Anda di halaman 1dari 31

Case Report Session

Epistaksis

Oleh :
Katerine 0910312134
Wiwi Hermy Putri 1110312010

Preseptor :
Dr. Novialdi, Sp.THT-KL (K)

BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN


BEDAH KEPALA DAN LEHER
RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2016

BAB 1
1

TINJAUAN PUSTAKA
1.1

Anatomi Hidung
Hidung terdiri dari hidung bagian luar berbentuk piramid dengan bagian

bagiannya dari atas ke bawah yaitu pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum
nasi), puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior).1
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal),
prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung,
yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan tepi anterior kartilago septum.1
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut
nar1es posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.1
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang
nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang (vibrise).1

Gambar 1.1. Anatomi hidung


Kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior, dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi yang dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan
dan periostium pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi
ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema ini biasanya
rudimenter.1
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung. Terdapat meatus yaitu meatus
inferior, medius, dan superior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid.1
Vaskularisasi:
3

Bagian atas rongga hidung divaskularisasi oleh arteri etmoidalis anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis interna. Bagian
bawah rongga hidung divaskularisasi oleh cabang arteri maksilaris interna, diantaranya
arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina. Arteri sfenopalatina keluar dari foramen
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung divaskularisasi oleh cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan
septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a.
labialis superior, dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (little's area).1,2
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arteri. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup,
sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke
intrakranial.1

Gambar 1.2. Vaskularisasi Hidung2

Innervasi:
4

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis
anterior yang merupakan cabang n. nasosiliaris yang bersal dari n.oftalmikus. Rongga
hidung lainnya, sebagian besar terdapat persarafan sensorik dari nervus maksilla melalui
ganglion sfenopalatina. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n. maksilaris,
serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n.
petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di ujung
posterior konka media.1
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribrosa dari pemukaan bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.1
Fisiologi Hidung:1
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasalis adalah:
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal,
2. Fungsi penghidu karena terdapat mukosa olfaktorius.
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang,
4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma
dan pelindung panas, dan
5. Refleks nasal, dimana mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan yang dapat menyebabkan refleks
bersin dan napas berhenti, rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur,

lambung dan pankreas.


1.2

Definisi, epidemiologi dan klasifikasi


Epistaksis terjadi akibat gangguan hemostasis di hidung akibat abnormalitas

mukosa hidung, gangguan pembuluh darah, dan kelainan pembekuan darah. Sebagian
besar kasus epistaksis dapat diatasi dan hanya sedikit kasus yang menjadi berulang dan
berpotensi mengancam jiwa akibat perdarahan atau komplikasi. Pada kasus yang sedikit
ini memerlukan evaluasi yang cepat, menemukan penyebab, tindakan awal yang
dilakukan dalam mencegah hipotensi, hipoksia, anemia, aspirasi atau bahkan kematian.12
Epistaksis merupakan penyebab perdarah tersering pada kepala dan leher. Studi
tahun 1974 melibatkan 1.724 pasien epistaksis didapatkan angka insidensi yang lebih
tinggi pada pria sekitar 58% dan wanita 42%, dan rata rata 71 % diantaranya berusia
diatas 50 tahun . Studi yang dilakukan Midwestern US menemuan bahwa epistaksis
posterior lebih ering ditemukan pada daerah dengan suhu dingin, dan kelembepan
rendah. Beberapa studi melaporkan bahwa epistaksis posterior berhubungan dengan
hipertensi.12
Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:
1.

Epistaksis anterior

Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan
biasanya dapat berhenti sendiri.3 Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus
Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum
bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat
berasal dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan
melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek
6

pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi
patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan.1,4
2.

Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid

posterior. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering
ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit
kardiovaskuler.4
1.3

Epidemiologi
Epistaksis atau perdarahan dari hidung banyak dijumpai pada anak maupun pada

usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain.
Epistaksis terutama dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun. Epistaksis bagian
anterior sebagian besar dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis
posterior

sering

pada

orang

tua

dengan

riwayat

penyakit

hipertensi

atau

arteriosklerosis.1,5
1.4

Etiologi

Penyebab epistaksis dapat dibedakan menjadi :


1) Penyebab Lokal

Hidung
a.

Trauma, meliputi trauma karena kuku jari yang menyebabkan cedera hidung,
operasi intranasal, fraktur sepertiga tengah wajah dan basis cranii, bersin
yang terlalu kuat.

b. Infeksi

akut: rhinitis Viral, difteri pada hidung, sinusitis akut.


7

kronis: Semua penyakit yang membentuk krusta, misalnya rhinitis atrofi,


rhinitis sicca, tuberkulosis, sifilis, perforasi septum, lesi granulomatosa
hidung, misalnya rhinosporidiosis.

c. Benda asing

d.

tak hidup: rhinolith.

Hidup: lintah.

Neoplasma hidung dan sinus paranasal.

Benign: hemangioma, papilloma.

maligna: Karsinoma atau sarkoma.

e.

Perubahan Atmosfer. ketinggian, dekompresi mendadak (penyakit Caisson).

f.

Deviasi septum.

Nasofaring
a.

Adenoiditis

b. Juvenile angiofibroma
c. Tumor ganas
2) Penyebab Umum
a.

Sistem kardiovaskular : Hipertensi, arteriosklerosis, stenosis mitral,


kehamilan (hipertensi dan hormonal).

b.

