Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui, belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses
dimana suatu organisasi/individu berubah prilakunya sebagai akibat pengalaman.
Belajar dapat dihasilkan dari pengalaman dengan lingkungan, yang didalamnya
terjadi hubngan-hubungan antara stimulus-stimulus dan respon-respon. Banyak
penelitian telah dilakukan orang tentang belajar dan para ahli membuat hasil-hasil
penelitian mereka menjadi sistematis, yang kemudian lahirlah teori belajar.
Kebutuhan akan teori ini yaitu terjadinya perubahan yang tidak ada hentinya maka
fungsi dari teori yaitu membuat penemuan-penemuan menjadi sistematis,
melahirkan hipotesis, membuat prediksi dan memberi penjelasan. Kemudian teori
belajar ini mulai di kelompokkan menjadi teori sebelum abad ke 20 serta teori
belajar sesudah abad ke-20.
Pengelompokkan ini dilakukan karena sebelum abad ke 20, teori belajar
dikembangkan berdasarkan pemikiran filosofis, tanpa dilandasi eksperimen,
sedangkan teori belajar abad ke-20 dikembangkan secara ilmiah. Banyak teori
belajar yang dikemukakan yang satu sama lainnya saling melengkapi antara teori
yang terdahulu dengan teori-teori yang baru. Di dalam makalah kami, kami akan
membahas tentang teori belajar bermakna menurut David Ausubel. Beliau adalah
seorang ahli psikologi pendidikan. Inilah yang membedakan David Ausubel
dengan teorikus-teorikus lainnya, khususnya ahli psikologi, yang teori-teorinya
diterjemahan dari dunia psikologi ke dalam penerapan pendidikan. Beliau
memberikan penekanan pada teori belajar bermakna.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas mengenai teori
belajar menurut David Ausubel ini dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah
sebagai berikut, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan teori belajar?

2. Apa saja bagian dari dua dimensi teori belajar bermakna menurut David
Ausubel?
3. Apa saja bentuk-bentuk belajar dari teori belajar bermakna?
4. Apa saja bagian dari empat tipe belajar bermakna?
5. Apa saja persyaratan-persyaratan dalam belajar bermakna?
6. Apa saja faktor-faktot yang mempengaruhi belajar bermakna?
7. Bagaimana kondisi dalam belajar bermakna?
8. Apa saja kelebihan dan kelemahan dari teori belajar bermakna ini?
9. Bagaimana menerapkan teori belajar bermakna dalam mengajar?
10. Bagaimana peta konsep menurut teori belajar bermakna?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai
dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari teori belajar.
2. Untuk mengetahui bagian dari dua dimensi teori belajar bermakna
menurut David Ausubel.
3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk belajar dari teori belajar bermakna.
4. Untuk mengetahui bagian dari empat tipe belajar bermakna.
5. Untuk mengetahui persyaratan-persyaratan dalam belajar bermakna.
6. Untuk mengetahui faktor-faktot yang mempengaruhi belajar bermakna.
7. Untuk mengetahui kondisi dalam belajar bermakna.
8. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan dari teori belajar bermakna.
9. Untuk mengetahui menerapkan teori belajar bermakna dalam mengajar.
10. Untuk mengetahui peta konsep menurut teori belajar bermakna.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:

Bagi Penulis
Pembuatan makalah ini telah memberikan berbagai pengalaman bagi

penulis seperti pengalaman untuk mengumpulkan bahan. Disamping itu, penulis


juga mendapat ilmu untuk memahami dan menganalisis materi yang ditulis
dalam makalah ini. Penulis juga mendapatkan berbagai pengalaman mengenai
teknik penulisan makalah, teknik pengutipan, dan teknik penggabungan materi
dari berbagai sumber.

Bagi Pembaca
Pembaca yang membaca makalah ini akan dapat memahami konsep

tentang teori belajar bermakna menurut David Ausubel yang terdiri dari
pengertian belajar bermakna, dua dimensi belajar bermakna, bentuk-bentuk
belajar bermakna, tipe belajar bermakna, persyaratan-persyaratan dalam belajar
bermakna, faktor-faktor yang mempengaruhi belajar bermakna, kondisi belajar
bermakna, kelebihan dan kelemahan teori belajar bermakna, penerapan teori
belajar bermakna dalam mengajar seta peta konsep menurut teori belajar
bermakna.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Teori Belajar Bermakna

