Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Sejarah perkembangan Islam di Indonesia yang diperkirakan telah berlangsung selama

tiga belas abad, menunjukkan ragam perubahan pola, gerakan dan pemikiran keagamaan seiring
dengan perubahan sejarah bangsa. Keragaman demikian juga dapat melahirkan berbagai bentuk
studi mengenai Islam di negeri ini yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Islam dilihat
dari perkembangan sosial umpamanya, hampir dalam setiap periode terdapat model-model
gerakan umat Islam. Sebagaimana terjadi pada zaman atau periode modern dan kontemporer
yang mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Perkembangan wacana intelektual Islam kontemporer di Indonesia disebabkan oleh
semakin meluasnya cakupan dari pengertian intelektual Islam, terutama setelah masa
modernisme yang dipercaya dengan berbagai wacana tentang mondernitas dan reformasi.
Perkembangan wacana ini, dapat dijadikan sebagai tolak ukur bagi keberhasilan atau lambatnya
proses Islamisasi di Indonesia. Dalam hal ini proses Islamisasi lebih kepada bagaimana Islam
terus berproses dan berkembang ke arah yang lebih baik.
Munculnya Kajian Islam Kontemporer. Kajian tentang Islam (Islamic Studies/Dirasah
Islamiyyah) dewasa ini begitu diminati oleh berbagai pihak. Bukan hanya para cendekiawan
muslim saja yang serius mengkaji Islam, akan tetapi juga orang-orang Barat non-Muslim juga
menggeluti Islam sebagai obyek kajian. Namun demikian, bukan hanya kaum orientalis yang
mengkaji Islam secara analisis, para cendekiawan pun tertarik dengan berbagai kajian Islam yang
menyuguhkan berbagai disiplin keilmuan.
Dalam sejarahnya, kelimuan Islam telah berproses sedemikian rupa hingga memunculkan
berbagai disiplin keilmuan yang mana dikaji dari berbagai pendekatan. Perkembangan keilmuan
Islam telah diwarnai dengan berbagai realitas yang dengan jelas berpengaruh atau dipengaruhi
oleh perubahan zaman menuju modernitas.

1.2

Tujuan
Dari uraian diatas munculah beberapa permasalah yang mungkin perlu adanya

pembahasan lebih mendalam lagi., diantaranya adalah sebagai berikut :


1. Untuk mengetahui gerakan modern Islam (asal usul dan perkembangan)?
2. Untuk mengetahui kecenderungan wacana intelektual Islam kontemporer dalam lembaga
modern?
3. Untuk mengetahui gerakan Islam kontemporer di Indonesia?

1.3
1
2

MANFAAT
Memahami gerakan modern Islam (asal usul dan perkembangan)?
Memahami kecenderungan wacana intelektual Islam kontemporer dalam lembaga

modern?
3 Memahami gerakan Islam kontemporer di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1

Gerakan Modern Islam (Asal Usul dan Perkembangan)


Pembaruan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditujukan

terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran progresif kerajaan Usmani
yang merupakan pemangku khilafah Islam, setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan
kebangkitan Islam di kalangan warga Arab di pinggiran imperium itu, yang terpenting puritanis
(salafiyyah). Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaruan
Islam abad ke 20 yang lebih bersifat intelektual.
Katalisator terkenal gerakan pembaruan ini adalah Jamaluddin Al Afghani (1897). Ia
mengajarkan solidaritas PAN Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan
kembali kepada Islam dalam suasana secara ilmiah di modernisasi. Gerakan ini telah
memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia.
Memasuki abad ke -20 dinamika Islam di Indonesia ditandai dengan muncul dan
berkembangnya corak baru wacana dan pemikiran Islam yang biasa disebut banyak ahli sebagai
modernisme Islam. Kemunculan corak baru wacana Islam ini tidak terlepas dari perkembangan
al Afghani, Muhammad Abdul, Rasyid Ridha dan lain-lain. Pemikiran yang dikembangkan para
tokoh-tokoh ini telah memberikan stimulus global bagi kemunculan gerakan modernisme Islam
di berbagai kawasan dunia Islam termasuk Indonesia.[1]
3

