Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Sirosis hati ( liver cirrhosis) merupakan perjalanan patologi akhir berbagai

macam penyakit hati. Istilah sirosis diperkenalkan pertama kali oleh Laennec pada
tahun 1826. Diambil dalam bahasa Yunani Scirrhus atau Kirrhos yang artinya
warna orange atau kuning kecoklatan permukaan hati yang tampak saat otopsi.
Banyak bentuk kerusakan hati yang ditandai fibrosis.
Penyakit hati menahun dan sirosis dapat ditimbulkan sekitar 35.000
kematian pertahun di Amerika Serikat. Sirosi merupakan penyebab kematian
utama yang kesembilan di Amerika dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh
kematian di amerika. Banyak pasien yang meninggal pada dekade keempat atau
kelima kehidupan mereka akibat penyakit ini setiap tahun ada tambahan 2000
kematian yang disebabkan karena gagal hati Fulminan. Belum ada data resmi
nasional tentang sirosis di Indonesia, Namun dari beberapalaporan di Rumah sakit
umum pemerintahan di Indonesia, berdasarkan diagnosis klinik dapat dilihat
bahwa prevenlasi sirosis hati yang dirawat di bangsal penyakit dalam umumnya
berkisar antara 3.6-8,4% di Jawa dan sumatra, Sedangkan di Sulawesi dan
Kalimantan di bawah 1%. Secara keseluruhan pasien rata-rata prevelansi sirosis
adalah 3,5% seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam atau rata-rata
47,7% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat. Perbandingan pria : wanita
rata-rata 2:1 usia rata-rata 44 tahun. Rentang Usia 13-88 tahun, Dengan kelompok
terbanyak antara 40-50 tahun.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Sirosis Hepatis

2.1.1. Definisi Sirosis Hepatis


Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai
dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif.
2.1.2. Klasifikasi Sirosis Hepatis
Terdapat beberapa klasifikasi sirosis hepatis dari segi klinis,
morfoogi

dan

etiologinya.

Berdasarkan

etiologi,

sirosis

hepar

diklasifikasikan menjadi : 1) Alkoholik, 2) kriptogenik dan post hepatitis,


3) biliaris, 4) kardiak, dan 5) metabolik
Sirosis secara morfologi diklasifikasikan sebagai :
1. Mikronodular
Ditandai dengan terbentuknya septal tebal teratur, didalam septa
parenkim hati mengandung nodul halus dan kecil merata di seluruh
lobus hepar. Besar nodulnya kurang dari 3 cm, dan terakadang ada
yang berubah menjadi makronodular sehingga dijumpai campuran
mikro dan makronodular
2. Makronodular
Ditandai dengan terbentunya septa dengan ketebalan bervariasi.
Mengandung nodul yang besarnya lebih dari 3 mm
3. Campuran mikronodular dan makronodular
Secara klinis, sirosis hepatis diklasifikasikan sebagai :
1. Sirosis hepatis kompensata
Disebut juga sirosis hepar laten. Pada klasifikasi ini belum adanya
gejala klinis yang nyata. Biasanya ditemukan pada saat pemeriksaan
skirining

2. Sirosis hepatis dekompensata


Dikenal sebagai Actibe liver Cirrhosis. Ditandai dengan adanya
gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas seperti asites, edema, dan
ikterus.
2.1.3. Etiologi Sirosis Hepatis
Penyebab pasti dari terjadinya sirosis hepatis belum jelas. Di
negara barat, kasus ini sering terjadi akibat penggunaan alkohol,
sedangkan di Indonesia sering terjadi akibat infeksi virus hepatitis B dan
C.
1. Faktor keturunan dan malnutrisi
Kekurangan protein menjadi penyebab timbulnya sirosis hepatis. Hal
ini dikarenakan bebera asam amino seperti metionin berpartisipasi
dalam metabolisme gugus metil yang berperan mencegah perlemakan
hati dan sirosis hepatis.
2. Hepatitis virus
Hepatitis virus sering disebut sebagai salah satu penyebab sirosis
hepatis, dan secara klini telah dikenal bahwa virus hepatisis B lebih
banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan gejala
sisa serta menunjukkan perjalanan yang kronis bila dibandingkan
dengan virus hepatitis A. Penderita dengan hepatitis aktif kronik
banyak yang menjadi sirosis karena banyak terjadi kerusakan hati yang
kronis,
Sebagaimana kita ketahui bahwa sekitar 10% penderita virus hepatitis
B akut akan menjadi kronis. Apabila pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan HbsAg positif dan menetapnya aantigen virus lebih dari 10
minggu disertai tetap meningginya kadar asam empedu puasa lebih
dari 6 bulan, maka mempunyai prognosis kurang baik.
3. Zat Hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan zat kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan fungsi sel hati secara akut dan kronik. Kerusakan hati secara
akut akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak. Sedangkan

kerusakan kronik akan berupa sirosis hepatis. Pemberian bermacammacam obat-obatan hepatotoksik secara berulang kali dan terus
menerus. Mula-mula akan terjadi kerusakan setempat, kemudian
terjadi kerusakan hati semata dan akhirnya dapat terjadi sisoris hepatis.
Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut adalah alkohol. Efek yang
nyata dari etil alkohol adalah penimbuan lemak dalam hati.
4. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada orangorang muda ditandai dengan sirosis hepatis, degenerasi ganglia basalis
dari otak, dan terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat
kehijauan disebut Kayser Fleicer Ring. Penyakit ini diduga disebabkan
defisiensi sitoplasmin bawaan.
5. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada 2 kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu :
1) Sejak dilahirkan, penderita mengalami kenaikan absorbsi dari besi.
2) Kemungkinan didapat setelah lahir (aquisita), misalnya dijumpai
pada penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya
absorbsi dari besi kemungkinan menyebebkan timbulnya sirosis
hepatis.

