri
artikel yang dimuat dalam enam terbitan No. 35 sampai
dengan 40 bulan Februari-Maret 1967 ini diberi judul
Desoekarnoisasi: Mengakhiri Kultus Individu. Mahasiswa
Indonesia membongkar mitos mengenai Soekarno yang
berhubungan dengan pribadi langsungnya, dan yang
berhubungan dengan peranan dirinya sebagai tokoh politik
(Francois Raillon, 1985:135).
Serangan gencar yang dilakukan terhadap Soekarno
tersebut menandai sikap pers mahasiswa untuk masuk
dalam medan pertarungan kekuatan-kekuatan politik di
Indonesia. Tidak hanya mengincar Soekarno, IPMI juga
mulai membersihkan pers mahasiswa anggotanya yang
dianggap sudah kemasukan unsur komunis. Keberanian
untuk masuk ke medan konflik juga dikarenakan
dukunganpartnershipmiliter dalam aksi-aksi yang
dilakukan mahasiswa. Saat itu memang ada irisan
kepentingan antara mahasiswa antikomunis dan Soekarno
dengan militer yang mencoba menguasai tampuk
kepemimpinan nasional secara total tanpa mengotori diri.
Era konvergensi antara negara dan pers mahasiswa dimulai
kembali.
28
29
Komersialisasi Pendidikan
menyumbangkan ide-ide dan pemikirannya melalui harian
tersebut. Sebagai ceruk pemikiran intelektual, ide-ide
modernisasi dan pembangunan Orde Baru didiskusikan di
sini. Mahasiswa Indonesia bahkan memiliki peran signifikan
dalam menyumbangkan pemikiran mengenai doktrin dan
strategi Orde Baru. Dukungan ini diperlihatkan di tahuntahun berikutnya dan mencapai puncak ketika pemilihan
umum yang pertama pasca Orde Lama akan digelar tahun
1971.
Raillon (1985:332) mengatakan ada tiga tingkat peran
Mahasiswa Indonesia dalam pembentukan Orde Baru yaitu
politik, ideologi dan kritik. Seperti yang disebutkan di
atas, pers mahasiswa memutuskan untuk masuk ke dalam
gelanggang konflik kekuasaan dan menjadi satu kekuatan
politik tersendiri. Aktivis yang tergabung di Mahasiswa
Indonesia bahkan sering kali lebih radikal dibandingkan
dengan mahasiswa-mahasiswa Jakarta. Pemimpinpemimpinnya seperti Rahman Tolleng dan Awan Karmawan
Burhan memimpin dengan amat gencar kampanye negatif
terhadap Soekarno yang saat itu masih menjabat sebagai
kepala negara. Kampanye opini berlangsung sampai sang
Pemimpin Besar Revolusi lengser dari jabatannya pada
bulan Februari 1967. Sikap politik benar-benar diarahkan
kepada Orde Baru yang mereka beri kepercayaan untuk
memodernisasi Indonesia.
Selain sikap politik dengan keberpihakan yang tegas tersebut, Mahasiswa Indonesia telah memberikan
sumbangan yang cukup besar bagi tegaknya ideologi Orde
Baru. Mingguan ini dengan konsisten mengemukakan ide-ide
modernisasi dan pembangunan di Indonesia selama hampir
delapan tahun dengan 400 edisi terbitan. Tahun-tahun
tersebut adalah periode ketika rezim sedang mulai mencari
legitimasi dan keabsahan ideologisnya. Dan tanpa ragu-ragu
Mahasiswa Indonesia mencoba mengindonesiasikan idelogi
pembangunanisme yang terpengaruh dari ilmu-ilmu sosial
positivistik ala Amerika. Sementara aksi politik Mahasiswa
Indonesia mendapat dukungan dari elite militer, ideologi
30
Komersialisasi Pendidikan
Dia tak kritis lagi terhadap hal-hal yang tak benar yang
dilakukan Golkar, dan dia terlalu kritis terhadap apa saja
yang dilakukan oleh Parpol-Parpol. Mahasiswa Indonesia
sudah menjadi pamflet (Francois Raillo, 1985:87).
Komersialisasi Pendidikan
struktur birokrasi universitas. Ruang geraknya dibatasi,
dan orientasi pemberitaannya kemudian lebih banyak
mengenai isu-isu di dalam kampus. Wajar jika pers
mahasiswa kemudian melemah dan tidak memiliki daya
dobrak seperti yang pernah terjadi beberapa tahun
sebelumnya. Beberapa yang masih bersuara nyaring
adalah Harian Kami, Mahasiswa Indonesia, Mimbar
Demokrasi, dan Sendi yang kemudian dibredel setelah
terbit selama 13 edisi.
Sementara itu, Orde Baru dengan kekuasaan
yang hampir mutlak berada dalam genggaman mulai
menunjukkan arogansinya. Salah satu bentuk arogansi
Orde Baru bisa dilihat ketika Ibu Negara, Tien Soeharto,
menginisiasi proyek pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah (TMII). Ketika berkunjung ke Thailand,
ibu negara terkesan dengan Thailand in Miniature yang
lebih dikenal sebagai Tim Land. Gagasan Ibu Tien ini
disampaikan dalam pertemuan Gubernur se-Indonesia
pada Desember 1971 yang diselenggarakan di Istana
Negara. Untuk membangun megaproyek ini, dibutuhkan
dana yang mencapai Rp10,5 Miliar. Karena itu ia meminta
para gubernur daerah memberikan sumbangan sukarela
yang jumlahnya sudah ditetapkan sebesar Rp50.000.000
per provinsi. Ironisnya adalah, pada pertemuan yang
sama sehari sebelumnya, Soeharto meminta kepada
para gubernur untuk melakukan gerakan penghematan
dan lebih memberikan prioritas keuangan pada agenda
pembangunan.
Protes-protes dari pers mahasiswa kemudian
juga bermunculan menanggapi proyek mercusuar
tersebut. Mahasiswa Indonesia misalnya, juga mulai
melakukan kritik karena melihat tanda-tanda Orde Baru
akan menyimpang. Dalam salah satu beritanya untuk
menanggapi pembangunan proyek ini mereka menulis:
34
Komersialisasi Pendidikan
Mukaddimah di atas, pemerintah Orde Baru melalui
Departemen Penerangan mencabut izin Sendi melalui
telegram. Pencabutan izin ini dituangkan dalam Surat
Keputusan Dirjen Pers & Grafika nomor 04/SK/Dirjen/
PG/K/lg72 tertanggal 7 Februari 1972.
Panglima Kodam Diponegoro menyatakan bahwa
Sendi telah menghina negara dan Pancasila dengan
mendemonstrasikan moral jurnalistiknya yang teramat
rendah. Karenanya akan dilakukan tindakan tegas.
Tindakan ini memang akhirnya dibuktikan dengan
mengajukan para pengurusnya ke pengadilan. Jaksa
menggunakan haatzaai artikelen (pasal-pasal kebencian)
dan menyatakan bahwa Sendi bersalah menghina
kepala negara. Ashadi Siregar, pemimpin redaksi Sendi,
divonis dengan hukuman tiga bulan dengan enam bulan
masa percobaan. Pengadilan ini bahkan mengundang
perhatian internasional di mana perwakilan dari Amnesty
Internasional datang mengikuti pengadilan. Dengan
vonis pengadilan ini, Sendi resmi mati. Koran ini dicabut
tepat setelah terbit 13 edisi (Majalah Tempo, 26 Februari
1972). Dan peristiwa ini menjadi pembredelan pertama
yang dilakukan Orde Baru terhadap pers mahasiswa.
Peristiwa yang pada tahun selanjutnya akan diikuti
pembredelan besar-besaran.
Yang menarik, aksi pembredelan pertama yang
dilakukan pemerintah ini justru mendapatkan dukungan
dari Mahasiswa Indonesia meski mereka juga menolak
proyek TMII. Alih-alih memberikan dukungan kepada
sesama pers mahasiswa, Mahasiswa Indonesia justru
bisa memahami sikap pemerintah karena Sendi
dianggap sudah kebablasan. Kebablasan dalam arti tidak
menghormati lagi kepada pemimpin yang merupakan
sesepuh bangsa. Padahal, wajah pemimpin adalah wajah
masyarakatnya juga. Artinya, pemimpin tetap harus
dipatuhi karena ia duduk dalam kursi kepemimpinan.
Seperti yang mereka tulis:
36
Meminjam istilah Arbi Sanit, ini adalah masamasa pecahnya bulan madu politik antara mahasiswa
dan pemerintah. Tanda-tanda menunjukkan bahwa
partnership yang pernah bersama-sama menghadapi
Soekarno akan segera berakhir. Selain karena represi yang
mulai ditunjukkan pemerintah, pecahnya bulan madu ini
juga dikarenakan agenda pembangunan Orde Baru yang
mulai menyimpang. Politik pembangunan yang salah arah
menyebabkan ketimpangan sosial semakin menjadi-jadi.
37
Komersialisasi Pendidikan
Kemiskinan semakin parah sementara utang luar negeri
semakin menumpuk. Hal ini masih diperparah dengan
korupsi birokrasi yang semakin menggurita. Penetrasi
modal asing semakin mencengkeram republik.
Dalam konteks yang demikian pecahlah huru-hara
Anti Tionghoa di Bandung pada tanggal 5 Agustus 1973.4
Sejak saat itu, kecaman dan protes-protes menolak modal
asing dilontarkan oleh Mahasiswa Indonesia. Prakondisi
yang kemudian memuncak pada tanggal 15 Januari
1974. Memanfaatkan momentum kedatangan Perdana
Menteri Tanaka ke Indonesia, demonstrasi besar-besaran
terjadi di Jakarta. Demonstrasi yang mengikutsertakan
mahasiswa dalam jumlah ribuan ini kemudian berubah
menjadi kerusuhan massal di Jakarta. Peristiwa hari itu
sendiri mengakibatkan 9 orang meninggal dan 23 orang
luka parah maupun ringan, 269 mobil terbakar, 253 mobil
rusak, 94 sepeda motor terbakar dan 43 rusak, 5 gedung
dibakar, 113 dirusak, dan 5 bangunan industri rusak berat
(Francois Raillon, 1985:369). Penerbitan pers termasuk
pers mahasiswa yang melaporkan peristiwa ini diberedel.
Ada 8 penerbitan termasuk Mahasiswa Indonesia dan
Harian KAMI yang diberedel oleh pemerintah.
Menteri Penerangan melalui Surat Keputusan No.
146/KEP/MENPEN/1975 mengatakan bahwa pers
mahasiswa tidak diperkenankan sebagai sarana dalam
bentuk apapun untuk melakukan kegiatan-kegiatan
politik praktis. Pers mahasiswa yang berada di kampus
dan memenuhi syarat tersebut lolos dari badai pemberelan
(David Hill, 2011:141). Pembredelan ini menandai babak
baru pers mahasiswa di bawah Orde Baru. Tidak ada lagi
suara-suara kritis menentang pemerintah seperti yang
4 Kerusuhan ini berawal dari insiden tabrakan antara penduduk lokal di Bandung
yang mengendarai pedati dengan warga keturunan Tionghoa yang mengendarai
mobil. Berawal dari tabrakan ini, kesalahpahaman tak terhindarkan dan memicu
pertengkaran. Pertengkaran kemudian menjadi kerusuhan yang melibatkan
berbagai elemen masyarakat. Kemarahan masyarakat pada awalnya diarahkan
kepada penduduk Tionghoa yang tinggal di Bandung. Karena itu sweeping
sekota dilakukan. Kerusuhan yang tak terkendali kemudian membuat terjadinya
penjarahan di mana-mana. Selengkapnya baca Rum Aly (2004:249-250).
38
Komersialisasi Pendidikan
bahwa pers mahasiswa periode ini adalah journal of
opinion. Apa yang ditampilkan dalam berita-beritanya
adalah biasa pandangan ideologinya. Bahkan merupakan
sikap politik yang diyakini. Sikap politik ini tercermin
dari performance bahasa jurnalistik pers mahasiswa
yang banyak menggunakan konsepsi-konsepsi abstrak,
pernyataan keharusan, dan pertanyaan-pertanyaan
kepada otoritas kekuasaan.
Memiliki sikap politik dan menjadi partisan ini
dianggap penting oleh pers mahasiswa. Seperti Gelora
Mahasiswa pada edisi Februari 1977 yang mengatakan
bahwa bersikap politik seperti ini perlu bila mahasiswa
masih diharapkan hadir dalam gerak pembangunan
yang semakin berderak tapi kering bagi gagasangagasan yang sehat dan opini politik yang sehat pula.
Terutama dari generasi mudanya, mahasiswa, yang
katanya bakal mewarisi kepemimpinan negeri ini. Bisa
dipahami ketika protes-protes kembali marak menjelang
Sidang Umum 1978 dengan tuntutan utama adalah
menginginkan Soeharto mundur. Namun protes-protes
keras ini membentur tembok tebal. Aksi protes yang juga
dibarengi dengan demonstrasi mahasiswa-mahasiswa
yang menolak pencalonan Soeharto sebagai presiden lagi
dijawab dengan aksi represif. Semua Dewan Mahasiswa
seluruh Indonesia dibubarkan dan aktivis-aktivisnya
dipenjarakan. Pers mahasiswa dibredel.
