Anda di halaman 1dari 10

Gempur Narkoba Dengan Minat Baca !

Oleh : Romi Febriyanto Saputro*


Lin Zexu (30 Agustus 1785-22 November 1851) adalah pejabat jujur yang hidup pada masa Kaisar Daoguang
dari Dinasti Qing. Dia juga seorang filsuf, ahli kaligrafi dan penyair. Ia terkenal akan perjuangannya menentang
perdagangan opium di Tiongkok oleh bangsa-bangsa asing. Melihat negara semakin terpuruk karena harta
negara terus mengalir ke Inggris untuk membeli obat terlarang itu dan kondisi bangsanya yang menyedihkan
karena ketergantungan akan opium, Lin bertekad menumpas obat terlarang tersebut. Usahanya ini pada
akhirnya memicu Perang Candu antara Tiongkok dan Inggris.

A. Belajar Dari Sejarah


Sejarah telah membuktikan bahwa narkoba dapat menjelma menjadi senjata
pemusnah massal. Peradaban sebuah bangsa dapat dihancurkan dengan
meracuni generasi mudanya dengan narkoba. Sejarah perang candu di Cina
membuktikan bahwa kekuatan sebuah bangsa dapat ditaklukkan dengan tipu
daya narkoba. Pasukan kolonialis Inggris sukses menaklukkan negeri Cina
setelah mampu membuat bangsa Cina ketagihan candu.
Sejak awal abad ke -19, para pedagang Inggris secara gelap melakukan
perdagangan candu ke Cina dan mendapatkan untung besar. Cinalah yang
menanggung akibat-akibat buruk yang timbul dari perdagangan ini. Karena itu,
Cina melakukan gerakan anti candu.
Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) menyebutkan pada tahun 1837, Cina
melakukan propaganda anticandu secara gencar dan memperketat pengawasan
pengawasan perdagangan dengan menutup pelabuhan-pelabuhan penting Cina
bagi para pedagang Inggris. Di samping itu, Cina juga menerapkan hukuman
mati bagi pemakai candu, termasuk para cendekiawan dan militer.
Inggris merasa dirugikan dan ingin memaksa Cina membuka pelabuhannya bagi
para pedagang Inggris. Ketegangan terjadi, dan setelah terjadi peristiwa
pembunuhan atas penduduk desa oleh orang Inggris yang sedang mabuk,
meletuslah peperangan. Cina menuntut agar orang-orang yang bersalah itu
diserahkan kepada mereka, tetapi Inggris dengan karakteristik kolonialnya
menolak.
Akibatnya, Kaisar memutuskan untuk menghancurkan semua gudang candu
milik Inggris beserta isinya di Kanton. Pada Bulan Maret 1839, terjadilan
peristiwa pembakaran beribu-ribu peti candu milik Inggris di Kanton.
Pada tahun itu juga Inggris menyatakan perang terhadap Cina. Beberapa kota
pantai Cina diserang dan direbut oleh Inggris. Setelah peperangan berlangsung
selama tiga tahun, Inggris memperoleh kemenangan dan berhasil memaksakan
suatu perjanjian dengan Cina. Perjanjian ini dikenal dengan Perjanjian Nanking
yang ditandatangani pada tanggal 29 Agustus 1842.
Dalam perjanjian ini antara lain ditetapkan : Cina harus membuka pelabuhan
Kanton, Amoy, Foochow, Ninghsien, dan Shanghai untuk para pedagang Inggris;
orang Eropa di Cina mendapatkan hak-hak istimewa; Hongkong diserahkan

