Anda di halaman 1dari 14
BABII TINJAUAN PUSTAKA. 2.1, Pengertian Minyak Goreng Minyak adalah termasuk golongan lipid (netral). Minyak adalah lemak yang berwujud cair pada suhu kamar yaitu 25 °C. Minyak merupakan trigeliserida (triasil gliserol) dari gliserol dan berbagai asam lemak (Winamo, 1997). Minyak mengandung sejumlah kecil komponen selain trilgliserida, yaitu: (1) lipid kompleks (lesithin, cephalin, fosfatida, dan glikolipid), (2) sterol, (3) asam lemak bebas, (4) lilin, (5) pigmen larut minyak, seperti: klorofil dan karotenoid, dan (6) hidrokarbon, seperti karbohidrat, protein, dan vitamin. Komponen tersebut akan mempengaruhi sifat dan warna minyak (Buckle, dkk., 1987) Minyak dapat diperoleh dari dua sumber, yaitu: (1) minyak nabati, contohnya: ‘minyak jagung, minyak zaitun, minyak kedelai, minyak kacang tanah, minyak biji wijen, minyak kelapa, dan minyak kelapa sawit, (2) minyak hewani, contohnya: mentega, minyak sardin, lemak sapi, dan minyak babi (Winamo, 1999). Ketaren (1986), mengklasifikasikan minyak nabati menurut sifat fisiknya (sifat ‘mengering dan sifat cair) menjadi tiga: (1) minyak mengering (drying oil), yaitu minyak yang mempunyai sifat dapat mengering jika kena oksidasi dan akan berubah menjadi lapisan tebal, bersifat kental, dan membentuk sejenis sclaput jika dibiarkan pada udara terbuka. Contohnya: minyak kedelai, (2) minyak setengah mengering (sem drying oil), yaitu minyak yang mempunyai daya mengering lebih Jambat, contoh: minyak jagung dan minyak biji bunga matahari, dan (3) minyak tidak mengering (non drying oil), contoh: minyak kelapa, minyak sawit, minyak zaitun, dan minyak kacang tanah. Minyak yang baik digunakan scbagai minyak goreng adalah minyak kelapa, kacang tanah, dan kelapa sawit. Minyak goreng berfungsi sebagai penghantar panas, penambah rasa gurih, dan penambah nilai kalori bahan pangan (Winamo, 1997). Suhu penggorengan yang normal sekitar 163 — 196 °C, tapi terkadang harus memperhatikan produk yang digoreng (Auliana, 2001). Minyak goreng adalah minyak yang telah mengalami proses pemumian meliputi: (1) degumming adalah proses pemisahan getah atau lendir, berupa: fosfatida, air, protein, residu, dan karbohidrat tanpa mengurangi jumlah asam lemak bebas, (2) netralisasi adalah proses pemisahan asam lemak bebas dari minyak dengan cara mereaksikannya dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun, (3) pemucatan adalah roses penghilangan zat-zat wama yang tidak disukai dalam minyak, dan (4) deodorisasi adalah proses penghilangan bau dan rasa yang tidak enak dalam minyak (Ketaren, 1986). 2.2. Komposisi Minyak Goreng Semua minyak goreng tersusun atas unit-unit asam lemak dimana jumlah asam lemak alami yang telah diketahui ada dua puluh jenis asam lemak yang berbeda. Tidak satupun minyak goreng yang tersusun atas satu jenis asam lemak karena selalu dalam bentuk campuran dari berbagai asam lemak. Proporsi campuran ini menyebabkan minyak goreng berbentuk cair, bersifat sehat atau membahayakan keschatan, bersifat netral, tahan simpan atau mudah tengik (Winamo, 1999) Minyak goreng berwujud cair karena rendahnya kandungan asam lemak jenuh~ dan tingginya kandungan asam Jemak tidak jenuh (Winamo, 1997). Umumnya, minyak nabati mengandung asam lemak tidak jenuh tunggal dan ganda (kecuali minyak kelapa). Sedangkan, minyak hewani mengandung banyak asam lemak jenuh (Nurachmah, 2001). Secara umum, komponen utama minyak yang menentukan mutu minyak adalah asam lemaknya karena asam lemak menentukan sifat dan stabilitas minyak. Ketaren (1986), mengatakan bahwa susunan asam lemak dari setiap jenis minyak berbeda-beda disebabkan adanya perbedaan sumber, iklim, keadaan tempat tumbuh, dan pengolahan. Komposisi asam lemak yang bervasiasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Komposisi Beberapa Asam Lemak dalam Empat Minyak Goreng Nabati Komposisi Jumiah | Minyak | Minyak | Minyak | Minyak Asam Lemak Atom | Kelapa Sawit | Kedelai | Jagung | c (%) (%) () (%) ‘Asam Lemak Jenuh: 1. Butirat 4 = = = = 2. Kaproat 6 | 00-08 = = = 3. Kaprilat 8 5,5-9,5_| = = = | 4. Kaprat 10 | 45-95 = = = 5. Laurat 12 | 44—52 = 00-01 = 6. Miristat 14 | 13-19 | 11-25 [trace 05] — 7. Palmitat_ 16 | 75-105 | 40-46 | 7-10 118 8._ Stearat 1 | 10-30 | 36-47 | 2-5 19 9. Arakhidat 20 | 00-04 = 02-1 01 ‘Asam Lemak Tidak Jenuh: 1. Palmitoleat 16:1 | 00-13 | 08-14 | tace-1 | 01 2. Oleat 18:1 [50-80 | 39-45 | 1-60 | 241 3._Linoleat 18:2 [15-25 | 7-11 15-64 | 563 4. Linolenat 18:3 = = 1-12 09 5._Arakhidonat 20:4 = = 15 = Sumber: Ketaren, 1986 2.3, Klasifikasi Asam Lemak ‘Asam lemak adalah asam monokarboksilat yang membentuk rantai yang tidak bercabang/lurus dengan jumlah atom karbon (C) yang genap. Jenis dan jumlah asam Jemak pembentuk senyawa lipid akan menentukan sifat fisik lemak/minyak (Moehji, 2002). Berdasarkan jumlah atom C yang membentuk rantai asam lemak, maka asam lemak dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) asam lemak rantai panjang (Long Chain Triglyceride) adalah asam lemak dengan jumlah atom C lebih dari 12, (2) asam lemak rantai medium (Medium Chain Tryglyceride) adalah asam lemak dengan jumlah atom C antara 10 12, dan (3) asam lemak rantai pendek (Short Chain Trygliceride) adalah asam Jemak dengan jumlah kurang dari 10. Menurut ikatan pada rantai karbonnya, asam Jemak dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Asam Lemak Jenuh (Saturated Fatty AcidISFA) SFA adalah asam lemak yang setiap karbon maksimum berikatan dengan dua atom hidrogen tanpa ikatan rangkap pada rantai karbonnya, contoh: asam palmitat, miristat, laurat, stearat, dan arakhidat. SFA dapat meningkatkan kadar kolesterol tubuh schingga konsumsinya harus dibatasi dibawah 10 % dari kebutuhan total kalori harian. SFA terdapat pada susu, telur, daging sapi, kambing, ayam, krim kelapa, dan mentega (Pikiran Rakyat, 2003), Umumnya, SFA dengan atom C) — Cg berwujud cair dan jika lebih besar dari Cy akan berwujud padat (Ketaren, 1986). 