Teori belajar adalah suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara
pengaplikasian kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa, perancangan
metode pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas.
Dalam prosesnya, teori belajar ini membutuhkan berbagai sumber sarana yang
dapat menunjang, seperti : lingkungan kelas, kondisi psikologi siswa, perbedaan
tingkat kecerdasan siswa. Semua unsur ini dapat dijadikan bahan acuan untuk
menciptakan suatu model teori belajar yang dianggap cocok, tidak perlu terpaku
dengan kurikulum yang ada asalkan tujuan dari teori belajar ini sama dengan
tujuan pendidikan. Teori belajar bermakna adalah suatu proses mengaitkan
informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang. Dalam belajar bermakna informasi baru diasimilasikan pada subsumersubsumer relevan yang telah ada dalam struktur kognitif.
2.2 Dua dimensi Belajar Bermakna (Menurut David Ausubel)
Menurut David Ausubel belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua
dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi
pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan.
Selanjutnya dimensi kedua menyangkut bagaimana siswa dapat mengaitkan
informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif ialah fakta,
konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa. Jika siswa
hanya mencoba menghafalkan informasi baru itu tanpa menghubungkan dengan
struktur kognitifnya, maka terjadilah belajar dengan hafalan. Sebaliknya jika
siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi baru itu dengan struktur
kognitifnya maka yang terjadi adalah belajar bermakna.
Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan
pada siswa dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu
dalam bentuk final ataupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan
siswauntuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan.
Dalam tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada
pengetahuan (berupa konsep atau yang lainnya)yang telah dimilikinya, dalam hal
ini terjadi belajar bermakna. Akan tetapi siswa itu dapat juga hanyamencoba-coba

menghafal informasi baru itu tanpa menghubungkannyapada konsep-konsep yang


telah ada dalam struktur kognitifnya, dalam hal ini terjadi belajar hafalan.
Kedua dimensi, yaitu penerimaan/penemuan dan hafalan/bermakna tidak
menunjukkan dikotomi sederhana, melainkan merupakan suatu kontinum.
Gambar

Sepanjang kontinum (mendatar) terdapat dari kiri ke kanan berkurangnya


belajar penerimaan dan bertambahnya belajar penemuan sedangkan sepanjang
kontinum (vertikal) terdapat dari bawah ke atas berkurangnya belajar hafalan dan
bertambahnya belajar bermakna.
Ausubel menyatakan bahwa banyak ahli pendidikan menyamakan belajar
penerimaan dengan belajar hapalan sebab mereka berpendapat bahwa belajar
bermakna hanya terjadi bila siswa menemukan sendiri pengetahuan. Pada gambar
dapat dilihat bahwa belajar penerimaan pun dapat dibuat bermakna, yaitu dengan
cara menjelaskan hubungan antara konsep-konsep. Sementara itu, belajar
penemuan rendah kebermaknaannya dan merupakan beljar hapalan bila
memecahkan suatu masalah dilakukan hanya dengan coba-coba, seperti menebak
suatu teka-teki. Belajar penemuan yang bermakna sekali hanyalah terjadi pada
penelitian yang bersifat ilmiah.

2.3 Bentuk-Bentuk Belajar


Menurut David P. Ausubel, ada dua bentuk-bentuk belajar:
1. Belajar Bermakna (Meaningfull Learning)
Inti teori Ausubel tentang belajar ialah berlajar bermakna (Ausubel, 1968).
Bagi Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitannya informasi
baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang. Walaupun kita tidak mengetahui mekanisme biologi tentang memori
atau disimpannya pengetahuan, kita mengetahui bahwa informasi disimpan di
daerah-daerah tertentu dalam otak. Banyak sel otak yang terlihat dalam
penyimpanan pengetahuan itu. Dengan berlangsungnya belajar, dihasilkan
perubahan-perubahan dalam sel-sel otak, terutama sel-sel yang telah menyimpan
informasi yang mirip dengan informasi yang sedang dipelajari. Belajar bermakna
merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang
relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Belajar dikatakan
bermakna bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan
struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu dapat
mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognifitif yang dimilikinya.
Sehingga peserta didik menjadi kuat ingatannya dan transfe belajarnya mudah
dicapai. Struktur kognitifdapat berupa fakta-fakta, konsep-konsep maupun
generalisasi yang telah diperoleh atau bahkan dipahami sebelumnya oleh siswa.
2. Belajar Menghafal (Rote Learning)
Bila dalam struktur kognitif seseorang tidak terdapat konsep-konsep
relevan atau subsumer-subsumer relevan, informasi baru dipelajari secara hapalan.
Bila tidak ada usaha yang dilakukan untuk mengasimilasikan pengetahuan baru
pada konsep-konsep relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif, akan terjadi
belajar hapalan. Pada kenyataannya, guru dan bahan-bahan pelajaran sangat
jarang menolong para siswa dalam menentukan dan menggunakan konsep-konsep
relevan dalam struktur kognitif mereka untuk mengasimilasikan pengetahuan
baru, dan akibatnya pada para siswa hanya terjadi belajar hapalan. Lagi pula
sistem evaluasi disekolah menghendaki hapalan. Jadi timbul pikiran pada para