kepada Inggris; penetapan bea impor oleh pemerintah Inggris dan Cina harus
membayar kerugian perang kepada pihak Inggris. Perjanjian Nanking ini memicu
negara-negara kolonialis lainnya seperti Perancis, Jerman, dan Rusia menuntut
pula hak-hak istimewa.
Peperangan antara Cina dan Inggris meletus kembali pada tahun 1856, ketika
Inggris hendak melampiaskan syahwat kolonialismenya dengan memperluas
jaringan perdagangan di Cina. Perancis kemudian membantu Inggris untuk
menuntut balas atas terbunuhnya Misionaris Perancis di daerah pedalaman Cina.
Cina kembali menderita kekalahan dalam perang ini dan dipaksa
menandatangani perjanjian Tientsien pada tahun 1858.
Perjanjian ini sangat menghina harga diri bangsa Cina karena Inggris memaksa
melegalkan perdagangan Candu. Pertempuran pun pecah kembali hingga tahun
1860. Inggris yang bersekutu dengan Perancis berhasil merebut Peking dan
sekaligus merampok kekayaan istana. Cina kembali dipaksa menandatangani
Konvensi Peking, yang menegaskan bahwa Cina siap menerima ketentuan dalam
Perjanjian Tientsien yang melegalkan perdagangan Narkoba. Negeri Cina pun
takluk di tangan terorisme narkoba yang tersenyum gembira.
B. Terorisme Peradaban
Malik bin Nabi, seorang intelektual asal Al Jazair menulis dalam bukunya yang
berjudul Syuruut Al-Nahdhah, bahwa bangun dan runtuhnya sebuah peradaban
tergantung siapa yang menjadi panglimanya. Dia mengatakan, bahwa sebuah
peradaban akan terus menanjak naik tatkala yang menjadi panglimanya
adalah ruh. Dengan ruh sebuah peradaban akan menjadi peradaban yang bersih
dan tak terkotori. Pada masa inilah peradaban akan dianggap mencapai puncak
sebenarnya.
Pada tahapan kedua, peradaban akan mengalami pelebaran dan pemekaran
bukan pengembangan, tatkala yang menjadi pemain dalam peradaban itu
adalah akal. Peradaban yang dikendalikan akal akan mengalami tarik menarik
yang demikian kencang antara ruh dan hawa nafsu. Terjadinya tarik menarik ini
akan mengakibatkan peradaban terus merentang dan bukan mengalami
kenaikan nilai.
Pada fase selanjutnya, sebuah peradaban akan mengalami kehancuran dan
kebangkrutan tatkala yang menjadi panglimanya adalah hawa nafsu. Pada titik
inilah peradaban akan dengan deras meluncur ke titik yang paling bawah
Ungkapan Malik Bin Nabi tersebut memberikan suatu pelajaran kepada kita,
bahwa peradaban manusia akan selalu mengalami pasang surut. Tatkala ruh
spiritualisme dan moralitas menjadi panglima maka suatu peradaban akan
mampu menggapai puncak peradaban. Namun tatkala akal dan hawa nafsu telah
mengalahkan moralitas, maka peradaban tersebut akan jatuh meluncur ke titik
nol.
Peradaban Cina yang dikenal sebagai peradaban tertua dalam sejarah dunia
takluk oleh terorisme narkoba. Hal ini terjadi karena peradaban ini gagal

merespon tantangan dan ancaman yang sedang berkembang. Kaisar Cina tentu
tak pernah membayangkan bahwa candu akan menjadi biang keladi kehancuran
peradaban Cina dari bangsa yang berdaulat menjadi bangsa yang terjajah.
Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Arnold J Toynbee dalam buku A Study of
History yang menyebutkan, bahwa kebangkrutan sebuah peradaban adalah
diakibatkan oleh ketidakmampuan pelaku peradaban itu untuk merespon
tantangan yang sedang berkembang.
Ketika sebuah bangsa tidak mampu lagi memberikan jawaban terhadap
tantangan-tantangan yang berkembang dan tenggelam dalam kejumudan, maka
bisa dipastikan peradaban itu akan mengalami pembusukan. Ketidakmampuan
memberi respon terhadap tantangan ini mengindikasikan adanya impotensi
dalam peradaban tersebut.