Bermula dari pembaruan pemikiran dan pendidikan Islam di Minang Kabau, yang disusul
oleh pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan
Islam semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan seperti serikat
dagang Islam (SDI) di Bogor (1909) dan Solo (1911), Perserikatan Ulama di Majalengka, Jawa
Barat dan Solo (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam (Persis) di
Bandung (1920-an), Nadlatul Ulama (NU) di Surabaya (1926), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah
(Perti) di Bandung, Bukittinggi (1930); dan Partai-partai politik, seperti serikat Islam (SI) yang
merupakan kelanjutan dari SDI, persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang panjang (1932)
yang merupakan kelanjutan dan perluasan dari organisasi pendidikan Thawalib, dan Partai Islam
Indonesia (PII) pada tahun 1938.[2]
Sementara itu, hampir pada waktu yang bersamaan, pemerintah penjajah menjalankan
politik etis, politik balas budi. Belanda mendirikan sekolah-sekolah formal bagi bumi putra,
terutama dari kalangan priyayi dan kaum bangsawan. Pendidikan Belanda tersebut membuka
mata kaum terpelajar akan kondisi masyarakat Indonesia. Pengetahuan mereka akan kemiskinan,
kebodohan dan ketertindasan masyarakat Indonesia, pada saatnya mendorong lahirnya
organisasi-organisasi sosial, seperti Budi Utomo, Taman siswa, Jong Java, Jong Sumatera Bond,
Jong Ambon, Jong Selebes, dan lain sebagainya.[3]
Organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam dan organisasi-organisasi yang didirikan
kaum terpelajar di atas, menandakan tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian
modern. Namun, kebanyakan anggota masing-masing saling berhadapan sebagai dua belah pihak
yang-walaupun dalam banyak hal dapat bekerjasama-seringkali bertentangan.[4]
Gerakan-gerakan Islam pada masa ini dapat dilihat sebagai dampak perubahan yang
dilakukan order baru di bidang ekonomi dan sosial politik. Kecenderungan itu terjadi karena
kebangkitan order baru bukan saja ditandai dengan perubahan kritis terhadap struktur politik,
tetapi yang lebih penting adalah perubahan pemikiran di berbagai dimensi kehidupan bangsa.
Kepeloporan dari para kalangan kampus, kaum intelektual dan teknokrat merupakan induksi
kebangkitan order baru yang mencerminkan revolusi kaum menengah kota. Demikian pula di
kalangan Islam hal itu mencerminkan kiprah dan perubahan alam pikiran yang secara dinamis
memberikan ide-ide alternatif dalam merespon orientasi politik orde baru yang terkonsepsi
dalam pembangunan.
4

Pengembangan ide pokok-pokok pembangunan itu identik dengan isu modernisasi dan
bahkan dalam beberapa segi lebih diasosiasikan sebagai proses westernisasi karena penekanan
kuat pada pola atau model pembangunan negara-negara barat. Ide tersebut pada gilirannya
mempengaruhi perubahan pemikiran keislaman kaum muslimin. Persoalan yang muncul
dikalangan Islam adalah bagaimana melihat modernisasi dari kaca mata ajaran Islam. Dari
persoalan ini muncul gagasan-gagasan baru, terutama dari kalangan intelektual dan pada
gilirannya melahirkan pula model-model baru gerakan keagamaan sebagai reaksi atas isu-isu
pembangunan itu.[5]

2.2

Kecenderungan Wacana Intelektual Islam Kontemporer dalam Lembaga-lembaga

Modern.
Formulasi doktrin Islam dan pemikiran modern, yang menjadi ciri wacana Islam
kontemporer adalah salah satu dampak signifikan dari arus Islamisasi melalui jaringan
intelektual timur tengah-nusantara pada abad ke-17 dan 18, yang ditandai dengan proses
harmonisasi antara wacana Islam sufistik dan Islam syariat. Arus modernisasi ini kemudian
memunculkan organisasi-organisasi Islam di abad ke-20, yang sekaligus sering disebut sebagai
ciri dari masyarakat Islam modern. Lahirnya serikat dagang Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul
Ulama dan juga Sumatra Thawalib dan sebagainya menjadi wujud dari proses formulasi tersebut.
[6]
Lahirnya organisasi atau gerakan-gerakan sosial keagamaan, yang pada umumnya memiliki
pemikiran-pemikiran transformative, menjadi ciri dari munculnya masyarakat modern, ketika
wacana intelektual Islam pun menjadi lebih terbuka dan semakin bercorak plural. Dalam hal ini
juga tidak dapat diabaikan, upaya-upaya organisasi tersebut dalam melakukan pembaruan
pendidikan. Pendidikan tradisional melalui pesantren yang dulu hanya diselenggarakan dengan
sangat sederhana, kurang sistematis dan hanya mempelajari ilmu-ilmu agama Islam saja
kemudian diperbaharui dengan cara mengembangkan pendidikan sekolah atau madrasah yang
didalamnya diajarkan mengenai ilmu-ilmu dunia yakni ilmu alam dan ilmu sosial.
Di samping itu, sejak dekade 1970-an, banyak bermunculan apa yang disebut intelektual
muda muslim yang meskipun sering kontroversial, melontarkan ide-ide segar untuk masa depan
5

