Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang
dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Bruner & Sudarth,
2002). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007).
1.1.2
Epidemiologi
Fraktur lebih sering terjadi pada laki laki daripada perempuan dengan
umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olah raga, pekerjaan atau
luka yang disebabkan oleh kendaraan bermotor. Mobilisasi yang lebih banyak
dilakukan oleh laki-laki menjadi penyebab tingginya risiko fraktur. Pada orang
tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur daripada lakilaki yang
berhubungan dengan meningkatnya insidens osteoporosis yang terkait dengan
perubahan hormon pada menopause. Negara maju, masalah patah tulang pangkal
paha atau tulang panggul merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
mendapat perhatian serius karena dampak yang ditimbulkan bisa mengakibatkan
ketidakmampuan penderita dalam beraktivitas. Menurut penelitian Institut
Kedokteran Garvan tahun 2000 di Australia setiap tahun diperkirakan 20.000
wanita mengalami keretakan tulang panggul dan dalam setahun satu diantaranya
akan meninggal karena komplikasi. Di Indonesia jumlah kasus fraktur akibat
kecelakaan lalu lintas meningkat seiring pesatnya peningkatan jumlah pemakai
kendaraan bermotor. Berdasarkan laporan penelitian dari Depkes RI tahun 2000,
di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung terdapat penderita fraktur akibat
kecelakaan lalu lintas sebanyak 444 orang.
1.1.3 Etiologi
Patofisiologi
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma.
Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil,
atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan
menyangga. Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya: patah tulang
patela dan olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi
(Doenges, 2000:629).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah
dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran
darahketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai.
Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jalajala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk
tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel
tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati (Carpenito,
2000:50).
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah
total dapat berakibat anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf
maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner
& suddarth, 2002: 2387).
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan
tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami
nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn
vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian
inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Doenges,
2000:629).
Proses penyembuhan tulang:
a. Tahap Hematoma.
Pada tahap terjadi fraktur, terjadi kerusakan pada kanalis Havers sehingga
masuk ke area fraktur setelah 24 jam terbenutk bekuan darah dan fibrin yang
masuk ke area fraktur, terbenuklah hematoma kemudian berkembang menjadi
jaringan granulasi.
b. Tahap Poliferasi.
Pada aerea fraktur periosteum, endosteum dan sumsum mensuplai sel yang
berubah menjadi fibrin kartilago, kartilago hialin dan jaringan panjang.
c. Tahap Formiasi Kalus atau Prakalus.
Jaringan granulasi berubah menjadi prakalus. Prakalus mencapai ukuran
maksimal pada 14 sampai 21 hari setelah injuri.
d. Tahap Osifikasi kalus
Pemberian osifikasi kalus eksternal (antara periosteum dan korteks), kalus
internal (medulla) dan kalus intermediet pada minggu ke-3 sampai dengan
minggu ke-10 kalus menutupi lubang.
e. Tahap consolidasi, Dengan aktivitas osteoblasi dan osteoklas, kalus
mengalami proses tulang sesuai dengan hasilnya.
Faktor faktor yang mempengaruhi proses pemulihan :
a. Usia klien
b. Immobilisasi
c. Tipe fraktur dan area fraktur
d. Tipe tulang yang fraktur, tulang spongiosa lebih cepat sembuh dibandingkan
e.
f.
g.
h.
lebih lama.
i. Keganasan lokal, penyakit tulang metabolik dan kortikosteroid.
(Doenges, 2000:632-633)
1.1.5 Klasifikasi
1.1.5.1 Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan
cruris, dst).
1.1.5.2 Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur:
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis
penampang tulang).
1.1.5.3 Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah:
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
1.1.5.4 Berdasarkan posisi fragmen:
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen
1.1.5.5 Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
ddan ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit. Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
1) Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
2) Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang
ekstensif.
3) Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan
lunak ekstensif.
1.1.5.6 Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma:
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang..
1.1.5.7 Berdasarkan kedudukan tulangnya :
a. Tidak adanya dislokasi.
b. Adanya dislokasi
1) At axim : membentuk sudut.
