PENDAHULUAN
1.1. Larat belakang
Provinsi Riau memiliki hasil hutan yang cukup besar, salah
diantaranya adalah
satu
bahan baku kayu lapis, pulp dan kertas. Dengan adanya sumber daya hasil hutan yang
memadai akan mendukung pula berkembangnya industri-industri penggergajian kayu
(kusen) di Riau. Namun, hasil samping dari pengolahan indutri tersebut dapat
menimbulkan limbah berupa serbuk gergaji. Dengan semakin meningkatnya
industri sawmill yang ada di Riau akan meningkatkan pula limbah serbuk gergaji yang
dihasilkan industri tersebut. Produksi total limbah sawmill di Riau adalah sekitar
900.000 m/tahun dengan asumsi bahwa 15% dari keseluruhan total limbah tersebut
adalah berupa serbuk gergaji (Tim Pemberantasan Ilegal Logging Riau, 2006)
Selama ini, penanganan limbah industri penggergajian dilakukan dengan
cara ditumpuk, dibuang ke aliran sungai serta dibakar. Tentu saja hal ini mempunyai
dampak negatif berupa pencemaran terhadap lingkungan. Untuk itu diperlukan
adanya suatu pengolahan lanjut dengan teknologi aplikatif sehingga menghasilkan
produk yang memiliki nilai tambah, dengan memanfaatkan serbuk gergajian
menjadi wood pallet.
Masyarakat kalangan menengah ke bawah, saat ini dihadapkan pada
permasalahan kebutuhan energi khususnya kalangan masyarakat dan rumah tangga.
Selama ini, energi yang digunakan oleh masyarakat berasal dari minyak bumi, gas,
yang harganya semakin meningkat dan kadangkala susah ditemukan (persediaan
terkadang langka dengan harga yang mahal). Untuk itu perlu dilakukan penelitian
pemanfaatan serbuk gergajian (kusen) menjadi Wood Pellet sebagai bahan alternatif
energi bagi masyarakat.
Wood pellet merupakan produk yang saat ini sedang dikembangkan sebagai
sumber energi alternatif. Produk ini diperoleh dengan memadatkan serbuk kayu
menjadi batangan atau pellet. Dengan melihat manfaat wood pellet produk ini dapat
digunakan sebagai pengganti energi atau bahan bakar oleh masyarakat yang
diharapkan dapat menekan pengeluaran masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
ebergi.
Wood pellet adalah partikel kayu yang dipadatkan yang digunakan sebagai
bahan bakar (Jones, et. al., 2012). Wood pellet merupakan hasil pengempaan
biomasa yang memiliki tekanan yang lebih besar dibandingkan briket (Hendra,
2012). Wood pellet sudah umum digunakan di beberapa daerah di suatu Negara, di
beberapa tempat semakin popular seiring dengan mahalnya sumber energi primer
serta tuntutan terhadap mitigasi perubahan iklim (Jones, et. al., 2012).
Wood pellet adalah bentukan utama dari limbah kayu, meliputi : serbuk
gergaji, shavings, wood chips, yang dihasilkan dari pembagian batang, furniture dan
hasil hutan lainnya. Proses pembuatan pellet kayu terdiri atas beberapa langkah :
bahan baku, penyaringan (screening), penggerusan (grinding), pengeringan (drying),
pembuatan butiran (pelletizing), pendinginan (cooling), penyaringan kembali
(screening), dan pengepakan (packaging). (Roos and Brackley, 2012).