Sejarah akan terus berulang. Narkoba yang pada awal abad ke -19 telah berhasil
menghancurkan peradaban Cina, kini di era milenium tiga narkoba telah
bereinkarnasi menjadi terorisme yang berpotensi besar menghancurkan
peradaban manusia.
Narkoba yang bersinergi dengan teknologi canggih telah memodifikasi dirinya
menjadi ancaman serius bagi semua peradaban bangsa. Pada tahun 2005, PBB
menyebutkan bahwa data pecandu narkotika di seluruh dunia mencapai 200 juta
orang.
Di tanah air, survey BNN tahun 2006 menunjukkan prevalensi penyalahgunaan
narkoba semasa hidup sebesar 8,3%. Semakin tinggi jenjang pendidikan maka
angka prevalensinya semakin tinggi. Prevalensi narkoba di SLTP sebesar 6%,
meningkat menjadi 9% di SLTA, dan 12% di perguruan tinggi. Mereka yang
berada sekolah swasta di jenjang SLTA (10%) dan perguruan tinggi (12%) lebih
tinggi prevalensinya dibandingkan sekolah negeri dan agama.
Hasil survei ini juga menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan angka
penyalahgunaan narkoba pernah pakai dari sebesar 5,8% di tahun 2003 menjadi
8,3% di tahun 2006. Ini mengindikasikan bahwa peredaran narkoba menjadi
semakin luas, terlihat di seluruh propinsi telah ditemukan angka penyalahgunaan
narkoba dan hampir tidak ada banyak perbedaan persentase antara angka
penyalahgunaan di kota maupun kabupaten.
Lebih dari separuh penyalahguna narkoba berada pada kelompok umur 15-19
tahun (58%), terutama pada mereka yang duduk di bangku SLTA (94%). Ini dapat
dimaklumi karena usia sekolah di SLTA berada pada kisaran umur ini. Ada
perbedaan kelompok umur antara penyalahguna di kota dengan kabupaten.
Pada kelompok umur yang kurang dari 15 tahun penyalahguna lebih banyak
berada di kabupaten, sedangkan pada kelompok umur diatas 20 tahun lebih
banyak ada di kota.

Data statistik di atas semakin meneguhkan eksistensi narkoba sebagai terorisme


peradaban nomor satu di dunia. Mengapa ? Karena penyalahgunaan narkoba
akan memicu krisis di berbagai bidang kehidupan. Narkoba menghasilkan efek
domino yang luar biasa.
Pertama, mendegradasikan moral masyarakat. Penelitian BNN tahun 2006
menyebutkan bahwa pencurian, penipuan, perampasan, dan penodongan
merupakan tindak kriminalitas yang banyak dilakukan oleh penyalahguna
narkoba. Persentase yang pernah mencuri barang milik keluarga sekitar 16%
pada kelompok teratur-pakai dan 24% pada pecandu; yang pernah mencuri
barang milik orang lain adalah 5% pada kelompok teratur pakai dan 13% pada
pecandu. Sedangkan yang pernah menipu, merampas, atau menodong sekitar
4% pada kelompok teratur-pakai dan 9% pada pecandu.
Kedua, menghancurkan sistem ekonomi. Pecandu narkoba akan cenderung
menghabiskan penghasilannya untuk membeli narkoba. Kerugian ekonomi dan
sosial penyalahgunaan narkoba di Indonesia tahun 2004 diperkirakan Rp.23,6
triliun, dan jumlah penyalahguna narkoba diperkirakan 2,9 juta sampai 3,6 juta
orang atau setara 1,5% penduduk Indonesia (BNN & Puslitkes UI, 2005).
Ketiga, menimbulkan gangguan kesehatan jasmani maupun rohani. Menurut
Dadang Hawari (Republika, Juli 2003), orang yang telah tergantung narkoba,
maka hidupnya mengalami gangguan jiwa sehingga tidak lagi mampu berfungsi
secara wajar di masyarakat. Hasil penelitian Dadang Hawari menunjukkan bahwa
53,5 % pemakai heroin mengalami kelainan paru, 55,1 % mengalami kelainan
fungsi hati, 56,6 % mengalami infeksi hepatitis C, serta 33,3 % mengalami
infeksi virus HIV/AIDS.
Selain itu, data Departemen Kesehatan RI, menyebutkan selama kurun waktu
1987 s/d 2006 kasus AIDS yang disebabkan penggunaan jarum suntik narkoba
menembus angka 4.122 dari (8.194 kasus) jauh di atas faktor pemicu AIDS
lainnya. Seperti transfusi darah, homoseksual, dan transmisi perinatal.
C. Pendidikan Karakter
Menurut Jalal Amin (2006), globalisasi adalah penciutan cepat dalam jarak antara
masyarakat manusia baik yang berkaitan dengan perpindahan komoditi, orang,
modal, informasi, gagasan atau nilai. Hal ini berarti globalisasi merupakan proses
eliminasi batas-batas territorial antara satu bangsa dengan bangsa lain. Proses
eliminasi ini terus berlanjut hingga menginjak ranah kebudayaan suatu bangsa.
Ironisnya, generasi muda kita menerima globalisasi tanpa filter. Pengagungan
yang over dosis terhadap globalisasi telah menyebabkan masyarakat kita
kehilangan akar budaya dan sejarah. Budaya asing dengan segala bentuknya
telah memarginalisasi budaya nasional maupun budaya lokal. Dominasi produk
asing tiga F, food (makanan), fashion (pakaian), dan fun (hiburan) dalam
kehidupan sehari-hari begitu kentara.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa remaja kita sangat rentan terhadap
pengaruh budaya asing. Segala sesuatu yang asing dianggap baik dan modern.

