Anda di halaman 1dari 21

BAB 1.

PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Bahan makanan yang kita konsumsi, utamanya yang berasal dari tumbuhan
merupakan sumber karbohidrat yang dapat memberikan energi pada manusia. Selain
itu karbohidrat juga tersusun atas gula-gula sederhana sehingga banyaknya
karbohidrat dalam suatu bahan pangan dapat menentukan berapa besar glukosa darah
dalam tubuh manusia ketika dikonsumsi.
Indeks Glikemik adalah angka yang menunjukkan potensi peningkatan
glukosa darah dari karbohidrat yang tersedia pada suatu pangan atau secara sederhana
dapat dikatakan sebagai tingkatan atau rangking pangan menurut efeknya terhadap
kadar glukosa darah ( Powell 2002). Makanan yang sedikit atau tidak mengandung
karbohidrat, seperti daging, keju, dan gajih memiliki indeks glisemik mendekati nol.
Semakin sedikit makanan mengandung pati dan gula yang mudah dicerna, semakin
kecil indeks glikemiknya. Makanan berserat, meskipun mengandung karbohidrat,
membutuhkan waktu untuk melewati sistem pencernaan, sehingga cenderung
memiliki indeks glikemik rendah. Serat juga membantu memperlambat masuknya
gula ke dalam aliran darah Anda (Majalah kesehatan, 2013).
Makanan yang memiliki IG yang tinggi berarti makanan tersebut meninggikan
gula darah dalam waktu yang lebih cepat, lebih fluktuatif, lebih tinggi, dari makanan
yang memiliki IG yang rendah. Perlu diketahui bahwa naiknya gula darah atau
glukosa darah hanya disebabkan oleh zat karbohidrat saja sementara protein dan
lemak tidak meninggikan glukosa darah setelah konsumsi. Jadi indeks glikemik ini
paling penting untuk memilih makanan yang mengandung banyak karbohidrat
sebagai sumber tenaga (Sarwono 2003).
Makanan yang sangat kurang atau tidak mengandung karbohidrat tidak
memiliki nilai IG seperti ikan, daging, telur, alpukat, minyak goreng, margarine dan
lain-lain. Badan Kesehatan Dunia WHO bersama dengan FAO menganjurkan
konsumsi makanan dengan IG rendah untuk mencegah penyakit-penyakit degeneratif
yang terkait dengan pola makan seperti penyakit jantung, diabetes, dan obesitas.

Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi IG pada pangan antara lain cara
pengolahan, perbandingan amilosa dan amilopektin, tingkat keasaman dan daya
osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serata kadar zat anti gizi- pangan
( Rimbawan & Siagan 2004).
Pada Praktikum ini akan dihitung kadar indeks glikemik beberapa bahan
pangan, agar dapat diketahui bahan pangan mana yang memiliki indeks glikemik
rendah dan tinggi, sehingga masyarakat dapat mengkonsumsinya sesuai dengan
kebutuhan mereka.
1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan menentukan nilai indeks glikemik (IG) pangan segar
maupun olahan dengan metode dua kompartemen.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Indeks Glikemik
Indeks Glikemik pertama kali dikembangkan tahun 1981 oleh Dr. David
Jenkins, seorang Profesor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada, untuk membantu
menentukan pangan yang paling baik bagi penderita diabetes. Pada masa itu, diet bagi
penderita diabetes didasarkan pada system porsi karbohidrat. Konsep ini menganggap
bahwa semua pangan berkarbohidrat menghasilkan pengaruh yang tidak sama pada
kadar glukosa darah (Rimbawan & Siagian 2004).
Pada penelitiannya, dalam Indeks Glikemik Pangan, menunjukan bahwa
karbohidrat yang berbeda akan memberikan efek berbeda pada kadar gula darah dan
respon insulin, walaupun diberikan dalam jumlah (Gram) sama. Fakta dari penelitian
yang ditujukan kepada para penderita diabetes tersebut, menunjukan bahwa untuk
jangka menengah penggantian karbohidrat yang memiliki IG tinggi dengan
karbohidrat yang memiliki IG rendah akan memperbaiki pengendalian gula darah.
Menurut Dr. David Jenkins, Indeks Glikemik adalah tingkatan pangan
menurut efeknya terhadap kadar gula darah. Dengan kata lain Indeks Glikemik adalah
respon glukosa darah terhadap suatu asupan makanan.
Indeks glikemik pangan adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap
kadar glukosa darah. Sebagai perbandingannya, indeks glikemik glukosa murni
adalah 100. Indeks glikemik merupakan cara ilmiah untuk menentukan makanan bagi
penderita diabetes, orang yang sedang berusaha menurunkan berat badan tubuh, dan
olahragawan (Rimbawan & Siagian 2004).
GI (Glycaemic Index) adalah skala atau angka yang diberikan pada makanan
tertentu berdasarkan seberapa cepat makanan tersebut meningkatkan kadar gula
darahnya, skala yang digunakan adalah 0-100 (D. Damayanti 2013). Jadi, Indeks
Glikemik adalah angka yang menunjukkan potensi peningkatan gula darah dari
karbohidrat yang tersedia pada suatu pangan atau secara sederhana dapat dikatakan