siswa untuk apa bersusah payah secara bermakna? Kerap kali siswa-siswa diminta
untuk mengemukakan prinsip-prinsip yang sebenarnya mereka tidak mengerti apa
yang mereka kaitkan. Bila struktur kognitif yang cocok dengan fenomena baru itu
belum ada maka informasi baru tersebut harus dipelajari secara menghafal.
Belajar menghafal ini perlu bila seseoarang memperoleh informasi baru dalam
dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang ia
ketahui sebelumnya.
3. Subsumsi-Subsumsi Obileratif
Selama belajar berlangsung, informasi baru terkait pada konsep-konsep
dalam struktur kognitif. Untuk menekankan pada fenomena pengaitan ini,
Ausubel mengemukakan istilah subsumer. Subsumer memegang peranan dalam
proses perolehan informasi baru. Dalam belajar bermakna, subsumer mempunyai
interaktif, memperlancar gerakan informasi yang relevan melalui penghalangpenghalang perseptual dan menyediakan suatu kaitan antara informasi yang baru
diterima dan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. Lagi pula, dalam
proses terjadinya kaitan ini, subsumer itu mengalami sedikit perubahan. Proses
interaktif antara materi yang baru dipelajari dengan subsumer-subsumer inilah
yang menjadi inti teori belajar asimilasi Ausubel prose ini disebut proses subsumsi
dan secara sistematis dinyatakan sebagai berikut.
A + ai

A + a1 + a2

waktu = 0

waktu = 1

A a1 a2 + a3
waktu = 2

A a1 a2 a3
waktu = 3

= subsumer

= subsumer yang mengalami modifikasi

A dan A

= subsumer yang lebih banyak mengalami modifikasi

a1

= informasi yang mirip dengan subsumer A


Demikian pula a2 dan a3

a1 a2 dan a3 = pengetahuan baru yang telah tersubsumsi


Selama

belajar

bermakna,

subsumer

mengalami

modifikasi

dan

terdiferensiasi lebih lanjut. Diferensiasi subsumer diakibatkan oleh asimilasi


pengetahuan baru selama belajar bermakna berlangsung.
7

Informasi yang baru dipelajari secara bermakna biasanya lebih lama


diingat daripada informasi yang dipelajari secara hafalan, tetapi adakalanya unsurunsur yang telah tersubsumsi (yaitu, a1, a2, a3) tidak dapat lagi dikeluarkan dari
memori, jadi sudah dilupakan. Menurut Ausubel, terjadi subsumsi obliteratif
(subsumsi yang telah rusak). Ini tidak berarti bahwa subsumer yang tinggal telah
kembali pada keadaan sebelum terjadi proses subsumsi. Jadi, walaupun
kelihatannya ada suatu unsur subordinat yang hilang, subsumer telah diubah oleh
pengalaman belajar bermakna sebelumnya. Peristiwa subsumsi obliteratif dapat
diperlihat sebagai berikut.
A a1 a2 a3
waktu = 3

A a2 a3
waktu = 4

A a3
waktu = 5

A
waktu = 6

Dari rumus di atas terlihat bahwa unsur a1 sesudah waktu 4 telah


dilupakan, pada waktu = 5 unsur a2, sesudah waktu = 6 unsur a3 ikut dilupakan.
Jadi, sesudah waktu = 6 tinggallah subsumer A yang merupakan subsumer yang
telah mengalami modifikasi yang disebabkan karena beberapa pengalaman belajar
bermakna sebelumnya.
2.4 Empat Tipe Belajar Bermakna
Adapun tipe-tipe dalam belajar bermakna yaitu :
1. Belajar dengan penemuan yang bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik.
Peserta didik itu kemudian menghubungkan pngetahuan yang baru itu dengan
struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik diminta menemukan sifatsifat suatu bujur sangkar. Dengan mengaitkan pengetahuan yang sudah dimiliki,
seperti sifat-sifat persegi panjang, peserta didik dapat menemukan sendiri sifatsifat bujur sangkar tersebut.
2. Belajar dengan penemuan tidak bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik,
kemudian ia menghafalnya. Misalnya, peserta didik menemukan sifat- sifat bujur

sangkar tanpa bekal pengetahuan sifat- sifat geometri yang berkaitan dengan
segiempat dengan sifat- siafatnya, yaitu dengan penggaris dan jangka. Dengan
alat- alat ini diketemukan sifat- sifat bujur sangkar dan kemudian dihafalkan.
3. Belajar menerima yang bermakna
Informasi yang telah tersusun secara logis di sajikan kepada peserta didik
dalam bentuk final/ akhir, peserta didik kemudian menghubungkan pengetahuan
yang baru itu dengan struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik akan
mempelajari akar-akar persamaan kuadrat. Pengajar mempersiapkan bahan- bahan
yang akan diberikan yang susunannya diatur sedemikian rupa sehingga materi
persamaan kuadrat tersebut dengan mudah tertanam kedalam konsep persamaan
yang sudah dimiliki peserta didik. Karena pengertian persamaan lebih inklusif
dari pada persamaan kuadrat, materi persamaan tersebut dapat dipelajari peserta
didik secara bermakna.
4. Belajar menerima yang tidak bermakna
Dari setiap tipe bahan yang disajikan kepada peserta didik dalam ben tuk
final. Peserta didik tersebut kemudian menghafalkannya. Bahan yang disajikan
tadi tanpa memperhatikan pengetahuan yang dimiliki peserta didik.
2.5 Persyaratan Belajar Bermakna
Prasyarat-praysyarat dalam belajar bermakna adalah sebagai berikut.
a. Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial.
b. Anak yang akan belajar atau siswa harus bertujuan untuk melaksanakan
belajar bermakna, jadi mempunyai kesiapandan niat untuk belajar
bermakna. Tujuan siswa merupakan faktor utama dalam belajar bermakna.
Banyak siswa mengikuti pelajaran-pelajaran yang keliatannya tidak
relevan dengan kebutuhan mereka pada saat itu. Dalam pelajaran-pelajaran
demikian, materi pelajran dipelajari secara hafalan. Para siswa
kelihatannya

dapat

memberikan

jawaban

yang

benar

tanpa

menghubungkan materi itu pada aspek-aspek lain dalam struktur kognitif


mereka.