Penelitian produksi pellet kayu di Badan Litbang Kehutanan telah berhasil
membuat mesin pelet kayu dengan kapasitas 2,67 kg/jam dengan spesifikasi diameter
lubang 15 mm dan panjang lubang 110 mm. Pelet kayu yang terbaik dihasilkan dari
serbuk gergajian kayu jati dengan ukuran serbuk 80 mesh pada suhu kempa 250 oC
yang menghasilkan kerapatan 0,82 g/cm, keteguhan tekan sebesar 387,64 kg/cm,
nilai kalor bakar sebesar 4961,51 kal/g, kadar abu 0,93% dan kadar air 0,98%,
sedangkan kadar zat terbang terendah terdapat pada serbuk gergajian kayu akasia
yaitu sebesar 76,38%. Dalam satu jam dapat dihasilkan 2,67 kg pelet kayu dengan
energi listrik yang terpakai sebanyak 2,55 kWh. Mesin pelet kayu sistem pres hidrolik
yang dilengkapi pemanas dari electric heater, berdasarkan uji coba hasilnya sudah
cukup baik dan dapat digunakan selama 8 jam tanpa henti (Hendra, 2012).
Variabel yang paling penting dalam produksi wood pellet adalah jenis biomassa
(spesies, kadar air, bentuk biomasa terkirim), tanaman dan harga peralatan, biaya
energi dan struktur tenaga kerja. Produksi wood pellet cukup menguntungkan bagi
produsen maupun retailer/distributor, termasuk bagi produksi skala kecil dan
menengah (Pirraglia, et. al., 2010).
Standar karakteristik sifat dasar wood pellet yang diacu oleh pasar internasional
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1.1 Standar Bahan Bakar Pellet, efektif per Oktober 2010
Sifat dasar
Premium grade
Standard grade
Utility grade
Kerapatan (bulk
density, lb/ft3)
Diameter (inches)
Diameter (mm)
Pellet durability
index
Fines (percent at
mill gate)
Inorganic ash (%)
Length (%> 1,5 inc)
Kadar air (%)
Chloride (ppm)
40,0 46,0
0,230 0,285
5,84 7,25
>96,5
<1,0
<1,0
<1,0
<6,0
<300
38,0 46,0
0,230 0,285
5,84 7,25
>95,0
<1,0
<2,0
<1,0
<10,0
<300
38,0 46,0
0,230 0,285
5,84 7,25
>95,0
<1,0
<6,0
<1,0
<10,0
<300
kayu lapis atau palet daur ulang. Prosesnya sangat sederhana, bahan baku dikeringkan sampai kadar
air maksimal 10% selanjutnya dipres dengan tekanan tinggi dan dipanaskan pada suhu sekitar 1201800C, untuk proses kering. Sedangkan untuk proses basah bisa menggunakan bahan baku dengan kadar
air tinggi, ditambah tepung kanji dan air kemudian dipres dengan tekanan tinggi tanpa pemanasan.
Kedua sistem ini dilakukan secara kontinu, (Gustan.2013)
Berdasarkan data hasil penelitian pada Jurnal Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol.9 No.4
Desember tahun 2012, penggunaan pelet kayu sebagai bahan bakar dapat meningkatkan keuntungan
usaha. Dalam jurnal tersebut, (Dra. Setiasih Irawanti, M.S. dkk 2012) , menyatakan nilai tambah,
keuntungan dan margin yang dihasilkan adalah paling tinggi ketika menggunakan bahan bakar sebetan
dan pelet kayu, sebaliknya paling rendah ketika menggunakan gas.
2. Limbah kayu yang berasal dari industri pengelolaan kayu antara lain berupa lembaran
veneer rusak, log end atau kayu penghara yang tidak berkualitas, sisa kupasan,
potongan log, potongan lembaran veneer, serbuk gergajian, serbuk pengamplasan,
serbetan, ppotongan ujung dari kayu gergajian dan kulit.
