Anda di halaman 1dari 12

BAB I.

PENDAHULUAN
1.1. Larat belakang
Provinsi Riau memiliki hasil hutan yang cukup besar, salah
diantaranya adalah

berupa kayu. Kayu tersebut

satu

dapat diolah untuk dijadikan

bahan baku kayu lapis, pulp dan kertas. Dengan adanya sumber daya hasil hutan yang
memadai akan mendukung pula berkembangnya industri-industri penggergajian kayu
(kusen) di Riau. Namun, hasil samping dari pengolahan indutri tersebut dapat
menimbulkan limbah berupa serbuk gergaji. Dengan semakin meningkatnya
industri sawmill yang ada di Riau akan meningkatkan pula limbah serbuk gergaji yang
dihasilkan industri tersebut. Produksi total limbah sawmill di Riau adalah sekitar
900.000 m/tahun dengan asumsi bahwa 15% dari keseluruhan total limbah tersebut
adalah berupa serbuk gergaji (Tim Pemberantasan Ilegal Logging Riau, 2006)
Selama ini, penanganan limbah industri penggergajian dilakukan dengan
cara ditumpuk, dibuang ke aliran sungai serta dibakar. Tentu saja hal ini mempunyai
dampak negatif berupa pencemaran terhadap lingkungan. Untuk itu diperlukan
adanya suatu pengolahan lanjut dengan teknologi aplikatif sehingga menghasilkan
produk yang memiliki nilai tambah, dengan memanfaatkan serbuk gergajian
menjadi wood pallet.
Masyarakat kalangan menengah ke bawah, saat ini dihadapkan pada
permasalahan kebutuhan energi khususnya kalangan masyarakat dan rumah tangga.
Selama ini, energi yang digunakan oleh masyarakat berasal dari minyak bumi, gas,
yang harganya semakin meningkat dan kadangkala susah ditemukan (persediaan
terkadang langka dengan harga yang mahal). Untuk itu perlu dilakukan penelitian
pemanfaatan serbuk gergajian (kusen) menjadi Wood Pellet sebagai bahan alternatif
energi bagi masyarakat.
Wood pellet merupakan produk yang saat ini sedang dikembangkan sebagai
sumber energi alternatif. Produk ini diperoleh dengan memadatkan serbuk kayu
menjadi batangan atau pellet. Dengan melihat manfaat wood pellet produk ini dapat
digunakan sebagai pengganti energi atau bahan bakar oleh masyarakat yang
diharapkan dapat menekan pengeluaran masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
ebergi.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk


memanfaatkan limbah perkayuan yang cukup tinggi di Indonesia terutama di
Pekanbaru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pellet kayu limbah
industri gergajian kusen (kayu campuran), sebagai salah satu sumber energi alternatif
yang ramah lingkungan.

1.2. Perumusan Masalah


Limbah industri gergajian kayu (kusen) selama ini belum termanfaatkan secara
optimal. Secara umum limbah yang dihasilkan oleh industri penggerhajian kayu kusen
selama ini hanya ditumpuk dan dibakar, sehingga dapat mencemari lingkungan, salah
satu teknologi yang dapat digunakan untuk memanfaatkan limbah tersebut adalah
memanfaatkan limbah menjadi wood pellet. Rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah :
1. Bagaimana cara memanfaatkan limbah serbuk gergajian menjadiwood pellet
2. Bagaimana karekteristik wood pellet yang dihasilkan dari limbah serbuk gergaji kusen
(campuran)
1.3. Tujuan penelitian
Adapun jutuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Membuat produk wood pellet dengan cara basah dari limbah kayu gerrgajian kusen
(kayu campuran)
2. Mengetahui komposisi perekat dan air yang terbaik untuk pembuatan wood pellet
3. Mengetahui krateristik dari produk wood pellet