Sebab-Sebab Sirosis dan/atau Penyakit Hati Kronik


Penyakit Infeksi
Bruselosis
Ekinokokus
Toksoplasmosis
Hepatitis virus
Penyakit Keturunan dan Metabolik
Defisiensi 1-antitripsin
Sindrom fanconi
Galaktosemia
Penyakit gaucher
Penyakit simpanan glikogen
Hemokromatosis
Intoleransi fluktosa herediter
Tirosinemia herediter
Penyakit wilson
Obat dan Toksin
Alkohol
Amiodaron
Arsenik
Obstruksi bilier
Penyakit perlemakan hati non alkoholik
Sirosis bilier primer
Kolangitis sklerosis primer

Tabel 2.1. Etiologi


Sirosis Hepatis
2.1.4. Patogenesis
dan
Patofisiologi
Sirosis
Hepatis

Penyebab lain atau tidak terbukti


Penyakit usus inflamasi kronik
Fibrosis kistik
Pintas jejunoileal
Sarkoidosis
Penyalahgunaan alkohol dengan kejadian sirosis sangat erat
hubungannya. Etanol merupakan hepatotoksin yang mengarah pada
perkembangan fatty liver, hepatitis alkoholik dan pada akhirnya dapat
menimbulkan sirosis. Patogenesis yang terjadi mungkin berbeda
tergantung pada penyebab dari penyakit hati. Secara umum, ada
peradangan kronis baik karena racun (alkohol dan obat), infeksi (virus
hepatitis, parasit), autoimun (hepatitis kronis aktif, sirosis bilier primer),
atau obstruksi bilier (batu saluran empedu), kemudian akan berkembang
menjadi fibrosis difus dan sirosis.

Mekanismea terjadinya proses yang berlangsung terus mulai dari


hepatitis virus menjadi sirosis hepatis belum jelas. Patogenesis yang
mungkin terjadi yaitu :
1. Mekanis
Pada daerah hati yang mengalami nekrosis konfluen, kerangka
retikulum lobus hepar yang mengalami kolaps akan menjadi
kerangka untuk terjadinya daerah parut yang luas, dalam
kerangak jaringan ikat ini, bagian parenkim hati yang bertahan
hidup berkembang menjadi nodul regenerasi
2. Teori imunologis
Sirosis hepatis dikatakan dapat berkembang dari hepatitis akut
jika melalu proses hepatitis kronik aktif terlebih dahulu. Proses
respn imunologis pada sejumlah kasus tidak cukup untuk
menyingkirkan virus atau hepatosit yang terinfeksi, dan sel
yang mengandung virus ini merupakan ransangan untuk
terjadinya proses imunologis yang berlangsung terus sampai
terjadi kerusakan sel hepar.
2.1.5.

Manifestasi Klinis Sirosis Hepatis


1. Gejala-gejala sirosis
Pada stadium awal sirosis sering terjadi tanpa gejala sehingga kadang
ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin
atau karena kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata)
meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang,
perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun. Bila sudah lanjut
(dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul
komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta. Mungkin disertai
dengan adanya gangguan pembekuan darah, gangguan siklus haid,
ikterus degan air kemih bewarna seperti teh pekat, muntah darah dan
atau melena serta perubahan mental.
2. Temuan klinis

Spider nevi yaitu suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa


vena-vena kecil. Tanda ini sering ditemukan di bahu, muka, dan
lengan atas.

Eritema palmaris yaitu adanya warna merah saga pada thena


dan hipothenar telapak tangan. Hal ini dikaitkan dengan
perubahan metabolisme hormon estrogen.

Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal


dipisahkan dengan warna normal kuku

Jari gada yang lebih sering ditemukan pada sirosis bilier

Ginekomasitia dan atrofi testis

Hepatomegali, dimana ukuran hepar bisa membesar, normal,


atau bahkan mengecil. Bila mana hepar teraba, maka akan
teraba keras dan nodular

Splenomegali yang terjadi akibat kongesti pulpa merah lien


karena hipertensi porta

Asites, penimbunan cairan didalam rongga peritoneum akibat


hipertensi porta dan hipoalbuminemia.

Caput medusa / vena kolateral akibat hipertensi porta

Ikterus pada kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia

3. Gambaran laboratorium
Tes fungsi hati yang dilakukan meliputi aminotransferase, alkali
fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, bilirubin, albumin dan
wakru protrombin.

Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksalo


asetat (SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum
glutamil piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tidak
begitu tinggi. AST lebih meningkat dari pada ALT

Alkali fosfatase meningkat 2 sampai 3 kali diatas normal

Gamma-glutamil transpeptidase tinggi pada penyakit hati


alkoholik

Bilirubin konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati


kompensata namun meningkat pada sirosis yang lanjut

Albumin, konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan


sirosis

Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis

Waktu protrombin memanjang pada sirosis hepatis

Terjadinya kelaian hematologi anemia dengan penyebab yang


bermacam-macam

Pemeriksaan radiologi barium meal dapat melihat varises untuk


konfirmasi adanya hipertensi porta

Pemeriksaan USG untuk melakukan penilaian hepar meliputi


sudut, permukaan, ukuran, homogenitas, dan adanya massa.
Serta dapat juga dilakukan pemeriksaan MRI dan CT-Scan.

2.1.6. Diagnosis Sirosis Hepatis


Diagnosis sirosis hepatis dapat ditentukan berdasarkan manifestasi
klinis yang ditemukan. Pada stadium kompensata, diagnosa baru dapat
ditegakan dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat, pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Sedangkan pada
stadium dekompensata, penegakan diagnosa tidak sulit karena gejala dan
tanda klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi
Berdasarkan kriteria Soebandiri, diagnosis sirosis hepatis dapat
ditegakan jika ditemukan 5 dari 7 tanda berikut, yaitu :
1. Spider nevi
2. Venektasi / venakolateral
3. Ascites dengan atau tanpa edema tungkai
4. Splenomegali
5. Varices esofagus
6. Ratio albumin globulin terbalik
7. Palmar eritema
2.1.7. Komplikasi Sirosis Hepatis
8

Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya.


Kualitas hidup pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan
penanganan komplikasinya. Berbagai komplikasi yang dapat terjadi akibat
sirosis hepatis yaitu :
1. Perdarahan gastrointestinal
2. Koma hepatikum
3. Ulkus peptikum
4. Infeksi, yang paling sering ditemukan yaitu peritonitis bakterial
spontan
5. Ensefalopati hepatik
6. Hepatopulmonary syndrome
7. Edema dan ascites
2.1.8. Penatalaksanaan Sirosis Hepatis
Etiologi

sirosis

mempengaruhi

penanganan

sirosis.

Terapi

ditujukan mengurangi progresi penyakit, menghindarkan dari bahan-bahan


yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan
komplikasi
Tatalaksanan pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan
untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan uuntuk
menghilangkan etiologinya.
Pengobatan Sirosis Dekompensata

Asites
Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam
sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam
dikombinasikan dengan obat-obatan diuretik. Awalnya dengan
pemberian spironolakton dengan dosis 100-200mg sekali sehari.
Bila pemberian spironolakton tidak adekuat, bisa dikombinasikan
dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian
furosemid bisa ditambah dosisnya dengan maksimal dosis 160
mg/hari. Pengeluaran asites bisa 4-6 liter dan dilindungi dengan
pemberian albumin.

Ensefalopati hepatik
Laktulosa

membantu

pasien

untuk

mengeluarkan

amonia.

Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil


amonia, diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/kgBB per hari.

Varises esofagus
Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat
penyekat beta (propanolol). Waktu perdarahan akut bisa diberikan
preparat somatostatin atau oktreotid diteruskan dengan tindakan
skleroterapi atau ligas endoskopi.

Peritonitis bakterial spontan


Diberikan antibiotika seperti sefotaksim intravena, amoksilin atau
aminoglikosida

Sindrom hepatorenal
Mengatasi

perubahan

sirkulasi

darah

dihati,

mengatur

keseimbangan garam dan air


Transplantasi hati merupakan terapi definitif pada pasien sirosis
dekompensata. Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa
kriteria yang harus dipenuhi resipien dahulu.
2.1.9. Prognosis Sirosis Hepatis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor,
meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain
yang menyertai.
Klasifikasi Child-Pugh merupakan penilaian prognosis pasien
sirosis yang akan menjalani operasi :
Derajat

Minimal

Sedang

Berat

<35

35-50

>50

Alb.serum (gr/dl)

>35

30-35

<30

Asites

Nihil

Mudah dikontrol

Sukar

PSE /

Nihil

Minimal

Berat/koma

Kerusakan
Bilirubin serum
(mu.mol/dl)

10

Ensefalopati
Nutrisi

Sempurna

Baik

Kurang/kurus

Tabel 2.2. Klasifikasi Child-Pugh


2.2.