ummat. Kebanyakan mereka adalah intelektual muslim berpendidikan yang terakhir ini sangat
mungkin adalah buah dari kegiatan-kegiatan organisasi mahasiswa Islam seperti himpunan
mahasiswa
Islam, pergerakan mahasiswa Islam Indonesia, ikatan mahasiswa Muhammadiyah dan
sebagainya.[7]
Selain itu, peranan dari departemen agama yang telah banyak berjasa dalam membentuk dan
mendorong kebangkitan Islam, tidak boleh dilupakan. Dengan mendirikan beberapa institutinstitut Islam, Jepang sangat berjasa dalam menyiapkan guru-guru agama, pendakwah dan
mubaliq dalam kuantitas besar. Bahkan departemen agama tutur berperan dalam memnbina
madrasah dan pesantren-pesantren yang ada diseluruh wilayah nusantara ini. Kita juga tidak bisa
mengabaikan, kebijaksanaan dari pemerintah yang telah membentuk majelis ulama Indonesia
yang bisa dikatakan sebagai suatu forum pemersatu umat Islam di Indonesia. Aspirasi-aspirasi
umat, termasuk aspirasi politik, juga bisa tersalurkan melalui lembaga ini.
Dari beberapa insititusi atau organisasi massa Islam yang masih eksis hingga saat ini, seperti
Persis, Al Irsyad, Jamiat Khair, dan beberapa nama di luar jawa, seperti Nahdlatul Wathan,
Sumatera Thawali, dan lain-lain, nampaknya hingga saat ini Muhammadiyah dan Nahdlatul
ulama, lebih banyak dikenal oleh masyarakat luas. Ini juga tidak lepas dari seringnya dua ormas
tersebut diwacanakan dalam berbagai kajian ilmiah, baik oleh ilmuwan

lokal maupun

internasional selain itu dua ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut juga memiliki struktur
kepemimpinan yang sangat hierarkis dari tingkat pusat di ibukota hingga ketingkat ranting di
kelurahan-kelurahan
Selain organisasi-organisasi tersebut di atas, harus diakui pola peran dari organisasiorganisasi atau kelompok-kelompok keagamaan Islam yang juga aktif menyelenggarakan kajiankajian, hanya saja menurut sebagian orang mereka lebih sering memunculkan tema-team yang
lebih bersifat politis, bukan kajian murni yang bersifat ilmiah dan secara umum dianggap tidak
memformulasikan pemikiran-pemikiran transformative dalam menghadapi persoalan-persoalan
aktual, sehingga pemikiran-pemikiran mereka cenderung dianggap sebagai wacana periforal.
Kelompok-kelompok tersebut berkeyakinan bahwa tata kehidupan yang baik dan bermartabat
hanya dapat tercapai dengan mewujudkan kekhalifahan Islam. Oleh karenanya untuk

mencapainya, mereka harus melalui perjuangan politik. Sebut saja seperti Hizbut Tahrir
Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam dan beberapa nama lainnya.[8]
Perkembangan pemikiran di masa ini, pada intinya tidak terletak pada perbedaan
kecenderungan pilihan wacana, tetapi lebih kepada kepribadian metode tafsir terhadap nash,
baik berkaitan dengan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran maupun al Hadits.
Kecenderungan metode penafsiran tekstual oleh kelompok Islam Fundamental dengan
kecenderungan metode tafsir liberal oleh komunitas Islam liberal adalah inti dari perbedaan
kecenderungan pemikiran di antara mereka. Akan tetapi, berkaitan persoalan-persoalan aktual
yang muncul dewasa ini, pada akhirnya perbedaan bermuara kepada persoalan pemilihan
wacana. Wacana kenegaraan dan penerapan syariat Islam secara formal menjadi tema sentral
komunitas Islam fundamental, sementara wacana tentang hak asasi manusia (HAM), demokrasi,
pluralisme, multiculturalisme dan sebagainya menjadi tema-tema yang digemari oleh komunitas
Islam liberal.