1.4. Hipotesis penelitian


Hipotesis dalam penelitian ini adalah pemberian perekat dan air dalam komposit yang
berbeda akan mempengaruhi sifat-sifat atau karekteristik yang dihasilkan wood pellet
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan alternatif baru
dengan memanfaatkan limbah industri kayu kusen sebagai bahan dasar
pembuatan wood pallet. Dan dimasa yang akan datang bisa menjadi bahan baku
energi pengganti gas dan minyak bagi masyarakat rumah tangga khususnya.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Wood Pellet

Wood pellet adalah partikel kayu yang dipadatkan yang digunakan sebagai
bahan bakar (Jones, et. al., 2012). Wood pellet merupakan hasil pengempaan
biomasa yang memiliki tekanan yang lebih besar dibandingkan briket (Hendra,
2012). Wood pellet sudah umum digunakan di beberapa daerah di suatu Negara, di
beberapa tempat semakin popular seiring dengan mahalnya sumber energi primer
serta tuntutan terhadap mitigasi perubahan iklim (Jones, et. al., 2012).
Wood pellet adalah bentukan utama dari limbah kayu, meliputi : serbuk
gergaji, shavings, wood chips, yang dihasilkan dari pembagian batang, furniture dan
hasil hutan lainnya. Proses pembuatan pellet kayu terdiri atas beberapa langkah :
bahan baku, penyaringan (screening), penggerusan (grinding), pengeringan (drying),
pembuatan butiran (pelletizing), pendinginan (cooling), penyaringan kembali
(screening), dan pengepakan (packaging). (Roos and Brackley, 2012).
Penelitian produksi pellet kayu di Badan Litbang Kehutanan telah berhasil
membuat mesin pelet kayu dengan kapasitas 2,67 kg/jam dengan spesifikasi diameter
lubang 15 mm dan panjang lubang 110 mm. Pelet kayu yang terbaik dihasilkan dari
serbuk gergajian kayu jati dengan ukuran serbuk 80 mesh pada suhu kempa 250 oC
yang menghasilkan kerapatan 0,82 g/cm, keteguhan tekan sebesar 387,64 kg/cm,
nilai kalor bakar sebesar 4961,51 kal/g, kadar abu 0,93% dan kadar air 0,98%,
sedangkan kadar zat terbang terendah terdapat pada serbuk gergajian kayu akasia
yaitu sebesar 76,38%. Dalam satu jam dapat dihasilkan 2,67 kg pelet kayu dengan
energi listrik yang terpakai sebanyak 2,55 kWh. Mesin pelet kayu sistem pres hidrolik
yang dilengkapi pemanas dari electric heater, berdasarkan uji coba hasilnya sudah
cukup baik dan dapat digunakan selama 8 jam tanpa henti (Hendra, 2012).
Variabel yang paling penting dalam produksi wood pellet adalah jenis biomassa
(spesies, kadar air, bentuk biomasa terkirim), tanaman dan harga peralatan, biaya
energi dan struktur tenaga kerja. Produksi wood pellet cukup menguntungkan bagi
produsen maupun retailer/distributor, termasuk bagi produksi skala kecil dan
menengah (Pirraglia, et. al., 2010).
Standar karakteristik sifat dasar wood pellet yang diacu oleh pasar internasional
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1.1 Standar Bahan Bakar Pellet, efektif per Oktober 2010
Sifat dasar

Premium grade

Standard grade

Utility grade

Kerapatan (bulk
density, lb/ft3)
Diameter (inches)
Diameter (mm)
Pellet durability
index
Fines (percent at
mill gate)
Inorganic ash (%)
Length (%> 1,5 inc)
Kadar air (%)
Chloride (ppm)

40,0 46,0
0,230 0,285
5,84 7,25
>96,5
<1,0
<1,0
<1,0
<6,0
<300

38,0 46,0
0,230 0,285
5,84 7,25
>95,0
<1,0
<2,0
<1,0
<10,0
<300

38,0 46,0
0,230 0,285
5,84 7,25
>95,0
<1,0
<6,0
<1,0
<10,0
<300

Sumber : Roos and Brackley (2012)