Kebijakan Normalisasi Kehidupan/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan (NKK/BKK) diberlakukan oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef. Pembredelan
ini bahkan disebut oleh Siregar (1983:56), baru pertama
kalinya terjadi dalam sejarah di Indonesia karena semua
pers mahasiswa dibredel dalam waktu yang bersamaan
pada 1978. Hampir seluruh pers mahasiswa mati atau
dihentikan terbit oleh pemerintah secara serentak meski
enam bulan sampai setahun kemudian diperbolehkan
terbit kembali dengan perizinan yang ketat. Ketika terbit kembali ternyata pers mahasiswa masih lantang
40
Komersialisasi Pendidikan
banyak ditinggalkan oleh anggotanya. Ia tampak terbentur
pada kenyataan bahwa pemerintah menginginkan agar
pers mahasiswa memusatkan perhatian pada penulisan
yang berkaitan dengan kegiatan kampus. Secara
kelembagaan praktis IPMI sudah mandul, tidak memiliki
kekuatan apa-apa. Organisasi ini tidak bubar, tetapi juga
tidak menjalankan aktivitas-aktivitas penerbitan dan
penyiaran terutama pascakongres V yang diadakan di
Jakarta tahun 1980. Kongres periode VI yang seharusnya
berlangsung tahun 1982 juga urung terlaksana karena
dilarang oleh pemerintah. IPMI menjadi organisasi yang
hidup segan mati tak mau. Praktis, aktivitas-aktivitas
pers mahasiswa pada periode ini lumpuh total. Tidak ada
lagi kritik-kritik ala pers mahasiswa di era Orde Lama dan
awal periode Orde Baru. Mahasiswa sibuk dihadapkan
pada hiruk pikuk akademik sebagai konsekuensi
kebijakan NKK/BKK.
Tempat/Waktu Penyelenggara
Acara
Jakarta, 21-28
Majalah
Pendidikan
Oktober 1985
Mahasiswa
pers
Politika Unas
mahasiswa
tingkat
nasional.
Jakarta, 11-21
Agustus 1986
Surat Kabar
Mahasiswa
Solidaritas Unas
Hasil Pertemuan
Pembentukan
tim kecil untuk
menjajaki
terbentuknya
badan permanen
pengembangan
pers mahasiswa
Pekan
Membentuk
jurnalistik
Kelompok Studi
mahasiswa se- Jurnalistik
Jakarta
Relata yang
mengembangkan
media penerbitan
mahasiswa di
Jakarta
43
Komersialisasi Pendidikan
Jakarta, 5-8
Oktober 1986
Depdikbud dan
FISIP UI
Latihan
Ketrampilan
Pers Kampus
Mahasiswa
Panitia Ad-Hoc
Konsolidasi pers
mahasiswa
Sarasehan
Aktivis Pers
Mahasiswa
Jakarta, 17- 27
Oktober 1987
Panitia Ad-Hoc
Konsolidasi pers
mahasiswa
Pekan
Orientasi
Jurnalistik
Mahasiswa II
Pertemuan
Pengelola Pers
Mahasiswa seIndonesia
Kesepakatan
perlunya
membentuk
satu wadah
pers mahasiswa
tingkat nasional
Membentuk
panitia AdHoc yang
mempersiapkan
wadah nasional
pers mahasiswa
Indonesia
Perlunya
pertemuan
nasional pasca
Mei 1988 setelah
Sidang Umum
MPR RI
44
45
Komersialisasi Pendidikan
ia hanyalah organisasi yang sudah kuno? Karena lahir
sejak tahun 1958, sejak zaman orla, zaman yang seolaholah paling buruk jika kita bandingkan dengan sekarang,
zaman yang seolah-olah najis bagi kita untuk kita alami.
46
Komersialisasi Pendidikan
Represi dari negara baik secara langsung maupun
tidak langsung melalui pejabat kampus juga bisa dilihat
dari pembredelan yang menimpa Arena (UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta), Opini (FISIP Undip Semarang),
dan Vokal (IKIP PGRI Semarang). Aksi pembredelan
ini mendapatkan solidaritas dari pers mahasiswa di
beberapa daerah. Pada 26 Juni 1993 misalnya, Forum
Komunikasi Pers Mahasiswa Semarang (FKPMS)
menggelar aksi bertema Aksi Keprihatinan Pembredelan
Pers Mahasiswa dalam bentuk kemah keprihatinan
di lapangan basket Undip, sebagai wujud solidaritas
terhadap pembredelan Arena. Satrio Arismunandar
(2005:92) dan Muridan Widjojo (1999:83-84) mencatat
aksi ini diikuti perwakilan lembaga pers mahasiswa dari
sejumlah PTN dan PTS di Semarang. Ini merupakan aksi
solidaritas kelima sepanjang Juni 1993. Aksi menolak
pembredelan Tempo, Detik, dan Editor juga sempat
dilakukan ketika ketiga media itu dibredel oleh Orde Baru
pada 1994. Aksi ini merupakan aksi protes terpanjang
dalam sejarah pembredelan pers di Indonesia. Aksiaksi solidaritas ini terus menggelinding dan menjadi
ruang konsolidasi bagi aktivis-aktivis mahasiswa untuk
semakin meningkatkan perlawanan terhadap Orde Baru.
Selain melalui konsolidasi-konsolidasi lintas daerah,
perlawanan pers mahasiswa juga tetap dilakukan melalui
penerbitan. Perlawanan bahkan tidak hanya diarahkan
kepada kebijakan-kebijakan Orde Baru melainkan
terhadap rezim itu sendiri. Terutama mengenai
manipulasi yang dilakukan rezim dalam menggunakan
Pancasila untuk melegitimasi tindakannya. Balairung
dalam edisi 18/TH/VII/1993 yang mengadakan polling
mengenai Pancasila menulis:
48
Komersialisasi Pendidikan
Menurut Satrio Arismunandar (2005:30), setidaknya ada
tiga peran pers mahasiswa dalam gerakan mahasiswa
menentang Soeharto ini.
Ketiga hal tersebut yaitu: Pertama, peran pemberi
informasi, sosialiasi, dan edukator. Di sini hubungan
saling memengaruhi antara pers mahasiswa dan gerakan
mahasiswa relatif dalam posisi setara, namun hubungan
antara keduanya kurang akrab, agak berjarak, datar,
dan lebih formal. Kedua, peran inspirator, motivator,
provokator, dan korektor. Di sini hubungan salingpengaruh antara pers mahasiswa dan gerakan mahasiswa
relatif tidak setara. Pers mahasiswa memengaruhi
gerakan mahasiswa dengan kadar yang cukup kuat dan
jauh lebih kuat pengaruhnya dari penerbitan pers umum.
Ketiga, peran mediator, wahana debat dan diskusi dan
integrasi. Di sini hubungan saling-pengaruh antara pers
mahasiswa dan gerakan mahasiswa relatif berbeda
dengan peran pertama dan kedua. Hubungan pada titik
ini jauh lebih akrab dan informal.
Peran pers mahasiswa sebagai penyedia informasi
semakin masif menjelang hari-hari terakhir kejatuhan
Soeharto. Gugat misalnya, menampilkan liputan-liputan
demonstrasi di Yogyakarta. Di terbitan ini pula pertama
kali dimuat aksi demonstrasi pembakaran foto Soeharto.
Puncaknya, 21 Mei 1998, Soeharto resmi mengundurkan
diri. Pada titik ini pers mahasiswa bisa dikatakan telah
menunaikan tugasnya. Penguasa despotik telah runtuh.
Mingguan Time menyebut pers mahasiswa sebagai
pendukung yang tidak terduga bagi gerakan-gerakan
prodemokrasi. Pers mahasiswa menjadi aktor behind the
scenes. Tidak banyak yang menyadari bahwa keruntuhan
Orde Baru ini menjadi titik balik pers mahasiswa di
Indonesia.
50
Komersialisasi Pendidikan
Saputra (2009:197) mengatakan bahwa kebebasan pers
yang melaju bersama arus demokratisasi telah membuat
pers mahasiswa kehilangan kesadaran eksistensial yang
selama ini menjadi landasan bergerak pers mahasiswa.
Seperti yang ia ungkapkan,
Komersialisasi Pendidikan
wacana) yang menempatkan paradigma jurnalisme wacana
sebagai acuan. Dengan kerangka ini, ulasan tema dalam pers
mahasiswa diperlakukan sebagai wacana: sesuatu yang
diusung, dibantah, dipertandingkan, diperbarui, kemudian
disodorkan pada pembaca untuk kembali mendapat kritik,
sanggah, atau sekadar tanggapan. Seperti dituturkan oleh
Tarli Nugroho (2003: 136-137);
Komersialisasi Pendidikan
juga menyikapi era keterbukaan dengan cara lain. Majalah
ini mencoba menggunakan investigative reporting untuk
menyajikan tema-tema tertentu yang diangkat.
Senada dengan Arena, tabloid Catatan Kaki (Unhas
Makassar) pun menawarkan jurnalisme investigasi sebagai
tawaran konsep baru. Seperti yang dituturkan salah satu
pegiat Catatan Kaki, Dedy Ahmad Hermansyah (2009:4),
jurnalisme investigasi menyaratkan penulisan analisis serta
ulasan mendalam pada pemberitaannya. Konsep ini dibuat
karena kondisi politik yang perlahan berubah.
Setelah tumbangnya Orde Baru 1998, lembaga pers
sudah mulai berani memberitakan hal-hal yang selama
ini dianggap berbahaya jika ditulis. Maka, Catatan Kaki
mencoba konsep baru dalam jurnalismenya. Akan tetapi,
unsur advokasi selalu diikutsertakan sebagai komitmen anti
penindasan. Untuk itulah, cara memperlakukan data dan
fakta dalam penulisan jurnalisme pers mahasiswa adalah
pilihan ideologis sebagai upaya memberikan informasi
yang sering ditutup-tutupi pers umum sebagai konsekuensi
ketatnya sensor yang dijalankan pemerintah. Catatan Kaki
menuliskan laporan berita dengan memberikan unsur
propaganda di dalamnya.
Menurut Bachtiar (2006:13-14), berbagai pilihan
yang coba diambil oleh pers mahasiswa sebagai bentuk
reposisi ini terjadi karena perbedaan pemaknaan mengenai
pers mahasiswa. Setidaknya terdapat empat pemaknaan
terhadap pers mahasiswa. Pertama, pers mahasiswa
dianggap sebagai komoditas. Sebagai komoditas, mahasiswa
menganggap bahwa mulanya apa yang harus dihasilkan
oleh pers mahasiswa adalah produknya terlebih dahulu.
Dengan asumsi semacam itu, semua aktivitas di dalam pers
mahasiswa diarahkan untuk menghasilkan produk yang
diharapkan laku di pasaran. Eksistensi pers mahasiswa
diukur dari seberapa jauh produk yang mereka hasilkan
mampu berpengaruh atau meraih sukses di pasaran. Kedua,
pers mahasiswa sebagai organisasi. Mereka yang memaknai
pers mahasiswa sebagai organisasi adalah kelompok
56
Komersialisasi Pendidikan
PPMI Pecah
PPMI, induk pers mahasiswa se-Indonesia ini mengalami
perpecahan yang kemudian menimbulkan polarisasi pers
mahasiswa. Perpecahan yang mengingatkan kita pada
organisasi pers mahasiswa tingkat nasional tahun 1950-an
seperti IWMI (Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia) dan
SPMI (Serikat Pers Mahasiswa Indonesia). Persoalannya,
perpecahan ini tidak berujung pada hal yang sifatnya
produktif. Perpecahan yang menghapuskan niatan awal
mula keberadaannya.
PPMI didirikan dalam pertemuan di Universitas
Brawijaya Malang pada bulan Oktober 1992 yang diikuti
72 peserta dari 28 perguruan tinggi di seluruh Indonesia
menyepakati berdirinya PPMI. Sementara kongres pertamanya diadakan satu tahun kemudian. Kelahiran PPMI
bertujuan memperkuat bargaining position pers mahasiswa
secara internal dan eksternal. Di level internal akan dibuat
kurikulum diklat jurnalistik dan kode etik pers mahasiswa.
Sementara pada konteks eksternal, memperkuat posisi
tawar menawar dengan penguasa, baik itu birokrat kampus
maupun pemerintah. Maksudnya adalah memengaruhi
jalannya pembuatan kebijakan dengan membentuk opini
publik. Apalagi saat itu ada 200 lebih penerbitan mahasiswa
yang jika dimanfaatkan dengan baik tentu menjadi sebuah
potensi yang luar biasa.
Bisa dikatakan bahwa berdirinya PPMI ini menandai
kebangkitan pers mahasiswa untuk menyoal negara lagi
pasca NKK/BKK. Persoalan menyoal negara ini datang
melalui respon yang berbeda dan tidak hanya mengandalkan
penerbitan-penerbitan saja. Ini yang membedakan peran
pers mahasiswa saat ini sudah jauh berbeda dengan pers
mahasiswa di era Orde Lama maupun awal Orde Baru. Pers
mahasiswa era ini lebih sibuk menjalani aktivitas-aktivitas
nonpenerbitan dengan melakukan konsolidasi dengan pers
mahasiswa di berbagai daerah. M. Thoriq (1990) menyebut
ini sebagai konsekuensi dari gaya jurnalisme struktural
58
59
Komersialisasi Pendidikan
permanen. Kerja-kerja keorganisasian dilakukan berpindahpindah di beberapa daerah. Ini tentu membutuhkan biaya
besar dan sangat merepotkan. Ketiga, kualitas sumber daya
manusia PPMI dan sistem keanggotaannya terlalu lemah.
Kondisi tersebut membuat anggota PPMI di kongres
terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah
mereka yang masih menginginkan organisasi ini bertahan
seperti format lama dengan beberapa penyesuaian kerja.
Sebagian besar pers mahasiswa dari Jawa Timur keukeuh
dengan format ini. Dan kelompok kedua adalah mereka yang
memiliki ide bahwa format organisasi sudah tidak layak.