sebagai tingkatan atau rangking pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa
darah.
Indeks Glikemik adalah rasio antara luas kurva respon glukosa makanan yang
mengandung karbohidrat total setara dengan 50 gram terhadap luas kurva respon
glukosa setelah makan 50 gram glukosa, pada hari yang berbeda dan pada orang sama
(Truswell, 2009).
2.2 Makanan Uji
2.2.1 Sawo
Buah sawo merupakan jenis buah-buahan tropis yang dapat ditemukan hampir
diseluruh wilayah Indonesia. Setiap pohon sawo dapat menghasilkan 3.000 buah atau
setara dengan 300 kg pertahun, selain itu buah sawo merupakan tanaman yang dapat
berbuah sepanjang tahun. Buah sawo biasanya dikonsumsi segar. Rasa manis buah
sawo disebabkan oleh kandungan gula dalam bentuk glukosa ( 4,2 % ) dan fruktosa
(3,8 %) , selain itu buah sawo kaya akan kandungan gizi dengan komposisi yang
lengkap (Rahmad dkk, 2001).
2.2.2 Kenitu
Buah kenitu (Chrysophyllum cainito L., suku Sapotaceae) atau star apple
adalah buah yang berasal dari Amerika Tengah yang banyak tumbuh di Indonesia.
Buah kenitu diketahui mengandung berbagai polifenol antioksidan seperti katekin,
epikatekin, galokatekin, epigalokatekin, kuersetin, kuersitrin, isokuersitrin, mirisitrin,
dan asam galat (Luo et al., 2002). Selain itu, buah kenitu mengandung antosianin
antioksidan sianidin-3-O--glukopiranosida (Einbond et al., 2004).
2.2.3 Blewah
Blewah ternyata juga memiliki indeks glikemik rendah (GI), fruktosa dan
glukosa yang terdapat pada buah blewah adalah gula alami sederhana, sehingga aman
dikonsumsi bagi penderita diabetes dan obesitas. Blewah atau nama latinnya
(Cucumis melo cantalupensis), termasuk dalam keluarga Cucurbitaceae dan memiliki
kedekatan dengan melon. Dilihat dari nilai gizinya, blewah merupakan sumber