2. Asam Lemak Tidak Jenuh (Unsaturated Fatty AcidfUFA) UFA adalah asam lemak yang setiap karbon hanya mampu berikatan dengan satu atom hidrogen dan memiliki safu atau Jebih ikatan rangkap pada rantai Karbonnya. Asam lemak ini dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu: a. Asam Lemak Tidak jenuh Tunggal (Mono Unsaturated Fatty AcidfMUFA) MUFA adalah asam lemak dengan satu buah ikatan rangkap, contoh: asam oleat dan palmitoleat. MUFA tidak mempengaruhi kadar kolesterol tubuh dan tidak berbahaya bagi pengidap penyakit jantung- MUFA terdapat pada ikan, minyak kanola, kacang-kacangan, dan minyak zaitun (Pikiran Rakyat, 2003). Konsumsi MUFA seharusnya diatas 15% kalori total (Anonimus, 2003). b. Asam Lemak Tidak jenuh Ganda (Poly Unsaturated Fatty Acid/PUFA) PUFA adalah asam lemak dengan ikatan rangkap lebih dari satu, coutoh: asam linoleat, linolenat, dan arakhidonat. PUFA diduga dapat menurunkan kadar kolesterol tubuh. Makanan yang mengandung PUFA adalah: minyak kanola, sayuran, minyak kedelai, makanan laut, kacang-kacangan (Pikiran Rakyat, 2003). Konsumsi PUFA seharusnya diatas 10 % kalori total (Anonimus, 2003). Komposisi asam lemak minyak goreng berdasarkan hasil survei MARDI (1987/1988) dengan metode Kromatografi Gas tersaji pada Tabel 2.2. berikut ini: Tabel 2.2. Komposisi Asam Lemak dalam Minyak Goreng Berdasarkan Survei MARDI (1987/1988) Dari 193 Sampel Minyak (Kromatografi Gas) No. | _ Komposisi Asam Lemak ‘Nilai Tengah ‘(Mie Max) 1. [Ciz:0(Asam Laurat) 03 0,1-0,5 2._| Cis-0(Asam Miristat 1,0 09-14 3._| Cie-0(Asam Palmitat) 308 385-417 4._[ Cig. 1 (Asam Palmitoleat) 02 01-03 5._| Cis-0 (Asam Stearat) 44 40-47 6._| Cis: (Asam Oleat) 424 40,7—439 7._| Cie-2(Asam Linoleat) 12 104-134 8._| Cis. (Asam Linolenat) 04 0,106 9. | C2o-0(Asam Arakhidat) 04 02-06 — Sumber: Yusof, 1995 2.4, Proses Penggorengan Menggoreng adalah proses memasak bahan pangan menggunakan subu tinggi dengan bantuan minyak sebagai media pengantar panas (Muchtadi, 2003), Menurut Ketaren (1986), proses menggoreng dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu: L. Proses Gangsa (Pan Frying) Proses Gangsa (Pan Frying) dapat menggunakan lemak atau minyak dengan titik asap yang lebih rendah, karena suhu pemanasan umumnya lebih rendah dari subu 10 pemanasan pada sistem deep frying. Ciri khasnya adalah: karena bahan pangan yang digoreng tidak sampai terendam dalam minyak atau lemak. 2. Proses Menggoreng Biasa (Deep Frying) Proses penggorengan dengan sistem deep frying, bahan pangan yang digoreng, terendam dalam minyak dan suhu minyak dapat mencapai 200 — 205 °C. Secara komersil bahan pangan yang digoreng biasanya digoreng dengan menggunakan sistem deep frying dimana ketel-ketel penggorengan biasanya dilengkapi dengan termostat guna menjaga suhu tetap konstan (Ketaren, S., 1986). Struktur Bahan Yang Digoreng Untuk memahami pengertian dari bahan pangan digoreng, dapat dilihat dari aspek anatomi bahan pangan tersebut karena semua bahan pangan digoreng mempunyai struktur dasar yang sama. Gambar 1. memperlihatkan potongan melintang dari bahan pangan digoreng. Jrner zone (core) adalah bagian dalam dari bahan pangan berkadar air tinggi dan umum terdapat pada bahan pangan yang digoreng. Core (inner zone) Lapisan luar (outer zone) Permukaan luar = kerak (outer zone) Gambar 1. Struktur Dasar Bahan Pangan yang Digoreng Proses pemasakan berlangsung oleh penyerapan panas dari minyak yang masuk kke dalam bahan pangan. Proses