Kelompok ini sebagian besar berasal dari Jawa Tengah,
Yogyakarta, dan Bali. Beberapa pers mahasiswa yang berada
dalam kelompok ini antara lain Balairung, Bulaksumur,
Pijar (UGM), Investor (STIE Widya Wiwaha), Pendapa
(UST), Nuansa (UMY), dan Gema (STIPER). Kelompok
yang berpendapat bahwa format organisasi sudah tidak
layak ini mengusulkan bahwa lebih baik PPMI berubah
bentuk dengan memakai format forum komunikasi.7 Ide ini
didasari rasionalisasi bahwa situasi politik nasional sudah
berubah sehingga bentuk penyikapan pers mahasiswa
tingkat nasional seharusnya juga berubah. Tidak perlu lagi
menggunakan bentuk organisasi.
Jalannya kongres kemudian menjadi panas. Seperti
yang dijelaskan Luqman Hakim Arifin (2000:83-86),
Perdebatan bertele-tele tentang pemahaman terhadap
makna organisasi dan forum pun tak terhindarkan.
Beberapa orang sangat khawatir dan bereaksi keras
seakan menuduh teman-teman Yogya berusaha memecah, bahkan membubarkan PPMI. Dan setelah melalui
7 Berdasarkan daftar hadir, konggres ini diikuti oleh 127 orang dari 87 lembaga
pers mahasiswa dari berbagai daerah. Perpecahan dalam kongres ini tidak bisa
terdamaikan karena yang terjadi sebenarnya adalah perubahan paradigmatik
yang membelah anggota PPMI secara diametral. Mereka yang bersepakat
mendukung FKPMI mayoritas berasal dari Yogyakarta, Jawa Tengah, Bali,
Sumatera, serta Sulawesi. Sementara yang keukeuh mempertahankan PPMI
konsep lama sebagian besar berasal dari pers mahasiswa di Jawa Timur. Tentang
kronologi kongres dan perpecahan ini penulis dapatkan dari Dokumen Internal
Balairung berjudul Sekelumit Cerita dari Lombok dan PPMI (2000)
60
Komersialisasi Pendidikan
menjembatani komunikasi antara pers mahasiswa yang
tergabung dengan PPMI dan yang tidak. Kemunculan
kembali FKPMI ini dilandasi kritik atas ketegangan pers
mahasiswa dalam menentukan pilihan untuk bergabung
atau tidak dalam PPMI. Forum ini bertujuan sebagai media
komunikasi antar pers mahasiswa tanpa ikatan struktural.
Jalinanannya diharapkan bisa lebih cair, tanpa menegasikan
antara jajaran pers mahasiswa anggota PPMI maupun nonPPMI.8
Selanjutnya, forum ini semakin ditegaskan pada
pertemuan Pekan Nasional Pers Mahasiswa yang diadakan
Catatan Kaki Unhas Makassar pada akhir 2009. Perdebatan
antara FKPMI dan PPMI sempat mengemuka kembali. Arman
Dhani mengatakan bahwa forum-forum seperti FKPMI
banyak bermunculan tetapi tidak pernah ada tindak lanjut
yang jelas. Forum baru justru bisa saling menghancurkan
hubungan antar pers mahasiswa.9 Pada akhirnya, pertemuan
ini memang menyepakati FKPMI sebagai ruang bersama
pers mahasiswa seluruh Indonesia. Sayangnya, hasil
pertemuan-pertemuan tersebut tidak bisa dijalani dengan
konsisten. Sampai saat penelitian ini dilakukan, tidak ada
organisasi yang bisa dianggap representatif mewakili pers
mahasiswa di tingkat nasional.
Hambatan Klise
Selain persoalan disorientasi dan pecahnya organisasi
induk di tingkat nasional, pers mahasiswa pasca Orde Baru
juga dihadapkan pada beberapa persoalan yang menghantui
keberadaannya. Persoalan yang bisa dikatakan klise karena
menjadi identik dalam eksistensi pers mahasiswa. Di
antaranya adalah represi yang dilakukan oleh birokrasi
kampus, hambatan dana, periodisasi terbit yang tidak rutin,
dan kaderisasi organisasi.
8 Forum Komunikasi untuk Pers Mahasiswa dalam Balkon edisi 123, 15 Juni 2009
halaman 5
9 Menggagas Jalan Baru Pers Mahasiswa dalam Balkon edisi spesial 2010
halaman 78-81
62
63
Komersialisasi Pendidikan
beritanya pada tahun 2002, mereka mengangkat isu korupsi
di koperasi mahasiswa Undip. Hasilnya, menggemparkan.
Hayam Wuruk berhasil menemukan skandal pengurus
yang menggelapkan dana organisasi. Setelah berita itu
keluar, kantor redaksi mereka didatangi sejumlah preman.
Beberapa hari kemudian bahkan muncul surat somasi yang
berisi gugatan atas pemberitaan tersebut. Tidak main-main,
Hayam Wuruk digugat sebesar seratus juta rupiah!12 Situasi
seperti contoh-contoh tersebut dialami kebanyakan pers
mahasiswa.
Problem selanjutnya yang menghambat adalah kaderisasi organisasi yang tidak berjalan lancar. Sistem pendidikan
tanah air yang menuntut mahasiswa untuk lulus cepat bisa
menjadi kambing hitam utama. Jika sebelum tahun 1990an masih banyak mahasiswa yang aktif lebih dari lima
tahun di pers mahasiswa, kondisi pasca 1998 berubah.
Masa kepengurusan pers mahasiswa berkisar di sekitar 3-4
tahun. Regenerasi yang semakin cepat ini membuat pers
mahasiswa tidak bisa banyak berkembang. Pengurus hanya
memiliki sedikit waktu untuk mengenal organisasinya
dan belajar praktik jurnalistik. Setelah mencapai tahap
kematangan tertentu, ia harus lengser karena dibatasi
waktu. Begitu seterusnya. Sehingga pers mahasiswa tidak
pernah benar-benar berada dalam keadaan yang stabil.
Dengan tantangan zaman yang berbeda-beda sementara
regenerasi kadang terhambat, guncangan bisa saja menjadi
semakin keras.
Misalnya saja seperti yang terjadi di Gelora Sriwijaya
Universitas Sriwijaya. Nova Lianti (2009:113) menyebutkan
bahwa persoalan manajerial yang menonjol adalah sulitnya
memperoleh kader-kader yang berkualitas. Pada awalnya,
ketika penerimaan anggota baru, tersedia cukup banyak
mahasiswa yang mendaftar untuk menjadi anggota. Namun
seiring berjalannya waktu, tinggal segelintir orang saja dari
generasi baru ini yang mampu bertahan hingga puncak
12 LPM Hayam Wuruk.2005. Profil LMP Hayam Wuruk terarsip dalam http://
www.lpmhayamwuruk.org/2005/08/profil-lpm-hayamwuruk.html diakses 18 Juni
2012
64
65
Komersialisasi Pendidikan
bisa terbit. Seperti diungkapkan Asdiansyah (2009:1415), contoh di Universitas Syiah Kuala Aceh bisa menjadi
gambaran kecil. Detak hanya mengandalkan pendanaan
dari rektorat. Pintu dana dari iklan belum terbuka. Ketika
dana dari rektorat seret, anggota Detak sampai bersepakat
untuk patungan agar produk mereka bisa terbit.
Berbagai persoalan yang disebut tadi menjadi tantangan
utama pers mahasiswa. Kondisi subjektif di internal pers
mahasiswa yang penuh masalah bertemu dengan kondisi
objektif lingkungan sosial politik yang menekan. Pers
mahasiswa yang tidak mampu beradaptasi pada akhirnya
bergerak tertatih-tatih. Sementara mereka yang mampu
menangkap tanda-tanda zaman mulai memanfaatkan
peluang yang ada. Migrasi ke dunia maya, adalah salah satu
peluang potensial yang dimiliki oleh pers mahasiswa untuk
terus mempertahankan kesadaran eksistensialnya.
Migrasi ke Dunia Maya
Pilihan back to campus pada dasarnya bahkan merupakan
conditio sine qua non. Dengan konteks sosial politik yang
menjadi latar belakangnya, pers mahasiswa memang tidak
memiliki alternatif lain selain back to campus. Tidak hanya
karena kebebasan pers telah membuat pers umum berani
bersuara keras, tetapi juga munculnya konglomerasi media
yang superpower dengan kekuatan modal yang besar.
Pilihan back to campus ini sebenarnya didukung
perkembangan zaman yanga telah membuka ruang
baru alternatif bagi pers mahasiswa. Didik Supriyanto
(2000), misalnya, menyarankan pers mahasiswa untuk
memanfaatkan media baru ini. Menurutnya, internet
menjadi pilihan strategis bagi aktivis pers mahasiswa untuk
memproduksi karya-karya jurnalistik. Sebab, selama ini
pers mahasiswa seringkali terhambat persoalan dana yang
membuat karya-karya jurnalistik mereka tidak mampu
diterbitkan. Melalui internet, karya jurnalistik ini bisa
semakin masif dibaca orang, tanpa memikirkan sekat-sekat
66
67
Komersialisasi Pendidikan
kebutuhan masyarakat informasi. Dalam konteks pasangsurut penerbitan pers mahasiswa, media online tentu
dapat dimanfaatkan tak hanya sebagai media alternatif
(penghematan produksi cetak), tetapi juga pewartaan
gagasan-gagasan kontekstual secara masif.
69
Komersialisasi Pendidikan
Setelah itu, milis ini menjadi ajang pertukaran beritaberita yang diliput oleh masing-masing pers mahasiswa.
Milis ini digunakan untuk menyuarakan dan memberitakan kejadian yang terjadi di kampus masing-masing
pers mahasiswa. Seperti diungkapkan Sunarto (2000), ada
dua model yang digunakan dalam milis ini. Pertama, setiap
pers mahasiswa diberi ruang untuk menampilkan beritaberitanya di milis kampus online. Syarat yang mesti dimiliki
oleh pers mahasiswa yang ingin menampilkan beritanya
di milis ini adalah melakukan update berita secara rutin.
Update berita dilakukan minimal selama seminggu sekali
karena waktu seminggu adalah batas psikologis kebosanan
pengunjung. Batas tersebut tentu harus diperhatikan jika
pers mahasiswa tidak ingin ditinggalkan pembacanya. Kedua,
membentuk jaringan antar lembaga pers mahasiswa untuk
membuat berita tentang dunia kampus. Masing-masing
pers mahasiswa mengirimkan berita tentang peristiwa, ide,
dan opini sebagai laporan kepada pengelola kampus online
di Jakarta. Redaktur memiliki hak untuk menyeleksi dan
menyunting berita-berita tersebut. Semisal ada berita sama
yang diliput oleh lebih dari satu pers mahasiswa, maka berita
yang ditampikan adalah kompilasi dari laporan tersebut.
Milis kampus online awalnya memang cukup efektif untuk
menampung beragam berita-berita sekaligus menyambung
hubungan antar pers mahasiswa. Namun, perkembangan
zaman yang memiliki konsekuensi pada kemajuan teknologi
kemudian membuat masing-masing pers mahasiswa
memiliki laman sendiri-sendiri. Milis ini menjadi terabaikan.
Laman-laman pers mahasiswa berkembang pesat. Di
Yogyakarta, sebagian besar pers mahasiswa sudah memiliki
laman sendiri. Beberapa di antaranya adalah Balairung,
Ekspresi, Arena, Journal, Pendapa, Bulaksumur, Equilibrium,
Himmah. Di UKSW Salatiga, Scientiarum membangun
www.scientiarum.com sebagai portal berita online-nya.
70
Komersialisasi Pendidikan
adalah berita-berita yang jarang update. Tidak hanya itu,
berita yang muncul pun biasanya sudah out of date. Padahal
keunggulan internet adalah ketika berita-berita sering
diperbarui. Semakin cepat berita itu diperbarui, semakin
berita yang muncul akan dibaca. Jika hal mendasar ini tidak
dilakukan, internet hanya akan menjadi sebuah kesia-siaan.
Sampai di sini, disorientasi, pecahnya organisasi
pers mahasiswa di tingkat nasional, dan kebimbangan
menghadapi tantangan zaman memperlihatkan bahwa
pers mahasiswa masih tergagap. Relevan untuk mengutip
Abrar (1992:41) yang mengatakan bahwa pers mahasiswa
harus melakukan refleksi dan mengkaji ulang posisinya
agar tidak terjebak dalam situasi yang ahistoris. Kritik
sosial perlu dilakukan, tetapi tidak menjadi tujuan utama
pers mahasiswa. Sebab yang lebih utama terletak pada
kemampuan pers mahasiswa merefleksikan segala
dinamika sosial yang ada di lingkungan mahasiswa dan
mendorong kehidupan mahasiswa yang dinamis. Laku
refleksi juga mesti berjalan seiring antara kondisi subjektif
aktivis pers mahasiswa dan keadaan objektif sehingga dapat
menemukan kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan.
72
Balairung
1. Sejarah dan Perkembangan
Setelah Gelora Mahasiswa dibredel oleh rektor UGM,
usaha untuk membentuk lembaga pers mahasiswa di
tingkat universitas selalu gagal. Kebijakan NKK/BKK yang
dikeluarkan oleh pemerintah telah membuat organisasi
mahasiswa seperti pers mahasiswa tidak mendapatkan
ruang. Larangan yang bermula dari ketakutan dengan
aktivitas-aktivitas kritis yang dilakukan pers mahasiswa
di masa lalu. Penerbitan yang dibolehkan hanya berskala
fakultas.