Potensi limbah kayu di Indonesia ada 3 macam industri yang secara dominan
mengkonsumsi kayu alam dalam jumlah relatif besar, yaitu : industri kayu lapis
industri penggergajian, industri pulp/kertas. Sebegitu jauh limbah biomasa dari
industri tersebut sebagian telah dimanfaatkan kembali dalam proses pengelolaannya
sebagai bahan bahakar guna memenuhi kebutuhan energi industri kayu lapis dan
Plup/kertas. Hal yang menimbulkan permasalahan menurut Pari. G (2001) adalah
limbah industri penggergajian yang kenyataannnya dilapangan masi ada yang
ditumpuk, sebagian besar dibuang kealiaran sungai mengakibatkan penyempitan alur
dan pendangkalan sungai serta pencemaran air, bahkan ada yang dibakar secara
langsung sehingga ikut menambah emisi gas karbon di atmosfir. Data dari Departemen
Kehutanan dan Perkebunan untuk tahun 1999/2000 menunjukkan bahwa produksi kayu
lapis Indonesia mencapai 4,61 juta m, sedangkan kayu gergajian mencapai 2,6 juta
m per tahun. Dengan asumsi bahwa jumlah limbah kayu yang dihasilkan mencapai
61%, maka diperkirakan limbah kayu yang dihasilkan mencapai lebih dari 4 juta m
(BPS. 2000). Apabila hanya limbah industri penggergajian yang dihitung maka
dihasilkan limbah sebanyak 1,4 juta m per tahun.
2.4.
Menurut Leach dan Gowen (1987), metode densifikasi untuk pembuatan pelet
atau briket dapat dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu sistem tekanan rendah seperti
mesin pengempa manual dan mekanis serta sistem tekanan tinggi seperti roller,
piston atau screw extrusion.
Pelet merupakan salah satu bentuk energi biomassa, yang diproduksipertama
kali di Swedia pada tahun 1980-an. Pelet digunakan sebagai pemanas ruang untuk
ruang skala kecil dan menengah. Pelet dibuat dari hasil samping terutama serbuk
kayu. Pelet kayu digunakan sebagai penghasil panas bagi pemukiman atau industri
skala kecil. Di Swedia, pelet memiliki ukuran diameter 612 mm serta panjang 1020
mm (NUTEK 1996, dalam Jonsson 2006).
Pelet merupakan hasil pengempaan biomassa yang memiliki tekanan yang lebih
besar jika dibandingkan dengan briket (60 kg/m3, kadar abu 1% dan kadar air kurang
dari 10%) (El Bassam dan Maegaard 2004). Pelet memiliki kadar air yang rendah
sehingga dapat lebih meningkatkan efektivitas pembakaran (VE2006).
Bahan bakar pelet memiliki diameter antara 3-12 mm dan panjangbervariasi
antara 625 mm. Pelet diproduksi oleh suatu alat dengan mekanisme pemasukan
bahan secara terus-menerus serta mendorong bahan yang telah dikeringkan dan
termampatkan melewati lingkaran baja dengan beberapa lubang yang memiliki ukuran
tertentu. Proses pemampatan ini menghasilkan bahan yang padat dan akan patah
ketika mencapai panjang yang diinginkan (Ramsay 1982).
Menurut Ramsay (1982), proses pembuatan pelet menghasilkan panas akibat
gesekan alat yang memudahkan proses pengikatan bahan dan penurunan kadar air
bahan hingga mencapai 510%. Panas juga menyebabkan suhu pelet ketika keluar
mencapai 6065C sehingga dibutuhkan pendinginan.
Metode pembuatan pelet yang lain dilakukan oleh Livington pada tahun 1977
(Livington dalam Ramsay 1982) dan telah dipatenkan di US Patent. Proses pembuatan
pelet dilakukan dari bahan organik dengan kadar air antara 1628%. Proses
berlangsung pada suhu 163C dan tekanan pada lempeng baja sebesar 178 kN. Pelet
yang dihasilkan memiliki ukuran diameter 3 mm serta panjang 13 mm. Pelet kemudian
dikeringkan dengan udara panas dan menghasilkan kadar air 78% serta bobot jenis
lebih dari 1,0.