Hal ini mengakibatkan generasi muda kita suka mencoba-coba sesuatu yang
dianggap mewakili kehidupan modern.
Dalam persepsi generasi muda, narkoba merupakan sesuatu yang cukup
menantang untuk dicoba. Semula hanya sekedar mencoba, setelah merasakan
efek nikmat merekapun ketagihan. Setelah ketagihan mereka akan melakukan
apa saja untuk mendapatkan barang terlarang itu. Pertahanan generasi masa
depan ini pun akhirnya bobol.
Survey BNN tahun 2005 menemukan bahwa rata-rata umur pertama kali
memakai narkoba sekitar 18-19 tahun dengan rentang 10 sampai 32 tahun.
Alasan memakai narkoba pertama kali yang banyak dikemukakan penyalah-guna
di rumah tangga adalah bersenang-senang (56%) dan karena paksaan (22%).
Sedangkan pada penyalah guna narkoba di rumah kos, alasan memakai narkoba
pertama kali yang banyak dikemukakan adalah ingin mencoba (62%) dan karena
ajakan/bujukan ternan (18%).
Ironisnya, sebagian besar responden di rumah tangga dan di rumah kos pemah
dengar narkoba, tetapi yang tahu apa itu narkoba dan bahaya narkoba hanya
65% di rumah tangga dan 85% di rumah. Artinya, mereka menjadi pemakai
narkoba bukan disebabkan faktor ketidaktahuan mereka melainkan justru karena
pengetahuan yang ada pada mereka. Mengetahui bahaya narkoba tetapi tetap
ingin mencoba narkoba membuktikan bahwa ada yang salah dengan sistem
pendidikan kita.
Pendidikan nasional gagal membangun karakter para remaja kita. Pendidikan
menghasilkan lulusan yang sekedar menghafal pengetahuan bukan memahami,
menghayati, dan meyakini sebuah pengetahuan. Akibatnya, generasi muda kita
mudah terbius oleh pesona budaya pop
Menurut Yasraf Amir Piliang (2003), dalam konteks budaya pop dan korelasinya
dengan fenomena gaya hidup, serta bagaimana seluruhnya itu dibangun oleh
industrialisasi dan kapitalisme mutakhir yang menjadikan media sebagai agen
propaganda-nya inilah, budaya pop seringkali dicurigai sebagai sebuah
kekuatan hegemonik yang fasis, ketika identitas dan imajinasi seseorang
ditentukan dari atas. Jelas semua ini ada pengaruhnya pada cara pandang
terhadap realitas.
Budaya pop membawa kita pada realitas yang serba permukaan. Realitas yang
hanya sekadar kulit luarnya, realitas palsu, sebuah simulakra. Budaya pop
adalah anak kandung kapitalisme sebab ia tak bisa dilepaskan dari
industrialisasi. Diakui atau tidak, budaya pop turut andil dalam penyebaran
penyalahgunaan narkoba. Tanpa disadari, budaya pop telah mengambil peran
sebagai katalisator penyalahgunaan narkoba dikalangan remaja.
Film ataupun sinetron picisan dilayar kaca maupun lebar sering mempromosikan
gaya hidup populer anak muda seperti dugem, pacaran over dosis, mabukmabukan bahkan sampai teknik menginjeksi narkoba. Ironisnya, sinetron yang