Didik Supriyanto (1998:32) mencatat pada tahun
1986 ada 47 penerbitan fakultas dan jurusan dengan 25
di antaranya yang masih aktif terbit. Angin segar bagi
pers mahasiswa di UGM kemudian datang di pertengahan
tahun 1985. Sekelompok aktivis pers mahasiswa tingkat
fakultas di Universitas Gadjah Mada merasa membutuhkan
penerbitan mahasiswa di tingkat universitas.
Keresahan ini yang kemudian menjadi dasar bagi
sekelompok mahasiswa tersebut untuk bertemu, bertukar pikiran dan akhirnya sepakat untuk mengadakan
seminar mengenai pers mahasiswa di tingkat universitas. Pascaseminar, dibentuklah tim untuk merumuskan
konsep dan format penerbitan mahasiswa tingkat universitas. Tim perumus yang mewakili para peserta
73
Komersialisasi Pendidikan
mengabstraksikan hasil seminar itu: Abdul Hamid
Dipopramono (ketua), Agus Aman Santoso, Ana Nadya
Abrar, M. Thoriq, Mohamad Alfaris, Laksono T. Sulaiman,
Agus Ibar Santosa, Bambang Suhadjanto, Anwar Muhadi,
Hendro Saptono. Setelah menyelesaikan pertemuan,
rekomendasi dihasilkan dan diajukan kepada Teuku
Jacob, rektor UGM kala itu. Tepat akhir tahun 1985,
Majalah Balairung resmi berdiri dan terbit untuk pertama
kali. UGM memiliki penerbitan di tingkat universitas.
Nama Balairung digunakan untuk mengabadikan
ruangan utama gedung pusat UGM. Lebih dari itu
Balairung sendiri mempunyai makna kebesaran, sebuah
ruangan utama tempat berkomunikasi civitas academica
dari berbagai fakultas di UGM. Makna sesungguhnya
adalah tempat berinteraksi kualitatif dan kuantitatif
semua warga. Dengan niat seperti itulah Balairung
kemudian terbit dalam bentuk majalah dan orientasi
intelektualitas yang kuat.
Majalah perdana terbit dengan mengangkat isu
industrialisasi dan pembangunan. Dengan mengangkat
tema tersebut, Balairung sekaligus memberikan perhatian
pada kajian ilmiah tidak hanya di UGM tetapi juga di dunia
akademik Indonesia. Edisi perdana ini juga menegaskan
bahwa Balairung ingin menyediakan wahana bagi kaum
muda untuk mengisi ruang kekhalifahan dengan meniti
jalan intelektual.
Orientasi intelektual yang demikian kuat ini bisa
dipahami karena pegiatnya berasal dari para aktivis
kelompok studi yang sedang menjamur. Kelompok diskusi
merupakan diaspora gerakan mahasiswa di era itu. Dalam
diaspora ini, diskusi-diskusi rutin dilakukan dengan
jumlah mahasiswa yang semakin bertambah. Ini adalah
ciri khas yang melekat dalam aktivitas kemahasiswaan.
Dengan latar belakang pengurusnya yang berasal dari
kelompok studi, tak mengherankan jika diskusi-diskusi
juga sering diselenggarakan oleh Balairung. Untuk
mempertegas orientasi intelektual Balairung, pengurus
74
Komersialisasi Pendidikan
berisi 128 halaman dengan desain cantik yang dikerjakan
sungguh-sungguh. Dijual dengan harga Rp3.000,
distribusinya disalurkan melalui jaringan toko buku
besar di Indonesia seperti Gramedia. Balairung edisi ini
menampilkan tujuh belas esai penelitian mahasiswa yang
berisi tentang visi besar mengenai masa depan Indonesia.
Dalam edisi ini pula Balairung menulis artikel dan
wawancara dengan sastrawan kiri Indonesia, Pramoedya
Ananta Toer.
Dalam perkembangannya sampai tahun 1998,
Balairung terbit selama 90 edisi. Tahun 1998 menjadi
salah satu tahun yang menjadi tonggak sejarah Balairung.
Pergolakan politik di Indonesia memaksa Balairung
untuk menghentikkan terbitan rutinnya dan terlibat aktif
dalam aksi-aksi anti pemerintahan. Bersama elemen
mahasiswa lainnya termasuk pers mahasiswa di tingkat
fakultas, Balairung menerbitkan selebaran Gugat! yang
terbit setiap hari dan memberitakan aksi-aksi menuntut
mundur pemerintahan Soeharto. Gugat! juga yang
pertama kali menampilan foto pembakaran replika
patung Soeharto di Gedung Pusat UGM.
Seperti yang terjadi di hampir seluruh pers
mahasiswa di Indonesia pasca jatuhnya Soeharto,
Balairung mengalami disorientasi. Balairung memilih
untuk menjadi press of discourse dan press of community.
Press of discourse berarti Balairung ingin menegaskan
diri sebagai wahana intelektual mahasiswa seperti niat
awal ketika berdiri. Secara spesifik, format dari majalah
menjadi bentuk jurnal dilakukan. Pilihan berubah
bentuk menjadi jurnal diambil karena Balairung ingin
menyediakan ruang khusus bagi pemikiran-pemikiran
mahasiswa Indonesia.
Hasan Bachtiar (2001:177) menjelaskan bahwa
dalam jurnal, perubahan terjadi dalam dua arah: secara
teknis terjadi perubahan kerja dari kerja majalah menjadi
jurnal, kemudian secara konseptual melembagakan
kerangka pendekatan ilmiah dan pendekatan jurnalistik
76
77
Komersialisasi Pendidikan
menggarap kembali lahan yang ditinggalkan.
78
79
Komersialisasi Pendidikan
tidak menjadi pertimbangan yang mendasar. Relevansi
ini menjadi penting untuk merumuskan tema yang
tidak cepat basi untuk menyiasati periode terbit yang
tidak tepat waktu. Keempat, kapabilitas eksternal
dan intenal. Kapabilitas eksternal berkaitan dengan
adakah kemungkinan tema yang diangkat ini untuk
menemukan partner dalam pengerjaannya. Lebih ada
kemungkinan pengerjaan tema ini hubungannya dengan
pihak luar. Misalnya penggarapan isu korupsi, bisakah
reporter menembus rumitnya birokrasi di Indonesia,
dan lain-lain. Kapabilitas internal, lebih pada kapasitas
awak untuk menelusuri isu ini lebih dalam. Termasuk
persoalan-persoalan teknis yang meliputi awak. Kapabel
atau tidak.
Di rapat tema kedua ini ditentukan tema terpilih.
Selanjutnya, tema yang terpilih akan di-break down
sesuai divisi masing-masing. Di tahap inilah angle sebuah
tema akan ditentukan. Penentuannya merupakan hasil
kesepakatan bersama. Di sini juga ditentukan pengurus
yang akan menulis rubrik-rubrik tertentu. Pemimpin
redaksi hanya bertugas untuk memastikan bahwa
tema dan angle yang dipilih bersama itu realistis untuk
dikerjakan di lapangan. Pada tahap selanjutnya setelah
pengumpulan data, tulisan yang masuk akan melalui
tahapan penyuntingan isi dan bahasa. Penyuntingan ini
dilakukan oleh pengurus yang sudah memasuki masa
aktif di tahun kedua. Setelah melewati rangkaian ini,
tulisan dibaca oleh pemimpin redaksi dan selanjutnya
diserahkan ke divisi produksi dan artistik untuk didesain.
Setelah majalah terbit dan sampai ke tangan pembaca,
pengurus akan mengadakan evaluasi untuk mengurai
kelemahan yang terjadi selama proses pengerjaan
majalah edisi tersebut.
80
Komersialisasi Pendidikan
lembaga penerbitan pers mahasiswa tersebut. Dari
diskusi itu, disepakati membentuk tim 7 yang diketuai
Muh. Syaiful Bahri dan bertugas melakukan lobi serta
negosiasi dengan para petinggi Unhas agar menyetujui
niat mahasiswa tersebut.
Setelah itu penerbitan mahasiswa di tingkat
universitas bernama UKM Pers bisa dibentuk. Namun,
hambatan selanjutnya muncul, pejabat di rektorat
tidak menyetujui penggunaan nama pers mahasiswa.
Akhirnya pada 2 Februari 1995, UKM Pers berganti
nama menjadi UKM Media. Perubahan nama dari
UKM Pers (UKMP) menjadi UKM Media (UKMM) juga
diiringi dengan pembentukan struktur pengurus baru.
Nakhoda kepengurusan UKMM untuk pertama kalinya
dipercayakan kepada Nasrul Tanjung, wakil ketua
Syaiful Bahri dan sekretaris umum Marhamah Nadir.
Mereka diangkat melalui SK Rektor nomor 1065/PT/04.
H3/0/1995 dan dilantik pada tanggal 9 Februari. Tanggal
9 inilah yang kemudian diperingati sebagai hari ulang
tahun Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Unhas. Dalam
kepengurusan periode ini untuk pertama kali terbit
tabloid mahasiswa Unhas, Catatan Kaki. Nama Catatan
Kaki diusulkan oleh dua orang yaitu Nasrul Tanjung,
Ketua Umum periode 1995-1996, dan Agung Yusuf, Ketua
Umum periode 1996-1997.
Filosofi Catatan Kaki mengambil pengertian dari
sebuah sistematisasi penulisan dalam karya ilmiah.
Dalam penulisan karya ilmiah, Catatan Kaki adalah
keterangan yang dicantumkan pada margin bawah pada
halaman buku (biasanya dicetak dengan huruf yang lebih
kecil daripada huruf di dalam teks guna menambahkan
rujukan uraian di dalam naskah pokok). Ostaf AlMustafa, anggota dan aktivis pers mahasiswa Catatan
Kaki, mengatakan pemberian nama Catatan Kaki adalah
inspirasi dari tulisan yang pernah dipublikasikan dalam
Koran kampus Identitas tahun 1995 Catatan Kaki Hakhak Sepatu Mahasiswa. Kalimat Kaki Tangan Demokrasi
82
Komersialisasi Pendidikan
maksimal. Para pengurusnya disibukkan dengan agenda advokasi di luar organisasi. Beberapa advokasi
yang dilakukan misalnya terkait Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), dan persoalan
tanah di daerah Takalar. Selain itu, konflik internal
yang merupakan benturan ideologis sesama pengurus
juga terjadi. Pada tahun 2011 misalnya, Ketua Umum
kala itu, M.Reza Taqiudin Putra diberhentikan oleh
pengurus dalam sebuah Musyawarah Luar Biasa. Reza
kemudian digantikan oleh Haidir. Terlepas dari konflik
tersebut, Catatan Kaki juga memutuskan untuk masuk
ke dunia maya. Pada tahun 2011, Catatan Kaki memiliki
laman sendiri yang beralamat di www.catatankaki.org.
2. Kebijakan Redaksional
Catatan Kaki menuliskan laporan berita dengan
memberikan unsur propaganda di dalamnya. Ini
adalah pilihan ideologis sebagai upaya memberikan
informasi yang tidak dikabarkan pers umum. Mereka
menyebutnya dengan nama jurnalisme advokasi. Pakem
ini berbeda dengan jurnalisme yang dipraktikan oleh
pers umum. Catatan Kaki memiliki panduan sendiri
dalam menjalankan laku jurnalistik mereka. Panduan ini
tercantum dalam buku Vademekumenulis Jurnalistikritis
Caka. Beberapa hal yang tercantum di dalamnya dan
menjadi panduan untuk menentukan angle tulisan di
antaranya; Negative thinking criticism, ini adalah cara
berpikir ke arah berlawanan dengan kondisi normal
yang berlangsung di lingkungan sekitar. One stop next
crisis, krisis yang terjadi di dalam komunitas tempat
media berada harus mampu diungkapkan meskipun
hanya berupa data-data yang minimum.
Selanjutnya adalah intel inside, kerjasama dengan
orang-orang di kalangan pejabat kampus harus dilakukan.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki akses informasi
84
Suara USU
1. Sejarah dan Perkembangan
Pada awalnya, Suara USU adalah nama media yang
dimiliki dan dikelola Humas USU. Sesuai dengan namanya,
media ini menyiarkan berbagai berita-berita yang ada di
kampus USU. Namun, beberapa mahasiswa anggota Senat
Mahasiswa yang salah satunya diwakili Rusli Harahap,
meminta izin ke rektorat agar mahasiswa bisa mengelola
media itu. Alasannya, di USU tidak ada media untuk
mahasiswa. Padahal mahasiswa membutuhkan ruang
untuk mewadahi berbagai aspirasi yang mereka miliki.
85
Komersialisasi Pendidikan
Akhirnya, izin didapatkan. Pada tahun 1994 rektorat
memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk
mengelolanya. Rusli yang merupakan Ketua Bidang Minat
dan Bakat Senat Mahasiswa kala itu segera bergerak
mencari teman-teman di pers mahasiswa tingkat fakultas
dan pegiat kelompok studi untuk membantunya. Di
antaranya adalah Yulhasni, Muhammad Yasin, Rudi
Hartono Pulungan, Nuraihan Lubis, dan Chairul Azmi.16
Pengerjaan tabloid segera dilakukan. Saat itu
pengerjaan dikerjakan secara manual mulai dari
menulis dan menyunting berita, sampai menggunting
dan menempel potongan-potongan berita yang sudah
jadi pada kertas tabloid. Aktivitas ini dilakukan
dengan belajar sendiri karena ketika itu belum
banyak pers mahasiswa tingkat universitas di Medan.
Akhirnya, para pegiat Suara USU menimba ilmu ini
dari para wartawan yang sebagian besar merupakan
anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan.