pemasakan ini dapat mengubsh karakter bahan pangan, tergantung dari bahan pangan yang digoreng. Permukaan lapisan Juar akan berwama coklat keemasan akibat penggorengan. Timbulnya warna di permukaan bahan disebabkan i oleh rcaksi browning (kecoklatan) dimana jenis Jemak/minyak yang digunakan berpengaruh sangat kecil terhadap wama permukaan bahan. Tingkat intensitas warna ini mempengaruhi bahan yang tergantung dari lama dan suhu penggorengan, serta komposisi kimia pada permukaan Ivar dari bahan itu sendiri (Ketaren, 1986). 2.4.2. Jenis Bahan Yang Digoreng ‘Ayam adalah salah satu sumber protein hewani, lemak, karbohideat, vitamin, dan mineral yang kegunaan dan manfaatnya dapat menunjang kehidupan manusia. Daging ayam sebagai makanan berilai gizi tinggi dengan cita rasa yang lezat dapat diolah menjadi ayam panggang, sate, sop, semur ayam, ayam cah sayur, opor, dan ayam goreng, termasuk dibuat ayam Ala Kentucky (Cahyono, 1998). Ayam goreng Ala Kentucky adalah ayam goreng tepung yang diproses semirip mungkin dengan ayam goreng Kentucky di restoran siap saji yang hanya didapatkan di tempat-tempat khusus tersebut, tapi kini banyak dijual dengan kualitas yang berancka ragam. Menurut Winarno (1997), ayam jenis merupakan sumber lemak yang baik karena kandungan lemaknya 20,5 gr dengan asam lemak jenuh sebesar 3 g7/100 gr bahan. Jika bahan ini digoreng dengan minyak maka kulit bagian tamya akan mengkerut. Kulit atau kerak tersebut dihasilkan akibat proses dehidrasi bagian luar bahan pangan pada waktu menggoreng. Pembentukannya terjadi akibat panas dari lemak sehingga menguapkan air yang terdapat pada bagian luar bahan. Pada kadar air 3% atau kurang akan terbentuk kerak dan bahan pangan akan menjadi masak (Ketaren, 1986). 12 2.5. Efek Kerusakan Minyak Akibat Proses Penggorengan Terhadap Kesehatan dan Nilai Gizi Menurut Djatmiko dalam Utama (2001), tingkat kerusakan minyak selama proses menggoreng dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: suhu, oksigen, kandungan asam Jemak bebas, dan komposisi bahan pangan yang digoreng. Kerusakan minyak dipercepat dengan adanya air, protein, lemak, hidrokarbon, dan bahan lain yang berasal dari makanan yang digoreng. Pada subu tinggi, air akan menghidrolisis gliserida-gliserida minyak menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Selanjutnya, gliserol akan terpecah menjadi akrolein yang mempunyai bau pedas, yang menyebabkan rasa gatal pada tenggorokan dan merangsang keluarnya air mata. Reaksi-reaksi kerusakan selama proses penggorengan terjadi secara bertahap yang diawali dengan terjadinya pembentukan wama, oksidasi yang diikuti dengan polimerisasi dan pada akhimya terjadi reaksi hidrolisis. Tingkat kerusakan dari terjadinya reaksi, tersebut tergantung pada suhu dar waktu pemanasan, zat-zat pengoksidasi, dan produk- produk hasil reaksi oksidasi, komposisi asam lemak dari minyak serta posisi asam lemak tersebut dalam trigliserida (Lawson, 1985). Adanya ikatan rangkap pada atom karbonnya memungkinkan minyak goreng mudah teroksidasi dengan berbagai cara, seperti: pemanasan dan kontak dengan udara bebas. Produk primer oksidasi asam lemak adalah