Kementerian Kehutanan dan Korea Forest Service telah menandatangani


kerjasama pengembangan industri biomassa ini pada tanggal 6 Maret 2009. Salah satu
industri yang telah menghasilkan wood pellet adalah PT. Solar Park bekerjasama
dengan Perum Perhutani mengolah limbah kayu Sengon dan Kaliandra. Sampai tahun
2007, Indonesia baru mampu menghasilkan wood pellet 40.000 ton, sedangkan
produksi dunia telah menembus angka 10 juta ton. Jumlah ini belum memenuhi
kebutuhan dunia pada tahun 2010 yang diperkirakan mencapai 12,7 juta ton. Peluang
mengembangkan bahan bakar ini sangat terbuka luas mengingat limbah hasil hutan
kita sangat besar baik dari limbah industri kayu maupun dari hutan
tanaman (Kementerian Kehutanan, 2010).
Penggunaan wood pellet sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar
posil untuk industri besar,kecil, dan rumah tangga menghasilkan emisi lebuh rendah
dibandingkan minyak tanah dan gas (ratna dwianingsih 2013). Penelitian dan
pemanfaatan pelet kayu didorong oleh kebutuhan adanya energi alternatif biomassa
pengganti minyak bumi yang semakin mendesak karena harga minyak mentah yang
akan terus meningkat dan akan habis. Selain itu, adanya upaya menurunkan emisi gas
rumah kaca (GRK), juga membuat pelet kayu menjadi salah satu pilihan tepat bagi
masyarakat dan industri baik kecil, menengah, maupun besar.
Keunggulan lain pelet kayu adalah mengoptimalkan pemanfaatan berupa limbah seperti serbuk
kayu sehingga mempunyai nilai jual yang lebih tinggi, yang biasanya dibuang begitu saja. Pelet kayu
juga memberi nilai tambah pada proses pengolahan kayu serta meningkatkan profitabilitas usaha kecil.
Pelet kayu berbentuk silindris dengan diameter 6-10 mm dan panjang 1-3 cm dan memiliki
kepadatan rata-rata 650 kg/m3 atau 1,5 m3/ton. Pelet kayu dihasilkan dari berbagai bahan biomassa,
terutama limbah serbuk gergaji dari pabrik penggergajian kayu dan serbuk limbah veneer dari pabrik

kayu lapis atau palet daur ulang. Prosesnya sangat sederhana, bahan baku dikeringkan sampai kadar
air maksimal 10% selanjutnya dipres dengan tekanan tinggi dan dipanaskan pada suhu sekitar 1201800C, untuk proses kering. Sedangkan untuk proses basah bisa menggunakan bahan baku dengan kadar
air tinggi, ditambah tepung kanji dan air kemudian dipres dengan tekanan tinggi tanpa pemanasan.
Kedua sistem ini dilakukan secara kontinu, (Gustan.2013)
Berdasarkan data hasil penelitian pada Jurnal Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol.9 No.4
Desember tahun 2012, penggunaan pelet kayu sebagai bahan bakar dapat meningkatkan keuntungan
usaha. Dalam jurnal tersebut, (Dra. Setiasih Irawanti, M.S. dkk 2012) , menyatakan nilai tambah,
keuntungan dan margin yang dihasilkan adalah paling tinggi ketika menggunakan bahan bakar sebetan
dan pelet kayu, sebaliknya paling rendah ketika menggunakan gas.