Setelah mendapatkan SK Rektor, Suara USU lepas
dari Senat Mahasiswa dan secara independen menjadi
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). 1 Juli 1995, tabloid
Suara USU terbit. Tanggal ini juga yang diperingati
sebagai tanggal berdirinya Suara USU. Setelah itu, tabloid
kemudian diedarkan secara gratis ke lingkungan kampus.
Di edisi selanjutnya, persoalan mulai muncul dengan
ditunjukkan adanya ancaman penghentian dana dari
rektorat. Suara USU mengangkat berita tentang problem
antara mahasiswa dan dosen yang saat itu sedang marakmaraknya. Jamak beredar isu bahwa mahasiswa harus
membeli nilai ke dosen agar mendapatkan nilai yang
bagus. Setelah itu, rektorat meminta pengurus Suara
USU untuk menyerahkan draft tulisan sebelum dicetak,
16 Sejarah Suara USU ini disarikan dari wawancara dengan salah satu pendiri
Suara USU, Yulhasni, pada 1 Februari 2012
86
Komersialisasi Pendidikan
kemudian pindah ke www.suarausu-online.com. Media
ini tidak hanya memberitakan hal-hal yang berkaitan
dengan kampus tetapi juga berita-berita seputar Medan.
Tentang pemberitaan ini, ancaman pembredelan
beberapa kali sempat diterima oleh Suara USU. Salah
satunya terjadi pada 2004 ketika sekretariat Suara USU
dirusak dan pengurus mendapatkan ancaman dari orang
yang tidak dikenal. Represi ini muncul setelah mereka
menerbitkan tabloid Ternyata USU Minim Fasilitas
(Sitepu, 2009:68). Di tahun 2010, teror mental juga
sering didapatkan oleh para pengurusnya terutama
ketika meliput persoalan-persoalan yang melanda
organisasi eksekutif mahasiswa di kampus. Teror ini
biasanya datang dalam bentuk telepon dari orang tak
dikenal maupun ancaman-ancaman melalui pesan
pendek.17 Rektorat sendiri hampir setiap tahun juga
selalu berkeinginan untuk menyensor Suara USU. Setiap
pemberitaan harus masuk dan dibaca pihak rektorat dulu
sebelum naik cetak. Ancaman tidak akan mengeluarkan
SK Kepengurusan bahkan dikeluarkan. Meskipun
ancaman itu berkali-kali juga diabaikan oleh pengurus.
2. Kebijakan Redaksional
Untuk menentukan tema berita yang akan diangkat
dalam satu edisi, Suara USU mengadakan dua kali rapat
tema. Rapat tema pertama dinamakan proyeksi besar.
Di proyeksi besar ini semua pengurus hadir untuk
mengusulkan tema-tema yang kemudian akan dieksekusi
menjadi sebuah berita. Khusus di rapat tema ini yang
dibahas adalah tema untuk rubrik laporan utama dan
laporan khusus. Di sini pula ditentukan nama-nama
pengurus yang akan terlibat dalam pengerjaan laporan
utama dan laporan khusus. Angle penulisan juga
ditentukan dalam proyeksi besar. Angle ini kemudian
dituangkan dalam sebuah term of reference. Sementara
17 Wawancara dengan Pemimpin Redaksi Suara USU 2010, Khairil Hanan Lubis,
pada 4 Februari 2012
88
89
Komersialisasi Pendidikan
Azyumardi Azra (2002:xiii) misalnya, mengatakan
bahwa enam permasalahan mendasar yang mengakibatkan
karut-marutnya sistem pendidikan di era Orde Baru.
Enam permasalahan ini membuat cita-cita mencerdaskan
masyarakat menjadi jauh panggang daripada api. Pertama,
keterbatasan akses terhadap pendidikan. Kedua, kebijakan
pendidikan yang sentralistik. Ketiga, pendanaan yang minim.
Keempat, akuntabilitas yang timpang. Kelima, rendahnya
profesionalisme tenaga pendidikan. Dan keenam, missing
link antara dunia pendidikan dan dunia kerja.
Persoalan-persoalan yang semakin bertambah
rumit pasca runtuhnya Orde Baru. Kejatuhan Soeharto
menunjukkan bagaimana pendulum ekonomi di negeri
ini berayun. Neoliberalisme dipupuk selama era Orde
Baru dan tumbuh besar pasca rezim ini runtuh. Oleh
para pengusungnya, neoliberalisme dirumuskan dalam
agenda The Neoliberal Washington Consensus19. Ada
sepuluh ketentuan dalam Washington Consensus ini yang
menjadi dasar untuk membebaskan pasar dengan sebebasbebasnya. Seperti diungkapkan Herry Priyono (2006),
sepuluh ketentuan tersebut bisa diekstraksikan dalam
prinsip deregulasi-liberalisasi-privatisasi yang kemudian
merasuk ke berbagai bidang kehidupan. Mula-mula ia
bergerak dengan menggunakan prinsip pasar bebas dalam
logika ekonomi, dan kemudian melakukan penetrasi.
Prinsip pasar bebas menjelaskan bahwa selalu akan
ada invisible hand yang mengatur mekanisme pasar. Karena
itu, campur tangan dari otoritas (baca: pemerintah) tidak
diperlukan. Pasar akan bergerak secara otomatis untuk
mencapai titik keseimbangannya sehingga intervensi
pemerintah melalui regulasi-regulasi yang ditetapkan justru
19 Sepuluh ketentuan tersebut adalah (1) disiplin fiskal untuk memerangi defisit
perdagangan, (2) public expenditure dengan pemotongan subsidi pemerintah,
(3) pembaharuan pajak, (4) liberalisasi keuangan, (5) nilai tukar uang yang
kompetitif, (6) trade liberalisation barrier, (7) foreign direct investment yang
berupa deregulasi peraturan pemerintah yang menghambat investasi, (8)
privatisasi, kebijakan untuk memberikan pengelolaan perusahaan negara ke
swasta, (9) deregulasi kompetisi, dan (10) Intelectual Property Rights. Lebih
lanjut baca Rais, Amien. 2008. Selamatkan Indonesia. Yogyakarta: PPSK
92
94
Komersialisasi Pendidikan
Komersialisasi Pendidikan
restoran cepat saji ala McDonald dengan empat prinsip yaitu
kuantifikasi, efisiensi, keterprediksian, dan teknologisasi.
Inilah logika yang juga akan digunakan untuk melihat
otonomi kampus.
Pertama, prinsip kuantifikasi bisa dilihat dari orientasi
pendidikan tinggi yang kini hanya memusatkan perhatian
pada kuantitas hasil. Keberhasilan sebuah perguruan
tinggi kemudian diukur hanya berdasarkan pada jumlah
sarjana yang dihasilkan. Semakin banyak sarjana, master,
maupun doktor, semakin bagus juga mutu perguruan tinggi
yang bersangkutan. Tinggi rendah nilai akademik yaitu
Indeks Prestasi (IP) pun menjadi parameter utama tingkat
kesuksesan. Padahal seringkali kita bisa melihat bahwa
IP kadang tidak berkorelasi positif dengan kemampuan
akademik mahasiswa. Ketika orientasi kuantitas diprioritaskan, kualitas karya termasuk penelitian-penelitian yang
dihasilkan menjadi terpinggirkan.
Kedua, prinsip efisiensi dilakukan oleh perguruan
tinggi. Efisiensi ini dilakukan dalam dua hal yaitu
mengenai produk lulusannya dan produk hasil penelitian.
Efisiensi merupakan turunan dari logika ekonomi yang
menyebutkan bahwa apabila sebuah tindakan ekonomi
dianggap tidak menguntungkan maka lebih baik ditiadakan.
Untuk melakukan efisiensi ini, program studi dibatasi.
Prioritas utama diberikan kepada jurusan-jurusan yang
memiliki kemampuan teknis aplikatif yang mendukung
dunia pekerjaan. Beberapa di antaranya adalah program
studi Kedokteran, Teknik, Ekonomi, maupun MIPA.
Dalam program studi ini, kursi dibuka sebanyak-banyak
dan dengan biaya pendidikan yang mahal. Kerjasama
internasional dalam program studi ini juga dibuka. Tak
heran jika peminat program studi ini semakin bertambah
setiap tahun. Sementara itu program studi pinggiran seperti
ilmu budaya maupun filsafat ditepikan. Program studi ini
dianggap tidak profitable sehingga tidak menghasilkan
keuntungan material yang diharapkan.
Ketiga, prinsip keterprediksian dikaitkan dalam logika
96
Komersialisasi Pendidikan
dibutuhkan mahasiswa di BHMN generasi pertama ini:
Sub
Komponen
BSPT
Personil
Fasilitas
Pendidikan
Manajemen
Struktural
Tugas
Pembelajaran
Tugas
Penelitian
Tugas Jasa
Layanan
Total
Jumlah rerata
mahasiswa
ITB
107.919,1
6.607,6
71.824,7
9.342,1
55.043,0
1.932,2
31.087,9
8.669,1
14.547,7
13.241,8
3.172,9
1.714,1
9.109,7
13.677,2
14.930,7
166.252
10.521
14.057,7
17.454,7
2.240,7
128.161,7
13.892
781,1
19.070,2
2.203,0
2.203,0
26.770
BSPT per
801
9.128
3.128
mahasiswa
per tahun
Dikutip dari Darmaningtyas (2005:154)
3.708,9
316,2
2.869,0
2.869,0
7.325
6.218
Komersialisasi Pendidikan
Uang itu ditarik setelah mahasiswa baru diterima melalui
ujian masuk. Kenaikan biaya semakin menjadi-jadi setelah
keluarnya PP tersebut yang diikuti dengan PP No. 152, 153,
154, dan 155 tahun 2000 yang menetapkan UI, UGM, IPB,
dan ITBmenjadi Badan Hukum Milik Negara. Inilah BHMN
generasi pertama yang kemudian menjadi role model bagi
banyak PTN lain. Ujian masuk dilaksanakan secara mandiri
oleh setiap BHMN.
Seperti diungkapkan Ari Sudjito dalam majalah Balairung
Edisi Khusus/Tahun XV/1999, kesibukan mengejar proyek
ini membuat kampus akhirnya menjadi sebuah perusahaan
pendidikan. Sebagai sebuah perusahaan atau korporasi,
orientasinya adalah mengeruk keuntungan. Rasionalitas
ekonomi meminggirkan rasionalitas pendidikan. Karena itu,
reaksi penolakan muncul dari mahasiswa. Tidak hanya di
UGM reaksi penolakan juga muncul di UI, ITB, dan IPB. Di UI
misalnya, mahasiswa bahkan sampai trauma dan kemudian
tak acuh mengenai masalah ini. Ketika dimulai transisi
otonomi kampus di UI, terjadi kenaikan biaya pendidikan
(SPP) yang mencapai angka 300% kenaikan dari biaya
sebelumnya.
Merespon kebijakan itu, mahasiswa habis-habisan
menggelar aksi perlawanan sebagai wujud keprihatinan.
Tapi tidak dicapai kata kompromi dengan rektorat. Akhirnya
mahasiswa yang sudah jenuh pelan-pelan mengendurkan
perlawanan. Bahkan tidak melakukannya sama sekali. Ini,
seperti dituturkan Fahmy Ibrahim dalam Majalah Balairung
(1999:29), membuat mereka trauma dan menjadi apatis
ketika membicarakan persoalan otonomi kampus.
Wisnu Prasetya Utomo (2010) mencatat, setiap BHMN
juga membuat mal di dalam kampus. IPB membangun
Ekalokasari Plaza atau E-Plaza. Di kampus UI Depok tumbuh
berbagai outlet bisnis, seperti restoran Korea, Alfamart,
sampai kantor bank. ITB bekerja sama dengan PT. Niaga
Aset Manajemen membentuk reksadana yang merupakan
produk jasa keuangan. Yang paling ironis, pembangunan
mal di UGM terhambat. Bahkan UGM harus menanggung
100
101
Komersialisasi Pendidikan
Pertama, penelitian pesanan yang melibatkan Jurusan
Ilmu Komunikasi (JIK). JIK mengerjakan penelitian dengan
dana dari PT. Asian Agri. Penelitian itu sendiri merupakan
riset tentang pemberitaan yang dilakukan Majalah Tempo
dan Koran Tempo tentang penggelapan pajak senilai 1,3
triliun rupiah yang melibatkan Asian Agri. Kontroversi ini
bergerak liar karena banyak pihak menuding JIK sebagai
institusi akademik hanya membela koruptor tanpa melihat
kepentingan umum (Majalah Tempo, 6 Januari 2008).
Belakangan di tahun 2012, Mahkamah Agung (MA) memutus
Asian Agri bersalah atas penggelapan pajak tersebut.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Fakultas
Kehutanan (FKT) bekerjasama dengan PT. Jogja Magasa
Minning mengenai penambangan pasir besi di Kulon Progo.
Penelitian ini memicu konflik dengan petani Kulon Progo
yang merasa dirugikan. Ribuan petani ini bahkan sampai
melakukan aksi demonstrasi di halaman Grha Sabha
Pramana UGM (21 Juni 2008).
Dua contoh tersebut menjadi ilustrasi sederhana
dari gejala umum perselingkuhan antara kampus dengan
korporat-korporat yang menjadi donor atas penelitianpenelitian yang dilakukan. Heru Nugroho (2006:159)
menjelaskan bahwa perubahan status sebagai konsekuensi
otonomi kampus membuat perguruan tinggi jatuh ke
cengkeraman tangan rezim pasar. Kampus diuntungkan
dengan melimpahnya bisnis pendidikan dan penelitian
sehingga gagal memunculkan sikap kritis terhadap akar
persoalan yang muncul dari kebijakan pemerintah tersebut.