2) At lotus : fragmen tulang berjauhan.
3) At longitudinal : berjauhan memanjang.
4) At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.
1.1.5.8 Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
1.1.5.9 Fraktur Kelelahan: Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
1.1.5.10 Fraktur Patologis: Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
tulang.
1.1.6
Gejala Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
1.1.6.3 Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi).
1.1.6.4 Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak
yang lebih berat).
1.1.6.5 Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma
dari pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cidera.
1.1.7 Pemeriksaan Fisik
1.1.7.1 B1 (Breathing) : Napas pendek
1.1.7.2 B2 (Blood)
: Hipotensi, bradikardi
1.1.7.3 B3 (Brain)
: Pusing saat melakukan perubahan posisi, nyeri tekan otot,
hiperestesi tepat diatas daerah trauma dan mengalami deformitas pada
daerah trauma.
1.1.7.4 B4 (Bleader)
fragmen-fragmen
tersebut
selama
untuk
penyembuhan
(gips/traksi).
4. Rehabilitasi: langsung dimulai segera dan sudah dilaksanakan bersamaan
dengan pengobatan fraktur karena sering kali pengaruh cedera dan
program pengobatan hasilnya kurang sempurna (latihan gerak dengan
kruck).
1.1.9.2 Pembedahan
1. Orif (Open Reduction And Internal Fixation)
a. Insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan
b.
c.
d.
e.
cepat, rawat inap lebih singkat, dapat lebih cepat kembali ke pola
kehidupan normal.
Kerugian: kemungkinan terjadi infeksi, osteomielitis.
2. Eksternal Fiksasi
Metode alternatif manajemen fraktur dengan fiksasi eksternal, biasanya
pada ekstrimitas dan tidak untuk fraktur lama post eksternal fiksasi,
dianjurkan penggunaan gips. Setelah reduksi, dilakukan insisi perkutan
untuk implantasi pen ke tulang Lubang kecil dibuat dari pen metal
melewati tulang dan dikuatkan pennya. Perawatan 1-2 kali sehari secara
khusus, antara lain: Observasi letak pen dan area, Observasi kemerahan,
basah dan rembes, Observasi status neurovaskuler distal fraktur, fiksasi
eksternal, fiksasi internal, pembidaian.
1.1.10 Komplikasi
1.1.10.1 Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang
tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan
sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang berat dan berikutnya
menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala gejalanya mencakup rasa
sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan
dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan
perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan paresthesia. Komplikasi
ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang kering (tibia) dan tulang hasta
(radius atau ulna).
c. Fat Embolism Syndrom
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal.
Hal ini terjadi ketika gelembung gelembung lemak terlepas dari sumsum
tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan
melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh
rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
j. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
1.2.2 Diagnosa Keperawatan
1.2.2.1 Diagnosa Keperawatan Pre-Op
1. Kekurangan Volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
ditandai dengan penurunan tekanan darah, penurunan tekanan nadi,
penurunan volume nasi, penurunan turgor kulit, kelemahan.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik ditandai dengan spasme
otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan
traksi, stress/ansietas, luka operasi.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar
kapiler ditandai dengan pernafasan abnormal (kecepatan, irama, kedalaman),
gelisah, takikardia, warna kulit abnormal ( pucat, kehitaman), PH darah
arteri abnormal.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur
tulang ditandai dengan kesulitasn membolak-balik posisi, keterbatasan
kemampuan motorik kasar, ketidakstabilan postur, pergerakan tidak
terkoordinasi.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tonjolan tulang ditandai
dengan kerusakan lapisan kulit, gangguan permukaan kulit, invasi struktur
tubuh.
6. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional ditandai dengan wajah
tegang, tremor, peningkatan ketegangan, gelisah.
