Gempur Narkoba Dengan Minat Baca
Gempur Narkoba Dengan Minat Baca
kepada Inggris; penetapan bea impor oleh pemerintah Inggris dan Cina harus
membayar kerugian perang kepada pihak Inggris. Perjanjian Nanking ini memicu
negara-negara kolonialis lainnya seperti Perancis, Jerman, dan Rusia menuntut
pula hak-hak istimewa.
Peperangan antara Cina dan Inggris meletus kembali pada tahun 1856, ketika
Inggris hendak melampiaskan syahwat kolonialismenya dengan memperluas
jaringan perdagangan di Cina. Perancis kemudian membantu Inggris untuk
menuntut balas atas terbunuhnya Misionaris Perancis di daerah pedalaman Cina.
Cina kembali menderita kekalahan dalam perang ini dan dipaksa
menandatangani perjanjian Tientsien pada tahun 1858.
Perjanjian ini sangat menghina harga diri bangsa Cina karena Inggris memaksa
melegalkan perdagangan Candu. Pertempuran pun pecah kembali hingga tahun
1860. Inggris yang bersekutu dengan Perancis berhasil merebut Peking dan
sekaligus merampok kekayaan istana. Cina kembali dipaksa menandatangani
Konvensi Peking, yang menegaskan bahwa Cina siap menerima ketentuan dalam
Perjanjian Tientsien yang melegalkan perdagangan Narkoba. Negeri Cina pun
takluk di tangan terorisme narkoba yang tersenyum gembira.
B. Terorisme Peradaban
Malik bin Nabi, seorang intelektual asal Al Jazair menulis dalam bukunya yang
berjudul Syuruut Al-Nahdhah, bahwa bangun dan runtuhnya sebuah peradaban
tergantung siapa yang menjadi panglimanya. Dia mengatakan, bahwa sebuah
peradaban akan terus menanjak naik tatkala yang menjadi panglimanya
adalah ruh. Dengan ruh sebuah peradaban akan menjadi peradaban yang bersih
dan tak terkotori. Pada masa inilah peradaban akan dianggap mencapai puncak
sebenarnya.
Pada tahapan kedua, peradaban akan mengalami pelebaran dan pemekaran
bukan pengembangan, tatkala yang menjadi pemain dalam peradaban itu
adalah akal. Peradaban yang dikendalikan akal akan mengalami tarik menarik
yang demikian kencang antara ruh dan hawa nafsu. Terjadinya tarik menarik ini
akan mengakibatkan peradaban terus merentang dan bukan mengalami
kenaikan nilai.
Pada fase selanjutnya, sebuah peradaban akan mengalami kehancuran dan
kebangkrutan tatkala yang menjadi panglimanya adalah hawa nafsu. Pada titik
inilah peradaban akan dengan deras meluncur ke titik yang paling bawah
Ungkapan Malik Bin Nabi tersebut memberikan suatu pelajaran kepada kita,
bahwa peradaban manusia akan selalu mengalami pasang surut. Tatkala ruh
spiritualisme dan moralitas menjadi panglima maka suatu peradaban akan
mampu menggapai puncak peradaban. Namun tatkala akal dan hawa nafsu telah
mengalahkan moralitas, maka peradaban tersebut akan jatuh meluncur ke titik
nol.
Peradaban Cina yang dikenal sebagai peradaban tertua dalam sejarah dunia
takluk oleh terorisme narkoba. Hal ini terjadi karena peradaban ini gagal
merespon tantangan dan ancaman yang sedang berkembang. Kaisar Cina tentu
tak pernah membayangkan bahwa candu akan menjadi biang keladi kehancuran
peradaban Cina dari bangsa yang berdaulat menjadi bangsa yang terjajah.
Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Arnold J Toynbee dalam buku A Study of
History yang menyebutkan, bahwa kebangkrutan sebuah peradaban adalah
diakibatkan oleh ketidakmampuan pelaku peradaban itu untuk merespon
tantangan yang sedang berkembang.