2.2. Sumber Energi Alternatif


Sejak tahun 1990, sumber energi terbarukan di dunia mengalami peningkatan
dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahunnya sebesar 1,7%, atau sedikit lebih
tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan Total Pasokan Energi Primer (TPES)
dunia. Pertumbuhan tinggi terutama terjadi pada energi terbarukan baru yaitu
angin dan matahari, yang meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun
sebesar 19%, dimana bagian terbesar dari pertumbuhan tersebut terjadi di negaranegara OECD, yang mempunyai program energi angin berskala besar seperti di
Denmark dan Jerman. (IEA, 2005).
Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari proses alami yang terus menerus diperbarui.
Terdapat beberapa jenis energi terbarukan, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak
langsung dari matahari, atau dari panas yang dibangkitkan dari dalam bumi.Energi tersebut
meliputi energi yang dihasilkan dari matahari, angin, biomassa, panas bumi, tenaga air dan
sumber daya di laut, biomassa padat, biogas dan Bahan Bakar Nabati (BBN) cair.(IEA, 2005).
2.3. Potensi limbah Kayu
Simarmata dan Hartyanto (1986) dalam irwan (1993) menyatakan bahwa limbah kayu
dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu:
1. Limbah kayu yang terjadi pada kegiatan eksploitasi hutan berupa pohon yang
ditebang terdiri dari batang sampai bebas cabang, tunggak dan bagian atas cabang
pertama.

2. Limbah kayu yang berasal dari industri pengelolaan kayu antara lain berupa lembaran
veneer rusak, log end atau kayu penghara yang tidak berkualitas, sisa kupasan,
potongan log, potongan lembaran veneer, serbuk gergajian, serbuk pengamplasan,
serbetan, ppotongan ujung dari kayu gergajian dan kulit.
Potensi limbah kayu di Indonesia ada 3 macam industri yang secara dominan
mengkonsumsi kayu alam dalam jumlah relatif besar, yaitu : industri kayu lapis
industri penggergajian, industri pulp/kertas. Sebegitu jauh limbah biomasa dari
industri tersebut sebagian telah dimanfaatkan kembali dalam proses pengelolaannya
sebagai bahan bahakar guna memenuhi kebutuhan energi industri kayu lapis dan
Plup/kertas. Hal yang menimbulkan permasalahan menurut Pari. G (2001) adalah
limbah industri penggergajian yang kenyataannnya dilapangan masi ada yang
ditumpuk, sebagian besar dibuang kealiaran sungai mengakibatkan penyempitan alur
dan pendangkalan sungai serta pencemaran air, bahkan ada yang dibakar secara
langsung sehingga ikut menambah emisi gas karbon di atmosfir. Data dari Departemen
Kehutanan dan Perkebunan untuk tahun 1999/2000 menunjukkan bahwa produksi kayu
lapis Indonesia mencapai 4,61 juta m, sedangkan kayu gergajian mencapai 2,6 juta
m per tahun. Dengan asumsi bahwa jumlah limbah kayu yang dihasilkan mencapai
61%, maka diperkirakan limbah kayu yang dihasilkan mencapai lebih dari 4 juta m
(BPS. 2000). Apabila hanya limbah industri penggergajian yang dihitung maka
dihasilkan limbah sebanyak 1,4 juta m per tahun.
2.4.

Biomasa dan Biomass pellets (Biopelet)


Biomasa meliiputi semua bahan yang bersipat organik (semua makhluk hidup
yang hidup atau mengalami pertumbuhan dajuga risidenya) (El bassam dan maegaard
2004). Biomassa merupakan sumber energi terbarukan yang paling serbaguna dibidang
sumber energi terbarukan lainnya. Bimassa dapat bahan bakar untuk panas, listrik dan
transportasi (Siemers 2006). Bahan yang terrmasuk biomassa antara lain sisa hasil
hutan dan perkebunan, biji dan limbah pertanian, kayu dan limbah kayu, limbah
hewan tanaman air, tanaman kecil, dan limbah industri serta limbah pemukiman
(Bergnab dan Zerbe 2004). Biomassa merupakan sumber energi yang bersih dan dapat
diperbaharui namun biomasa mempunyai kekurangan yaitu tidak dapat langsung
dibakar karena sifat fisiknya yang buruk, seperti kerapatan energi yang rendah dan
permasalahan penanganan, penyimpanan dan transportasi (Saotoadi 2006).
Menurut Yamada et al.(2005), penggunaaan bahan bakar biomssa secara
langsung dan tanpa pengelolaan akan menyebabkan timbulnya penyakit pernapasan
yang disebabkan oleh karbon monoksida, sulfur dioksida (SO 2) dan bahan partikulat.
Densifikasi limbah pertanian dan kehutanan menjadi briket atau pellet adalah suatu
metode pengembangan fungsi suatu sumberdaya. Densifukasi dapat meningkatkan
kandungan energi tiap satu poluma dan juga dapat mengurangi biaya transportasi dan
penanganan. Densitas briket biomassa berada di atas rentang densitas kayu yaitu
antara 8001.100 kg/m3 dan densitas kamba (untuk pengemasan dan pemuatan ke
dalam alat transportasi) sekitar 600800 kg/m3 (Leach dan Gowen 1987).