Koma Hepatik

2.2.1. Definisi Koma Hepatik


Adanya kerusakan hati dan mengganggu fungsi hati dapat
menyebabkan terjadinya ganggua sistem saraf otak akibat zat-zat yang
bersifat toksik. Keadaan klinis gangguan sistem saraf otak pada penyakit
hati tersebut merupakan gangguan neuropsikiatri yang disebut sebagai
koma hepatic atau Ensephalopathy hepatic. Koma hepatik merupakan
gangguan neuropsikiatri yang dapat dijumpai pada pasien gagal fungsi hati
baik akut maupun kronik.
2.2.2. Patogenesis Koma Hepatik
Patogenesis koma hepatik sampai saat ini belum diketahui dengan
pasti. Beberapa hipotesis yang dikemukakan pada patogenesis koma
hepatik adalah :
1. Hipotesis Amoniak
Amoniak berasal dari mukosa usus sebagai hasil degradasi protein
dalam lumen usus dan dari bakteri yang mengandung urease. Dalam
hati amonia diubah menjadi urea pada sel hati periportal dan menjadi
glutamin pada sel hati perivenus, sehingga jumlah amonia masuk ke
sirkulasi dapat dikontrol dengan baik. Glutamin juga diproduksi pada
otot (50%), hati, ginjal dan otak (7%). Pada penyakit hati kronis akan
terjadi gangguan metabolisme amonia sehingga terjadi peningkatan
kadar amonia sebesar 5-10 kali lipat.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa amonia secara invitro akan
mengubah loncatan (fluk) klorida melalui membran neural dan akan
menganggu keseimbangan potensial aksi sel syaraf. Di samping itu
amonia dalam proses detoksikasi akan menekan eksitasi transmiter
asam amino, aspartat dan glutamat.

11

2. Hipotesis Toksisitas Sinergis


Neurotoksin lain yang mempunyai efek sinergis dengan amonia seperti
merkaptan, asam lemek rantai pendek (oktanoid), fenol dan lain-lain.
Asam lemak rantai pendek terutama oktanoid mempunyai efek
metabolik seperti rangsangan oksidasi, fosforilasi dan penghambatan
konsumsi oksigen serta penekanan aktivitas Na, K, ATP-ase sehingga
dapat

mengakibatkan

koma

hepatik

reversibel.

Fenol sebagai hasil metabolisme tirosin dan fenilalamin dapat


menekan aktivitas otak dan enzim hati monoamin oksidase, laktat
dehidrogenase,

suksinat

dehidrogenase,

prolin

oksidase

yang

berpotensi dengan zat lain seperti amonia yang mengakibatkan koma


hepatikum. Senyawa-senyawa tersebut akan memperkuat sifat-sifat
neurotoksisitas dari amonia.
3. Hipotesis Neurotransmiter Palsu
Pada keadaan normal pada otak terdapat neutransmiter dopamin dan
nor adrenalin, sedangkan pada keadaan gangguan faal hati,
neurotranmiter otak akan diganti oleh neurotransmiter palsu yaitu
oktapamin dan feniletanolamin, yang lebih lemah dibandingkan
dopamin dan nor-adrenalin.
Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah :

Pengaruh bakteri usus terhadap protein sehingga terjadi


peningkatan produksi oktapamin yang melalui aliran pintas
(shunt) masuk ke sirkulasi otak.

Pada gagal hati seperti sirosis hepatis akan terjadi penurunan


asam amino rantai cabang (AARC) yang terdiri dari valin,
leusin

dan

isoleusin

yang

mengakibatkan

terjadinya

peningkatan asam amino aromatik (AAA) seperti tirosin,


fenilalanin dan triptofan karena penurunan ambilan hati
(hepatic-uptake).
Rasio antara AARC dan AAA (Fisischer ratio) normal antara 3-3,5
akan menjadi lebih kecil dari1,0. Keseimbangan kedua kelompok asam

12

amino tersebut penting dipertahankan karena akan menggambarkan


konsentrasi neurotransmiter pada susunan syaraf.
4. Hipotesis GABA dan Benzodizepin
Ketidakseimbangan

antara

asam

amino

neurotransmiter

yang

merangsang dan yang menghambat fungsi otak merupakan faktor yang


berperan pada terjadinya koma hepatik. Terjadinya penurunan
transmiter yang memiliki efek merangsang seperti glutamat, aspartat
dan dopamin sebagai akibat meningkatnya amonia dan gama
aminobutirat (GABA) yang menghambat tranmisi impuls.
Efek GABA yang meningkat bukan karena influks yang meningkat
kedalam otak tapi akibat perubahan reseptor GABA dalam otak akibat
suatu substansi yang mirip benzodiazepin (Benzodiazepin like
substrat).

Bagan 2.1. Patogenesis Koma Hepatik / Ensefalopati hepatik


2.2.3. Gambaran Klinis Koma Hepatik

13

Pada umumnya, gambaran klinis berupa kelainan mental, kelainan


neurologis, terdapatnya kelainan parenkin hati serta kelainan laboratorium.
Pada permulaan perjalanan koma hepatikum (ensefalopati subklinis),
gambaran gangguan mental mungkin berupa perubahan dalam mengambil
keputusan dan gangguan konsentrasi. Keadaan ini dapat dinilai dengan uji
psikomotor atau pada pasien dengan intelektual cukup dapat dilakukan uji
hubung angka (number connecton test) dengan menghubungkan angka 125 kemudian diukur lama penyelesaiannya oleh pasien dalam satuan detik.
Makin lama waktu penyelesaian yang dapat dilakukan pasien, maka dapat
menandakan keadaan koma hepatik yang makin buruk.