dimaksudkan agar anak muda kita menjauhi narkoba tanpa disadari malah
berubah menjadi mempromosikan penggunaan narkoba.
Untuk memerangi narkoba, pendidikan nasional harus menyiapkan konsep
pendidikan yang berkarakter kuat. Selama ini metodologi belajar mengajar
hanya difokuskan pada pendekatan otak kiri/kognitif, yaitu hanya mewajibkan
peserta didik untuk mengetahui dan menghafal konsep dan kebenaran tanpa
menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya. Selain itu tidak dilakukan praktek
perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di
sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam
pengajaran moral bagi manusia.
Karena itu tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali inkonsistensi antara apa
yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah. Dengan
demikian peran orangtua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter
anak (baca:akhlak) menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua pulalah anak
memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah.
Tanpa keterlibatan orangtua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang
diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter (atau
akhlak dalam Islam) harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan
nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.
Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral,
karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah,
lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang
hal yang baik sehingga peserta didik menjadi faham (aspek kognitif) tentang
mana yang baik dan salah, mampu merasakan (aspek afektif) nilai yang baik dan
mau melakukannya (aspek psikomotorik).
Dalam pendidikan karakter Lickona (1992) menekankan pentingya tiga
komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral
knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang
moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar peserta
didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai
kebajikan.
Foerster menjelaskan ada empat ciri dasar pendidikan karakter yang cukup
penting untuk menyuntikkan semangat anti narkoba di hati peserta didik,
pertama, keteraturan interior yang mengukur setiap tindakan berdasar hierarki
nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Peserta didik yang memahami
hierarki nilai dengan baik tidak akan mudah tergoda oleh rayuan narkoba karena
memiliki aneka standar nilai untuk mencegahnya. Norma agama, masyarakat,
keluarga, maupun negara merupakan imunisasi jiwa terbaik untuk menolak
narkoba.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian membuat seseorang teguh pada
prinsip, tidak terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Keberanian
memegang prinsip kebenaran merupakan kompetensi yang wajib dimiliki oleh

peserta didik. Jika sekolah mampu menanamkan dengan baik sifat ini, maka di
luar sekolah pun peserta didik akan memiliki keberanian untuk berkata, Tidak
pada ajakan teman bergaul untuk menggunakan narkoba.
Ketiga, otonomi. Seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai
menjadi nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi
tanpa terpengaruh desakan pihak lain. Kedaulatan jiwa peserta didik perlu
dibangun oleh pendidik agar mereka tidak mudah terpengaruh oleh bujuk-rayu
setan-setan narkoba yang terus bergentayangan.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan
seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan
merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Keteguhan
dan komitmen pada nilai-nilai moral merupakan tujuan utama dari pendidikan
karakter. Dengan demikian jurang pemisah antara cita-cita moral dan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dapat terus dipersempit.
Kematangan keempat karakter ini memungkinkan manusia melewati tahap
individualitas menuju personalitas.
D. Minat Baca
Pendidikan karakter hanya dapat dilaksanakan jika sekolah-sekolah di tanah air
dapat merangsang tumbuhnya minat baca pada peserta didik. Sebuah penelitian
membuktikan bahwa minat baca seseorang akan mempengaruhi karakternya.
Majalah Child Development (Januari/Februari 2006) sebagaimana dikutip H.
Witdarmono (Kompas, 8 September 2006) menerbitkan hasil penelitian tentang
hubungan antara kemampuan membaca dan sikap agresif siswa sekolah dasar.
Penelitian Miles dan Stipek menemukan adanya keterkaitan antara tingkat
kemampuan membaca dan tingkat agresivitas. Dalam penelitian ini, sikap agresif
dibatasi dalam empat golongan, "suka berkelahi", "tidak sabaran", "suka
mengganggu", dan "kebiasaan menekan anak lain (bullying)".
Anak-anak kelas 1 SD, yang kemampuan membacanya relatif rendah, saat di
kelas 3, cenderung memiliki tingkat agresivitas tinggi. Juga, anak-anak kelas 3,
yang memiliki kemampuan membaca rendah, cenderung memiliki sikap agresif
tinggi saat di kelas 5. Mungkin, bersamaan dengan tingkat pergaulan mereka,
anak-anak yang kemampuan membacanya rendah itu frustrasinya kian
menumpuk. Keadaan ini yang membuat mereka menjadi agresif. Sebaliknya, ada
keterkaitan antara sikap sosial dan kemampuan membaca. Yang dimaksud sikap
sosial adalah "suka menolong", "mengerti perasaan orang lain", "punya empati",
"punya perhatian kepada yang susah", dan "menolong/menghibur teman yang
kecewa". Anak-anak yang memiliki sikap sosial yang baik saat di TK dan kelas 1
SD biasanya lebih mampu mengembangkan kemampuan membacanya di kelas 3
dan kelas 5 SD.
Penelitian di atas membuktikan bahwa peserta didik yang memiliki minat baca
yang tinggi akan cenderung memiliki karakter yang kuat. Hal ini karena
membaca merupakan sebuah proses yang kompleks. Tidak hanya proses