vitamin dan mineral yang baik. Kandungan gizi blewah per 100 gram adalah sbb:
Protein 0,84g, Lemak 0,19g, Karbohidrat 8,16g, dan Serat 0,9g. Blewah mempunyai
indeks glikemik 65, sehingga digolongkan ke dalam kategori sedang.
2.2.4 Wortel
Wortel (Daucus carota L.) adalah tumbuhan jenis sayuran umbi yang
biasanya berwarna kuning kemerahan atau jingga kekuningan dengan tekstur
serupa kayu (Malasari 2005). Bagian yang dapat dimakan dari wortel adalah
bagian umbi atau akarnya. Kegunaan awalnya hanyalah sebagai obat, tetapi
sekarang wortel telah menjadi sayuran utama dan umumnya dikenal karena
kandungan - dan -karotennya. Kedua jenis karoten ini penting dalam gizi
manusia sebagai provitamin A. Selain kandungan provitamin A yang tinggi,
wortel juga mengandung vitamin C dan vitamin B serta mengandung mineral
terutama kalsium dan fosfor. Selain itu di dalam wortel juga terkandung pektin yang
baik untuk menurunkan kolesterol darah. Pada wortel juga terdapat serat yang
tinggi bermanfaat untuk mencegah terjadinya konstipasi. Komposisi zat gizi berupa
karbohidrat sebesar 9,58 g dan gula total sebesar 4,74 g (USDA National Nutrient
Database for Standard Reference (2007).
2.2.5 Nanas
Nanas (Ananas comosus (L) Merr.) adalah buah yang memiliki mata yang
banyak dan memiliki warna kuning keemasan. Nanas memiliki kandungan air 90%
dan kaya akan kalium, kalsium, fosfor, magnesium, zat besi, natrium, iodium,
sulfur, dan khlor. Selain itu, kaya asam, biotin, vitamin A, vitamin B12, vitamin
C, vitamin E, dekstrosa, sukrosa atau tebu, serta enzim bromelin, yaitu enzim
protease yang dapat menghidrolisis protein, protease, atau peptide sehingga dapat
digunakan untuk melunakkan daging (Prahasta, 2009). Gula yang terkandung dalam
nanas yaitu glukosa 2,32% fruktosa 1,42% dan sukrosa 7,89%. Asam-asam
yang terkandung dalam buah nanas adalah asam sitrat, asam malat, dan asam
oksalat. Jenis asam yang paling dominan yakni asam sitrat 78% dari total asam
(Irfandi, 2005)

2.2.6 Talas
Talas (Colocasia

esculenta (L)

Schot), termasuk

genus Colocasia

monokotiledon dengan famili Araceae. Umbi talas berpotensi sebagai sumber


karbohidrat dan protein yang cukup tinggi. Umbi talas juga mengandung lemak,
vitamin (A, B1 dan sedikit vitamin C), dan mineral dalam jumlah sedikit. Talas
mengandung karbohidrat sebesar 23 g. Umbi

talas

mengandung

pati

sekitar

18.2%, sedangkan kandungan gulanya sekitar 1.42%. Karbohidrat pada umbi


talas

sebagian

besar merupakan komponen pati, sedangkan komponen lainnya

pentosa, serat kasar, dekstrin, sukrosa, dan gula pereduksi. Pati talas mengandung
17-28 % amilosa, dan sisanya adalah amilopektin. ; Amilosa memiliki 490 unit
glikosa per molekul dan amilopektin memiliki 22 unit glukosa per molekul. Talas
mempunyai granula pati sangat kecil yaitu berkisar 3-4m. Komposisi pati talas
dipengaruhi oleh varietas iklim, kesuburan tanah, umur panen, dll. (Richana,
2012).
2.2.7 Terigu
Tepung terigu merupakan tepung yang berasal dari bahan dasar gandum
yang diperoleh dengan cara penggilingan gandum yang banyak digunakan dalam
industri pangan. Komponen yang terbanyak dari tepung terigu adalah pati,
sekitar 70% yang terdiri dari amilosa dan amilopektin. Besarnya kandungan
amilosa

dalam

pati

ialah

sekitar

20%

dengan suhu gelatinisasi 56 -62 0C.

Keistimewaan terigu diantara serealia lain adalah adanya gluten yang merupakan
protein yg menggumpal, elastis serta mengembang bila dicampur dengan air.
Gluten digunakan sebagai bahan tambahan untuk mempertinggi kandungan protein
dalam roti. Biasanya mutu terigu yang dikehendaki adalah terigu yang memiliki
kadar air 14%, kadar protein 8 -12%, kadar abu 0,25 0,60% dan gluten basah
24 36% (Astawan, 2004).
2.2.8 Tepung Tempe