Skala NCT

Lamanya penyelesaian NCT

Normal
Tingkat I
Tingkat II
Tingkat III
Tingkat IV

15-30 detik
31-50 detik
51-80 detik
81-120 detik
>120 detik atau tidak dapat diselesaikan

Tabel 2.3. Skala NCT menuru kriteria West Haven


Dari gambaran klinis yang didapatkan, maka dapat ditentukan stadium dari
koma hepatik yaitu :
1. Stadium 1 (Prodromal : awal)
Terdapat gangguan stasus mental, sedikit perubahan kepribadian dan
tingkah laku, termasuk penampilan yang tidak terawatt baik,
pandangan mata kosong, bicara tidak jelas, tertawa sembarangan,
pelupa, dan tidak mampu memusatkan pikiran, penderita mungkin
cukup rasional, hanya terkadang tidak kooperatif atau sedikit kurang
ajar, afektif hilang, eufori, depresi, apati, perubahan kebiasaan tidur.
Tanda-tandanya:

Asteriksis

gangguan

motorik

yang

di

tandai

dengan

penyimpangan intermiten dari postur.

Kesulitan bicara

14

Kesulitan menulis

EEG (elektroensefalografi) (+)

2. Stadium 2 (Impending koma atau koma mengancam)


Gangguan mental semakin berat, flapping tremor (tangan bergetar),
kebingungan, disorientasi, mengantuk, dan asteriksis, fetor hepatik,
EEG (++).
3. Stadium 3 (Koma ringan)
Terjadi kebingungan yang nyata dengan perubahan tingkah laku yang
mencolok, penderita dapat tidur sepanjang waktu, bangun hanya
dengan rangsangan, asteriksis, fetor hepatik, lengan kaku, hiperreflek,
klonus, grasp dan sucking reflek, EEG (+++).
4. Stadium 4 (Koma dalam)
Pasien koma tidak sadarkan diri. Penderita masuk ke dalam tingkat
kesadaran

koma

sehingga

muncul

refleks

hiperaktif

dan

tanda babinsky yang menunjukkan adanya kerusakan otak lebih lanjut.


Napas penderita akan mengeluarkan bau apek yang manis (fetor
hepatikum). Fetor hepatikum merupakan tanda prognosis yang buruk
dan

intensitas

baunya

sangat

berhubungan

dengan

derajat

kesadarannya, dan tonus otot hilang.


2.2.4. Diagnosis Koma Hepatik
Diagnosis koma hepatik ditegakan berdasarkan gambaran klinis dan
dibantu dengan beberapa pemeriksaan penunjang yaitu :
1. Elektroensefalografi (EEG)
Tingkat Ensefalopati
Frekuensi Gelombang EEG
Tingkat 0
Frekuensi alfa (8,5-12 siklus/detik)
Tingkat I
7-8 siklus / detik
Tingkat II
5-7 siklus / detik
Tingkat III
3-5 siklus / detik
Tingkat IV
3 siklus / detik
Tabel 2.4. Tingkat kuantitas dari pemeriksaan EEG
2. Tes psikometri

15

Dengan menggunakan uji hubung angka (number connection test)


seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
3. Pemeriksaan amonia darah
Pada kerusakan sel hati seperti sirosis hepatik ini terjadi peningkatan
konsentrasi amonia darah karena gangguan fungsi hati dalam
mendetoksifikasi amonia serta adanya pintas (shunt) porto-sistemik.
Tingkat Ensefalopati
Frekuensi Gelombang EEG
Tingkat 0
Frekuensi alfa (8,5-12 siklus/detik)
Tingkat I
7-8 siklus / detik
Tingkat II
5-7 siklus / detik
Tingkat III
3-5 siklus / detik
Tingkat IV
3 siklus / detik
Tabel 2.5. Hubungan Ensefalopati hepatik dengan amonia darah
Diagnosis Banding Koma Hepatikum
1. Koma akibat intoksikasi obat-obatan dan alkohol
2. Trauma kepala seperti komosio cerebri, kontusio serebri, perdarahan
subdural, dan perdarahan epidural
3. Tumor otak
4. Koma akibat gangguan metabolisme lain seperti uremia, koma
hipoglikemia, koma hiperglikemia
5. Epilepsi
2.2.5. Penatalaksanaan Koma Hepatikum
Penatalaksanaan koma hepatik harus memperhatikan apakah koma
hepatik yang terjadi adalah primer atau sekunder. Pada koma hepatik
primer terjadi kerusakan parenkim hati tanpa adanya faktor pencetus
(presipitasi), sedangkan pada koma hepatik sekunder terjadinya koma
dipicu oleh faktor pencetus.
Upaya yang dilakukan pada penatalaksanaan koma hepatik adalah :
1. Mengobati penyakit dasar hati
2. Mengidentifikasi dan menghilangkan faktor pencetus