Berganti Wajah Menjadi BHP
Disahkannya Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menjadi UU No 20/2003 adalah penanda
utama corak pendidikan di Indonesia yang semakin
kapitalistik. Keberadaanya semakin menegaskan PT.
BHMN yang sebelumnya hanya berada di bawah payung
hukum berupa Peraturan Pemerintah, dengan peraturan
102
Komersialisasi Pendidikan
nasional. Dalam hal ini pendidikan dikelola dengan prinsip
1) Nirlaba, 2) Otonom, 3) Akuntabel, 4) Transparan,
5) Penjaminan mutu, 6) Layanan prima, 7) Akses yang
berkeadilan, 8) Keberagaman, 9) Keberlanjutan, dan 10)
Partisipasi atas tanggung jawab negara (Darmaningtyas,
2009:43-44). Bunga kata-kata yang berada dalam sekujur
tubuh BHP tidak dapat menutupi fakta bahwa kemunculan
RUU BHP membuat dunia pendidikan di Indonesia semakin
menyesatkan. Darmaningtyas (2005:162) menjelaskan
bahwa keberadaannya akan mengaburkan peran negara
dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, sedangkan
secara teknis menyulitkan masyarakat untuk mengakses
pendidikan yang diselenggarakan oleh negara.
Diskursus tentang RUU BHP ini pernah memuncak
sampai pada titik ekstrem antara mereka yang mendukung
dan menolaknya. Ardi Nuswantoro (2008:103) menyebut
bahwa diskursus ini berada dalam kerangka besar
pertarungan ideologi pendidikan. Dengan mengutip
William ONeil, Ardi mengatakan bahwa ideologi
pendidikan yang bertarung di Indonesia adalah ideologi
liberal dan konservatif. Ideologi liberal secara gamblang
terlihat pada posisi pemerintah. Ideologi ini memahami
bahwa tujuan pendidikan adalah menyiapkan tenaga kerja
yang memiliki kemampuan profesional dan praktis untuk
memenuhi kebutuhan pasar kerja. Pendidikan dianggap
sebagai subsistem dari ekonomi. Ideologi ini bisa dilihat
dalam alur penyusunan serangkaian regulasi mengenai
pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sementara
itu, berhadapan dengan ideologi liberal, adalah ideologi
konservatif yang diwakili oleh para penolak kebijakan ini
termasuk pers mahasiswa. Penganut ideologi ini meyakini
bahwa fungsi pendidikan adalah menjadi penjaga nilai
budaya dan moral. Karena itu mestinya pemerintah
memegang penuh tanggung jawab untuk membiayai proses
pendidikan dari level pendidikan dasar sampai pendidikan
tinggi.
Pertentangan ini mengemuka dalam pemberitaan
104
105
Komersialisasi Pendidikan
UU Sisdiknas akan memberikan pelayanan prima kepada
peserta didik sesuai otonomi. Namun justru tidak diurai
otonomi pengelolaan organisasi pendidikan semacam
apa yang diperlukan untuk merespon perkembangan
masyarakat yang ada. Tidak muncul raison detre BHP
yang substansial. Wajar jika kesan yang muncul kemudian
adalah konsep ini lahir dari pemikiran yang instan, tidak
mendalam, dan kejar setoran.
Meskipun muncul penolakan yang meluas dari
masyarakat, faktanya RUU BHP resmi disahkan menjadi
Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan. masa transisi perubahan status bagi Perguruan
Tinggi maupun BHMN berlanjut. Perlawanan dari segenap
elemen masyarakat juga tak kunjung surut. Mekanisme
judicial review diajukan ke MK oleh elemen masyarakat
sipil. Satu ikhtiar yang berhasil karena pada 30 Maret
2010 Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU BHP
sepenuhnya. Ini untuk pertama kali MK membatalkan
sebuah undang-undang seluruhnya melalui sebuah judicial
review. Sebelumnya, pembatalan keseluruhan materi
undang-undang selalu melalui satu legislative review.
Indikasi yang cukup jelas untuk memperlihatkan betapa
undang-undang BHP bertentangan dengan UUD 1945.
106
Komersialisasi Pendidikan,
Agenda Neoliberal?
Pengantar
Setiap wacana, tidak dapat dilepaskan dari praktik
penggunaan bahasa. Bahasa menjadi medan kekuasaan yang
memiliki tujuan untuk memengaruhi cara berpikir tertentu.
Bahasa menunjukkan perspektif individu dalam memaknai
sesuatu, menentukan nalar berpikir, termasuk juga struktur
kesadaran. Dari sana, kita bisa melihat relasi kuasa yang
saling berkelin dan untuk memperoleh penerimaan nalar
umum.
Strategi kekuasaan ini berlangsung melalui akumulasi
wacana dalam ilmu pengetahuan. Secara lugas filsuf-aktivis
asal Prancis, Michael Foucault, merumuskannya dalam
kalimat knowledge is power. Tidak ada pengetahuan yang
tidak memiliki efek kuasa, dan tidak ada kekuasaan tanpa
pengetahuan. Istilah wacana seperti yang diuraikan Foucault
harus dibedakan dari bahasa karena posisinya memang
tidak setara. Seperti diungkapkan Donny Gahral Ardian
(2011:142), wacana menerjemahkan realitas ke dalam
bahasa dan mengonstitusi cara kita dalam memandang
realitas.
Berita-berita yang dianalisis dalam penelitian ini
menunjukkan bagaimana wacana otonomi kampus itu
diletakkan. Pers mahasiswa menganggap otonomi sebagai
pintu masuk bagi komersialisasi pendidikan. Efek negatif
yang muncul dari komersialisasi pendidikan seperti
kenaikan biaya dan diskriminasi akses terhadap masyarakat
107
Komersialisasi Pendidikan
miskin adalah sedikit alasan yang membuat penolakan ini
berlangsung dengan masif.
Teks-teks berita pers mahasiswa dalam konteks ini,
bisa dipahami sebagai sebuah perlawanan wacana atas
narasi besar komersialisasi pendidikan yang dibalut dengan
istilah otonomi kampus. Perlawanan ini merupakan bentuk
perlawanan ideologis antara penganut ideologi konservatif
dengan liberal dalam dunia pendidikan. Penganut ideologi
konservatiftermasuk pers mahasiswameyakini bahwa
fungsi pendidikan adalah menjadi penjaga nilai budaya dan
moral. Karena itu negara tetap bertanggung jawab terutama
untuk membiayai pendidikan. Sebab, jika pendidikan
dijadikan komoditas dan hanya menyediakan tenaga kerja
bagi pasar, maka nilai-nilai budaya yang dikandung dalam
pendidikan akan menghilang. Dalam skala yang lebih besar
juga akan menghilangkan identitas kebangsaan.
Dengan landasan ideologis yang jelas, pers mahasiswa
menggunakan berbagai cara untuk memenangkan pertarungan wacana tersebut. Termasuk menabrak ramburambu jurnalistik dalam berita yang idealnya menunjukkan
objektivitas informasi. Narasi berita pers mahasiswa
menggunakan logika diametral di mana ada dua pihak yang
dipertentangkan secara vis a vis sesuai dengan ideologi
liberal dan konservatif. Pemerintah, bersama subsistemnya
sampai di level birokrasi perguruan tinggi, diletakkan
sebagai penganut ideologi liberal. Pers mahasiswa
menganggap mereka sebagai aktor yang bersalah telah
mengeluarkan kebijakan otonomi kampus. Tuduhan tersebut bahkan ditarik lebih jauh dengan mengatakan bahwa
kebijakan pendidikan ini merupakan agenda neoliberal
yang mesti diwaspadai. Jika tidak, perguruan tinggi akan
menjadi ladang baru kapitalisme. Sementara dalam sisi
yang berhadapan, adalah sosok mahasiswa dan rakyat yang
dirugikan karena kebijakan ini diskriminatif terutama bagi
mereka yang berada pada golongan ekonomi menengah ke
bawah.
Analisis terhadap berita-berita yang dibingkai dalam
108
Pers
Mahasiswa
Balairung
Catatan Kaki
Suara USU
Edisi
Judul
16/Rabu 5
September 2001
58/Jumat 19
Desember 2003
Selamat Datang di
Kampus UGM Inc.
BHMN, Agenda
Tersembunyi di Balik
Status yang Tidak Jelas
Ketika Ruang-ruang
Akademik Mulai
Terinfeksi Iklan
Sistem Kemitraan :
Sumber Dana Terbaru
Unhas
Unhas Ladang Baru
Kapitalisme
Kembali, SPP Unhas Naik
69/Senin 13
Desember 2004
10/Thn VIII/Agustus
2002
12/Thn VIII/
November 2002
III/Thn IX/
September 2003
22/September 2000
34/XVI/Oktober
2002
41/Mei 2004
Pembangunan Salah
Sasaran
Komersialisasi Pendidikan
Hanya berita tentang efek pendanaan yang semakin mahal
saja yang diambil dalam penelitian ini. Sementara beritaberita yang meliput efek lanjutan dari kebijakan perubahan
status, seperti persoalan organisasi mahasiswa dan sistem
akademik, tidak dimasukkan dalam objek penelitian.
1. Tematik: Narasi Besar Perlawanan
Dengan menunjuk pada gagasan umum dari suatu teks,
elemen tematik merupakan informasi utama yang
memiliki peran penting dalam membentuk makna
tertentu atas teks tersebut. Karena itu elemen ini juga
disebut sebagai topik karena sifatnya yang sentral
dan merupakan inti utama dari sebuah teks. Van Dijk
mengatakan bahwa topik ini dipengaruhi oleh struktur
kesadaran wartawan atau penulis. Bahkan secara spesifik
ia jelaskan bahwa topik merupakan cerminan atau refleksi
dari sikap mental atau kognisi. Elemen ini adalah struktur
makro dari sebuah wacana. Dari sini kita bisa mengetahui
sikap dan tindakan yang diambil komunikatordalam
konteks ini misalnya wartawandalam melihat sebuah
permasalahan. Misalnya, dalam sebuah berita, elemen ini
dapat dilihat dari berita penolakan maupun dukungan
terhadap kebijakan pemerintah. Topik ini nanti akan
didukung oleh subtopik-subtopik yang lain.
Sembilan berita dalam penelitian ini mewakili dua
narasi besar yang coba dibangun oleh pers mahasiswa
dalam kerangka perlawanan terhadap komersialisasi
pendidikan. Pertama, gugatan terhadap landasan
konseptual-filosofis yang mendasari munculnya kebijakan
BHMN. Kedua, kritik terhadap praktik implementasi
kebijakan yang dilakukan oleh masing-masing kampus.
Dalam narasi yang pertama, PP No. 61 Tahun 1999 yang
menjadi dasar awal bagi perubahan status menjadi
BHMN dianggap sebagai peraturan yang menunjukkan
keberpihakan pemerintah kepada kepentingan asing.
Dan dengan demikian secara diametral diartikan bahwa
pemerintah tidak berpihak kepada rakyat Indonesia.
Mengenai gugatan ini bisa kita lihat dalam teks berikut:
110
Dalam teks berita tersebut, Catatan Kaki memberitakan tentang kondisi Unhas saat ini yang sudah
mengarah kepada swastanisasi kampus. Swastanisasi
kampus disinyalir selain sebagai konsekuensi perubahan
status yang dicanangkan pemerintah juga karena
Unhas dianggap ingin menaikkan gengsi agar sama
dengan universitas-universitas di Pulau Jawa. Indikasi
111
Komersialisasi Pendidikan
swastanisasi ini setidaknya bisa dilihat dari kenaikan
biaya kuliah dan semakin banyaknya jalur masuk Unhas
yang berbasis swadaya. Meskipun istilah swastanisasi ini
ditolak oleh pejabat di kampus Unhas, tetapi kenaikan
biaya pendidikan tidak dapat dipungkiri merupakan
akibat dari pemerintah yang lepas tangan dengan
mencabut subsidi pendidikan. Kritik atas pelepasan
tanggung jawab ini juga diajukan oleh Suara USU
yang menyatakan bahwa pemerintah Indonesia lebih
memberikan prioritas pada pembangunan ekonomi alihalih pada penciptaan manusia-manusia yang unggul. Bisa
kita lihat dalam teks berikut:
Sesunggguhnya konsep BHMN diharapkan sebagai solusi
112
Komersialisasi Pendidikan
dari perubahan status menjadi BHMN pasca keluarnya PP
153 Tahun 2000 tentang pemberlakuan otonomi kampus,
makin banyak hal yang mesti dicermati mahasiswa.
Otonomi membuat universitas bisa melakukan berbagai
kegiatan usaha, baik usaha untuk mengisi kocek maupun
meningkatkan kualitas. Untuk mengail rupiah, UGM
bahkan tak segan membuka banyak program diploma
dan ekstensi. Balairung menulis bahwa UGM membuka
berbagai program yang tidak jelas dan melegitimasinya
dengan keberadaan BHMN. Catatan Kaki mengajukan
kritik yang sama berikut:
Mengingat kenaikan SPP yang nyaris tiap tahun ternyata
tidak membawa perubahan yang berarti terhadap
kondisi sarana dan prasarana di Unhas. Misalnya kondisi
laboratorium yang kian mengkhawatirkan tiap tahunnya.
Mahasiswa yang seharusnya melakukan praktikum hanya
bisa pasrah menyaksikan demonstrasi yang dilakukan
dosen ataupun asisten karena bahan dan alat praktikum
yang tidak cukup.
(Catatan Kaki, Edisi III Tahun IX September 2003)
Sedangkan Suara USU memotret banyaknya pembangunan di fakultas-fakultas di USU yang salah sasaran.