2.2.9 Tapioka
Tepung tapioka adalah salah satu hasil olahan dari ubi kayu (cassava).
Analisis terhadap akar ubi kayu yang khas mengidentifikasikan kadar air
64,62%, pati 30,79% (Amilosa 7,02% dan amilopektin 23,77%), protein 1,23%
(Wulan dkk, 2006). Zat gula sebesar 5,13% (Simanjuntak, 2006). Tepung tapioka
umumnya berbentuk butiran pati yang banyak terdapat dalam sel umbi singkong
(Razif, 2006; Astawan, 2009). Menurut Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan
Provinsi DIY (2012) kandungan nutrisi pada tepung tapioka 100 g bahan makanan,
pada kandungan karbohidrat sebesar 86,9 g.
2.2.10 Kentang
Kentang merupakan tanaman umbi-umbian dan tergolong tanaman
berumur pendek. Bagian utama kentang (Solanum tuberosum) yang menjadi bahan
makanan adalah umbi, yang merupakan sumber karbohidrat, mengandung vitamin
dan

mineral

cukup tinggi. Kandungan pati pada kentang sebesar 20,63% dengan

amilosa 7,05% dan amilopektin 13,58% (Wulan dkk, 2006). Pati kentang memiliki
viskositas maksimum yang paling tinggi, tetapi memiliki viskositas pada fase
pendinginan

yang

lebih

rendah

dibandingkan dengan pati jagung. Hal ini

dikarenakan pati kentang memiliki kandungan amilosa yang rendah. Amilosa yang
relatif rendah menyebabkan kemampuan membentuk gel yang kurang kuat
(Kusnandar, 2011).

2.2.11 Melon
Melon

adalah

buah

yang

banyak

tumbuh

diiklim subtropik dan

mengandung gula yang tinggi dan lycopene yang berfungsi sebagai anti kanker.
Kandungan zat gizi dalam 100 g dari bagian buah melon yang dapat dimakan adalah
protein 0,6 g, kalsium 17 mg, thiamin 0,045 mg, vitamin A 2,4 IU, vitamin C 30
mg, vitamin B 0,045 mg, vitamin B2 0,065 mg, karbohidrat 6 mg, niasin 1 mg,

riboflavin 0,065 mg, zat besi 0,4 mg, nikotianida 0,5 mg, air 93 ml serat 0,4 g
dan 23 kalori.
2.2.12 Susu Skim
Komposisi susu umumnya terdiri dari 3,3% protein, 3,8% lemak, 4,7%
karbohidrat, 0,12% kalsium, 0,58% vitamin, serta kadar air yang tinggi sekitar 87,6%.
Komposisi rata-rata susu sapi mengandung laktosa 4,8%, lemak 3,7%, protein non
nitrogen 0,19%, dan abu 0,7%. Berdasarkan salah satu penelitian, nilai indeks
glikemik susu skim sebesar 32, sehingga masuk kedalam kategori pangan yang
memiliki IG rendah.
Jenis Susu Bubuk

Air (%)

Protein

Lemak

Laktos

(%)
(%)
a (%)
Susu bubuk full cream
3,5
25,2
26,2
38,1
Susu bubuk skim
4,3
35,0
0,97
51,9
Susu bubuk krim
4,0
21,5
40,0
29,5
Susu bubuk whey
7,1
12,0
1,2
71,5
Susu bubuk buttermilk
3,1
33,4
2,28
54,7
Sumber: Sudarwanto dan Lukman (1993) dalam Herdiana, U.R. (2007)

Minera
l (%)
7,0
7,8
5,0
8,2
6,5

2.2.13 Roti Tawar


Roti tawar adalah roti yang dibuat dari tepung terigu berprotein tinggi,
air,yeast, lemak dan garam yang di fermentasi dengan ragi roti dan dipanggang
(Mudjajanto, 2004). Secara umum roti merupakan bahan makanan sumber
karbohidrat pengganti nasi yang sangat potensial dan praktis. Komposisi roti tawar
umumnya terdiri dari 57% tepung terigu, 36% air, 1,6% gula, 1,6% shortening
(mentega atau margarin), 1% tepung susu, 1% garam dapur, 0,8% ragi roti (yeast),
0,8% malt dan 0,2% garam mineral (Astawan, 2004).
2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Indeks Glikemik Pangan
Faktor-faktor yang memengaruhi IG pada pangan antara lain adalah kadar
serat, perbandingan amilosa dan amilopektin (Rimbawan dan Siagian

2004),

daya cerna pati, kadar lemak dan protein, dan cara pengolahan (Ragnhild et al.