16

3. Mengurangi/mencegah pembentukan influks toksin-toksin


nitrogen ke jaringan otak antara lain dengan cara
a. Menurunkan atau mengurangi asupan makanan yang
mengandung protein
Pemberian makanan berprotein dapat kembali diberikan
setelah ada perbaikan. Protein dapat ditingkatkan secara
bertahap. Sumber protein terutama dari campuran asam
amino rantai cabang. Pemberian asam amino ini
diharapkan

menormalkan

keseimbangan

amino

sehingga neurotransmiter asli dan palsu akan berimbang


dan kemungkinan dapat meningkatkan metabolisme
amonia di otot.
b. Menggunakan laktulosa dan antibiotika
c. Membersihkan saluran cerna bagian bawah
Terutama dilakukan jika terjadi perdarahan saluran
cerna agar darah sumber toksin nitrogen dapat
dikeluarkan.
4. Upaya suportif dengan memberikan kalori yang cukup serta
mengatasi komplikasi yang mungkin ditemukan
2.2.6. Prognosis Koma Hepatikum
Pada koma hepatik sekunder, bila faktor-faktor pencetus teratasi,
maka dengan pengobatan standart hampir 80% pasien akan kembali sadar.
Pada pasien dengan koma hepatik primer dan penyakit berat prognosis
akan lebih buruk bila disertai hipoalbumin, ikterus, serta asites. Sementara
koma hepatik akibat gagal hati fulminan kemungkinan hanya 20% yang
sadar kembali setelah dirawat pada pusat-pusat kesehatan.
Prognosis penderita koma hepatik tergantung dari :
1. Penyakit hati yang mendasari
2. Faktor-faktor pencetus
3. Usia, keadaan gizi.
4. Derajat kerusakan parenkim hati

17

5. Kemampuan regenerasi hati

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1.

Identitas Pasien
Nama

: Tn. M

Umur

: 64 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Sungai nanam

No. MR

: 1339xx

Tanggal Masuk

: 8 September 2016

Ruangan

: HCU

3.2.

Anamnesa
Pasien seorang laik-laki berusia 64 tahun datang ke IGD RSU Solok pada
tanggal 8 September 2016 dengan
Keluhan Utama
Sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang

Sesak nafas 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku


mengalami sesak setelah perutnya semakin membuncit dan
menyesak ke dada sehingga pasien mengeluhkan sesak nafas.

18

Sesak nafas tidak dipengaruhi oleh cuaca dan makanan yang


dikonsumsi pasien.

Perut semakin membuncit sejak 1 minggu ini. Keluhan ini sudah


dirasakan pasien sejak 8 bulan yang lalu. Perut dirasakan makin
membuncit, terasa kembung, dan nyeri.

Pasien mengeluh sering mengalami gusi berdarah sejak 5 bulan


yang lalu. Gusi berdarah dialami pasien setiap menyikat gigi.

Mual dan muntah sejak 1 minggu yang lalu. Muntah berisi


makanan yang dimakan, dengan banyaknya bervariasi setiap kali
muntah. Warna kekuningan. Pasien mengeluh muntah bercampur
darah saat sudah sampai di rumah sakit, darah yang keluar kurang
dari 1 gelas berwarna merah.

Badan terasa mudah lelah, lemas, dan lesu sehingga pasien tidak
bisa beraktifitas seperti biasanya

Nafsu makan menurun. Pasien mengalami penurunan berat badan


sejak 8 bulan ini

BAK (+) warna seperti teh pekat sejak 1 bulan yang lalu

BAB (+) normal, warna kekuningan. BAB berdarah disangkal,


BAB kehitaman disangkal

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat sakit kuning sebelumnya

Riwayat asma disangkal

Riwayat Diabetes mellitus disangkal

Riwayat maag disangkal

Riwayat Pengobatan

Pasien mengaku rutin berobat ke dokter spesialis penyakit dalam


sejak munculnya keluhan perut membuncit.
19

Pasien tidak mengkonsumsi obat rutin lainnya dan tidak ada


mengkonsumsi obat tradisional

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit seperti pasien

Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat asma disangkal

Riwayat Diabetes mellitus disangkal

Riwayat maag disangkal

Bagan 3.1. Pedigri pasien Sirosis Hepatis


Riwayat Psikososial
Pasien seorang laki-laki usia 64 tahun, sudah tidak bekerja sejak
mengalami keluhan ini.
Riwayat Kebiasaan

3.3.

Riwayat merokok disangkal

Riwayat konsumsi alkohol disangkal

Pemeriksaan Fisik
Vital Sign

20

Keadaan Umum

: Sakit berat

Kesadaran

: komposmentis kooperatif

Tekanan Darah

: 110/70 mmHg

Nadi

: 102x/menit

Nafas

: 28x/menit

Suhu

: 36,8oC

Berat Badan

: 70 Kg

Tinggi Badan

: 160 cm

BMI

: 27,34 kg/m2

Pemeriksaan Fisik Khusus

Kulit
Warna kekuningan, turgor kulit menurun

Kepala
Bentuk bulat, ukuran normocephal, rambut hitam bercampur putih,
tidak mudah dicabut. Ubun-ubun besar cekung (-)

Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+)

Leher
JVP 5-2cm H2O, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening leher,
tidak ada pembesaran kelenjar tiroid

Jantung dan Pembuluh Darah


Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi

: Ictus cordis teraba di RIC V Linea midclavicularis sinistra

Perkusi

Batas kanan Jantung : RIC IV Linea sternalis dextra


Batas atas Jantung

: RIC II Linea sternalis sinistra

Batas pinggang jantung: RIC IV Linea parasternalis sinistra

21

Batas kiri jantung

: RIC V Linea midclavicularis sinistra

Auskultasi: Irama reguler, Bunyi jantung I (+), Bunyi jantung II (+)

Paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan dinamis,
spider nevi (-) ginekomastia (-/-)
Palpasi

: Fremitus taktil normal

Perkusi

: Sonor pada seluruh lapang paru

Auskultasi: Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki ( -/-)

Abdomen
Inspeksi : Perut tampak membuncit, distensi (+), venektasi (+) spider
nevi (+)
Palpasi

: Nyeri tekan (+). Hepar dan lien sulit dinilai

Perkusi

: Timpani pada regio umbilikalis, undulasi (+)

Auskultasi: Bising usus (+) normal

Ekstremitas
Atas

: Edema (-), palmar eritema (-), spider nevi pada bahu (-)
Akral hangat. Flapping tremor (+)

Bawah : Edema (+/+) pitting. Akral hangat


Refleks fisiologis
Kanan

Kiri

Refleks biseps

++

++

Refleks triseps

++

++

Refleks brachioradialis

++

++

Refleks Patologis
Kanan

Kiri

Refleks Hoffman-Tremor

Refleks Babinski

22

3.4.

Refleks Gordon

Refleks oppenheim

Refleks Chadoks

Pemeriksaan Laboratorium
Hemoglobin : 11,4 gr/dl
Hematokrit : 32,6%
Leukosit

: 6.890/uL

Trombosit

: 80.000/uL

Bilirubin total

: 11,75mg/dl

SGOT

: 253,5/ul

SGPT

: 116,9/ul

HBs Ag

:+

Ureum

: 45,2mg/dl

Creatinin

: 1,32 mg/dl

Gula darah sewaktu : 98 mg%


3.5. Diagnosa Kerja
Prekoma hepatikum et causa Sirosis hepatis stadium decompensata
3.6.

Diferensial Diagnosa
Hepatitis kronik
Sirosis bilier

3.7.

Pemeriksaan Anjuran

Ratio albumin globulin

Ultrasonografi

Barium meal dan Endoskopi : untuk pemeriksaan varises esophagus

23

3.8.

Penatalaksanaan

Nonfarmakologi
o Tirah baring
o Pasien dianjurkan untuk puasakan sampai hematemesis melena
berkurang (maksimal 3 hari), karena jika pasien tetap
mengkonsumsi makanan, akan memperberat varices esofagusnya
o 02 2-3 liter/menit
o Pasang Nasogastric tube

Farmakologi
o IVFD Aminofusin hepar : Triofusin : NaCl 0,9 %
2

o Ciprofloksasin 2 x 200 mg iv
o Ceftriaxone 1 x 2 gram iv (skin test)
o Lactulax syrup 3 x 20 cc
o Transamin injeksi 3 x 1 iv
o Vitamin K injeksi 3 x 1 iv
o Vitamin C injeksi 3 x iv
3.9.

Prognosis
Quo ad vitam
Quo ad sanantionam
Quo ad fungsionam

: dubia ad malam
: dubia ad malam
: dubia ad malam

Follow Up
Hari
Subjective
Objective
Jumat / 9 Sesak nafas (+) TD : 110/70
Setember

berkurang

2016

Perut
kembung

Nadi : 94x/i

terasa Nafas:
dan 24x/menit
Suhu:36,7oC

nyeri
Mual

(+)

Assesment
Prekoma

Plan
Terapi Umum :

hepatikum et Tirah baring


causa sirosis 02 2-3 liter/menit
hepatis

Diet hati 1

stadium

NGT

dekompensat

Terapi Khusus :

24

Muntah darah

IVFD

berkurang

Aminofusin

Nafsu

hepar : tiofusin :

makan

menurun
BAK

NaCl 0,9% 2:1:1


seperti

Ciprofloksasin 2

teh pekat dan

x 200 mg

BAB normal

Ceftriaxone 1 x 2
gram
Lactulate syrup 3
x 20 cc
Transamin injeksi
3x1
Vitamin K injeksi
3x1
Vitamin C injeksi
3x1
Terapi Umum :

Sabtu / 10 Sesak nafas (+) TD : 110/70

Prekoma

Septembe

berkurang

hepatikum et Tirah baring

r 2016

Perut

Nadi : 98x/i

terasa Nafas:

kembung

dan 26x/menit

nyeri

Suhu: 36,9oC

Mual

(+) Hb : 9,7gr/dl

Muntah darah Ht : 27,1%


(+)
Nafsu

Leukosit:
makan 11.99/uL

menurun
BAK

Trombosit
seperti 70.000/uL

causa sirosis 02 2-3 liter/menit


hepatis

Diet hati 1

stadium

NGT

dekompensat

Terapi Khusus :

IVFD Tiofusin :
NaCl 0,9% 2:1
Ciprofloksasin 2
x 200 mg
Ceftriaxone 1 x 2

teh pekat dan Natrium:

gram

BAB normal

133,33

Lactulate syrup 3

mEq/L

x 20 cc

Kalium : 7,3

Transamin injeksi

mEq/L

3x1

Klorida: 94,4

Vitamin K injeksi
25

mEq/L

3x1
Vitamin C injeksi

Minggu / Sesak nafas (+)