Ketika sebuah bangsa tidak mampu lagi memberikan jawaban terhadap
tantangan-tantangan yang berkembang dan tenggelam dalam kejumudan, maka
bisa dipastikan peradaban itu akan mengalami pembusukan. Ketidakmampuan
memberi respon terhadap tantangan ini mengindikasikan adanya impotensi
dalam peradaban tersebut.
Sejarah akan terus berulang. Narkoba yang pada awal abad ke -19 telah berhasil
menghancurkan peradaban Cina, kini di era milenium tiga narkoba telah
bereinkarnasi menjadi terorisme yang berpotensi besar menghancurkan
peradaban manusia.
Narkoba yang bersinergi dengan teknologi canggih telah memodifikasi dirinya
menjadi ancaman serius bagi semua peradaban bangsa. Pada tahun 2005, PBB
menyebutkan bahwa data pecandu narkotika di seluruh dunia mencapai 200 juta
orang.
Di tanah air, survey BNN tahun 2006 menunjukkan prevalensi penyalahgunaan
narkoba semasa hidup sebesar 8,3%. Semakin tinggi jenjang pendidikan maka
angka prevalensinya semakin tinggi. Prevalensi narkoba di SLTP sebesar 6%,
meningkat menjadi 9% di SLTA, dan 12% di perguruan tinggi. Mereka yang
berada sekolah swasta di jenjang SLTA (10%) dan perguruan tinggi (12%) lebih
tinggi prevalensinya dibandingkan sekolah negeri dan agama.
Hasil survei ini juga menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan angka
penyalahgunaan narkoba pernah pakai dari sebesar 5,8% di tahun 2003 menjadi
8,3% di tahun 2006. Ini mengindikasikan bahwa peredaran narkoba menjadi
semakin luas, terlihat di seluruh propinsi telah ditemukan angka penyalahgunaan
narkoba dan hampir tidak ada banyak perbedaan persentase antara angka
penyalahgunaan di kota maupun kabupaten.
Lebih dari separuh penyalahguna narkoba berada pada kelompok umur 15-19
tahun (58%), terutama pada mereka yang duduk di bangku SLTA (94%). Ini dapat
dimaklumi karena usia sekolah di SLTA berada pada kisaran umur ini. Ada
perbedaan kelompok umur antara penyalahguna di kota dengan kabupaten.
Pada kelompok umur yang kurang dari 15 tahun penyalahguna lebih banyak
berada di kabupaten, sedangkan pada kelompok umur diatas 20 tahun lebih
banyak ada di kota.
Hal ini mengakibatkan generasi muda kita suka mencoba-coba sesuatu yang
dianggap mewakili kehidupan modern.
Dalam persepsi generasi muda, narkoba merupakan sesuatu yang cukup
menantang untuk dicoba. Semula hanya sekedar mencoba, setelah merasakan
efek nikmat merekapun ketagihan. Setelah ketagihan mereka akan melakukan
apa saja untuk mendapatkan barang terlarang itu. Pertahanan generasi masa
depan ini pun akhirnya bobol.
Survey BNN tahun 2005 menemukan bahwa rata-rata umur pertama kali
memakai narkoba sekitar 18-19 tahun dengan rentang 10 sampai 32 tahun.
Alasan memakai narkoba pertama kali yang banyak dikemukakan penyalah-guna
di rumah tangga adalah bersenang-senang (56%) dan karena paksaan (22%).
Sedangkan pada penyalah guna narkoba di rumah kos, alasan memakai narkoba
pertama kali yang banyak dikemukakan adalah ingin mencoba (62%) dan karena
ajakan/bujukan ternan (18%).
Ironisnya, sebagian besar responden di rumah tangga dan di rumah kos pemah
dengar narkoba, tetapi yang tahu apa itu narkoba dan bahaya narkoba hanya
65% di rumah tangga dan 85% di rumah. Artinya, mereka menjadi pemakai
narkoba bukan disebabkan faktor ketidaktahuan mereka melainkan justru karena
pengetahuan yang ada pada mereka. Mengetahui bahaya narkoba tetapi tetap
ingin mencoba narkoba membuktikan bahwa ada yang salah dengan sistem
pendidikan kita.