2004). Masing-masing komponen bahan pangan memberikan kontribusi dan saling


berpengaruh hingga menghasilkan respons glikemik tertentu (Widowati, 2007).
1. Cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel),
Proses pengolahan dapat menyebabkan meningkatnya nilai indeks glikemik
pangan karena melalui proses pengolahan struktur pangan menjadi lebih mudah
dicerna dan diserap sehingga dapat mengakibatkan kadar glukosa naik dengan
cepat. Selain itu ukuran partikel yang semakin kecil sehingga memudahkan
terjadinya degradasi oleh enzim juga dapat menyebabkan indeks glikemik
semakin meningkat. Pemanasan pati dengan air berlebihan mengakibatkan pati
mengalami gelatinisasi dan perubahan struktur. Pemanasan kembali dan
pendinginan pati yang telah mengalami gelatinisasi juga mengubah struktur pati
lebih lanjut yang mengarah pada terbentuknya kristal baru yang tidak larut,
berupa pati teretrogradasi, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan nilai
IG (Haliza et al. 2006).
Proses pemasakan atau pemanasan akan menyebabkan terjadinya gelatinisasi
pada pati. Dengan adanya proses pecahnya granula pati ini molekul pati akan
lebih mudah dicerna karena enzim pencerna pada usus mendapatkan tempat
bekerja yang lebih luas. Hal inilah yang menyebabkan proses pemasakan atau
pemanasan dapat menyebabkan terjadinya kenaikan indeks glikemik pangan
(Rimbawan & Siagian 2004).
2. Perbandingan amilosa dengan amilopektin
Amilosa disebut sebagai fraksi terlarut, sedangkan amilopektin sebagai fraksi
tidak larut. Amilosa merupakan polimer

rantai

lurus

glukosa

yang

dihubungkan oleh ikatan -(1,4)-glikosidik. Amilopektin merupakan polimer


gula seder hana, bercab ang, dan struktur terbuka. Amilopektin pada dasarnya
mirip amilosa, namun memiliki ikatan -(1,6)-glikosidik pada

titik

percabangannya. Amilopektin bersifat lebih rapuh (amorphous) dibanding


amilosa yang struktur kristalnya cukup dominan. Kandungan amilosa yang
lebih tinggi menyebabkan pencernaan menjadi lebih lambat karena amilosa
merupakan polimer glukosa yang memiliki struktur tidak bercabang (struktur

lebih kristal dengan ikatan hidrogen yang lebih ekstensif). Amilosa juga
mempunyai ikatan hidrogen yang lebih kuat dibandingkan dengan amilopektin,
sehingga lebih sukar dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan (Behall dan
Hallfrisch 2002). Struktur yang tidak bercabang ini membuat amilosa terikat
lebih

kuat

sehingga

sulit

tergelatinisasi

dan

akibatnya sulit

dicerna

(Rimbawan dan Siagian 2004). Selain itu, amilosa mudah bergabung dan
mengkristal sehingga mudah mengalami retrogradasi yang bersifat sulit untuk
dicerna.
Amilosa sangat berperan pada proses gelatinisasi dan lebih menentukan
karakteristik pasta pati. Kadar amilosa yang tinggi memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap perubahan kekuatan ikatan hidrogen sehingga pati
membutuhkan energi yang lebih besar untuk gelatinisasi. Berbagai hasil
penelitian menunjukkan bahwa pangan yang memiliki proporsi amilosa lebih
tinggi dibanding amilopektin memiliki nilai IG yang lebih rendah, begitu juga
sebaliknya.
3. Tingkat keasaman dan daya osmotik,
Keasaman dan daya osmotik pangan akan memengaruhi tinggi rendahnya IG
yang dimiliki oleh pangan. Keasaman suatu makanan mempengaruhi kecepatan
pencernaannya di dalam tubuh. Maka pemecahan makanan menjadi glukosa
lebih lambat. Pengaruh gula secara alami terdapat didalam pangan dalam
berbagai porsi terhadap respon gula darah sangat sulit diprediksi.Hal ini
dikarenakan pengosongan lambung diperlambat oleh peningkatan konsumsi gula
apapun strukturnya (Sarwono, 2002).
4. Kadar serat pangan
Serat pangan merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman
seperti pada buah-buahan, sayuran, serealia, dan aneka umbi. Komponen
serat pangan meliputi polisakarida yang tidak dapat dicerna, seperti selulosa,
hemiselulosa, oligosakarida, pektin, gum, dan waxes (Englyst dan Cummings
1985; Sardesai 2003; Astawan dan Wresdiyati 2004; Marsono 2004).