senyawa peroksida yang terbentuk dari hasil reaksi antara lemak tidak jenuh dengan oksigen. Sedangkan produk sekunder dihasilkan dari kerusakan hidroperoksida. Hasil kerusakan tersebut berupa persenyawaan alkohol, aldehid, asam, dan persenyawaan tidak jenuh dengan berat molekul lebih rendah. Pemanasan akan menyebabkan perubahan kimia pada asam Jemak tidak jenuh, yaitu: terbentuknya peroksida dalam asam lemak tidak jenuh, peroksida berdekomposisi 13 menjadi persenyawaan karbonil, dan polimerisasi oksidasi sebahagian. Hasil polimerisasi oksidasi sebahagian asam lemak dapat dari lemak sebagai fraksi non-urea adduct. Fraksi pada dosis 25% dapat mengakibatkan keracunan yang akut pada tikus setelah 7 hari, sedangkan peroksida dan persenyawaan karbonil mengakibatkan keracunan yang kronis dalam aktivitas biologis. Reaksi-reaksi kerusakan minyak selama penggorengan didasarkan atas reaksi penguraian asam temak. Produk yang terbentuk diklasifikasikan menjadi 2 (dua) golongan utama, yaitu: (1) hasil dekomposisi yang tidak menguap, yang tetap berada di dalam minyak dan diserap oleh bahan yang digoreng, (2) hasil dckomposisi yang dapat menguap, yang keluar bersama-sama dengan uap sewaktu penggorengan. ‘Timbulnya racun dalam minyak yang dipanaskan telah banyak dipelajari. Jika minyak tersebut diberikan pada ternak atau disuntikkan ke dalam aliran darah akan timbul gejala diare, kelambatan pertumbuhan, pembesaran organ, kekurangan lemak yang tidak normal, kanker, dan kontak tidak sempuma pada urat syaraf. Disamping itu, pemanasan juga menurunkan nilai cema minyak dan nilai gizi bahan yang digoreng. Kemungkinan adanya aksi karsinogenik dari minyak yang dipanaskan (suhu 300 — 350 °C), dibuktikan dengan bahan pangan berlemak teroksidasi yang dapat mengakibatkan pertumbuhan kanker hati. Selain itu, telah terbukti pula adanya aktivitas karsinogenik dalam minyak yang telah dipanaskan. Peroksida yang terbentuk dari oksidasi minyak, dalam jangka waktu lama, dapat menyebabkan kerusakan vitamin (E dan K) dalam bahan pangan berlemak. Jika bilangan peroksida dalam bahan pangan lebih besar dari 100 maka pangan tersebut akan bersifat sangat racun sehingga berbahaya untuk dimakan. 4 Bergabungnya peroksida dalam sistem peredaran darah akan meningkatkan kebutuhan vitamin E, Peroksida akan membentuk persenyawaan lipoperoksida secara non enzimatis di dalam otot, usus, dan mitokondria. Lipoperoksida dalam aliran darah mengakibatkan denaturasi lipoprotein yang mempunyai kerapatan rendah. Apabila lipoprotein mengalami denaturasi maka akan mengakibatkan kekurangan lemak dalam pembuluh darah sehingga menimbulkan gejala aterosklerosis (Ketaren, 1986). 2.6. Metode Pemeriksaan Minyak / Lemak (Riawan, 1990) Metode pemeriksaan minyak / lemak dilakukan dengan cara: Pemeriksaan Terhadap Sifat Fisik, meliputi: pemeriksaan terhadap titik cair, titik beku, indeks pembiasan, berat jenis, titik percik, dan wama. . Pemeriksaan Terhadap Sifat Kimia, didasarkan atas penetapan bagian tertentu dari Komponen kimianya, meliputi: pemeriksaan terhadap bilangan penyabunan, asam,- yodium, asetil, Reichert Meissl, Polenske, dan Kromatografi Gas. a. Bilangan Asam (ukuran untuk hidrolisis atau ketengikan) Definisi: sekian mg KOH sesuai dengan asam-asam leak bebas dalam. 