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajan informasi ditandai
dengan pernyataan, pertanyaan salah konsepsi, tak akurat mengikuti instruksi
8. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka terbuka
9. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penurunan aliran darah arteri/vena
10. Risiko disfungsi neurovaskular perifer berhubungan dengan fraktur
1.2.2.2 Diagnosa Keperawatan Intra-Op
1. Kekurangan Volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
(perdarahan saat operasi) ditandai dengan penurunan tekanan darah,
Diagnosa 2
Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik ditandai dengan spasme otot, gerakan fragmen
tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang
Kriteria Hasil :
a. Melaporkan nyeri berkurang atau hilang
Intervensi
Rasional
Kaji lokasi, intensitas dan tipe nyeri
Untuk menenukan tindakan keperawatan yang tepat.
Imobilisasi bagian yang sakit
Mempertahankan posisi fungsional tulang.
Tinggikan dan dukung ekstremitas yang Memperlancar arus balik vena.
terkena.
Dorong penggunaan teknik manajemen Membantu mengontrol nyeri.
relaksasi
Kolaborasi pemberian analgetik sesuai Membantu mengurangi nyeri.
indikasi
Diagnosa 3
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar kapiler ditandai dengan
pernafasan abnormal (kecepatan, irama, kedalaman), gelisah, takikardia, warna kulit abnormal
( pucat, kehitaman), PH darah arteri abnormal.
Tujuan : gangguan pertukaran gas teratasi.
Kriteria Hasil :
a. Melaporkan penurunan dispnea
b. Tidak ada gejala distres pernafasan
c. Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigen adekuat
Intervensi
Rasional
Kaji dispnea, bunyi nafas tambahan, upaya Mengevaluasi proses penyakit dan memberikan
pernafasan, ekspansi toraks, kelemahan
tindakan penanganan yang cepat dan tepat.
Pertahankan bersihan jalan nafas.
Mempengaruhi intake oksigen dari luar ke dalam
tubuh.
Anjurkan istirahat yang adekuat.
Mengurangi kerja pernafasan.
Kolaborasi pemberian nebulizer jika Membantu meningkatkan kelembapan udara dan
diperlukan
mengencerkan sekret sehingga mudah dikeluarkan.
Diagnosa 4
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang ditandai dengan
kesulitasn membolak-balik posisi, keterbatasan kemampuan motorik kasar, ketidakstabilan postur,
pergerakan tidak terkoordinasi.
Tujuan : hambatan mobilitas fisik teratasi
Kriteria Hasil :
a. Mempertahankan fungsi tulang dan kulit
Intervensi
Rasional
Kaji lokasi fraktur.
Membantu menentukan jenis fraktur dan intervensi
selanjutnya.
Berikan debridemen saat memindahkan Membantu mempertahankan fungsi tubuh dan
pasien dan imobilisasi lokasi fraktur.
memungkinkan
kesembuhan
fragmen
yang
diperlukan.
Anjurkan penggunaan alat bantu.
Memudahkan pergerakan area yang tidak terkena.
Kolaborasi tindakan penatalaksanaan medis. Memperbaiki kerusakan fungsi tulang dan kulit.
Diagnosa 5
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tonjolan tulang ditandai dengan kerusakan lapisan
kulit, gangguan permukaan kulit, invasi struktur tubuh.
Tujuan : kerusakan integritas kulit teratasi
Kriteria Hasil :
a. Meningkatkan hemostasis luka
b. Mencegah cedera jaringan lebih lanjut
Intervensi
Rasional
Kaji kondisi luka dan drainase.
Mengetahui besar dan luas dan risiko infeksi,
menentukan intervensi sesuai efektifitas.
Berikan perwatan luka aseptik dan Mengurangi nyeri dan mempercepat proses
pembalutan/pembidaian.
penyembuhan.
Jaga kebersihan alat tenun
Mencegah infeksi dan mengurangi kontaminasi.
Kolaborasi dengan tim medis pemberian Membantu mengidentifikasi tindakan yang tepat untu
tindakan yang tepat
memberikn kenyamanan.
Diagnosa 6
Ansietas berhubungan dengan krisis situasional ditandai dengan wajah tegang, tremor, peningkatan
ketegangan, gelisah..