Keberadaan

serat

pangan

dapat

memengaruhi

kadar glukosa

darah

(Fernandes et al. 2005). Secara umum, kandungan serat pangan yang tinggi
berkontribusi pada nilai IG yang rendah (Trinidad et al . 2010). Dalam bentuk
utuh, serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan. Serat
dapat memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan menghambat
aktivitas enzim sehingga proses pencernaan khususnya pati menjadi lambat
dan respons glukosa darah pun akan lebih rendah. Dengan demikian IG-nya
cenderung lebih rendah.
5. Kadar lemak dan protein pangan
Pangan dengan kadar lemak yang tinggi cenderung memperlambat laju
pengosongan lambung, sehingga laju pencernaan makanan pada usus halus
juga lambat. Sementara itu, kadar protein yang tinggi diduga merangsang
sekresi insulin sehingga glukosa dalam darah tidak berlebih dan terkendali. Oleh
karena itu, pangan dengan kandungan lemak dan protein tinggi cenderung
memiliki IG lebih rendah dibandingkan dengan pangan sejenis yang berkadar
lemak dan protein rendah (Jenkinset al.1981; Rimbawan dan Siagian 2004).
Okuet al. (2010) menyatakan bahwa pangan dengan IG rendah dapat
menghasilkan banyak energi jika mengandung banyak lemak dan protein.
Namun, pangan berlemak harus dikonsumsi secara bijaksana. Total konsumsi
lemak tidak boleh melebihi 30% dari total energi dan total konsumsi lemak jenuh
tidak melebihi 10% dari total energi (Nisviaty 2006).
6. Kadar anti zat-gizi pangan
Menurut Rimbawan (2004) beberapa pangan secara alamiah mengandung zat
yang dapat menyebabkan keracunan bila jumlahnya besar. Zat tersebut
dinamakan zat anti gizi. Beberapa zat anti gizi tetap aktif walaupun sudah
melalui proses pemasakan. Zat anti gizi pada biji-bijian dapat memperlambat
pencernaan karbohidrat didalam usus halus.Akibatnya IG pangan menurun.
Salah satu faktor yang dapat menurunkan IG adalah zat antigizi, misalnya
asam fitat dantanin (Thompson et al. 1984; Rimbawan dan Siagan 2004).
Senyawa polifenolik sering disebut sebagai tanin. Zat antigizi ini dapat

menurunkan daya cerna protein maupun pati sehingga respon glikemiknya


menurun (Griffiths dan Moseley 1980; Thompson et al. 1984).
7. Daya Cerna Pati
Daya cerna pati adalah tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk dihidrolisis
oleh enzim pemecah pati menjadi unit- unit yang lebih sederhana. Enzim
pemecah pati dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu endo-amilase dan eksoamilase. Enzim alfa-amilase termasuk ke dalam golongan endo-amilase yang
bekerja memutus ikatan di dalam molekul amilosa dan amilopektin. Proses
pencernaan pati dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik (Tharanthan dan Mahadevamma 2003). Faktor intrinsik menyebabkan
pati dicerna pada usus halus. Faktor intrinsik berkaitan erat dengan sifat
alami pati, seperti ukuran granula, keberadaannya pada matrik pangan, serta
jumlah dan ukuran pori pada permukaan pati.
Ukuran

granula

pati

berkaitan

dengan

luas

penampang permukaan

totalnya. Semakin kecil ukuran granula pati, semakin besar luas permukaan
total granula pati tersebut. Dengan luas permukaan yang lebih besar, enzim
pemecah pati memiliki area yang lebih luas untuk menghidrolisis pati
menjadi glukosa. Semakin mudah enzim bekerja, semakin cepat pencernaan
dan penyerapan karbohidrat pati. Dhital et al. (2010) melaporkan terdapat
korelasi negatif antara ukuran granula pati dengan koefisien laju pencernaan.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa proses hidrolisis pati terjadi melalui
mekanisme difusi terkendali (diffusion-controlled) atau permukaan terkendali
(surface-controlled). Dengan kata lain, luas permukaan granula pati berperan
dalam mengendalikan laju pencernaan. Oleh karena itu, jika ukuran granula pati
kecil, maka pati tersebut diduga akan memberikan nilai IG tinggi. Argasasmita
(2008) dan Hasan et al. (2011) yang menunjukkan bahwa pangan dengan
daya cerna pati tinggi menghasilkan nilai IG yang tinggi pula. Chung et al.
(2006) melaporkan bahwa pati bahan pangan yang tergelatinisasi sebagian
memiliki daya cerna