3. 3 Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia


Seiring tumbangnya pemerintahan Soeharto, Islam di Indonesia menunjukkan dinamika
yang kian bergemuruh. Berbagi kelompok dalam banyak bentuk bermunculan seperti organisasi
massa, partai politik dan lembaga-lembaga kajian dan organisasi non pemerintah (ornop). Ini
tentu tidak terlepas dari keterbukaan politik dan kebebasan berekspresi serta kebebasan
berkumpul dalam sistem demokrasi sekarang. Sesungguhnya kita bisa melihat dari berbagai
sudut pandang tentang polarisasi Islam paska orde baru ini. Mark Woodward (2001) misalnya
mengelompokkan respon silam atas perubahan paska orde baru ke dalam lima kelompok.
Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari sudut doktrin dan akar-akar sosial di
dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama maupun yang baru.[9]
Pertama adalah indigenized Islam. Indigenized Islam adalah sebuah ekspresi Islam yang
bersifat lokal; secara formal mereka mengaku beragama Islam tetapi biasanya mereka lebih
mengikuti aturan-aturan lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini paralel dengan
apa yang disebut Clifford Geerts sebagai Islam Abangan untuk konteks Jawa. Kedua adalah
kelompok tradisional Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran Sunny terbesar di
Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri karena disamping ia memiliki kekhasan
7

yang tidak dimiliki kelompok lain seperti basis yang kuat di pesantren dan di pedesaan,
hubungan guru murid yang khas.
Kelompok ketiga adalah Islam modernis. Mereka terutama berbasis pada Muhammadiyah.
Sasaran utamanya adalah pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Ia memperkenalkan
ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik. Keempat adalah islamisme atau islamis. Gerakan
ini tidak hanya mengusung Arabisme dari konseruatisme tetapi juga di dalam dirinya terdapat
paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran jika jihad dan penerapan syariah Islam menjadi
karakter utama dari kelompok ini.
Kelompok kelima adalah neo-modernisme Islam. Ia lebih dicirikan dengan gerakan
intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam yang mapan. Mereka berasal dari berbagai
kelompok termasuk kalangan tradisional maupun dari kalangan modernis. Kelompok ini sangat
kritis terhadap penerapan syariah Islam tanpa perubahan dan kritik terhadap doktrin terlebih
dahulu, serta membela kesetaraan perempuan, pluralisme dan toleransi.
Terjadinya perbedaan dalam melihat kondisi Islam di Indonesia itu merupakan dampak dari
pengembangan pemikiran khususnya dalam dinamika intelektual yang diorientasikan kepada
pembangunan kebangsaan. Satu hal yang mestinya sadari bahwa semakin banyaknya organisasiorganisasi atau kelompok-kelompok Islam yang muncul belakangan ini sebenarnya dapat
menjadi kekayaan wacana tentang Islam di Indonesia. Barangkali yang jauh lebih penting adalah,
bagaimana mengupayakan pembinaan kesadaran bersama, bahwa Islam ditengah-tengah
kehidupan bangsa ini laksana satu panji beragam arti, dan keragaman makna sebaiknya diyakini
sebagai anugerah ilahi untuk dinikmati kita bersama.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah kami ini adalah Islam tampil dalam sistem religuisitas
dan gerakan-gerakan sosial yang beragam itu diakibatkan dari kemajemukan pemahaman serta
lingkungan sosial, budaya dan politik masyarakat pemeluknya. Pola pemikiran keislaman yang
diikuti gerakan-gerakan umat menunjukkan relevansinya dengan gerak langkah pembangunan
bangsa.
Terlihat jelas partisipasi umat Islam yang didalamnya terbingkai oleh nilai-nilai agama,
meskipun ia tidak serta merta dapat membingkai kesatuan pandangan dan gerakan Islam.
Gerakan-gerakan keagamaan, baik yang tradisional, modern, neo-modernis, fundametnalis,
militan maupun ekstern, semuanya merupakan isyarat tentang sikap dan respon umat Islam
terhadap kepentingan-kepentingan bangsa.

DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra. Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal, Bandung; Penerbit Mizan
Media Utama, 2002.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Mundzirin Yusuf, dkk. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Cet. I Yogyakarta;
Penerbit Pustaka, 2006.
Taufik Abdullah. Islam dan Masyarakat Jakarta; P3ES, 1987.
[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Ed. II Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006), h. 257
[2] Azyumardi, Azra. Islam Nusantara; Jaringan Global dan Lokal, Cet. I (Bandung:
Mizan Media Utama, 2002), h. 125
[3] Badri Yatim, op.cit. h. 25.

10

[4] Mundzirin Yusuf, dkk. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Cet. I (Yogyakarta;
Penerbit Pustaka, 2006), h.
[5] Ibid, h. 294
[6] Ibid, h. 194-195.
[7] Badri Yatim, op.cit., h. 274
[8] Mundzirin Yusuf, dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Cet. I (Yogyakarta:
Penerbit Pustaka, 2006), h. 195.
[9] Oleh Ahmad Suardy, 2001.

11

Anda mungkin juga menyukai