11

Perut

Septembe

kembung

r 2016

nyeri

TD : 100/60

terasa Nadi : 96x/i


dan Nafas:

Prekoma

3x1
Terapi Umum :

hepatikum et Tirah baring


causa sirosis 02 2-3 liter/menit
hepatis

Diet hati 1

stadium

NGT

Muntah darah Natrium:

dekompensat

Terapi Khusus :

(+)

IVFD Tiofusin :

Mual

Nafsu

26x/menit
(+) Suhu: 36,8oC
132,6 mEq/L
makan Kalium : 7,5

menurun
BAK

mEq/L

NaCl 0,9% 2:1


Ciprofloksasin 2

seperti Klorida: 95,6

x 200 mg

teh pekat dan mEq/L

Ceftriaxone 1 x 2

BAB normal

gram
Lactulate syrup 3
x 20 cc
Transamin injeksi
3x1
Vitamin K injeksi
3x1
Vitamin C injeksi
3x1

Senin / 12

Pukul 7.30

Septembe

Nafas

(-)

r 2016

Nadi

(-),

tekanan
darah

tidak

terukur.
EKG Flat
Pasien
dinyatakan
meninggal

26

dihadapan
keluarga

BAB IV
ANALISA KASUS
Telah dilaporkan pasien seorang laki-laki umur 64 tahun di Rawat di RSU
Solok tanggal 8 September 2016 dengan diagnosa Prekoma Hepatikum et causa
Sirosis Hepatis Stadium Decompensata. Diagnosis ditegakan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan sesak nafas 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien mengaku mengalami sesak setelah perutnya semakin membuncit dan
menyesak ke dada sehingga pasien mengeluhkan sesak nafas. Sesak nafas tidak
dipengaruhi oleh cuaca dan makanan yang dikonsumsi pasien. Perut semakin
membuncit sejak 1 minggu ini. Keluhan ini sudah dirasakan pasien sejak 8 bulan
yang lalu. Perut dirasakan makin membuncit, terasa kembung, dan nyeri. Pasien
mengeluh sering mengalami gusi berdarah sejak 5 bulan yang lalu. Gusi berdarah
dialami pasien setiap menyikat gigi. Mual dan muntah sejak 1 minggu yang lalu.
Muntah berisi makanan yang dimakan, dengan banyaknya bervariasi setiap kali
muntah. Warna kekuningan. Pasien mengeluh muntah bercampur darah saat sudah
sampai di rumah sakit, darah yang keluar kurang dari 1 gelas berwarna merah.

27

Badan terasa mudah lelah, lemas, dan lesu sehingga pasien tidak bisa beraktifitas
seperti biasanya. Nafsu makan menurun. Pasien mengalami penurunan berat
badan sejak 8 bulan ini. BAK (+) warna seperti teh pekat sejak 1 bulan yang lalu.
BAB (+) normal, warna kekuningan. BAB berdarah disangkal, BAB kehitaman
disangkal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit berat, kesadaran
komposmentis kooperatif, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 102x/menit, nafas
28x/menit, dan suhu 36,8oC. Dari pemeriksaan fisik tampak kulit pasien
kekuningan, sklera ikterik, ascites, edema tungkai, dan adanya vena kolateral pada
abdomen. Penilaian hepar dan lien sulit dilakukan pada pasien ini.
Dari pemeriksaan laboratorium di dapatkan Hemoglobin: 11,4 gr/dl,
Hematokrit: 32,6%, Leukosit : 6.890/uL, Trombosit : 80.000/uL, Bilirubin total:
11,75mg/dl, SGOT: 253,5/ul, SGPT : 116,9/ul, HBs Ag: +,Ureum: 45,2mg/dl,
Creatinin: 1,32 mg/dl, dan Gula darah sewaktu: 98 mg%.
Pada pasien diberikan terapi nonfarmakologi yaitu tirah baring, pasien
dianjurkan untuk puasakan sampai hematemesis melena berkurang (maksimal 3
hari), karena jika pasien tetap mengkonsumsi makanan, akan memperberat varices
esofagusnya, diberikan 02 2-3 liter/menit, pasang Nasogastric tube.
Terapi farmakologi yang diberikan yaitu IVFD Aminofusin hepar :
Triofusin : NaCl 0,9 % dengan perbandingan 2 : 1 : 1 diberikan 6 jam/kolf,
Ciprofloksasin 2 x 200 mg iv, Ceftriaxone 1 x 2 gram iv (skin test), Lactulax
syrup 3 x 20 cc, Transamin injeksi 3 x 1 iv, Vitamin K injeksi 3 x 1 iv, Vitamin C
injeksi 3 x iv.
Pasien dinyatakan meninggal tanggal 12 September 2016 pukul 7.30
WIB.

28

DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Irsan dkk. Leading Article Ensefalopati Hepatik. Divisi hepatologi FK UI


Jakarta, 2014
Nurdjanah, Siti. Sirosis hati. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V jilid
1. InternaPublishing: Jakarta, 2009 hal 668-673.
Zubir, Nasrul. Koma Hepatik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V
jilid 1. InternaPublishing: Jakarta, 2009 hal 677-680.

29

Anda mungkin juga menyukai