1 gram bahan (minyak /lemak). b. Bilangan Penyabunan (ukuran BM=Berat Molekul dari suatu bahan) Definisi: sekian mg KOH yang diperlukan untuk menyabun 1 gram bahan. ¢. Bilangan Yodium (ukuran untuk derajat ketidak-jenuhan) Definisi: sekian gram J; yang dapat diadisi (diikat) olch 100 gram bahan. 4. Bilangan Asetil (ukuran jumlah gugus OH-Alkohol) Definisi: sekian mg KOH untuk'menetralkan CH3COOH dari 1 gram lemak yang telah diasetilkan. 15 ¢. Bilangan Reichert Meissl (ukuran jumlah asam-asam lemak dengan 2 - 6 atom C) Definisi: jumlah mt N/10 KOH untuk menetralkan asam-asam lemak yang dapat didestilasi dengan uap H,O dan larut dalam H,0 dan berasal dari S gram lemak. £. Bilangan Polenske (ukuran jumlah asam-asam lemak dengan jumlah C = 6-12) Definisi: jumlah mi N/L0 KOH untuk menetralkan asam-asam lemak yang dapat didestilasi dengan uap H,O dan tidak larut dalam 1,0 dan berasal dari S gram lemak. g. Kromatografi Gas (alat yang dapat digunakan untuk mengukur jumlah asam-asam Jemak dengan jumlah atom C = 2-20). 2.6.1. Kromatografi Gas Teknik kromatografi gas, pertama kali diperkenalkan oleh Martin dan Synge, ‘merupakan teknik analisis yang luas digunakan untuk keperluan pemisahan, identifikasi, dan kuantifikasi berbagai senyawa. Tujuan dari teknik ini adalah memisahkan dan ‘menentukan komposisi campuran alkohol dengan menggunakan kromatografi gas. Secara umum, teknik kromatografi gas biasanya hanya dapat digunakan untuk senyawa-senyawa yang mudah menguap atau divapkan, berupa senyawa organik dan anorganik, Pada teknik ini, pemisahan terjadi akibat distribusi/partisi dari komponen yang " bersangkutan pada fase gerak Kolom dengan kecepatan yang berbeda-beda dengan membentuk pita-pita kromatografi. Menurut Mulja (1995), suatu peralatan kromatografi gas tersusun atas berbagai Komponen utama, yaitu: gas pembawa,"kolom kromatografi, oven, kolom temperatur, gorbang suntik/injeksi, dan detektor. a. Gas Pembawa ‘Umumnya, berupa gas yang stabil dan inert (lembam/lamban) dan besfungsi sebagai fase gerak yang akan membawa sampel melalui kolom, antara lain: helium, argon, nitrogen, atau campuran argon+metana. Gas pembawa harus bersifat tidak reaktif dan tidak berbahaya pada suhu dan tekanan normal sehingga tidak terjadi interaksi antara senyawa-senyawa dalam sampel dengan gas pembawa. Gas pembawa harus mempunyai kemurnian yang tinggi agar kontaminasi dalam jumlah kecil tidak menyebabkan terganggunya sinyal detektor sehingga garis dasar tidak lurus. b. Kolom Kromatografi Terdiri dari: kolom terpaking dan kolom terbuka. Kolom yang akan dipilih untuk analisis tergantung dari kebutuhan dan tujuan analisis yang akan dicapai. c Oven Oven merupakan bagian yang penting dalam pengaturan suhu kolom. Pada teknik kromatografi gas, suhu merupakan parameter utama yang harus diatur dengan baik. Suhu terlalu tinggi dapat menyebabkan terdekomposisinya (terurai) komponen, tetapi jika terlalu rendah komponen yang akan dipisahkan tidak dapat divuapkan. d. Kolom temperatur Proses