Diagnosa 7
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajan informasi ditandai dengan pernyataan,
pertanyaan salah konsepsi, tak akurat mengikuti instruksi
Tujuan : menyatakan pemahaman kondisi dan pengobatan
Kriteria Hasil :
a. Berpartisipasi aktif dalam program pengobatan
b. Menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu
Intervensi
Rasional
Kaji informasi tentang kondisi individu dan Meningkatkan pemahaman dan kerjasama.
prognosis.
Kaji tingkat ansietas, kemampuan kontrol, Menilai kemampuan pasien mengatasi situasi dan
perasaan tak berdaya.
penyakitnya.
Mendengarkan dengan aktif keluhan dan Memberikan keyakinan pada kemampuan individu
pernyataan pasien.
dan mengatasi situasi secara positif.
Berikan umpan balik positif untuk upaya dan Meningkatkan harga diri dan mendorong partisipasi
keterlibatan dalam terapi.
dalam program selanjutnya.
Diagnosa 8
Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka terbuka.
Tujuan : infeksi tidak terjadi
Kriteria Hasil :
a. Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
b. Penyembuhan luka berjalan baik
Intervensi
Rasional
Kaji tanda-tanda vital pasien dan kondisi Mengetahui terjadinya infeksi.
luka
Lakukan perawatan luka dengan teknik Mencegah terjadinya kontaminasi dan infeksi
aseptik
Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai Mecegah /mengatasi tanda tanda infeksi
indikasi.
Diagnosa 9
Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah
arteri/vena
Tujuan : ketidakefektifan perfusi jaringan perifer tidak terjadi
Kriteria Hasil :
a. Individu akan mengidentifikasi faktor yang meningkatkan sirkulasi perifer
Intervensi
Rasional
Diagnosa 10
Risiko disfungsi neurovaskular perifer berhubungan dengan fraktur
Tujuan : disfungsi neurovaskular perifer tidak terjadi
Kriteria Hasil :
a. Tidak mengalami nyeri, sianosis, nadi tidak teraba, paralisis
Intervensi
Rasional
Lakukan pengkajian neurovaskular setiap Pemeriksaan pada saraf karena pemasangan gips,
jam pertama selama 24 jam, lalu 2 jam, traksi atau kompresi mekanik.
kemudian setiap 4 jm, dan setiap 8 jam.
Observasi suhu, warna kulit, denyut nadi
Pemeriksaan sensitiftas dan penurunan atau
hilangnya sensasi.
Catat dan laporkan tanda-tanda gangguan Kerusakan irreversibel dapat mengakibatkan paralisis
neurovaskuler.
atau bahkan amputasi
Tinggikan ekstremitas sebats jantung jika Membantu arus balik vena dan menurunkan edema.
terjadi edema sampai edema teratasi. Hindari
melewati CVP 6-13cm
Diagnosa Intra-Op
Diagnosa 1
Kekurangan Volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (perdarahan saat operasi)
ditandai dengan penurunan tekanan darah, penurunan tekanan nadi, penurunan volume nasi,
penurunan turgor kulit, kelemahan.
Tujuan : kebutuhan cairan terpenuhi
Kriteria Hasil :
a. Mempertahankan berat jenis urine dalam batas normal (0,5-1cc/KgBB/jam)
b. Tidak ada tanda dan gejala dehidrasi
Intervensi
Rasional
Kaji input dan output cairan
Menentukan status dehidrasi pasien dan membantu
menentukan intervensi.
Timbang berat tampon
Mengetahui jumlah kehilangan cairan.
Kolaborasi pemenuhan kebutuhan cairan Membantu mengatasi kekurangan cairan.
melalui intravena (IVFD)
Diagnosa 2
Risiko cedera berhubungan dengan fisik (integritas kulit tidak utuh, gangguan mobilitas)
Tujuan : cedera tidak terjadi
Kriteria Hasil :
a. Tidak ada agen cidera
Intervensi
Rasional
Kaji agen penyebab cedera
Mengetahui kondisi lingkungan penyebab cidera
Rapikan lingkungan sekitar pasien
Mencegah agen penyebab cedera
Diagnosa Post-Op
Diagnosa 1
Diagnosa 2
Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka insisi
Tujuan : infeksi tidak terjadi
Kriteria Hasil :
a. Tidak mengalami nyeri, sianosis, nadi tidak teraba, dan paralisis
Intervensi
Rasional
Kaji tanda-tanda vital pasien dan kondisi Mengetahui terjadinya infeksi.
luka
Lakukan perawatan luka dengan teknik Mencegah terjadinya kontaminasi dan infeksi
aseptik
Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai Mecegah /mengatasi tanda tanda infeksi
indikasi.