Kebermaknaan materi pelajaran secara potensial bergantung pada dua faktor


yaitu sebagai berikut.
a. Materi itu harus memiliki kebermaknaan logis.
b. Gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif
siswa.
Materi yang memiliki kebermaknaan logis merupakan materi yang
nonarbitrer dan substantif. Materi yang nonarbitrer ialah materi yang serupa
dengan apa yang telah diketahui. Sebagai contoh, anak yang sudah mempelajari
konsep-konsep segiempat dan bujur sangkar dapat memasukkan kedua konsep ini
secara nonarbitrer ke dalam klasifikasi yang luas, yaitu kuadrilateral (persegi
empat) sebab konsep segi empat dan bujur sangkar yang sudah dipelajari.
Materi itu harus substantif yang berarti materi itu dapat dinyatakan dalam
berbagai cara, tanpa mengubah artinya. Misalnya, definisi semua segitiga
ekuilateral adalah segitiga yang mempunyai tiga sisi yang sama dapat diubah
menjadi bila sebuah segitiga mempunyai semua sisi sama, segitiga itu ialah segi
tiga ekuilateral. Dengan mengubah urutan kata-kata, kita tidak mengubah artinya
dari pernyataan-pernyataan itu ekuivalen.
Walaupun nomor-nomor telepon atau nomor-nomor mobil kerap kali tidak
memiliki kesubtantifan, jadi harus dihafalkan, dengan ditemukan suatu hubungan
antara nomor-nomor itu, tugas untuk mempelajari dan mengingat informasi ini
menjadi lebih mudah.
Aspek kedua kebermaknaan potensial ialah bahwa dalam struktur kognitif
siswa harus ada gagasan yang relevan. Dalam hal ini kita harus memperhatikan
pengalaman anak-anak, tingkat perkembangan mereka, inteligensi, dan usia. Isi
pelajaran harus dipelajari secara hafalan bila anak-anak itu tidak mempunyai
pengalaman yang diperlukan mereka untuk mengaitkan atau menghubungkan isi
pelajaran itu.
Oleh karena itu, agar terjadi belajar bermakna, materi pelajaran harus
bermakna, materi pelajaran harus bermakna secara logis. Siswa harus bertujuan
untuk memasukkan materi itu ke dalam struktur kognitifnya dan dalam struktur
10

kognitif anak harus terdapat unsur-unsur yang cocok untuk mengaitkan atau
menghubngkan materi baru secara nonarbitrer dan subtantif. Jika salah satu
komponen ini tidak ada, materi itu dipelajari secara hafalan (Rosser, 1984).
2.6 Faktor-Faktot yang Mempengaruhi Belajar Bermakna
Menurut David Ausebel, faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar
bermakna ialah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan
dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur
kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi
yang baru masuk ke dalam struktur kognitif itu, demikian pula sifat proses
interaksi yang terjadi. Jika struktur kognitif tersebut stabil, jelas, dan teratur
dengan baik maka arti-arti yang sahih (valid) dan jelas akan timbul, dan
cenderung bertahan. Sebaliknya, jika struktur kognitif tersebut tidak stabil,
meragukan, dan tidak teratur maka struktur kognitif tersebut cenderung
menghambat belajar dan retensi.
2.7 Kondisi Belajar Bermakna
(1). Menjelaskan hubungan atau relevansi bahan- bahan baru dengan bahanbahan lama.
(2). Lebih dahulu diberikan ide yang paling umum dan kemudian hal- hal yang
lebih terperinci.
(3). Menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahan baru dengan bahan
lama.
(4). Mengusahakan agar ide yang telah ada dikuasai sepenuhnya sebelum ide yang
baru disajikan.
2.8 Kelebihan dan Kelemahan Belajar Bermakna

Kelebihan Teori Belajar Bermakna

Menurut Ausebel dan Novak, ada 3 (tiga) kebaikan dari belajar bermakna, yaitu:
(1). Informasi yang dipelajari secara bermakna akan lebih lama diingat.

11

(2). Informasi yang tersubsumsi berakibatkan peningkatan diferensiasi dari


subsumer-subsumer, jadi memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi
pelajaran yang mirip.
(3). Informasi yang dilupakan setelah subsumsi obliteratif, meninggalkan efek
residual pada subsumer, sehingga mempermudah belajar hal-hal yang mirip,
walaupun telah terjadi peristiwa lupa.