membaca itu yang kompleks, tetapi setiap aspek yang ada selama proses
membaca juga bekerja dengan sangat kompleks.
Ada delapan aspek yang bekerja saat kita membaca, yaitu aspek sensori,
persepsi, sekuensial (tata urutan kerja), pengalaman, berpikir, belajar, asosiasi,
dan afeksi. Boleh dikata, ketika proses membaca berlangsung, seluruh aspek
kejiwaan bekerja aktif. Generasi muda yang berkarakter kuat inilah yang kelak
akan menjelma menjadi generasi anti narkoba. Generasi yang memiliki imunitas
tinggi terhadap narkoba.
Ironisnya, sebagian besar generasi muda kita adalah generasi yang miskin minat
baca. Data yang dilansir BPS pada 2003 menggambarkan, penduduk Indonesia
usia di atas 15 tahun yang membaca koran hanya 55,11 %. Yang membaca
majalah atau tabloid 29,22 %, buku cerita 44,28 %, dan buku pengetahuan
lainnya 21,07 %. Dari tahun 1993, kecenderungan mendapatkan informasi lewat
membaca hanya naik sekitar 0,2 %, jauh jika dikomparasikan dengan menonton
televisi yang kenaikannya mencapai 21,1 %.
Data BPS tahun 2006 menunjukkan, penduduk Indonesia yang menjadikan
membaca sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5 %. Sedangkan yang
menonton televisi 85,9 %, dan mendengarkan radio 40,3 %. Laporan Bank Dunia
No. 16369-IND (Education in Indonesian from Crisis to Recovery), mengutip hasil
Vincent Greannary tahun 1998, menyebutkan bahwa tingkat membaca usia kelas
VI sekolah dasar di Indonesia hanya mampu meraih skor 51,7 di bawah Filipina
(52,6); Thailand (65,1) dan Singapura (74,0).
Fakta di atas sungguh membuat hati kita khawatir. Ternyata, sistem pendidikan
nasional telah gagal melahirkan generasi yang membaca. Pendidikan kita hanya
sekedar menghasilkan generasi yang membaca agar disebut sudah belajar.
Generasi yang membaca hanya untuk menggapai kelulusan belaka. Bukan
generasi yang terus membaca sepanjang hidupnya. Generasi semacam ini
sangat berpotensi menjadi generasi yang hilang dalam pelukan tsunami narkoba.
Salah satu metode pembelajaran yang sangat mendukung bagi peningkatan
minat baca peserta didik adalah metode pembelajaran konstruktivisme. Menurut
E. Mulyasa (2002) , fokus pendekatan konstruktivisme bukan pada rasionalitas,
tapi pada pemahaman. Inilah alasan utama mengapa konstruktivisme dengan
cepat dapat menggantikan teori perkembangan kognitif sebagai dasar dalam
penelitian dan praktek pendidikan. Daya tarik dari model konstruktivisme ini
adalah pada kesederhanaannya
Strategi pokok dari model belajar mengajar konstruktivisme adalah meaningful
learning, yang mengajak peserta didik berpikir dan memahami materi pelajaran,
bukan sekedar mendengar, menerima, dan mengingat-ingat. Setiap unsur materi
pelajaran harus diolah dan diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga masuk
akal. Sesuatu yang tidak masuk akal tidak akan menempel lama dalam pikiran.
Pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik seperti :
pelajaran agama, moral maupun budi pekerti sudah sepantasnya mengadopsi