Pembangunan lebih diarahkan untuk memoles gedunggedung daripada untuk memenuhi kebutuhan fasilitas
yang mendukung Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).
Selain itu, terdapat perbedaan sarana dan prasarana
penunjang KBM yang sangat mencolok antara fakultas
satu dengan fakultas lain.
Di beberapa laboratorium yang ada pada setiap
fakultas jarang sekali terlihat barang-barang atau alatalat yang baru, hampir semua peralatan lama dengan
kondisi yang sebenarnya kurang layak untuk digunakan.
Ini berbanding terbalik dengan gedung yang semakin
diperindah dan direnovasi. Ironisnya, permasalahan ini
bukanlah permasalahan baru yang mungkin saja luput
dari perhatian para pemimpin fakultas tetapi merupakan
permasalahan klasik yang hampir setiap tahunnya
114
2. Skematik
Berita-berita dalam penelitian ini memiliki variasi
panjang antara satu sampai dua halaman. Balairung
memberikan ruang pendek dalam satu halaman
sementara Suara USU mengalokasikan ruang yang paling
panjang dalam dua halaman. Meskipun demikian, ada
skema identik yang muncul dalam pemberitaan. Beritaberita tersebut setidaknya memiliki tiga struktur pokok
yang terbagi dalam teras berita, tubuh berita, dan
penutup berita.
115
Komersialisasi Pendidikan
Pertama, dalam teras berita menunjukkan idealisasi
atas kebijakan pendidikan yang membebaskan dan
berpihak kepada masyarakat. Pada titik ini pendidikan
yang dianggap membebaskan merujuk pada Ki Hajar
Dewantara, bapak pendidikan nasional. Seperti yang
ditegaskan Ki Hajar, kemerdekaan bersifat tiga macam:
berdiri sendiri (zelfstandig), tidak tergantung orang
lain (onafhankelijk), serta dapat mengatur diri sendiri
(vrijheid, zelfbeschikking). Pesan bapak pendidikan
nasional ini sebenarnya sederhana.
Ketika masyarakat mampu berpikir mandiri serta
mendidik dirinya sendiri, bangsa ini akan menjadi
bangsa yang bermartabat dan lepas dari belenggu
penindasan bangsa lain. Pendidikan adalah upaya
untuk menumbuhkan kemandirian tersebut. Artinya,
pendidikan tidak boleh memisahkan antara teori di kelas
dengan praksis di lapangan. Praksis pendidikan harus
berbasis realitas sosial. Dengan demikian harapan untuk
melahirkan manusia-manusia merdeka bisa tercapai.
Untuk itu, pemerintah mesti memegang tanggung
jawab penuh untuk membiayai pendidikan sehingga
masyarakat bisa mengakses pendidikan tanpa adanya
diskriminasi ekonomi. Sebab, jika dilepaskan ke dalam
cengkeraman rezim pasar, hanya golongan tertentu saja
yang mampu mengaksesnya. Dengan tanggung jawab
ini, setiap warga memiliki kesempatan yang sama untuk
bisa sampai pendidikan tinggi. Persis seperti bunyi
Pasal 31 ayat 1 UUD 1945: Setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan.
Struktur kedua yaitu tubuh berita mengelaborasi
problematisasi antara idealitas dengan realitas yang
muncul sebagai konsekuensi kebijakan perubahan status
Perguruan Tinggi menjadi BHMN. Setelah mendeskripsikan bagaimana pendidikan yang ideal selanjutnya,
struktur yang muncul dalam teks kemudian beralih
ke fakta-fakta atau realitas yang jauh dari idealitas
tersebut. Serpihan fakta yang meresahkan tersebut
116
3. Semantik
Semantik berada pada level mikro dalam struktur wacana.
Apa yang dimaksud oleh van Dijk mengenai semantik di
sini adalah tentang adanya makna lokal (local meaning)
yang dimiliki sebuah teks. Makna lokal ini dibentuk dari
hubungan antar kalimat yang pada tahap selanjutnya
akan membangun makna tertentu secara utuh.
117
Komersialisasi Pendidikan
Ada beberapa elemen semantik yang menyusun
bangunan makna itu dengan utuh yaitu latar, detail,
ilustrasi, maksud, pengandaian, dan penalaran. Elemenelemen ini secara bersama-sama akan mendefinisikan
bagian mana yang penting dalam sebuah wacana. Selain
itudan ini yang terpentingstrategi semantik ini bertujuan untuk menggiring wacana ke arah tertentu sesuai
yang diinginkan. Bagian berikut akan menguraikan tentang makna yang dikonstruksi oleh pers mahasiswa.
a. Latar
Latar adalah elemen semantik yang berperan penting
dalam bangunan logika yang disusun dalam satu berita
tertentu. Pola pikir yang ingin dibentuk bisa dilihat
dari sini. Perubahan status menjadi BHMN dianggap
sebagai konsekuensi tak terhindarkan sebagai efek
globalisasi dan harapan untuk dapat meningkatkan
kualitas mutu pendidikan tinggi. Ini misalnya bisa kita
lihat dalam teks berikut:
118
119
Komersialisasi Pendidikan
peraturan dari pemerintah yang mengamanatkan
perubahan status:
120
121
Komersialisasi Pendidikan
Alhasil, dana pendidikan pun terbatas. Ini menjadi
buah simalakama bagi sebuah institusi pendidikan,
khususnya Perguruan Tinggi.
(Suara USU edisi 34/XVI/Oktober 2002)
d. Maksud
Elemen maksud hampir serupa dengan detail. Ia
menunjukkan bagaimana sebuah pesan dikonstruksi
dengan banyak data serta ditunjukkan dengan eksplisit
dan tegas. Dalam berita-berita tentang komersialisasi
pendidikan, pers mahasiswa menunjukkan bahwa cara
untuk menutupi minimnya subsidi pendidikan dari
pemerintah adalah dengan cara memperbanyak jumlah
kuota mahasiswa baru yang masuk dan meningkatkan
jumlah biaya kuliah yang harus dibayarkan oleh
mahasiswa. Ini misalnya bisa kita lihat dalam dua teks
berikut:
Berdasarkan laporan dari PR II diketahui bahwa
anggaran pendidikan selama ini belum bisa menutupi
biaya pendidikan Unhas, oleh karena itu diharapkan
biaya penyelenggaraan pendidikan utamanya sarana
dan prasarana dapat tertutupi oleh kenaikan SPP tahun
ini, ungkapnya.
(Catatan Kaki III/Thn IX/September 2003)
122
e. Pengandaian
Pengandaian menjadi salah satu cara untuk mendukung bangunan argumen tertentu. Ia menjadi bentuk
dukungan terhadap data-data yang sudah dijelaskan di
latar maupun detail. Dengan pengandaian, diharapkan
khalayak bisa memahami dengan lebih ringkas karena
kalimat pengandaian ini mengasosiasikan makna
kepada hal-hal yang mudah dipahami tanpa harus
ditanyakan lagi. Perhatikan ke dalam frasa yang diberi
cetak tebal dalam dua teks berikut:
123
Komersialisasi Pendidikan
Dekan Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Syawal Saloko
saja misalnya mengatakan bahwa dunia pendidikan
ke depannya bagaikan sebuah pasar, di mana hanya
orang-orang berduit yang bisa memasukinya.
(Catatan Kaki 12/Thn VIII/November 2002)
124
4. Sintaksis
Elemen ini menjelaskan strategi penggunaan kalimat (sintaksis) untuk menampilkan wacana yang
diinginkan. Strategi ini berjalan dalam pemilihan diksi,
penggunaan kata ganti, aturan tata kata, pemakaian
kalimat aktif atau pasif, pelekatan anak kalimat,
dan sebagainya. Jika dikerucutkan, strategi sintaksis
berlangsung dalam pemakaian koherensi, nominalisasi,
abstraksi, bentuk kalimat, kata ganti. Karena berada
pada level mikro, strategi ini memang berlaku untuk
melakukan bentuk-bentuk manipulasi bahasa. Manipulasi bahasa dilakukan untuk menempatkan salah
125
Komersialisasi Pendidikan
satu pihak dalam citra yang positif, sementara pihak
lain dalam pihak yang negatif.
a. Koherensi
Koherensi Sebab Akibat. Koherensi adalah penghubungan antar kata, proposisi, atau kalimat. Dengan
penghubungan, dua fakta yang sebenarnya tidak saling
berhubungan bisa berhubungan. Secara sederhana,
koherensi melihat apakah sebuah fakta dipandang
memiliki relasi dengan fakta lain atau tidak. Ini penting
untuk membentuk kerangka argumen dalam rangka
memengaruhi khalayak. Hubungan ini bisa diketahui
dengan melihat penggunaan kata hubung terhadap dua
kalimat atau proposisi. Teks di bawah menunjukkan
koherensi sebab akibat:
126
127
Komersialisasi Pendidikan
perusahaan tertentu, kelompok, atau yang lainnya. Pun
dengan kebijakan-kebijakan global seperti dimaksud
Catatan Kaki. Kita tidak tahu apakah kebijakan global
ini seperti kebijakan PBB, atau hanya kebijakan dua
orang lintas negara yang juga bisa disebut sebagai
kebijakan global. Yang pasti, asing diletakkan sebagai
pihak yang paling bersalah dalam silang sengkarut
pendidikan di Indonesia ini.
c. Abstraksi
Abstraksi berkaitan dengan apakah komunikator
memandang objek sebagai sesuatu yang tunggal
ataukah sebagai suatu kelompok. Hal ini misalnya bisa
dilihat dalam teks:
128
e. Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat berkaitan dengan cara berpikir logis.
129
Komersialisasi Pendidikan
Bentuk ini menjelaskan prinsip kausalitas yaitu
bagaimana sesuatu dijelaskan oleh sesuatu yang
lain. Logika ini kemudian kalau diterjemahkan dalam
bahasa kemudian menjadi susunan Subjek yang
menerangkan, dan Predikat yang diterangkan. Susunan
kalimat aktif atau pasif dan bagaimana subjek atau
objek ditempatkan akan memengaruhi makna yang
dimunculkan kemudian. Misalnya bisa kita lihat dalam
teks berikut:
130
5. Stilistik
Dalam sebuah paragraf, kalimat bisa memiliki makna
lokal sendiri. Jika diturunkan lagi, kata yang menjadi
unsur pembentuk kalimat akan menentukan makna lokal
tersebut. Dengan demikian, kata juga memiliki makna
lokal tersendiri. Pemilihan kata-kata yang dipakai akan
menunjukkan sikap dan ideologi yang dimiliki. Ada dua
unsur stilistik yang bisa dilihat dari sebuah teks berita
yaitu kata kunci dan pemilihan kata.
a. Kata Kunci
Elemen ini berhubungan dengan kata-kata yang sering
digunakan oleh komunikator dalam mengungkapkan
gagasannya. Kata kunci ini merupakan semacam
ideologi yang diyakini komunikator. Dengan kata
kunci, komunikator membentuk imaji khalayak agar
sesuai dengan orientasi, isi, dan tujuannya. Balairung
(edisi 58/Jumat 19 Desember 2003) menggunakan
istilah agenda tersembunyi neoliberal untuk
menjelaskan bahwa dalam BHMN terdapat kerancuan
dari sisi konseptual maupun pada praktiknya.
Catatan Kaki (edisi 12/Thn VIII/November 2002)
menggunakan istilah swastanisasi kampus untuk
menyebut kebijakan-kebijakan komersial yang dilakukan oleh Unhas dalam masa transisi perubahan status.
Sedangkan Suara USU (edisi 34/XVI/Oktober 2002)
memilih kata kapitalisme pendidikan untuk
menyebut perubahan status USU menjadi BHMN akan
semakin mendiskriminasi rakyat miskin.
b. Pemilihan Kata
Pemilihan kata berkaitan dengan maksud dan tujuan
informasi yang disampaikan. Dengan pemilihan kata
atau diksi tertentu, maksud dari penulis berita bisa
terlihat. Dalam produksi sebuah teks, wartawan atau
131
Komersialisasi Pendidikan
penulis memilih satu kata dan tidak menggunakan
padanan kata yang lain. Cara pemilihan kata juga
melingkupi kalimat yang dikutip dari orang yang
dijadikan narasumber berita. Narasumber dalam berita
ini yang menolak kebijakan BHMN menilai ada agenda
asing yang bermain. Konsekuensi pemakaian istilah
ini adalah kesan bahwa intervensi asing atau agenda
neoliberal akan membuat kebijakan pendidikan di
Indonesia menjadi diskriminatif.
6. Retoris
Strategi pada elemen ini adalah gaya bahasa yang
diungkapkan dalam proses komunikasi yang dilakukan.
Dalam teks misalnya, gaya bahasa yang digunakan
bisa berupa hiperbolik dengan pemakaian kata yang
berlebihan, atau yang langsung (straight to the point)
132
133
Komersialisasi Pendidikan
untuk warga miskin mengecil. Hal ini ditunjukkan
dengan mengajukan pertanyaan yang sederhana
namun mengajak khalayak untuk berpikir reflektif: ke
mana orang miskin harus kuliah jika Perguruan Tinggi
hanya menjadi tempat belajar orang-orang kaya?
Simak teks berikut.
b. Interaksi
Interaksi merupakan elemen yang berhubungan dengan
bagaimana komunikator ingin mencitrakan dirinya
sendiri. Citra ini dibentuk dengan cara menautkan
emosi dengan khalayak. Pertautan emosi dengan
khalayak menjadi penting sebagai bentuk persuasi.
Tujuannya tentu agar khalayak bisa menempatkan diri
pada posisi yang sama dengan komunikator.