pemisahan komponen-komponen sampel akan berlangsung akibat perbedaan distribusi/partisi dari masing-masing komponen tersebut. Temperatur kolom pada kromatografi gas diatur oleh termostat oven. Hal ini sangat penting Karena pemisahan fisik komponen di dalam kolom dipengaruhi oleh temperatur di dalam oven. * e. Gerbang Suntil/Injeksi Sampel dimasukkan ke dalam kolom dengan menggunakan alat penyuntik (syringe) melalui gerbang suntik dengan suhu yang cukup tinggi (50 °C). Sehingga, ~ sampel akan teruapkan dan selanjutnya dibawa ke dalam kolom oleh gas pembawa. f Detektor Detektor berfungsi mendeteksi komponen-komponen yang telah dipisahkan di dalam kolom. Detektor adalah: sensor pengubah sinyal gas pembawa dan komponen di dalamnya menjadi sinyal elektronik. Sinyal elektronik digunakan untuk analisa kualitatif dan kuantitatif terhadap komponen-komponen yang terpisah diantara fase~ diam dan fase gerak. Menurut Mulja (1994), detektor yang sangat popular digunakan adalah FID (Flame Ionization Detector). Kepekaan dan realibilitas FID sangat tinggi karena terdiri dari nyala gas hidrogen dengan pengaliran oksigen yang berlebihan. Menurut Mulja (1995), karakteristik FID yaitu: (1) sensitivitas: 10-100 pg zat organik, tergantung pada struktur molekul dan jumlah atom C, (2) rentang dinamik: 1x10”, (3) selektivitas: semua zat organik yang terbakar dalam plasma dan terionisasi, tapi tidak terhadap gas (contoh: H20), (4) gas pembawa: heliunvhidrogen, nitrogen, CO, (karbondioksida) atau argon, dan (5) temperatur: >100 °C. Karena waktu dan volume retensi (waktu yang diperlukan agar suati:’senyawa tertahan di dalam kolom alat Kromatografi Gas) merupakan sifat karakteristik dari satu komponen, maka besaran kromatografi ini dapat digunakan untuk keperluan identifikasi atau analisis kualitatif. Sedangkan, analisis kuantitatif dilakukan melalui perbandingan luas puncak kromatogram dari larutan standar dengan larutan sampel. 2.7. Standar Mutu Minyak Goreng Ketaren (1986), mengatakan bahwa faktor yang mempcngaruhi standar mutu minyak goreng yaitu: kandungan air dan kotoran dalam minyak, wama, bilangan peroksida, titik cair dan kandungan gliserida, kejernihan, dan kandungan logam berat. Standar mutu dari minyak goreng «lapat dilihat pada Tabel 2.3. berikut ini: Tabel 2.3, Syarat Mutu Minyak Goreng (Standar Industri Indonesia/SU. 2005-20) ‘Satuan — Kriteri Uji Keadaan bau, warna dan rasa = Normal Air %bib maks 0,30 ‘Asam Lemak Bebas (dihitung sebagai asam laurat) eee maks 0,30 Minyak pelikan Negatif Bahan Makanan Tambahan (BTM) Sonal SMITE — ee Cemaran Logam: - Besi (Fe) mgkg maks 1,5 - Tembaga (Cu) mg/kg, maks 0,1 - Raksa (Hg) mg/kg maks 0,1 - Timbal (Pb) mgkg maks 40,0 - Timah (Sn) mg/kg maks 0,05 = Seng (Zn) mg/kg maks 40,0/259,0” ‘Arsen (As) %bib ‘Maks 0,1 Sumber: Departemen Perindustrian, 1950 (Utama, 2001) ° dalam kemasan kaleng 2.8. Kerangka Konsep Penjual | Ayam Ala Kentucky | Minyak Goreng Sebelum dipakai Sesudab dipakai <3 kali Bagan di atas menjelaskan bahwa akan dilakukan pemeriksaan tethadap kadar asam lemak pada minyak goreng sebelum dan sesudah dipakai < 3 kali.

Anda mungkin juga menyukai