Kelemahan Teori Belajar Bermakna

(1). Informasi yang dipelajari secara hafalan tidak lama diingat.


(2). Jika peserta didik berkeinginan untuk mempelajari sesuatu tanpa mengaitkan
hal yang satu dengan hal yang lain yang sudah diketahuinya maka baik proses
maupun hasil pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan
bermakna sama sekali baginya.
2.9 Menerapkan Teori Belajar Bermakna Dalam Mengajar
Untuk dapat menerapkan teori ausubel dalam mengajar, sebaiknya kita
perhatikan apa yang dikemukakan oleh ausubel dalam bukunya yang berjudul
Education Psychology. A Cognitive View, pernyataan itu berbunyi :
The most important single factor influencing learning is what the learner
already know. Ascertain this and teach him accordingly. (Ausubel, 1968)
Atau yang berarti sebagai berikut :
Faktor terpenting yang mempengaruhi belajar ialah apa yang telah diketahui
siswa. Yakinilah hal ini dan ajarkanlah ia demikian.
Pernyataan Ausubel inilah yang menjadi inti teori belajarnya. Jadi, agar
terjadi belajar bermakna, konsep baru atau informasi baru harus dikaitan dengan
konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Untuk menerapkan
teori Ausubel dalam mengajar, selain kosep-konsep yang telah dibahas terlebih
terdahulu, ada beberapa konsep dan prinsip lain yang perlu diperhatikan. Konsep
atau prinsip-prinsip itu ialah pengaturan awal, diferensiasi progresif, penyesuaian

12

integratif, dan belajar superordinat. Semua konsep ini akan dibahas dengan
sedapat mungkin memberikan contoh penerapannya dalam mengajar.
1). Pengatur Awal
David Ausubel (1960, 1963) memperkenalkan konsep pengatur awal
dalam teorinya. Pengatur awal mengarahkan para siswa ke materi yang akan
mereka pelajari dan menolong mereka untuk mengingat kembali informasi yang
berhubungan yang dapat digunakan dalam membantu menanamkan pengetahuan
baru. Suatu pengatur awal dapat dianggap semacam pertolongan mental dan
disajikan sebelum materi baru.
Banyak

penelitian

membuktikan

bahwa

pengatur-pengatur

awal

meningkatkan pemahaman siswa tentang berbagai macam materi pelajaran. Akan


tetapi, efek-efek pengatur awal terhadap belajar ternyata bergantung pada
bagaimana pengatur awal itu digunakan. Rupa-rupanya pengatur awal lebih
berguna untuk mengajarkan isi pelajaran yang telah mempunyai struktur teratur
yang mungkin tidak secara otomatis terlihat oleh para siswa. Beberapa peneliti
mengemukakan bahwa pengatur awal belum pada umumnya ditemukan menolong
siswa belajar informasi faktual yang tidak diatur dengan jelas atau materi
pelajaran yang terdiri atas sejumlah topik yang terpisah-pisah.
2). Diferensiasi Progresif
Selama belajar bermakna berlangsung, perlu terjadi pengembangan dan
elaborasi konsep-konsep yang tersubsumsi. Menurut Ausubel, pengalaman konsep
berlangsung paling baik jika unsur-unsur yang paling umum, paling inklusif suatu
konsep diperkenalkan terlebih dahulu, kemudian baru diberikan hal-hal yang lebih
mendetail dan lebih khusus dari konsep itu. Dengan perkataan lain, model belajar
Ausubel pada umumnya berlangsung dari umum ke khusus.
Dengan menggunakan strategi ini, guru mengajarkan konsep-konsep yang
paling inklusif terlebih dahulu, kemudian konsep-konsep yang kurang inklusif,
dan setelah itu mengajarkan hal-hal yang khusus, seperti contoh-contoh setiap
konsep. Proses penyusuna konsep semacam ini disebut diferensiasi progresif dan