Pada teks berikut, Catatan Kaki mengutip seorang
mahasiswa yang kecewa dengan biaya pendidikan
di Unhas yang mahal dan memberatkan. Kondisi ini
berbeda jauh bila dibandingkan bayangan awal yang ia
kira murah dengan fasilitas yang lengkap. Dan ia sampai
pada kesimpulan bahwa Unhas saat ini sudah menjadi
universitas negeri namun dengan rasa swasta.
134
Kognisi Sosial
Kognisi sosial merupakan dimensi wacana yang melihat
bagaimana seorang individu atau kelompok melakukan
produksi atas sebuah teks. Seperti dituturkan van Dijk,
kelahiran sebuah teks sangat dipengaruhi oleh struktur
mental seorang wartawan. Kognisi sosial menjelaskan
bagaimana struktur mental wartawan melakukan penafsiran
dan pemaknaan atas isu tertentu yang berimplikasi pada
penulisan teks berita.
Van Dijk dalam News as Discourse (1988) mengatakan
bahwa analisis kognisi sosial dalam kajian media memang
sangat jarang karena sifatnya yang lokal, spesifik, dan
psikologis. Pembacaan kognisi sosial dalam penelitian ini
tidak akan melihat struktur mental wartawan satu per
satu. Namun, pembacaan berikut akan memberikan satu
sketsa kecenderungan wartawan pers mahasiswa dalam
memandang pers mahasiswa dan posisi ideologisnya
terhadap otonomi kampus maupun komersialisasi
pendidikan.
Ada dua gagasan besar yang menjadi ekstraksi atas
berbagai ide pegiat pers mahasiswa dalam melakukan
penulisan berita terkait komersialisasi pendidikan.
Pertama, dengan menyandang nama pers sekaligus
135
Komersialisasi Pendidikan
mahasiswa, keberpihakan pers mahasiswa harus jelas
dengan memegang teguh prinsip-prinsip jurnalistik. Berita
tetap harus lebih mendahulukan fakta-fakta daripada
opini wartawan. Sebab jika hanya banyak berupa opini,
yang terjadi kemudian adalah pers mahasiswa hanya
menjadi pers propaganda yang tidak bisa objektif dalam
memberitakan sebuah peristiwa. Gagasan semacam ini
bisa kita lihat dalam pendapat Pratama (2012, wawancara
pribadi), Fitria Nurhayati (2012, wawancara pribadi) dan
Wan Ulfa Nur Zuhra (2012, wawancara pribadi). Wan Ulfa
misalnya, secara tegas mengatakan bahwa:
137
Komersialisasi Pendidikan
mengirimkan perwakilan anggotanya untuk melakukan
survei ke UI, ITB, dan IPB agar bisa mendapatkan pemahaman
yang komprehensif mengenai otonomi kampus. Dalam
majalah Suluh Edisi 5/Th I/1999, Dewan Mahasiswa UGM
mengangkat tema Awas Otonomi Kampus Versi Rektorat,
Membawa Kita ke Tiang Gantungan.
Penolakan ini seperti diungkapkan Luqman Hakim Arifin
(1999:10), dilandasi alasan bahwa otonomi kampus adalah
bentuk akal-akalan negara untuk melepaskan tanggung
jawabnya atas pendidikan yang murah dan merata untuk
rakyat. Akal-akalan ini ditunjukkan dengan pengurangan
subsidi negara dari 65% menjadi 35%. Luqman juga
menjelaskan bahwa dengan dikuranginya subsidi negara,
sisa biaya pendidikan dibebankan kepada masing-masing
perguruan tinggi. Kampus dapat menambal kekurangannya
dengan tiga cara. Pertama, menaikkan SPP, jumlah pastinya
belum jelas. Kedua, mencari dana ke pemodal asing atau
institusi swasta. Ketiga, mendirikan unit-unit usaha, seperti
pom bensin, supermarket, wartel, dan lain-lain. Dengan
pemahaman demikian, reaksi penolakan juga meluas dan
tidak hanya dilakukan oleh organisasi intra kampus saja.
Reaksi penolakan lain ditunjukkan oleh Komite
Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP) yang merupakan wadah organisasi mahasiswa ekstrakampus. KPRP
menolak otonomi kampus yang digulirkan pemerintah
karena kebijakan ini tidak melibatkan mahasiswa dalam
perumusan kebijakannya. Disinyalir bahkan kebijakan
ini hanya akan menempatkan mahasiswa sebagai objek
pendidikan. Karena hanya menjadi objek, mahasiswa tidak
bisa bersikap kritis dan hanya akan menjadi individualisindividualis yang terlepas dari fungsi sosialnya.
Berbagai elemen yang setidaknya terdiri dari 28
organisasi mahasiswa ini kemudian bergabung dan
membentuk Komite Aksi Pendidikan Kerakyatan (Komite
Apik). Mereka menyatakan menolak otonomi kampus dan
menyebarkan penolakan ini kepada mahasiswa melalui
beragam metode. Seperti melalui poster, selebaran, siaran
138
Komersialisasi Pendidikan
Darmaningtyas, seringkali berakhir dengan kericuhan dan
bentrokan dengan aparat kepolisian. Tak jarang mahasiswa
yang ditangkap oleh polisi setelah melakukan aksi
demonstrasi ini.
Menurut I Ngurah Suryawan dalam Catatan Kaki
(2002:9), radikalisasi penolakan mahasiswa ini berlangsung
cepat karena kesadaran kritis mahasiswa telah tumbuh.
Kesadaran yang mewujud dalam pembentukan komunitaskomunitas yang merupakan transformasi warisan
perlawanan dari senior-senior angkatan sebelumnya.
Kesadaran kritis dalam melakukan proses pembebasan
dan mengkritisi segala bentuk doktrinasi dan pembodohan
untuk melawan kekuasaan pendidikan. Aksi demonstrasi
dan penolakan yang dilakukan oleh mahasiswa ini juga
berakar dari kekhawatiran bahwa otonomi kampus hanya
akan mencabut mahasiswa dari realitas sosialnya.
Di USU Medan, wacana tentang otonomi kampus ini
hanya terdengar samar-samar. Tidak banyak mahasiswa
yang mengetahui isu ini karena sosialisasi dari pihak
yang berwenang sangat minim. BHMN hanya menjadi isu
di tingkat elite. Suara USU edisi Oktober 2002, misalnya,
memberitakan bahwa tidak hanya mahasiswa, dosen pun
masih tergagap menanggapi isu otonomi kampus ini.
Danan Djaja dalam Suara USU (2002:7) menjelaskan
bahwa sosialisasi BHMN kepada mahasiswa belum
maksimal. Padahal, suasana PT BHMN nanti akan mengubah
sistem yang selama ini telah mapan. Karena sosialisasi tidak
jelas ditambah dengan informasi yang hanya beredar di level
pimpinan universitas, terjadi disinformasi yang berujung
ketidaktahuan terhadap konsep otonomi kampus ini. Tentu
wajar jika ketidaktahuan akan konsep otonomi kampus dan
BHMN ini melahirkan kegalauan.
Kompas edisi 30 Oktober 2002 mencatat kegalauan
yang dirasakan oleh staf administrasi maupun dosen. Isu
yang beredar menjelaskan bahwa staf administrasi dan
dan dosen akan berubah menjadi pegawai universitas.
Konsekuensinya, status kontrak akan berdasarkan perjanji140
Komersialisasi Pendidikan
menolak otonomi kampus ini juga melakukan sosialisasi
kepada mahasiswa lainnya. Hal ini dilakukan baik dengan
cara demonstrasi, tempel poster, dan bagi-bagi selebaran.
142
Epilog
Komersialisasi Pendidikan
otonomi kampus ini. Pertama, mengadakan pewacanaan
secara meluas. Kedua, membangun pusat pengaduan
masyarakat yang merasa dirugikan terkait dengan kebijakan
ini. Ketiga melakukan pembangkangan sipil dengan
demonstrasi maupun aksi lainnya. Dan langkah keempat
yang dilakukan oleh masyarakat adalah mengajukan judicial
review ke Mahkamah Konstitusi.
Langkah terakhir ini penting untuk menguji apakah
kebijakan ini bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pers mahasiswa
memosisikan diri menolak otonomi kampus karena
menganggap kebijakan ini diskriminatif. Dari tiga pers
mahasiswa yang menjadi objek penelitian ini yaitu
Balairung, Catatan Kaki, dan Suara USU, masing-masing
memberikan respon penolakan terhadap otonomi kampus
dengan cara yang berbeda-beda. Serupa tapi tak sama.
Pertama, Balairung menempatkan wacana otonomi
kampus dalam konteks yang negatif. Artinya, otonomi
kampus dianggap menjadi sumber masalah dari berbagai
persoalan yang muncul di kampus. Persoalan-persoalan
ini seperti kenaikan biaya pendidikan, penetrasi iklan ke
dalam lingkungan kampus, dan problem akademik lainnya.
Dari analisis teks terlihat bagaimana Balairung menolak
konsep otonomi kampus. Ini ditunjukkan dalam data-data
yang muncul pada berita. Narasumber-narasumber yang
bersikap kontra terhadap otonomi kampus mendapatkan
ruang yang lebih luas. Percampuran fakta dan opini dalam
berita juga menunjukkan keberpihakan pemberitaan
Balairung. Kecendurungan memandang otonomi kampus
secara negatif ini bisa dipahami ketika beranjak melihat
hasil analisis dari dimensi kognisi sosial dan konteks sosial.
Wartawan Balairung yang menulis berita memiliki sikap
menolak otonomi kampus bahkan terlibat secara langsung
dalam aksi-aksi perlawanan terhadap otonomi kampus.
Sementara wacana penolakan mengenai otonomi kampus
ini juga marak dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa UGM
saat itu.
144
Komersialisasi Pendidikan
Elemen Wacana
Tematik
Skematik
Semantik:
Latar
Detail
Ilustrasi
Maksud
Pengandaian
Penalaran
Sintaksis :
146
Teks
Menggugat landasan konseptual-filosofis
yang mendasari munculnya kebijakan
BHMN
Teras berita, tubuh berita, dan penutup
berita
Abstraksi
Bentuk Kalimat
Kata Ganti
Stilistik :
Kata Kunci
Retoris :
Gaya
Interaksi
Komersialisasi Pendidikan
menjadi demikian penting karena kemudian segenap elemen
yang ada di dalam kampus seperti dosen dan mahasiswa
banyak yang bersuara lantang dan berperan serta dalam
barisan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Meski
demikian, kebebalan pemerintah seolah ingin mengabaikan
reaksi penolakan yang meluas tersebut.
Pemerintah terus mengeluarkan serangkaian kebijakan
yang melegitimasi diskriminasi akses terhadap masyarakat
kecil. Tahun 2009, pemerintah resmi mensahkan RUU BHP
menjadi Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan
Hukum Pendidikan. BHP merupakan amanat dari UU
Sisdiknas. Disahkannya BHP yang menegaskan kehadiran
BHMN sebelumnya menjadi bukti nyata komersialisasi
pendidikan semakin menancapkan cengkeramannya di
Indonesia. Bahkan, putusan MK yang membatalkan UU
BHP pun tidak menjadi penanda akhir. Rancangan UndangUndang Pendidikan Tinggi yang sampai buku ini ditulis
masih berada dalam tahap pembahasan pun menunjukkan
napas liberalisasi dan komersialisasi pendidikan yang
kental. Jalan perjuangan pers mahasiswa dan masyarakat
Indonesia untuk memperjuangkan pendidikan yang adil
dan terjangkau bagi rakyat masih panjang dan berliku.
148
Daftar Pustaka
149
Komersialisasi Pendidikan
Azizah, Nur. Rumah Cahaya Bernama Pers Mahasiswa
Suara USU dalam Asdianysah, Juwendra. 2009.
Kumpulan Profil Pers Mahasiswa Indonesia.
Lampung: UKPM Teknokra
Azca, Najib (ed). 2011. Pemuda Pasca Orde Baru. Yogyakarta:
Yousure
151
Komersialisasi Pendidikan
Nonoputra, Satria.2009. Satu Lilin Kecil dalam Asdiansyah,
Juwendra (ed). Kumpulan Profil Pers Mahasiswa
Indonesia. Lampung:UKPM Teknokra
Intelektualitas.
Komersialisasi Pendidikan
Jurnal, Skripsi, Makalah
Bachtiar, Hasan. 2000. Pers Mahasiswa Pasca 21 Mei 1998:
Menuntaskan Romantisme Sejarah Makalah
disampaikan dalam Sarasehan Nasional Pers
Mahasiswa yang diadakan Direktorat Pendidikan
Tinggi, 18-19 September 2000
Bachtiar, Hasan. 2001. Bekerja dengan Detail, Mengapa
Jurnal Balairung? Dalam Jurnal Balairung, Nomor
34/XVI
154
Wahyuni, Hermin Indah. 2000. Relasi Media-NegaraMasyarakat dan Pasar dalam Era Reformasi
dalam Jurnal Sospol UGM Volume 4/Nomor 2/
November
Majalah dan Surat Kabar
155
Komersialisasi Pendidikan
Suprihanto, Agung. 1988. Kronologi Menuju Kongres: Sebuah
Kesaksian dalam Majalah Balairung No. 9/Tahun
II
157
Komersialisasi Pendidikan
Suardi, Sulviyani.2001. Catatan Kaki Diadukan ke
Polisi terarsip dalam http://groups.yahoo.com/group/
kampusonline/message/1093 diakses 18 Juni 2012
159
Tentang Penulis
161
www.bukuindie.com
facebook.com/inibukuku
twitter: @indiebookcorner