Pendidikan nasional gagal membangun karakter para remaja kita. Pendidikan
menghasilkan lulusan yang sekedar menghafal pengetahuan bukan memahami,
menghayati, dan meyakini sebuah pengetahuan. Akibatnya, generasi muda kita
mudah terbius oleh pesona budaya pop
Menurut Yasraf Amir Piliang (2003), dalam konteks budaya pop dan korelasinya
dengan fenomena gaya hidup, serta bagaimana seluruhnya itu dibangun oleh
industrialisasi dan kapitalisme mutakhir yang menjadikan media sebagai agen
propaganda-nya inilah, budaya pop seringkali dicurigai sebagai sebuah
kekuatan hegemonik yang fasis, ketika identitas dan imajinasi seseorang
ditentukan dari atas. Jelas semua ini ada pengaruhnya pada cara pandang
terhadap realitas.
Budaya pop membawa kita pada realitas yang serba permukaan. Realitas yang
hanya sekadar kulit luarnya, realitas palsu, sebuah simulakra. Budaya pop
adalah anak kandung kapitalisme sebab ia tak bisa dilepaskan dari
industrialisasi. Diakui atau tidak, budaya pop turut andil dalam penyebaran
penyalahgunaan narkoba. Tanpa disadari, budaya pop telah mengambil peran
sebagai katalisator penyalahgunaan narkoba dikalangan remaja.
Film ataupun sinetron picisan dilayar kaca maupun lebar sering mempromosikan
gaya hidup populer anak muda seperti dugem, pacaran over dosis, mabukmabukan bahkan sampai teknik menginjeksi narkoba. Ironisnya, sinetron yang
dimaksudkan agar anak muda kita menjauhi narkoba tanpa disadari malah
berubah menjadi mempromosikan penggunaan narkoba.
Untuk memerangi narkoba, pendidikan nasional harus menyiapkan konsep
pendidikan yang berkarakter kuat. Selama ini metodologi belajar mengajar
hanya difokuskan pada pendekatan otak kiri/kognitif, yaitu hanya mewajibkan
peserta didik untuk mengetahui dan menghafal konsep dan kebenaran tanpa
menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya. Selain itu tidak dilakukan praktek
perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di
sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam
pengajaran moral bagi manusia.
Karena itu tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali inkonsistensi antara apa
yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah. Dengan
demikian peran orangtua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter
anak (baca:akhlak) menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua pulalah anak
memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah.
Tanpa keterlibatan orangtua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang
diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter (atau
akhlak dalam Islam) harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan
nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.
Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral,
karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah,
lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang
hal yang baik sehingga peserta didik menjadi faham (aspek kognitif) tentang
mana yang baik dan salah, mampu merasakan (aspek afektif) nilai yang baik dan
mau melakukannya (aspek psikomotorik).
Dalam pendidikan karakter Lickona (1992) menekankan pentingya tiga
komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral
knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang
moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar peserta
didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai
kebajikan.
Foerster menjelaskan ada empat ciri dasar pendidikan karakter yang cukup
penting untuk menyuntikkan semangat anti narkoba di hati peserta didik,
pertama, keteraturan interior yang mengukur setiap tindakan berdasar hierarki
nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Peserta didik yang memahami
hierarki nilai dengan baik tidak akan mudah tergoda oleh rayuan narkoba karena
memiliki aneka standar nilai untuk mencegahnya. Norma agama, masyarakat,
keluarga, maupun negara merupakan imunisasi jiwa terbaik untuk menolak
narkoba.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian membuat seseorang teguh pada
prinsip, tidak terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Keberanian
memegang prinsip kebenaran merupakan kompetensi yang wajib dimiliki oleh
peserta didik. Jika sekolah mampu menanamkan dengan baik sifat ini, maka di
luar sekolah pun peserta didik akan memiliki keberanian untuk berkata, Tidak
pada ajakan teman bergaul untuk menggunakan narkoba.