model pembelajaran ini. Sehingga peserta didik dapat memahami, menghayati,


dan mengamalkan kaidah moral dan agama dengan baik. Selama ini, pelajaran
agama di sekolah baru mencapai taraf penghapalan agama, pelajaran moral
baru sampai pada tahap penghapalan moral dan pelajaran budi pekerti pun
sesungguhnya baru mencapai tahap penghapalan budi pekerti.
Strategi ini menghendaki baik siswa maupun guru memiliki kedudukan sebagai
subyek belajar. Sebagai subyek belajar keduanya dituntut aktif untuk mencari
data-data, informasi, dan interpretasi dari materi pelajaran. Siswa dituntut untuk
bersikap kritisisme terhadap materi pelajaran bukan sekedar meniru, copy-paste,
dan menghafal apa yang diberikan oleh guru. Dengan strategi ini siswa dan guru
didorong untuk memiliki minat baca yang cukup tinggi dengan memanfaatkan
perpustakaan sekolah.
Hasil yang diperoleh dengan strategi meaningful learning ini akan jauh lebih baik
dari pembelajaran tradisional yang oleh Paulo Freire disebut cara belajar sistem
bank. Cara belajar sistem bank ini tidak akan mendorong siswa untuk gemar
membaca. Selanjutnya filsuf Paulo Freire menganjurkan agar supaya proses
belajar mengajar hendaknya membangkitkan nalar dan kreativitas siswa dengan
cara memotivasi siswa belajar mencari data-data, menganalisis data-data
tersebut dalam arti yang sebenarnya.
Cara belajar sistem bank hanya akan menghasilkan pemahaman materi
pelajaran yang bersifat instan dan tidak menyeluruh. Ada kalanya ada beberapa
unsur materi pelajaran yang susah dipahami oleh siswa, tetapi siswa terpaksa
menerima begitu saja dengan menghafal. Model penerimaan materi pelajaran
yang demikian hanya akan menghasilkan pemahaman yang miskin pengamalan
dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya proses belajar mengajar berlangsung
dalam suasana statis, monoton dan membosankan.
Strategi belajar meaningful learning sangat memerlukan dukungan perpustakaan
sebagai sumber belajar. Perpustakaan dapat dimanfaatkan oleh siswa dan guru
sebagai tempat pembelajaran di luar kelas. Kebutuhan siswa untuk melakukan
active playing (belajar aktif), interpretation (interpretasi), make sense (masuk
akal), negotiation (pertukaran pikiran), cooperative (kerjasama), dan inquiry
(menyelediki) dapat dilakukan di perpustakaan sekolah.
Di perpustakaan siswa juga dapat melaksanakan konsep belajar mengetahui
(learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam
kebersamaan (learning to live together), belajar menjadi diri sendiri (learning to
be); dan belajar seumur hidup (life long learning).
E. Kesimpulan
Perang terhadap narkoba tanpa dilakukan dengan memperkuat karakter bangsa
adalah mubadzir. Mengapa ? Karena pertahanan terkuat terhadap godaan
narkoba ada pada diri individu itu sendiri. Narkoba tidak akan berdaya jika
berhadapan dengan generasi bangsa yang berkarakter kuat. Kekuatan karakter

ini akan terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan meningkatnya minat
baca.
BNN dapat memanfaatkan perpustakaan sekolah dan perpustakaan umum untuk
menyuntikkan semangat anti narkoba. Buku, VCD, majalah dan brosur tentang
kampanye anti narkoba dapat dilayankan di perpustakaan. Bahkan, jika
memungkinkan BNN dapat mengajak Perpustakaan Nasional RI untuk membuat
sebuah jaringan bersama, yaitu jaringan bersama anti narkoba. Jaringan ini akan
melibatkan seluruh perpustakaan yang ada di tanah air.
Jadi, sinergi antara pendidikan karakter dan minat baca akan melahirkan
generasi masa depan yang mengetahui, memahami, menghayati, dan meyakini
bahwa narkoba adalah racun yang harus dijauhi, dimusuhi, diingkari, dan
dibenci. Generasi inilah yang akan menghasilkan pejabat negara, penegak
hukum, pendidik, dan aparatur negara yang bersikap keras terhadap narkoba.
Sebuah bangsa yang mampu mentransformasikan pengetahuan dan moralitas
menjadi aksi nyata, Perang Terhadap Narkoba, dan Menang!.
Referensi
Adhim, Fauzil. 2007. Membuat Anak Gila Membaca. Bandung : Mizan.
Mulyasa,E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi : Konsep, Karakteristik, dan
Implementasi, Bandung : Remaja Rosda Karya.
Kumpulan Hasil Litbang BNN Tahun 2003 2006. Jakarta : BNN, 2006.
Martianto, Dwi Astuti. 2002. Pendidikan Karakter Paradigma Baru Dalam
Pembentukan Manusia Berkualitas. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Pikiran Rakyat Online, 2003. Aku Bergaya, Karena Itu Aku Ada.
Tilaar, H.A.R.1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam
Perspektif Abad 21, Magelang : Indonesia Tera.
Witdarmono, H. Membaca dan Agresivitas. Kompas, 8 September 2006

*Romi Febriyanto Saputro, Pemenang Pertama Lomba Penulisan Artikel Tentang


Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008.

Anda mungkin juga menyukai