13

merupaka salah satu dari sekian macam urutan belajar, dikatakan juga bahwa
konsep-konsep itu disusun secara hierarki.
Menentukan pengetahuan yang termasuk konsep paling umum, paling
inklusif, dan konsep-konsep subordinat dalam suatu kumpulan merupakan
pekerjaan yang tidak mudah. Menurut novak (1977), untuk menyusun kurikulum
yang baik, mula-mula diperlukan analisis konsep dalam suatu bidang studi,
kemudian diperhatiak hubungan-hubungan tertentu antara konsep-konsep ini
sehingga dapat diketahui konsep yang paling umum dan superordinat dan konsep
yang lebih khusus dan subordinat.
Salah satu sebab mengapa pengajaran disekolah menjadi tidak efektif ialah
karena para pengembang kurikulum jarang sekali memilih konsep-konsep yang
akan diajarkan dan lebih-lebih lagi jarang sekali mereka mencoba mencari
hubungan hierarkis yang mungkin ada diantara konsep-konsep itu. Novak, seperti
juga banyak ahli pendidikan lainnya, menekankan bahwa fungsi pertama sekolah
itu ialah belajar konsep. Oleh karena itu, kita harus memilih dari sekian banyak
pengetahuan itu konsep utama dan konsep subordinat yang ingin kita ajarkan pada
para siswa. Sikap dan keterampilan diperlukan sebagai unsur-unsur penunjang
bagi belajar konsep, tetapi untuk sebagian besar pendidikan, sikap dan
keterampilan tidak termasuk struktur primer dari kurikulum sekolah (Novak,
1977: 86). Bahkan dalam sekolah kejuruan pun, belajar konsep sama pentingnya
dengan belajar keterampilan.
3). Belajar Superordinat
Selama informasi diterima dan diasosiasikan dengan konsep dalam
struktur kognitif (subsumsi), konsep itu tumbuh atau mengalami diferensiasi.
Proses subsumsi ini dapat terus berlangsung hingga pada suatu saat ditemukan hal
yang baru. Kita kembali pada contoh diatas, anak kecil dengan konsep kucingnya.
Pada suatu saat ia menemukan bahwa tidak semua kucing itu sama, lalu namanama konsep baru diterapkan pada unsur-unsur subordinat, anjing, sapi, kuda,
misalnya. Pada suatu saat dalam belajar, anakitu mungkin mengenal atau
dibimbing untuk mengamati bahwa semua hewan yang dapat dibedakannya itu

14

berambut dan tergolong kelompok hewan yang disebut mamalia. Konsep mamalia
sekarang dapat berkembang secara hubungan superordinat terhadap kosep-konsep
kucing, anjing, sapi, kuda, dan sebagainya.
Belajar superordinat terjadi bila konsep-konsep yang telah dipelajari
sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur suatu konsep yang lebih luas, lebih
inklusif. Hal yang sama terjadi bila anak belajar bahwa tomat, buncis, wortel,
adalah semua sayuran , kemudian setelah mereka belajar biologi dan ditekankan
konsep-konsep buah dan akar, mereka belajar bahwa wortel adalah semacam akar
tanaman (plant fruits). Mungkin belajar superordinat tidak biasa terjadi disekolah
sebab sebagian besar guru dan buku teks mulai dengan konsep-konsep yang lebih
inklusif, tetapi kerap kali mereka gagal untuk memperlihatkan secara eksplisit
hubungan-hubungan pada konsep-konsep inklusif inisaat di kemudian hari
disajikan konsep-konsep khusus subordinat.
4). Penyesuaian Integratif
Terkadang seorang siswa dihadapkan pada suatu kenyataan yang disebut
pertentangan kognitif. Hali ini terjadi bila dua atau lebih nama konsep digunakan
untuk menyatakan konsep yang sama atau bila nama yang sama diterapkan pada
lebih dari satu konsep. Misalnya, buah merupakan nama konsep untuk suatu
konsep gizi dan juga suatu konsep botani. Siswa itu akan bertanya, bagaimana
buah dapat mencangkup keduanya, yaitu masuk ke dalam gizi dan juga masuk ke
dalam botani.
Untuk mengatasi atau mengurangi sedapat mungkin pertentangan kognitif
ini, Ausubel menyarankan suatu prinsip lain, yaitu yang dikenal dengan prinsip
penyesuaian integratif. Menurut Ausubel, dalam mengajar bukan hanya urutan
menurut

diferensiasi

progresifyang

diperhatikan,

melainkan

juga

harus

diperlihatkan bagaimana konsep-konsep baru dihubungkan pada konsep-konsep


superordinat. Kita harus memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti baru
dibandingkan dan dipertentangkan dengan arti sebelumnya yang lebih sempitdan
bagaimana konsep-konsep yang lebih tinggi sekarang mengambil arti baru.

15

Untuk mencapai penyesuaian integratif, materi pelajaran hendaknya


disusun sedemikian rupa hingga kita menggerakkan hierarki-hierarki konseptual
ke atas dan ke bawah selama informasi disajikan. Kita dapat mulai dengan
konsep-konsep yang paling umum, tetapi kita perlu memperlihatkan bagaimana
terkaitnya konsep-konsep subordinat, kemudian bergerak kembali melalui contohcontoh ke arti-arti baru bagi konsep yang tingkatnya lebih tinggi. Gerak di atas
dan ke bawah dari hierarki konseptual.
2.10 Peta Konsep
Dikemukakan terdahulu bahwa Ausubel sangat menekankan agar para
guru mengetahui konsep-konsep yang telah dimiliki oleh para siswa (advance
organizer) supaya belajar bermakna dapat berlangsung. Namun, Ausubel belum
menyediakan suatu alay atau cara bagi para guru yang dapat digunkan untuk
mengetahui apa yang diketahui para belajar. Novak (1985) dalam bukunya
Learning How to Learn mengemukakan bahwa hal itu dapat dilakukan dengan
pertolongan peta konsep atau pemetaan konsep. Gagasan Novak ini didasarkan
atas teori belajar Ausubel.
Peta konsep dikembangkan untu menggali ke dalam struktur kognitif
pelajar dan untuk mengetahui, baik bagi pelajar maupun guru, melihat apa yang
telah diketahui pelajar. Walaupun suatu peta konsep tidak diharapkan menjadi
suatu representasi konsep dan proposisi relevan yang komplit dari yang diketahui
pelajar, tetapi dapat diharapkan bahwa peta konsep merupakan suatu pendekatan
yang dapat dilaksanakan yang dapat dikembangkan baik oleh pelajar atau guru
secara sadar dan bebas.
Gagasan-gagasan yang mendasari pembentukan peta konsep yaitu terdapat
tiga gagasan dalam teori belajar kognitif Ausubel yang mendasari pembentukan
peta konsep. Pertama, struktur kognitif itu tersusun secara hierarkis dengan
konsep dan proposisi yang lebih inklusif superordinal terhadap konsep dan
proposisi yang kurang inklusif dan lebih khusus. Kedua, konsep-konsep dalam
struktur kognitif mengalami diferensiasi progresif, yaitu belajar bermakna
merupakan suatu proses kontinu dimana konsep-konsep baru meningkat artinya