Ketiga, otonomi. Seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai
menjadi nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi
tanpa terpengaruh desakan pihak lain. Kedaulatan jiwa peserta didik perlu
dibangun oleh pendidik agar mereka tidak mudah terpengaruh oleh bujuk-rayu
setan-setan narkoba yang terus bergentayangan.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan
seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan
merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Keteguhan
dan komitmen pada nilai-nilai moral merupakan tujuan utama dari pendidikan
karakter. Dengan demikian jurang pemisah antara cita-cita moral dan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dapat terus dipersempit.
Kematangan keempat karakter ini memungkinkan manusia melewati tahap
individualitas menuju personalitas.
D. Minat Baca
Pendidikan karakter hanya dapat dilaksanakan jika sekolah-sekolah di tanah air
dapat merangsang tumbuhnya minat baca pada peserta didik. Sebuah penelitian
membuktikan bahwa minat baca seseorang akan mempengaruhi karakternya.
Majalah Child Development (Januari/Februari 2006) sebagaimana dikutip H.
Witdarmono (Kompas, 8 September 2006) menerbitkan hasil penelitian tentang
hubungan antara kemampuan membaca dan sikap agresif siswa sekolah dasar.
Penelitian Miles dan Stipek menemukan adanya keterkaitan antara tingkat
kemampuan membaca dan tingkat agresivitas. Dalam penelitian ini, sikap agresif
dibatasi dalam empat golongan, "suka berkelahi", "tidak sabaran", "suka
mengganggu", dan "kebiasaan menekan anak lain (bullying)".
Anak-anak kelas 1 SD, yang kemampuan membacanya relatif rendah, saat di
kelas 3, cenderung memiliki tingkat agresivitas tinggi. Juga, anak-anak kelas 3,
yang memiliki kemampuan membaca rendah, cenderung memiliki sikap agresif
tinggi saat di kelas 5. Mungkin, bersamaan dengan tingkat pergaulan mereka,
anak-anak yang kemampuan membacanya rendah itu frustrasinya kian
menumpuk. Keadaan ini yang membuat mereka menjadi agresif. Sebaliknya, ada
keterkaitan antara sikap sosial dan kemampuan membaca. Yang dimaksud sikap
sosial adalah "suka menolong", "mengerti perasaan orang lain", "punya empati",
"punya perhatian kepada yang susah", dan "menolong/menghibur teman yang
kecewa". Anak-anak yang memiliki sikap sosial yang baik saat di TK dan kelas 1
SD biasanya lebih mampu mengembangkan kemampuan membacanya di kelas 3
dan kelas 5 SD.
Penelitian di atas membuktikan bahwa peserta didik yang memiliki minat baca
yang tinggi akan cenderung memiliki karakter yang kuat. Hal ini karena
membaca merupakan sebuah proses yang kompleks. Tidak hanya proses
membaca itu yang kompleks, tetapi setiap aspek yang ada selama proses
membaca juga bekerja dengan sangat kompleks.
Ada delapan aspek yang bekerja saat kita membaca, yaitu aspek sensori,
persepsi, sekuensial (tata urutan kerja), pengalaman, berpikir, belajar, asosiasi,
dan afeksi. Boleh dikata, ketika proses membaca berlangsung, seluruh aspek
kejiwaan bekerja aktif. Generasi muda yang berkarakter kuat inilah yang kelak
akan menjelma menjadi generasi anti narkoba. Generasi yang memiliki imunitas
tinggi terhadap narkoba.
Ironisnya, sebagian besar generasi muda kita adalah generasi yang miskin minat
baca. Data yang dilansir BPS pada 2003 menggambarkan, penduduk Indonesia
usia di atas 15 tahun yang membaca koran hanya 55,11 %. Yang membaca
majalah atau tabloid 29,22 %, buku cerita 44,28 %, dan buku pengetahuan
lainnya 21,07 %. Dari tahun 1993, kecenderungan mendapatkan informasi lewat
membaca hanya naik sekitar 0,2 %, jauh jika dikomparasikan dengan menonton
televisi yang kenaikannya mencapai 21,1 %.