Menurut Leach dan Gowen (1987), metode densifikasi untuk pembuatan pelet
atau briket dapat dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu sistem tekanan rendah seperti
mesin pengempa manual dan mekanis serta sistem tekanan tinggi seperti roller,
piston atau screw extrusion.
Pelet merupakan salah satu bentuk energi biomassa, yang diproduksipertama
kali di Swedia pada tahun 1980-an. Pelet digunakan sebagai pemanas ruang untuk
ruang skala kecil dan menengah. Pelet dibuat dari hasil samping terutama serbuk
kayu. Pelet kayu digunakan sebagai penghasil panas bagi pemukiman atau industri
skala kecil. Di Swedia, pelet memiliki ukuran diameter 612 mm serta panjang 1020
mm (NUTEK 1996, dalam Jonsson 2006).
Pelet merupakan hasil pengempaan biomassa yang memiliki tekanan yang lebih
besar jika dibandingkan dengan briket (60 kg/m3, kadar abu 1% dan kadar air kurang
dari 10%) (El Bassam dan Maegaard 2004). Pelet memiliki kadar air yang rendah
sehingga dapat lebih meningkatkan efektivitas pembakaran (VE2006).
Bahan bakar pelet memiliki diameter antara 3-12 mm dan panjangbervariasi
antara 625 mm. Pelet diproduksi oleh suatu alat dengan mekanisme pemasukan
bahan secara terus-menerus serta mendorong bahan yang telah dikeringkan dan
termampatkan melewati lingkaran baja dengan beberapa lubang yang memiliki ukuran
tertentu. Proses pemampatan ini menghasilkan bahan yang padat dan akan patah
ketika mencapai panjang yang diinginkan (Ramsay 1982).
Menurut Ramsay (1982), proses pembuatan pelet menghasilkan panas akibat
gesekan alat yang memudahkan proses pengikatan bahan dan penurunan kadar air
bahan hingga mencapai 510%. Panas juga menyebabkan suhu pelet ketika keluar
mencapai 6065C sehingga dibutuhkan pendinginan.
Metode pembuatan pelet yang lain dilakukan oleh Livington pada tahun 1977
(Livington dalam Ramsay 1982) dan telah dipatenkan di US Patent. Proses pembuatan
pelet dilakukan dari bahan organik dengan kadar air antara 1628%. Proses
berlangsung pada suhu 163C dan tekanan pada lempeng baja sebesar 178 kN. Pelet
yang dihasilkan memiliki ukuran diameter 3 mm serta panjang 13 mm. Pelet kemudian
dikeringkan dengan udara panas dan menghasilkan kadar air 78% serta bobot jenis
lebih dari 1,0.
Tabel 02 perbandingan biopelet
Kualitas
Unit
Onorm M
biopelet
7135
(Australia)
(a)

DIN
51731
(Jerman)
(a)

DIN plus
(pelet
asociation
germany)

Pelet
fuel
Institute(

ITEBE(c)
(2001-2007)

b)

(a)