Tabel 02 perbandingan biopelet
Kualitas
Unit
Onorm M
biopelet
7135
(Australia)
(a)
DIN
51731
(Jerman)
(a)
DIN plus
(pelet
asociation
germany)
Pelet
fuel
Institute(
ITEBE(c)
(2001-2007)
b)
(a)
Diameter
Mm
4-10
4-10
Panjang
Densitas
Kadar air
Kadar
abu
Nilai
kalor
Mm
Kg/dm3
%
%
5x D (1)
>1,12
< 10
< 0,50
<50
1,0-1,4
<12
<1,50
5xD (1)
>1,12
<10
<0,50
Mj/kg
>18
17,5
19,5
>18
Sulfur
<0,04
<0,8
<0,04
6,35
7,94
<38,1
>0,64
<3
(standar)
<1
(premiu
m)
>19,8
6 -16
10- 50
>1,15
15
16
>16,9
<0,10
Nitrogen %
<0,3
<0,3
Klorin
%
<0,02
,0,03
Abrasi
%
<2,3
Bahan
%
<2
-(2)
tambaha
n
Sumber : (a) HEZO (2006); (b) PFI (2007); (c) Douard
<0,3
<0,02
<2,3
<2
<0,03
-
0,5
<0,07
2
(2007)
Perekat Tapioka
Terdapat dua macam perekat yang biasa digunakan dalam pembuatan briket,
yaitu perekat yang berasap (tar, molase, dan pitch), dan perekat yang tidak berasap
(pati dan dekstrin tepung beras). Untuk briket yang digunakan di rumah tangga
sebaiknya memakai bahan perekat yang tidak berasap (Abdullah, 1991). Menurut
White dan Paskett (1981) bahan perekat ditambahkan kedalam biopelet untuk
meningkatkan keteguhan tekan, diantaranya bitumen, resin dan gum. Ramsay (1982)
menambahkan bahwa penambahan perekat juga bertujuan untuk meningkatkan ikatan
antar partikel, memberikan warna yang seragam dan juga memberikan bau yang
harum.
Tapioka merupakan bahan yang sering digunakan sebagai perekat dalam
pembuatan briket karena mudah didapat dan harganya yang relatif murah. Kelemahan
penggunaan tapioka sebagai perekat yaitu akan sedikit berpengaruh pada penurunan
nilai kalor produk dibandingkan bahan bakunya, selain itu produk yang dihasilkan
kurang tahan terhadap kelembaban. Hal ini disebabkan tapioka memiliki sifat dapat
menyerap air dari udara. Kadar perekat yang tinggi juga dapat menurunkan mutu
briket akibat timbulnya asap. Penambahan optimal perekat sebaiknya tidak lebih dari
5% (Sudrajat dan Soleh 1994). Huege dan Ingram (2006) menambahkan bahwa jumlah
perekat yang dianjurkan adalah 0,55% b/b total campuran. Tepung tapioka merupakan
hasil ekstraksi pati ubi kayu yang telah mengalami proses pencucian secara sempurna
serta dilanjutkan dengan pengeringan. Tepung tapioka hampir seluruhnya terdiri dari
pati. Ukuran granula pati tapioka berkisar antara 5-35 mikron. (Maarif et al., 1984).
Industri pengolahan kayu memproduksi limbah rata rata 40% hingga 55 % dari volume
bahan baku. Misalkan dari industri penggergajian, banyak dihasilkan limbah kayu yang
berupa serbuk kayu (grajen) dan potongan kayu (tatal). Dari hasil pengamatan dilapangan
limbah penggergajian yang dihasilkan hanya dibuang atau dibakar. Untuk itu diperlukan
upaya yang kreatif memanfaatkan limbah gergajian kayu (serbuk kayu) diantaranya menjadi
papan partikel agar bernilai ekonomis, berikut proses pembuatannya :
Bahan : serbuk kayu (grajen), adhesive/lem kayu, thermosetting resin seperti phenol
formaldehyde dan organik resin seperti polyisocyanates.
Proses produksi
1. Serbuk kayu dibersihkan dari kotoran yang mungkin ada seperti tanah,
kerikil. Paku dan lain lainnya.
2. Kemudian dikeringkan untuk mengurangi kadar air serbuk kayu.
3. Setelah bersih kemudian kita buat bubur kayu dan adhesive sebagai
matriks.
4. Kemudian dari bubur kayu-adhesive yang sudah jadi di cetak dan dipress
sesuai ukuran yang direncanakan.
5.