Data BPS tahun 2006 menunjukkan, penduduk Indonesia yang menjadikan
membaca sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5 %. Sedangkan yang
menonton televisi 85,9 %, dan mendengarkan radio 40,3 %. Laporan Bank Dunia
No. 16369-IND (Education in Indonesian from Crisis to Recovery), mengutip hasil
Vincent Greannary tahun 1998, menyebutkan bahwa tingkat membaca usia kelas
VI sekolah dasar di Indonesia hanya mampu meraih skor 51,7 di bawah Filipina
(52,6); Thailand (65,1) dan Singapura (74,0).
Fakta di atas sungguh membuat hati kita khawatir. Ternyata, sistem pendidikan
nasional telah gagal melahirkan generasi yang membaca. Pendidikan kita hanya
sekedar menghasilkan generasi yang membaca agar disebut sudah belajar.
Generasi yang membaca hanya untuk menggapai kelulusan belaka. Bukan
generasi yang terus membaca sepanjang hidupnya. Generasi semacam ini
sangat berpotensi menjadi generasi yang hilang dalam pelukan tsunami narkoba.
Salah satu metode pembelajaran yang sangat mendukung bagi peningkatan
minat baca peserta didik adalah metode pembelajaran konstruktivisme. Menurut
E. Mulyasa (2002) , fokus pendekatan konstruktivisme bukan pada rasionalitas,
tapi pada pemahaman. Inilah alasan utama mengapa konstruktivisme dengan
cepat dapat menggantikan teori perkembangan kognitif sebagai dasar dalam
penelitian dan praktek pendidikan. Daya tarik dari model konstruktivisme ini
adalah pada kesederhanaannya
Strategi pokok dari model belajar mengajar konstruktivisme adalah meaningful
learning, yang mengajak peserta didik berpikir dan memahami materi pelajaran,
bukan sekedar mendengar, menerima, dan mengingat-ingat. Setiap unsur materi
pelajaran harus diolah dan diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga masuk
akal. Sesuatu yang tidak masuk akal tidak akan menempel lama dalam pikiran.
Pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik seperti :
pelajaran agama, moral maupun budi pekerti sudah sepantasnya mengadopsi
ini akan terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan meningkatnya minat
baca.
BNN dapat memanfaatkan perpustakaan sekolah dan perpustakaan umum untuk
menyuntikkan semangat anti narkoba. Buku, VCD, majalah dan brosur tentang
kampanye anti narkoba dapat dilayankan di perpustakaan. Bahkan, jika
memungkinkan BNN dapat mengajak Perpustakaan Nasional RI untuk membuat
sebuah jaringan bersama, yaitu jaringan bersama anti narkoba. Jaringan ini akan
melibatkan seluruh perpustakaan yang ada di tanah air.
Jadi, sinergi antara pendidikan karakter dan minat baca akan melahirkan
generasi masa depan yang mengetahui, memahami, menghayati, dan meyakini
bahwa narkoba adalah racun yang harus dijauhi, dimusuhi, diingkari, dan
dibenci. Generasi inilah yang akan menghasilkan pejabat negara, penegak
hukum, pendidik, dan aparatur negara yang bersikap keras terhadap narkoba.
Sebuah bangsa yang mampu mentransformasikan pengetahuan dan moralitas
menjadi aksi nyata, Perang Terhadap Narkoba, dan Menang!.
Referensi
Adhim, Fauzil. 2007. Membuat Anak Gila Membaca. Bandung : Mizan.
Mulyasa,E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi : Konsep, Karakteristik, dan
Implementasi, Bandung : Remaja Rosda Karya.
Kumpulan Hasil Litbang BNN Tahun 2003 2006. Jakarta : BNN, 2006.
Martianto, Dwi Astuti. 2002. Pendidikan Karakter Paradigma Baru Dalam
Pembentukan Manusia Berkualitas. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Pikiran Rakyat Online, 2003. Aku Bergaya, Karena Itu Aku Ada.
Tilaar, H.A.R.1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam
Perspektif Abad 21, Magelang : Indonesia Tera.
Witdarmono, H. Membaca dan Agresivitas. Kompas, 8 September 2006