Morbus Hansen
Morbus Hansen
Mycobacterium leprae dan Mycobacterium tuberculosis. Kejadian kedua infeksi timbul secara
bersamaan jarang ditemukan, biasanya terjadi pada pasien-pasien imunokompromais. Morbus
Hansen (MH) dan Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
tahan asam Mycobacterium. MH disebabkan oleh M. leprae, sedangkan TB terutama disebabkan
oleh M. tuberculosis. Keduanya banyak ditemukan di daerah yang beriklim tropis dan memiliki
kelembaban udara tinggi, tingkat sosial ekonomi penduduk yang rendah, serta status gizi dan
higienitas yang buruk.1
MH adalah penyakit infeksi kronis yang menyerang kulit dan saraf tepi. Komplikasi yang
ditakutkan dari MH adalah kecacatan, sehingga penderita menjadi malu, sulit berfungsi, serta
dikucilkan dari kehidupan sosial. Diagnosis dan terapi yang tepat sedini mungkin adalah strategi
untuk mengontrol penyakit ini.1 MH dapat mengenai semua ras, usia, dan kedua jenis kelamin.
Insiden tertinggi didapati pada usia 10-15 tahun serta 30-60 tahun. Pada laki-laki lebih banyak
ditemukan MH bentuk lepromatosa.
Mekanisme transmisi M. leprae masih belum diketahui dengan jelas, namun diduga
melalui droplet nasal dan oral dari pasien yang mengandung banyak kuman dan masuk melalui
traktus respiratorius. Hipotesis yang menyatakan kulit sebagai rute transmisi kuman M. Leprae
masih belum dapat dibuktikan. Inokulasi kuman lebih sering melalui mukosa nasal daripada
melalui kulit yang tidak intact, dengan masa inkubasi rerata 4-10 tahun.1-3
Infeksi TB dapat mengenai paru, kelenjar getah bening, kulit, tulang, selaput otak, dan
sebagainya. Kuman M. tuberculosis tidaklah terlalu virulen karena hanya 5-10% infeksi yang
dapat menyebabkan penyakit. Sel T helper (Th) CD4+ memegang peranan penting dalam
perlindungan terhadap infeksi mikobakteria. Oleh karena itu, pasien dengan fungsi sel Th CD4+
yang rendah, misalnya pasien dengan koinfeksi HIV atau yang menjalani terapi imunosupresif,
terutama inhibitor Tumor Necrosis Factor (TNF)-, memiliki risiko untuk menderita TB atau
mengalami reaktivasi TB.1
TB kutis jarang ditemukan. Kurang dari 2% pasien TB memiliki lesi kulit. Tipe lesi kulit
yang terjadi tergantung pada faktor-faktor pejamu, seperti usia, jenis kelamin, letak anatomis,
dan status nutrisi. BentukTB kutis yang paling sering ditemukan adalah skrofuloderma. Di area
yang endemic TB, lebih dari 50% kasus TB kutis akan muncul sebelum usia 19 tahun. Seringkali
fokus infeksi TB kutis sulit ditemukan. Tiga sampai dua belas persen kasus TB kutis akan
memiliki gambaran rontgen paru yang abnormal, dan seringkali ditemukan pembesaran kelenjar
getah bening.4,5
KASUS
Hasil pemeriksaan foto thoraks 5 bulan yang lalu
menunjukkan gambaran TB paru, tetapi tidak ada
data riwayat pengobatan TB. Pasienmengalami
penurunan berat badan sebanyak 20 kg dalam
11 bulan terakhir. Pasien belummenikah, namun
memiliki riwayat berhubungan seksual dengan
berganti-ganti pasangan. Riwayat transplantasi
organ ataupun penggunaan obat-obatan yang
dapat menekan sistem imun disangkal. Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit sedang
dengan status gizi dan status higiene baik.
Pemeriksaan dermatologis mendapati papulpapul
eritem dan megalobuli pada kedua daun
telinga. (Gambar 1) Papul dan plak eritema
multipel juga tampak di glabela, kedua pipi, dan
dagu. Pada kedua lengan, kedua tungkai, perut,
dan punggung tampak makula hipopigmentasi,
multipel, ukuran numular sampai plakat, dengan
permukaan yang lebih kering dari kulit sekitarnya
disertai dengan gangguan sensibilitas. Tidak ditemukan
alopesia. N. aurikularismagnus sinistra
dan N. ulnaris sinistra menebal dan nyeri tekan.
Otot yang dipersarafi N. medianus sinistra lebih
lemah daripada yang dekstra, serta didapati
hipotrofi otot tenar sinistra.
Pada leher dan kedua ketiak tampak beberapa