1.2.4
Nomor
Evaluasi
Evaluasi
Diagnosa
1.
2.
3.
4.
5.
Pre-Op
Kebutuhan cairan terpenuhi
a.
Mempertahankan berat jenis urine dalam batas normal (0,51cc/KgBB/jam)
b.
Tidak ada tanda dan gejala dehidrasi
Nyeri teratasi
a.
Melaporkan nyeri berkurng atau hilang
Gangguan pertukaran gas teratasi
a.
Melaporkan penurunan dispnea
b.
Tidak ada gejala distres pernafasan
c.
Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigen adekuat
Hambatan mobilitas fisik teratasi
a.
Mempertahankan fungsi tulang dan kulit
Kerusakan integritas kulit teratasi
a.
Meningkatkan hemostasis luka
b.
Mencegah cedera jaringan lebih lanjut
6.
7.
8.
9.
10.
1.
2.
1.
2.
Kecemasan berkurang
a.
Menyatakan secara verbal cemas berkurang
b.
Mengatakan secara verbal tidak ada ketakutan
Menyatakan pemahaman kondisi dan pengobatan
a.
Berpartisipasi aktif dalam program pengobatan
b.
Menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu
Infeksi tidak terjadi
a.
Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
b.
Penyembuhan luka berjalan baik
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer tidak terjadi
a.
Individu akan mengidentifikasi faktor yang meningkatkan
sirkulasi perifer
Disfungsi neurovaskular tidak terjadi
a.
Tidak mengalami nyeri, sianosis, nadi tidak teraba, dan
paralisis.
Intra-Op
Kebutuhan cairan terpenuhi
a.
Mempertahankan berat jenis urine dalam batas normal (0,51cc/KgBB/jam)
b.
Tidak ada tanda dan gejala dehidrasi
Cedera tidak terjadi
a.
Tidak ada agen cedera
Post-Op
Kebutuhan nutrisi terpenuhi
a.
Berat badan stabil
b.
Normalisasi nilai nilai laboratorium
Infeksi tidak terjadi
a.
Tidak mengalami nyeri, sianosis, nadi tidak teraba, dan paralisis
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 3.
Jakarta : EGC
Carpenito, Linda J. 2000. Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik
Klinis. Edisi 6. Jakarta : EGC
Dongoes, E. Marilyn, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta :
EGC.
Mansjoer, Arif. Dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Jakarta:
EGC.
Nanda Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisi dan
Klasifikasi 2012-2014. Jakarta : EGC
Kondisi patologis,
aa osteoporosis
neoplasma,
Adsorbsi Ca menurun
Fraktur
konservatif
perdarahan
Tindakan
pembedahan
Perfusi jaringan
Gangguan
perifer
mobilitastidak
fisik efektif
Kekurangan
Kekurangan
dari
Perubahan
status Risiko Nutrisi kurang
volume
cairan
volumeEfek
perdarahan
anastesi
Cedera
Pre Op
Efek anastesi
Intra
Op
Post
Op
kesehatan
Mual
muntah
kebutuhan
tubuh
cairan
Risiko
Inflamasi
Luka
insissi
Infeksi
bakteri
Ansietas
Cedera sel
Perubahan
status
kesehatan
Diskontinuitas
fragmen tulang
Terapi
Degranulasi sel mast restriktif
Kurang
informasi
Kurang
pengetahuan
Pelepasan sel
kimia
Nociceptor
ke
Nyeriserebri
Korteks
medula
Akut
spinalis
Luka terbuka
Risiko
Infeksi
Gangguan
Integritas
Kulit
Reaksi
peradangan
Edema
Penekanan pada
jaringan vaskuler
Penurunan aliran
darah
Risiko Disfungsi
Neurovaskular