Diameter

Mm

4-10

4-10

Panjang
Densitas
Kadar air
Kadar
abu
Nilai
kalor

Mm
Kg/dm3
%
%

5x D (1)
>1,12
< 10
< 0,50

<50
1,0-1,4
<12
<1,50

5xD (1)
>1,12
<10
<0,50

Mj/kg

>18

17,5
19,5

>18

Sulfur

<0,04

<0,8

<0,04

6,35
7,94
<38,1
>0,64
<3
(standar)
<1
(premiu
m)
>19,8

6 -16
10- 50
>1,15
15
16
>16,9
<0,10

Nitrogen %
<0,3
<0,3
Klorin
%
<0,02
,0,03
Abrasi
%
<2,3
Bahan
%
<2
-(2)
tambaha
n
Sumber : (a) HEZO (2006); (b) PFI (2007); (c) Douard

<0,3
<0,02
<2,3
<2

<0,03
-

0,5
<0,07
2

(2007)

Keunggulan utama pemakaian bahan bakar pelet biomassa adalah penggunaan


kembali bahan limbah seperti serbuk kayu yang biasanya dibuang begitu saja. Serbuk
kayu yang terbuang begitu saja dapat teroksidasi dibawah kondisi yang tak terkendali
akan membentuk gas metana atau gas rumah kaca (Cook 2007).
Menurut PFI (2007b), pelet memiliki konsistensi dan efisiensi bakar yang dapat
menghasilkan emisi yang lebih rendah dari kayu. Bahan bakar pelet menghasilkan
emisi bahan partikulat yang paling rendah dibandingkan jenis lainnya. Arsenik, karbon
monoksida, sulfur, dan gas karbondioksida merupakan sedikit polutan air dan udara
yang dihasilkan oleh penggunaan minyak sebagai bahan bakar.
Sistem pemanasan dengan pelet menghasilkan emisi CO2 yang rendah karena
jumlah CO2 yang dikeluarkan selama pembakaran setara dengan CO2yang diserap
tanaman ketika tumbuh, sehingga tidak membahayakan lingkungan. Dengan efisiensi
bakar yang tinggi, jenis emisi lain seperti NOxdan bahan organik yang mudah menguap
juga dapat diturunkan. Masalah yang masih tersisa adalah emisi debu akibat
peningkatan penggunaan sistem pemanasan dengan pelets Berdasarkan PFI (2007a),
terdapat 2 jenis kualitas bahan bakar pelet yang diproduksi yaitu premium dan
standar. Perbedaan keduanya adalah pada kadar abu. Jenis standar memiliki kadar
abu maksimal 3%, sedangkan jenis premium memiliki kadar abu tidak lebih dari 1%.
Perbedaan ini merupakan hasil dari perbedaan kandungan pelet. Pelet jenis standar
dibuat dari bahan yang menghasilkan residu abu, seperti kulit kayu dan limbah
pertanian. Sedangkan pelet jenis premium dibuat dari serbuk kayu keras dan kayu
lunak yang tidak mengandung kulit kayu. Pelet jenis standar hanya dapat dibakar di
instalasi pembakaran yang dirancang untuk pelet yang mengandung kadar abu tinggi.
2.5.

Perekat Tapioka
Terdapat dua macam perekat yang biasa digunakan dalam pembuatan briket,
yaitu perekat yang berasap (tar, molase, dan pitch), dan perekat yang tidak berasap
(pati dan dekstrin tepung beras). Untuk briket yang digunakan di rumah tangga
sebaiknya memakai bahan perekat yang tidak berasap (Abdullah, 1991). Menurut
White dan Paskett (1981) bahan perekat ditambahkan kedalam biopelet untuk
meningkatkan keteguhan tekan, diantaranya bitumen, resin dan gum. Ramsay (1982)
menambahkan bahwa penambahan perekat juga bertujuan untuk meningkatkan ikatan
antar partikel, memberikan warna yang seragam dan juga memberikan bau yang
harum.
Tapioka merupakan bahan yang sering digunakan sebagai perekat dalam
pembuatan briket karena mudah didapat dan harganya yang relatif murah. Kelemahan
penggunaan tapioka sebagai perekat yaitu akan sedikit berpengaruh pada penurunan

nilai kalor produk dibandingkan bahan bakunya, selain itu produk yang dihasilkan
kurang tahan terhadap kelembaban. Hal ini disebabkan tapioka memiliki sifat dapat
menyerap air dari udara. Kadar perekat yang tinggi juga dapat menurunkan mutu
briket akibat timbulnya asap. Penambahan optimal perekat sebaiknya tidak lebih dari
5% (Sudrajat dan Soleh 1994). Huege dan Ingram (2006) menambahkan bahwa jumlah
perekat yang dianjurkan adalah 0,55% b/b total campuran. Tepung tapioka merupakan
hasil ekstraksi pati ubi kayu yang telah mengalami proses pencucian secara sempurna
serta dilanjutkan dengan pengeringan. Tepung tapioka hampir seluruhnya terdiri dari
pati. Ukuran granula pati tapioka berkisar antara 5-35 mikron. (Maarif et al., 1984).

BAB III. METODE PENELITIAN


3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di workshop wood pellet Universitas Lancang
Kuning Pekanbaru pada Bulan Februari-Maret 2014
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Serbuk Gergajian
Kusen, Tepung tapioka untuk perekat, Air, saringan dengan ukuran lolos 22 mesh dan
tertahan pada ukuran 40mesh. Baskom, timbangan, Mesin Pencetak Wood Pellet.
Oven. Alat uji kadar air, timbangan digital, Mikrometer, Kompor untuk mengukur lama
penyalaan.

3.3. Metode Penelitian


3.3.1. Pembuatan wood pellet
a) Tahapan persiapan pembuatan wood pellet
Limbah serbuk kayu gergajian kusen yang akan dijadikan bahan baku wood pellet
dengan lolos saringan 22 mesh dan tertahan pada saringan 40mesh, serbuk yang telah
disaring akan dikering anginkan dibawah sinar matahari langsung agar kadar airnya
sama.
b) Tahap pembuatan wood pellet
Pembuatan wood pellet dilakukan dengan mesin khusus pembuat wood pellet, setiap
pembuatan digunakan 2 kg bahan baku dengan perlakuan 5%, 10%. 15%, Perekat atau
tepung tapioka dan pemberian air dilakukan dengan 100ml L, 150ml L, 200ml L, dan
200ml L. Dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali ulangan.

Industri pengolahan kayu memproduksi limbah rata rata 40% hingga 55 % dari volume
bahan baku. Misalkan dari industri penggergajian, banyak dihasilkan limbah kayu yang
berupa serbuk kayu (grajen) dan potongan kayu (tatal). Dari hasil pengamatan dilapangan
limbah penggergajian yang dihasilkan hanya dibuang atau dibakar. Untuk itu diperlukan
upaya yang kreatif memanfaatkan limbah gergajian kayu (serbuk kayu) diantaranya menjadi
papan partikel agar bernilai ekonomis, berikut proses pembuatannya :
Bahan : serbuk kayu (grajen), adhesive/lem kayu, thermosetting resin seperti phenol
formaldehyde dan organik resin seperti polyisocyanates.
Proses produksi
1. Serbuk kayu dibersihkan dari kotoran yang mungkin ada seperti tanah,
kerikil. Paku dan lain lainnya.
2. Kemudian dikeringkan untuk mengurangi kadar air serbuk kayu.
3. Setelah bersih kemudian kita buat bubur kayu dan adhesive sebagai
matriks.
4. Kemudian dari bubur kayu-adhesive yang sudah jadi di cetak dan dipress
sesuai ukuran yang direncanakan.

5.

Dengan proses pencetakan kurang lebih 6 menit maka jadilah papan


partikel yang masih dalam keadaan kasar
Untuk diketahui papan partikel sendiri sekarang cenderung menjadi tren bagi pengguna
material untuk furniture. Karena sifat papan partikel yang ringan serta sederhana sehingga
sesuai untuk gaya arsitektur yang mengutamakan kesederhanaan. Untuk membuat papan
partikel tersebut bisa juga memanfaatkan kayu lunak untuk di hancurkan menjadi serbuk.

Anda mungkin juga menyukai