16

bila diperoleh hubunganhubungan baru (hubungan proposisional). Jadi, konsepkonsep itu tidak pernah tuntas dipelajari, tetapi selalu dipelajari, dimodifikasi,
dan dibuat lebih eksplisit dan lebih inklusif karena konsep-konsep itu secara
progresif mengalami diferensiasi. Ketiga, penyesuaian integratif merupakan salah
satu prinsip belajar yang mengemukakan bahwa belajar bermakna meningkat bila
pelajar mengenal hubungan-hubungan yang baru antara satu set konsep atau
proposisi yang berhubungan.
Menyusun Peta Konsep, Peta konsep memegang peranan penting dalam
belajar bermakna. Oleh karena itu, setiap siswa hendaknya pandai menyusun peta
konsep untuk meyakinkan bahwa pada siswa itu telah berlangsung. Cara
mengajarkan pembuatan peta konsep akan dibahas dibawah ini.
Ada beberapa langkah yang harus diikuti, yaitu sebagai berikut.
a. Pilihlah suatu bacaan dari buku pelajaran.
Sebagai contoh diberikan bacaan sebagai berikut.
Setiap orang tidak asing lagi dengan logam. Logam itu bisa terdapat di
alam dan biasanya menjadi logam murni. Beberapa logam murni seperti
emas, perak, dan platina dianggap sebagai logam yang jarang yang
terdapat di alam. Sebaliknya, tembaga, timah, aluminium, dan besi
dianggap sebagai logam yang banyak terdapat di alam. Manusia telah
belajar bagaimana mencampurkan beberapa logam murni dan zat-zat lain
untuk menghasilkan logam baru yang disebut logam campuran.
((perunggu dan kuningan adalah logam campuran). Setiap hari kita melihat
logam, terutama logam campuran, yaitu pada gedung, mobil, dan lain-lain.
Perhiasan yang dipakai orang terutama dibuat dari logam yang jarang
didapat dari alam, sedangkan pipa dan alat-alat masak dibuat dari logam
besi, aluminium dan logam-logam lain yang banyak terdapat di alam.
b. Tentukan konsep-konsep yang relevan.
Untuk bacaan ini konsep-konsep yang relevan ialah :
Logam alamiah tembaga besi emas perak baja jarang
perhiasan perunggu logam campuran kuningan platina- timah
pipa alat masak gedung mobil mobil aluminium
c. Urutkan konsep-konsep itu dari yang paling inklusif ke yang paling tidak
inklusif atau contoh-contoh.

17

Paling inklusif

logam
Alamiah buatan jarang banya emas perak
platina tembaga timah aluminium besi baja

baja kuningan perunggu.


d. Susunlah konsep-konsep itu diatas kertas, mulai dengan konsep yang
paling inklusif di puncak ke konsep yang paling tidak inklusif.
e. Hubungkanlah konsep-konsep itu dengan kata atau kata-kata penghubung.
Peta Konsep digunakan untuk menyatakan hubungan yang bermakna
antara konsep-konsep dalam bentuk proposi. Manfaat Peta Konsep ini yaitu :
Menyelidiki Apa Yang Telah Diketahui Siswa
Telah dikemukakan terdahulu bahwa belajar bermakna membutuhkan
usaha yang sungguh-sungguh dari pihak siswa untuk menghubungkan
pengetahuan baru dengan konsep-konsep yang relevan yang telah mereka miliki.
Untuk memperlancar proses ini, baik guru maupun siswa, perlu mengetahui
tempat konseptual. Dengan kata lain, guru harus mengetahui konsep-konsep apa
yang telah dimiliki siswawaktu pelajaran baru akan dimulai, sedangkan para siswa
diharapkan dapat menunjukkan dimana mereka berada atau konsep-konsep apa
yang telah mereka miliki dalam menghadapi pelajaran baru itu.
Dengan menggunakan peta konsep, guru dapat melaksanakan apa yang
telah dikemukakan di atas sehingga pada para siswa diharapkan akan terjadi
belajar bermakna. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan guru untuk
maksud ini ialah dengan memilih satu konsep utama pokok bahasan baru yang
akan dibahas. Para siswa diminta untuk menyusun peta konsep yang
memperlihatkan semua konsep yang dapat mereka kaitan pada konsep utama itu,
serta hubungan-hubungan antara konsep-konsep yang mereka gambarkan itu.
Dengan melihat hasil peta konsep yang telah disusun para siswa itu, guru dapat
mengetahui sampai berapa jauh pengetahuan para siswa mengenai pokok bahasan
yang diajarkan itu dan inilah yang dijadikan titik tolak pengembangan
selanjutnya.
Mempelajari Cara Belajar