pati

yang

rendah.

Dengan

demikian,

pati yang

tergelatinisasi sebagian relatif lebih tahan terhadap hidrolisis enzim sehingga


nilai IG-nya cenderung lebih rendah.
2.4

BAB 3 METODOLOGI PRAKTIKUM


3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat :
1. Alat glukotest
2. Wadah steril
3. Wadah kotor
4. Strip
5. Lanset
3.1.2 bahan :
1. Kapas
2. Alkohol
3. Roti tawar
4. Wortel
5. Melon
6. Sawo
7. Kentang
8. Nanas

9. Blewah
10. Tepung tempe
11. Susu skim
12. Terigu
13. Talas
14. Tapioka
15. Kenitu

3.2 Prosedur Penentuan Indeks Glikemik


Pangan
Responden
Puasa selama 8 jam
Pengambilan darah
Pemberian pangan uji / pangan acuan
Pengambilan darah setiap 15 menit
Pengulangan sebanyak 4 kali
Pengambilan darah setiap 30 menit
Pengulangan sebanyak 2 kali
Penentuan Indeks Glikemik Pangan

BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN


4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Hasil Pengamatan Bahan Pangan

BAB 5. PEMBAHASAN
5.1 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
Praktikum mengenai Indeks Glikemik Pangan dilakukan menggunakan
responden sebanyak 12 orang dengan kriteria individu sehat, dan tidak menderita
diabetes. Responden sebelumnya telah berpuasa selama kurang lebih 12 jam dengan
tujuan untuk menetralkan kadar gula darah sehingga tidak terjadi fluktuatif kadar gula
darah ketika pengukuran. Setelah itu, perlakuan pengambilan darah pada masingmasing responden pada menit ke-0 menggunakan glucotest untuk mengetahui kadar
glukosa darah responden sebelum diberikan pangan uji. Kemudian responden yang
telah melakukan test darah diberikan pangan uji, setiap responden diberikan pangan
uji yang berbeda-beda dengan tujuan untuk mengetahui indeks glikemik dari masingmasing pangan uji yang diberikan. Pangan uji yang digunakan dalam praktikum
terdapat 12 bahan yaitu kenitu, sawo, wortel, kentang, nanas, blewah, melon, tepung
tempe, tepung terigu, talas, tapioka dan susu skim. Setelah responden memakan
pagan uji yang diberikan, dilakukan pengambilan darah seiap 15 menit selama 1 jam
(menit ke 15, 30, 45, 60). Satu jam berikutnya dilakukan pengambilan sebanyak 2
kali yaitu setiap 30 menit sekali (menit ke-90 dan 120). Pengukuran glukosa darah
selama 2 jam bertujuan untuk mengetahui kadar glukosa darah setelah pemberian
pangan uji karena asupan glukosa dari pangan yang dikonsumsi akan diserap habis
setelah 2 jam konsumsi. Selama periode metabolisme tersebut, glukosa dalam darah
mengalami tahapan proses yang disebut absorpsi, distribusi, dan eliminasi.
Selanjutnya, selang waktu 3 hari setelah perlakuan pemberian pangan uji, perlakuan
sama dilakukan dengan memberikan pangan acuan (roti tawar). Pada setiap waktu
pengambilan sampel, kadar gula darah ditebar pada dua sumbu, yaitu sumbu waktu
dan kadar gula darah. Indeks glikemik ditentukan dengan membandingkan luas
daerah dibawah kurva antara pangan yang diukur IG-nya dengan pangan acuan.

5.2 Analisa Data


Bismillah cepet selesai amin

BAB 6. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
6.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai