Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN FRAKTUR

1.1 Konsep Dasar Penyakit


1.1.1

Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis

dan luasnya fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang
dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Bruner & Sudarth,
2002). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007).
1.1.2

Epidemiologi
Fraktur lebih sering terjadi pada laki laki daripada perempuan dengan

umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olah raga, pekerjaan atau
luka yang disebabkan oleh kendaraan bermotor. Mobilisasi yang lebih banyak
dilakukan oleh laki-laki menjadi penyebab tingginya risiko fraktur. Pada orang
tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur daripada lakilaki yang
berhubungan dengan meningkatnya insidens osteoporosis yang terkait dengan
perubahan hormon pada menopause. Negara maju, masalah patah tulang pangkal
paha atau tulang panggul merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
mendapat perhatian serius karena dampak yang ditimbulkan bisa mengakibatkan
ketidakmampuan penderita dalam beraktivitas. Menurut penelitian Institut
Kedokteran Garvan tahun 2000 di Australia setiap tahun diperkirakan 20.000
wanita mengalami keretakan tulang panggul dan dalam setahun satu diantaranya
akan meninggal karena komplikasi. Di Indonesia jumlah kasus fraktur akibat
kecelakaan lalu lintas meningkat seiring pesatnya peningkatan jumlah pemakai
kendaraan bermotor. Berdasarkan laporan penelitian dari Depkes RI tahun 2000,
di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung terdapat penderita fraktur akibat
kecelakaan lalu lintas sebanyak 444 orang.
1.1.3 Etiologi

Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan


pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan
sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh
kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama
pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges,
2000:627)
Menurut Carpenito (2000:47) adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan.
Menurut (Doenges, 2000:627) adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda
paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang
mengakibatkan fraktur
2. Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat kejadian kekerasan.
3. Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal (kongenital,
peradangan, neuplastik, dan metabolik).
1.1.4

Patofisiologi
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma.

Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil,
atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan
menyangga. Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya: patah tulang

patela dan olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi
(Doenges, 2000:629).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah
dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran
darahketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai.
Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jalajala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk
tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel
tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati (Carpenito,
2000:50).
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah
total dapat berakibat anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf
maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner
& suddarth, 2002: 2387).
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan
tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami
nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn
vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian
inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Doenges,
2000:629).
Proses penyembuhan tulang:
a. Tahap Hematoma.

Pada tahap terjadi fraktur, terjadi kerusakan pada kanalis Havers sehingga
masuk ke area fraktur setelah 24 jam terbenutk bekuan darah dan fibrin yang
masuk ke area fraktur, terbenuklah hematoma kemudian berkembang menjadi
jaringan granulasi.
b. Tahap Poliferasi.
Pada aerea fraktur periosteum, endosteum dan sumsum mensuplai sel yang
berubah menjadi fibrin kartilago, kartilago hialin dan jaringan panjang.
c. Tahap Formiasi Kalus atau Prakalus.
Jaringan granulasi berubah menjadi prakalus. Prakalus mencapai ukuran
maksimal pada 14 sampai 21 hari setelah injuri.
d. Tahap Osifikasi kalus
Pemberian osifikasi kalus eksternal (antara periosteum dan korteks), kalus
internal (medulla) dan kalus intermediet pada minggu ke-3 sampai dengan
minggu ke-10 kalus menutupi lubang.
e. Tahap consolidasi, Dengan aktivitas osteoblasi dan osteoklas, kalus
mengalami proses tulang sesuai dengan hasilnya.
Faktor faktor yang mempengaruhi proses pemulihan :
a. Usia klien
b. Immobilisasi
c. Tipe fraktur dan area fraktur
d. Tipe tulang yang fraktur, tulang spongiosa lebih cepat sembuh dibandingkan
e.
f.
g.
h.

dengan tulang kompak.


Keadaan gizi klien.
Asupan darah dan hormon hormon pertumbuhan yang memadai.
Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang.
Komplikasi atau tidak misalnya infeksi biasa menyebabkan penyembuhan

lebih lama.
i. Keganasan lokal, penyakit tulang metabolik dan kortikosteroid.
(Doenges, 2000:632-633)
1.1.5 Klasifikasi
1.1.5.1 Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan
cruris, dst).
1.1.5.2 Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur:
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis
penampang tulang).
1.1.5.3 Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah:

a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
1.1.5.4 Berdasarkan posisi fragmen:
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen
1.1.5.5 Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
ddan ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit. Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
1) Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
2) Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang
ekstensif.
3) Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan
lunak ekstensif.
1.1.5.6 Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma:
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.

c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang..
1.1.5.7 Berdasarkan kedudukan tulangnya :
a. Tidak adanya dislokasi.
b. Adanya dislokasi
1) At axim : membentuk sudut.
2) At lotus : fragmen tulang berjauhan.
3) At longitudinal : berjauhan memanjang.
4) At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.
1.1.5.8 Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
1.1.5.9 Fraktur Kelelahan: Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
1.1.5.10 Fraktur Patologis: Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
tulang.

1.1.6

Gejala Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,

pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna.


Manifestasi klinik dari faktur menurut Brunner and Suddarth (2002:2358)
1.1.6.1 Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang
di rancang utuk meminimalkan gerakan antar fregmen tulang
1.1.6.2 Setelah terjadi faraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid
seperti normalnya. Pergeseran fragmen tulang pada fraktur lengan dan
tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas
yang bisa diketahui membandingkan ekstermitas yang normal dengan
ekstermitas yang tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.

1.1.6.3 Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi).
1.1.6.4 Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak
yang lebih berat).
1.1.6.5 Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma
dari pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cidera.
1.1.7 Pemeriksaan Fisik
1.1.7.1 B1 (Breathing) : Napas pendek
1.1.7.2 B2 (Blood)
: Hipotensi, bradikardi
1.1.7.3 B3 (Brain)
: Pusing saat melakukan perubahan posisi, nyeri tekan otot,
hiperestesi tepat diatas daerah trauma dan mengalami deformitas pada
daerah trauma.
1.1.7.4 B4 (Bleader)

: Inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine,

distensi perut dan peristaltic hilang.


1.1.7.5 B5 ( Bowel) : Mengalami distensi perut dan peristaltik usus hilang
1.1.7.6 B6 (Bone)
: Kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal,
hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot dan hilangnya reflek.
1.1.8 Pemeriksaan Diagnostik
1.1.8.1 X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang
cedera.
1.1.8.2 Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
1.1.8.3 Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
1.1.8.4 CCT menilai banyaknya kerusakan otot.
1.1.8.5 Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hb, hematokrit sering
rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila
kerusakan jaringan lunak sangat luas.
1.1.8.6 Pemeriksaan Darah Lengkap: Lekosit turun/meningkat, Eritrosit dan
Albumin turun, Hb, hematokrit sering rendah akibat perdarahan, Laju
Endap Darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas,
Pada masa penyembuhan Ca meningkat di dalam darah, traumaa otot

meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal. Profil koagulasi: perubahan


dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau cederah hati.
1.1.9 Terapi
1.1.9.1 Penatalaksanaan
1. Rekognisi: menyangkut diagnosa fraktur pada tempat kejadian kecelakaan
a.
b.
c.
d.
e.
2.

dan kemudian di rumah sakit.


Riwayat kecelakaan
Parah tidaknya luka
Diskripsi kejadian oleh pasien
Menentukan kemungkinan tulang yang patah
Krepitus
Reduksi: reposisi fragmen fraktur sedekat mungkin dengan letak
normalnya. Reduksi terbagi menjadi dua yaitu:
a. Reduksi tertutup: untuk mensejajarkan tulang secara manual dengan
traksi atau gips
b. Reduksi terbuka: dengan metode insisi dibuat dan diluruskan melalui
pembedahan, biasanya melalui internal fiksasi dengan alat misalnya;

pin, plat yang langsung kedalam medula tulang.


3. Retensi: menyatakan metode-metode yang dilaksanakan
mempertahankan

fragmen-fragmen

tersebut

selama

untuk

penyembuhan

(gips/traksi).
4. Rehabilitasi: langsung dimulai segera dan sudah dilaksanakan bersamaan
dengan pengobatan fraktur karena sering kali pengaruh cedera dan
program pengobatan hasilnya kurang sempurna (latihan gerak dengan
kruck).
1.1.9.2 Pembedahan
1. Orif (Open Reduction And Internal Fixation)
a. Insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan
b.
c.
d.
e.

sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur.


Fraktur diperiksa dan diteliti.
Fragmen yang telah mati dilakukan irigasi dari luka.
Fraktur direposisi agar mendapatkan posisi yang normal kembali
Sesudah reduksi fragmen-fragmen tulang dipertahankan dengan alat

ortopedik berupa; pin, sekrup, plate, dan paku


Keuntungan: Reduksi akurat, stabilitas reduksi tinggi, pemeriksaan
struktur neurovaskuler, berkurangnya kebutuhan alat imobilisasi eksternal,
penyatuan sendi yang berdekatan dengan tulang yang patah menjadi lebih

cepat, rawat inap lebih singkat, dapat lebih cepat kembali ke pola
kehidupan normal.
Kerugian: kemungkinan terjadi infeksi, osteomielitis.
2. Eksternal Fiksasi
Metode alternatif manajemen fraktur dengan fiksasi eksternal, biasanya
pada ekstrimitas dan tidak untuk fraktur lama post eksternal fiksasi,
dianjurkan penggunaan gips. Setelah reduksi, dilakukan insisi perkutan
untuk implantasi pen ke tulang Lubang kecil dibuat dari pen metal
melewati tulang dan dikuatkan pennya. Perawatan 1-2 kali sehari secara
khusus, antara lain: Observasi letak pen dan area, Observasi kemerahan,
basah dan rembes, Observasi status neurovaskuler distal fraktur, fiksasi
eksternal, fiksasi internal, pembidaian.
1.1.10 Komplikasi
1.1.10.1 Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang
tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan
sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang berat dan berikutnya
menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala gejalanya mencakup rasa
sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan
dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan
perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan paresthesia. Komplikasi
ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang kering (tibia) dan tulang hasta
(radius atau ulna).
c. Fat Embolism Syndrom
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal.
Hal ini terjadi ketika gelembung gelembung lemak terlepas dari sumsum
tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan
melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh

pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari


sindrom emboli lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental
(gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit
ptechie.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke
dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan
adanya Volkmans Ischemia. Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai
darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai fraktur
intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur berputar
atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah. Karena nekrosis
avaskular mencakup proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama,
pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai dia keluar dari
rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien merupakan hal yang
penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya melaporkan nyeri yang
bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat menahan beban
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
g. Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks
tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau
hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat
masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi.
Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat
tulangnya, luka amputasi karena trauma dan fraktur fraktur dengan
sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis
yang lebih besar

1.1.10.2 Komplikasi Dalam Waktu Lama


a. Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
b. Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa. Kadang
kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor faktor yang
dapat menyebabkan non union adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi
jaringan lunak, pemisahan lebar dari fragmen contohnya patella dan
fraktur yang bersifat patologis..
c. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk menimbulkan
deformitas, angulasi atau pergeseran.
1.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1.2.1 Pengkajian
1. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
b. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa
sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain

itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka


kecelakaan yang lain.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit pagets yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun
kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis
yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetik.
5. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
6. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi
kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa
mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga
atau tidak.
b. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi
klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama
kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan

faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain


itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak.
d. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
e. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh
orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien
terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko
untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain.
f. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap.
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image).
h. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa
nyeri akibat fraktur.
i. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta

rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
j. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
1.2.2 Diagnosa Keperawatan
1.2.2.1 Diagnosa Keperawatan Pre-Op
1. Kekurangan Volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
ditandai dengan penurunan tekanan darah, penurunan tekanan nadi,
penurunan volume nasi, penurunan turgor kulit, kelemahan.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik ditandai dengan spasme
otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan
traksi, stress/ansietas, luka operasi.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar
kapiler ditandai dengan pernafasan abnormal (kecepatan, irama, kedalaman),
gelisah, takikardia, warna kulit abnormal ( pucat, kehitaman), PH darah
arteri abnormal.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur
tulang ditandai dengan kesulitasn membolak-balik posisi, keterbatasan
kemampuan motorik kasar, ketidakstabilan postur, pergerakan tidak
terkoordinasi.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tonjolan tulang ditandai
dengan kerusakan lapisan kulit, gangguan permukaan kulit, invasi struktur
tubuh.
6. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional ditandai dengan wajah
tegang, tremor, peningkatan ketegangan, gelisah.
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajan informasi ditandai
dengan pernyataan, pertanyaan salah konsepsi, tak akurat mengikuti instruksi
8. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka terbuka
9. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penurunan aliran darah arteri/vena
10. Risiko disfungsi neurovaskular perifer berhubungan dengan fraktur
1.2.2.2 Diagnosa Keperawatan Intra-Op
1. Kekurangan Volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
(perdarahan saat operasi) ditandai dengan penurunan tekanan darah,

penurunan tekanan nadi, penurunan volume nasi, penurunan turgor kulit,


kelemahan.
2. Risiko cedera berhubungan dengan fisik (integritas kulit tidak utuh,
gangguan mobilitas)
1.2.2.3 Diagnosa Keperawatan Post-Op
1. Ketidakseimbangan Nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan menelan makanan ditandai dengan kurang minat
pada makanan, penurunan berat badan, membran mukosa pucat,
ketidakmampuan memakan makanan.
2. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka insisi
1.2.3 Rencana Tindakan dan Rasionalisasi
Diagnosa Pre-Op
Diagnosa 1
Kekurangan Volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif ditandai dengan penurunan
tekanan darah, penurunan tekanan nadi, penurunan volume nasi, penurunan turgor kulit, kelemahan.
Tujuan : kebutuhan cairan terpenuhi
Kriteria Hasil :
a. Mempertahankan berat jenis urine dalam batas normal (0,5-1cc/KgBB/jam)
b. Tidak ada tanda dan gejala dehidrasi
Intervensi
Rasional
Kaji masukan dan haluaran urine dan Menentukan status dehidrasi pasien dan membantu
penyebab kekurangan cairan.
menentukan intervensi.
Balut luka untuk meminimalkan kehilangan Mencegah kekurangan cairan.
cairan
Kolaborasi pemenuhan kebutuhan cairan Membantu mengatasi kekurangan cairan.
melalui intravena (IVFD)

Diagnosa 2
Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik ditandai dengan spasme otot, gerakan fragmen
tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang
Kriteria Hasil :
a. Melaporkan nyeri berkurang atau hilang
Intervensi
Rasional
Kaji lokasi, intensitas dan tipe nyeri
Untuk menenukan tindakan keperawatan yang tepat.
Imobilisasi bagian yang sakit
Mempertahankan posisi fungsional tulang.
Tinggikan dan dukung ekstremitas yang Memperlancar arus balik vena.
terkena.
Dorong penggunaan teknik manajemen Membantu mengontrol nyeri.
relaksasi
Kolaborasi pemberian analgetik sesuai Membantu mengurangi nyeri.
indikasi

Diagnosa 3
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar kapiler ditandai dengan

pernafasan abnormal (kecepatan, irama, kedalaman), gelisah, takikardia, warna kulit abnormal
( pucat, kehitaman), PH darah arteri abnormal.
Tujuan : gangguan pertukaran gas teratasi.
Kriteria Hasil :
a. Melaporkan penurunan dispnea
b. Tidak ada gejala distres pernafasan
c. Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigen adekuat
Intervensi
Rasional
Kaji dispnea, bunyi nafas tambahan, upaya Mengevaluasi proses penyakit dan memberikan
pernafasan, ekspansi toraks, kelemahan
tindakan penanganan yang cepat dan tepat.
Pertahankan bersihan jalan nafas.
Mempengaruhi intake oksigen dari luar ke dalam
tubuh.
Anjurkan istirahat yang adekuat.
Mengurangi kerja pernafasan.
Kolaborasi pemberian nebulizer jika Membantu meningkatkan kelembapan udara dan
diperlukan
mengencerkan sekret sehingga mudah dikeluarkan.

Diagnosa 4
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang ditandai dengan
kesulitasn membolak-balik posisi, keterbatasan kemampuan motorik kasar, ketidakstabilan postur,
pergerakan tidak terkoordinasi.
Tujuan : hambatan mobilitas fisik teratasi
Kriteria Hasil :
a. Mempertahankan fungsi tulang dan kulit
Intervensi
Rasional
Kaji lokasi fraktur.
Membantu menentukan jenis fraktur dan intervensi
selanjutnya.
Berikan debridemen saat memindahkan Membantu mempertahankan fungsi tubuh dan
pasien dan imobilisasi lokasi fraktur.
memungkinkan
kesembuhan
fragmen
yang
diperlukan.
Anjurkan penggunaan alat bantu.
Memudahkan pergerakan area yang tidak terkena.
Kolaborasi tindakan penatalaksanaan medis. Memperbaiki kerusakan fungsi tulang dan kulit.

Diagnosa 5
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tonjolan tulang ditandai dengan kerusakan lapisan
kulit, gangguan permukaan kulit, invasi struktur tubuh.
Tujuan : kerusakan integritas kulit teratasi
Kriteria Hasil :
a. Meningkatkan hemostasis luka
b. Mencegah cedera jaringan lebih lanjut
Intervensi
Rasional
Kaji kondisi luka dan drainase.
Mengetahui besar dan luas dan risiko infeksi,
menentukan intervensi sesuai efektifitas.
Berikan perwatan luka aseptik dan Mengurangi nyeri dan mempercepat proses
pembalutan/pembidaian.
penyembuhan.
Jaga kebersihan alat tenun
Mencegah infeksi dan mengurangi kontaminasi.
Kolaborasi dengan tim medis pemberian Membantu mengidentifikasi tindakan yang tepat untu
tindakan yang tepat
memberikn kenyamanan.

Diagnosa 6
Ansietas berhubungan dengan krisis situasional ditandai dengan wajah tegang, tremor, peningkatan
ketegangan, gelisah..

Tujuan : kecemasan berkurang


Kriteria Hasil :
a. Menyatakan secara verbal cemas berkurang
b. Mengatakan secara verbal tidak ada ketakutan
Intervensi
Rasional
Observasi tanda-tanda ansietas verbal dan Mengungkapkan kecemasan secara langsung dapat
nonverbal.
menandakan lever kecemasan.
Jelaskan segalasesuatu tentang penyakit Menambah wawasan dan meningkatkan pengertian
yang pasien derita.
sehingga mengurangi kecemasan.
Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam.
Meningkatkan ketenangan pasien.
Kolaborasi medikasi obat penenang jika Membantu menurunkan ansietas yang berlebihan.
diindikasikan.

Diagnosa 7
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajan informasi ditandai dengan pernyataan,
pertanyaan salah konsepsi, tak akurat mengikuti instruksi
Tujuan : menyatakan pemahaman kondisi dan pengobatan
Kriteria Hasil :
a. Berpartisipasi aktif dalam program pengobatan
b. Menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu
Intervensi
Rasional
Kaji informasi tentang kondisi individu dan Meningkatkan pemahaman dan kerjasama.
prognosis.
Kaji tingkat ansietas, kemampuan kontrol, Menilai kemampuan pasien mengatasi situasi dan
perasaan tak berdaya.
penyakitnya.
Mendengarkan dengan aktif keluhan dan Memberikan keyakinan pada kemampuan individu
pernyataan pasien.
dan mengatasi situasi secara positif.
Berikan umpan balik positif untuk upaya dan Meningkatkan harga diri dan mendorong partisipasi
keterlibatan dalam terapi.
dalam program selanjutnya.

Diagnosa 8
Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka terbuka.
Tujuan : infeksi tidak terjadi
Kriteria Hasil :
a. Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
b. Penyembuhan luka berjalan baik
Intervensi
Rasional
Kaji tanda-tanda vital pasien dan kondisi Mengetahui terjadinya infeksi.
luka
Lakukan perawatan luka dengan teknik Mencegah terjadinya kontaminasi dan infeksi
aseptik
Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai Mecegah /mengatasi tanda tanda infeksi
indikasi.

Diagnosa 9
Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah
arteri/vena
Tujuan : ketidakefektifan perfusi jaringan perifer tidak terjadi
Kriteria Hasil :
a. Individu akan mengidentifikasi faktor yang meningkatkan sirkulasi perifer
Intervensi
Rasional

Kaji tanda-tanda sianosis, pucat, prubahan


suhu kulit.
Pertimbangkan penggunaan balutan /
penekanan eksternal.
Ajarkan teknik relaksasi mengurangi stres.

Berhubungan dengan perubahan volume sirkulasi.


Mencegah statis vena.
Meningkatkan ketenangan pasien.

Diagnosa 10
Risiko disfungsi neurovaskular perifer berhubungan dengan fraktur
Tujuan : disfungsi neurovaskular perifer tidak terjadi
Kriteria Hasil :
a. Tidak mengalami nyeri, sianosis, nadi tidak teraba, paralisis
Intervensi
Rasional
Lakukan pengkajian neurovaskular setiap Pemeriksaan pada saraf karena pemasangan gips,
jam pertama selama 24 jam, lalu 2 jam, traksi atau kompresi mekanik.
kemudian setiap 4 jm, dan setiap 8 jam.
Observasi suhu, warna kulit, denyut nadi
Pemeriksaan sensitiftas dan penurunan atau
hilangnya sensasi.
Catat dan laporkan tanda-tanda gangguan Kerusakan irreversibel dapat mengakibatkan paralisis
neurovaskuler.
atau bahkan amputasi
Tinggikan ekstremitas sebats jantung jika Membantu arus balik vena dan menurunkan edema.
terjadi edema sampai edema teratasi. Hindari
melewati CVP 6-13cm

Diagnosa Intra-Op
Diagnosa 1
Kekurangan Volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (perdarahan saat operasi)
ditandai dengan penurunan tekanan darah, penurunan tekanan nadi, penurunan volume nasi,
penurunan turgor kulit, kelemahan.
Tujuan : kebutuhan cairan terpenuhi
Kriteria Hasil :
a. Mempertahankan berat jenis urine dalam batas normal (0,5-1cc/KgBB/jam)
b. Tidak ada tanda dan gejala dehidrasi
Intervensi
Rasional
Kaji input dan output cairan
Menentukan status dehidrasi pasien dan membantu
menentukan intervensi.
Timbang berat tampon
Mengetahui jumlah kehilangan cairan.
Kolaborasi pemenuhan kebutuhan cairan Membantu mengatasi kekurangan cairan.
melalui intravena (IVFD)

Diagnosa 2
Risiko cedera berhubungan dengan fisik (integritas kulit tidak utuh, gangguan mobilitas)
Tujuan : cedera tidak terjadi
Kriteria Hasil :
a. Tidak ada agen cidera
Intervensi
Rasional
Kaji agen penyebab cedera
Mengetahui kondisi lingkungan penyebab cidera
Rapikan lingkungan sekitar pasien
Mencegah agen penyebab cedera

Diagnosa Post-Op
Diagnosa 1

Ketidakseimbangan Nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan


menelan makanan ditandai dengan kurang minat pada makanan, penurunan berat badan, membran
mukosa pucat, ketidakmampuan memakan makanan.
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria Hasil :
a. Berat badan stabil
b. Normalisasi nilai nilai laboratorium
Intervensi
Rasional
Kaji kebiasaan diet, evaluasi berat badan dan Pasien distres pernafasan sering anoreksia karena dan
ukuran tubuh.
obat obatan mengakibatkan mual muntah.
Berikan perawatan oral sering.
Raa tak enak, bau, dan penampilan adalah pencegah
nafsu makan, dapat membuat mual muntah dengan
peningkatan kesulitan bernafas.
Anjurkan pasien unruk menghindari Suhu ekstrem dapat mencetuskan spasme batuk.
makanan sangat panas atau dingin.
Konsul ahli gizi untuk memberikan makanan Metode makan didasarkan pada kebutuhan nutrisi
yang mudah dicerna.
maksimal dan upaya minimal penggunan energi.

Diagnosa 2
Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka insisi
Tujuan : infeksi tidak terjadi
Kriteria Hasil :
a. Tidak mengalami nyeri, sianosis, nadi tidak teraba, dan paralisis
Intervensi
Rasional
Kaji tanda-tanda vital pasien dan kondisi Mengetahui terjadinya infeksi.
luka
Lakukan perawatan luka dengan teknik Mencegah terjadinya kontaminasi dan infeksi
aseptik
Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai Mecegah /mengatasi tanda tanda infeksi
indikasi.

1.2.4
Nomor

Evaluasi
Evaluasi

Diagnosa
1.

2.
3.

4.
5.

Pre-Op
Kebutuhan cairan terpenuhi
a.
Mempertahankan berat jenis urine dalam batas normal (0,51cc/KgBB/jam)
b.
Tidak ada tanda dan gejala dehidrasi
Nyeri teratasi
a.
Melaporkan nyeri berkurng atau hilang
Gangguan pertukaran gas teratasi
a.
Melaporkan penurunan dispnea
b.
Tidak ada gejala distres pernafasan
c.
Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigen adekuat
Hambatan mobilitas fisik teratasi
a.
Mempertahankan fungsi tulang dan kulit
Kerusakan integritas kulit teratasi
a.
Meningkatkan hemostasis luka
b.
Mencegah cedera jaringan lebih lanjut

6.
7.
8.
9.

10.

1.

2.
1.
2.

Kecemasan berkurang
a.
Menyatakan secara verbal cemas berkurang
b.
Mengatakan secara verbal tidak ada ketakutan
Menyatakan pemahaman kondisi dan pengobatan
a.
Berpartisipasi aktif dalam program pengobatan
b.
Menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu
Infeksi tidak terjadi
a.
Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
b.
Penyembuhan luka berjalan baik
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer tidak terjadi
a.
Individu akan mengidentifikasi faktor yang meningkatkan
sirkulasi perifer
Disfungsi neurovaskular tidak terjadi
a.
Tidak mengalami nyeri, sianosis, nadi tidak teraba, dan
paralisis.
Intra-Op
Kebutuhan cairan terpenuhi
a.
Mempertahankan berat jenis urine dalam batas normal (0,51cc/KgBB/jam)
b.
Tidak ada tanda dan gejala dehidrasi
Cedera tidak terjadi
a.
Tidak ada agen cedera
Post-Op
Kebutuhan nutrisi terpenuhi
a.
Berat badan stabil
b.
Normalisasi nilai nilai laboratorium
Infeksi tidak terjadi
a.
Tidak mengalami nyeri, sianosis, nadi tidak teraba, dan paralisis

DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 3.
Jakarta : EGC
Carpenito, Linda J. 2000. Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik
Klinis. Edisi 6. Jakarta : EGC
Dongoes, E. Marilyn, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta :
EGC.
Mansjoer, Arif. Dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Jakarta:
EGC.
Nanda Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisi dan
Klasifikasi 2012-2014. Jakarta : EGC

Kondisi patologis,
aa osteoporosis
neoplasma,
Adsorbsi Ca menurun

Trauma langsung dan tidak


langsung

Fraktur
konservatif
perdarahan

Tindakan
pembedahan

Bidai, gips, traksi

Perfusi jaringan
Gangguan
perifer
mobilitastidak
fisik efektif

Kekurangan
Kekurangan
dari
Perubahan
status Risiko Nutrisi kurang
volume
cairan
volumeEfek
perdarahan
anastesi
Cedera
Pre Op
Efek anastesi
Intra
Op
Post
Op
kesehatan
Mual
muntah
kebutuhan
tubuh
cairan

Risiko
Inflamasi
Luka
insissi
Infeksi
bakteri

Ansietas

Cedera sel

Perubahan
status
kesehatan

Diskontinuitas
fragmen tulang
Terapi
Degranulasi sel mast restriktif

Kurang
informasi

Kurang
pengetahuan

Pelepasan sel
kimia

Nociceptor
ke
Nyeriserebri
Korteks
medula
Akut
spinalis

Luka terbuka

Lepasnya lipid Infasi bakteri


sumsum tulang

Gangguan Cedera sel


mobilitas
Luas
fisik Gangguan
Teradsorb-si
Nekrosis
permukaan
pertukaran
Penurunan
laju
Oklusi
arteri
ke menurun
jaringan
aliran paru
darah
paru
difusi
gasemboli
paru

Risiko
Infeksi

Gangguan
Integritas
Kulit

Reaksi
peradangan

Edema

Penekanan pada
jaringan vaskuler

Penurunan aliran
darah

Risiko Disfungsi
Neurovaskular

Anda mungkin juga menyukai