18

Di tingkat SMP dan SMA, guru dapat memberikan tugas membaca sebuah
judul dalam buku teks, kemudian mengungkapkan sari judul itu dengan membuat
peta konsep. Diantara beberapa orang yang telah melakukan cara ini dalam
belajar, ada yang berkata bahwa cara ini benar-benar membuat mereka berpikir,
ada pula yang mengemukakan bahwa dengan membuat peta konsep mereka dapat
melihat hubungan-hubungan yang selama ini tidak mereka lihat, ada pula yang
berkata bahwa dengan membuat peta konsep, mereka menjadi lebih siap
menghadapi ulangan atau ujian.
Dari apa yang telah di uraikan tadi, dapat kita lihat kegunaan peta konsep
bagi pelajar-pelajar kita. Dengan melatih mereka membuat peta konsep untuk
mengambil sari dari apa yang mereka baca, baik dari buku teks maupun bacaanbacaan lain, berarti kita meminta untuk membaca buku itu dengan seksama. Untuk
mengeluarkan konsep-konsep, kemudian menghubungkan konsep-konsep itu
dengan kata penghubung menjadi proposisi yang bermakna, bukanlah tugas yang
sambil lalu dapat dilakukan. Mereka harus benar-benar duduk belajar,
menggunakan pencil dan kertas, melatih diri untuk menghasilkan peta konsep
yang bermakna bagi dirinya, yang akan menolong mereka belajar, bagaimana
belajar.

Mengungkapkan Miskonsepsi
Dari peta konsep yang dibuat oleh para pelajar, ada kalanya ditemukan
miskonsepsi yang terjadi dari dikaitkannya dua konsep atau lebih yang
membentuk proposisi yang salah. Misalnya ditemukan dalam pelajaran tentang
indra penglihatan yaitu mata.
Mata mengeluarkan sinar (jadi mata itu merupakan suatu alat yang aktif).
Dalam kepustakaan pendidikan sains, berbagai nama ditemukan untuk
miskonsepsi. Ada yang menyebutkan konsepsi anak, sains anak, miskonsepsi dan
beberapa lainnya. Istilah miskonsepsi dihubungkan dengan konsepsi ilmiah
yang dianggap betul itu. Istilah sains anak mengganggap sebagai anak sebagai

19

seorang ilmuan pemula, membangun dari pengalaman-pengalaman sehari-hari


konsepsi yang menyerupai teori ilmiah.
Alat Evaluasi
Selama ini alat evaluasi yang dibuat oleh guru atau pelajar terutama
berbentuk tes objektif atau tes esai. Walaupun cara evaluasi ini akan terus
memegang peranan dalam dunia pendidikan, teknik evaluasi baru perlu dipikirkan
untuk memecahkan masalah evaluasi yang kita hadapi ini. Salah satu yang
disarankan ialah penggunaan peta konsep.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Teori belajar bermakna adalah suatu proses mengaitkan informasi baru
pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
Dalam belajar bermakna informasi baru diasimilasikan pada subsumer-subsumer
relevan yang telah ada dalam struktur kognitif. Menurut David P. Ausubel, ada
dua bentuk-bentuk belajar : Belajar bermakna (Meaningfull learning), Belajar
menghafal (Rote learning), Subsumsi-subsumsi obileratif. Empat tipe belajar

20

bermakna yaitu : Belajar dengan penemuan yang bermakna, Belajar dengan


penemuan tidak bermakna, Belajar menerima yang bermakna, Belajar menerima
yang tidak bermakna. Menerapkan teori belajar bermakna dalam mengajar yaitu :
pengatur awal, diferensiasi progresif, belajar superordinat, penyesuaian integratif.
Peta konsep digunakan untuk menyatakan hubungan yang bermakna antara
konsep-konsep dalam bentuk proposi.
3.2 Saran
Sebaiknya teori belajar bermakna menurut David Ausubel ini dapat
diterapkan dalam proses kegiatan belajar mengajar di sekolah secara efektif agar
siswa dapat belajar dengan efektif dan optimal.

DAFTAR PUSTAKA
Dahar, Ratna Wilis. 1989. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:
Erlangga.
Prastuti, Wahyu Dwi. 2012. Belajar Bermakna David Ausubel. Tersedia:
http://www.google.com/dhevhe/pdf/2012/12/07/belajar-bermakna-davidausubel. diakses pada tanggal 19 Maret 2016.

21

22

Anda mungkin juga menyukai