Gangguan darah dan pembuluh darah. anemia aplastik, leukemia,


thrombocytopenic

dan

pembuluh

darah

purpura,

hemofilia,

kekurangan vitamin K dan hemoragik telangiektasia turun-temurun.


c.

Penyakit hati, sirosis hati (defisiensi faktor II, VII, IX dan X).

d.

Penyakit ginjal: nefritis kronis.


8

kudis,

e.

Obat, penggunaan berlebihan dari salisilat dan analgesik lainnya dan terapi
antikoagulan pada penyakit jantung).

f.

Kompresi mediastinum. Tumor mediastinum (Tekanan vena dibesarkan di


hidung).

g.

Infeksi umum akut. Influenza, campak, cacar air, batuk rejan, demam
rematik, infeksi mononucleosis, tipus, pneumonia, malaria, demam berdarah.

3) Idiopatik. 2
Lokasi epistaksis :
1. Littles area. Dalam 90% kasus epistaksis, perdarahan terjadi dari situs ini.
2. Di atas tingkat konka. Perdarahan dari atas konka dan daerah yang sesuai pada septum
sering dari anterior dan posterior ethmoidal pembuluh (sistem karotis internal).
3. Di bawah tingkat konka. Berikut perdarahan dari cabang sphenopalatina arteri. Ini
mungkin tersembunyi, berbaring lateral konka atau lebih rendah dan mungkin
memerlukan infrastruktur turbinates ini untuk lokalisasi dari situs perdarahan dan
penempatan kemasan untuk mengendalikannya.
4. Posterior bagian dari rongga hidung. Berikut arus darah secara langsung ke faring.
5. Septum dan dinding lateral hidung. Ini adalah sering terlihat pada gangguan sistemik
umum dan diskrasia darah.

1.5

Diagnosis
Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan

penyebabnya harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior kavum nasi
biasanya akibat mencongkel hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit
9

infeksi. Sedangkan dari bagian posterior atau media biasanya akibat hipertensi,
arteriosklerosis, fraktur atau tumor. Lakukan pengukuran tekanan darah dan periksa
faktor pembekuan darah. Disamping pemeriksaan rutin THT, dilakukan pemeriksaan
tambahan foto tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau perlu CT-scan.6
Evaluasi awal pasien mimisan meliputi penilaian terhadap stabilitas hemodinamik,
kompromi jalan napas dan vital parameter.
Anamnesis riwayat yang lengkap termasuk pertanyaan berikut:
a.

lokasi perdarahan; sisi terburuk jika perdarahan bilateral.

b.

Gejala hidung posterior pendarahan seperti dahak darah dan hematemesis.

c.

Pencetus acara-acara seperti trauma, infeksi akut, hidung tetes dan semprotan dan
operasi.

d.

Durasi dan jumlah perdarahan.

e.

Syncopal atau dekat serangan sinkop.

f.

Faktor risiko seperti hipertensi, leukemia, hemofilia, purpura, gagal jantung


kongestif, gagal ginjal dan hati disfungsi dan obat-obatan mereka.

g.

Obat-obatan seperti aspirin, NSAID (ibuprofen), heparin, obat antiplatelet, dosis


tinggi vitamin E.

h.

riwayat perdarahan dan pengobatannya.

i.

Riwayat keluarga perdarahan kecenderungan seperti hemofilia.

Pemeriksaan
1. Pemeriksaan harus mencakup parameter penting, telinga lengkap, hidung dan
pemeriksaan tenggorokan, fitur umum dan sistemik pemeriksaan.
2. Pemeriksaan sering pengobatan berorientasi dan harus mencoba untuk menemukan

10

penyebab dan lokasi perdarahan. kebutuhan pasien jaminan.


3. anestesi lokal (4% xylocaine) dan dekongestan (Fenilefrin) dan obat penenang
ringan membuat pemeriksaan hidung serta pasien nyaman.
4. Gumpalan perlu evakuasi dengan forceps dan hisap. pasien bisa diminta untuk
meniup hidung, yang membantu dalam membersihkan hidung dan membawa keluar
gumpalan besar. Pasien harus didorong batuk keluar gumpalan.
5. Tanda-tanda vital dan status mental pasien membutuhkan perhatian konstan selama
pemeriksaan fisik.
6. Beberapa pasien mungkin perlu pemeriksaan di bawah anestesi umum.
7. Posterior pemeriksaan hidung di postnasal perdarahan kebutuhan endoskopi
hidung.
8. Loupe magnifiation membantu dalam melokalisasi situs anterior perdarahan
hidung.2,6
1.6

Diagnosis banding
Sebagian besar pasien epistaksis mempunyai tempat perdarahan yang terletak

anterior dalam cavitas nasalis akibat kejadian traumatik ringan, misalnya perdarahan bisa
akibat memasukkan objek (lazim suatu jari tangan). Keadaan kering, terutama musim
dingin, akibat sistem pemanasan dan kurangnya kelembaban, maka membrana hidung
menjadi kering dan retak yang menyebabkan permukaannya berdarah. Area ini tepat
mengelilingi perforasi septum atau deviasi septum bisa menjadi kering karena aliran
udara hidung abnormal dan bisa timbul perdarahan.5,6
Pada kelompok usia anak, benda asing dan alergi menjadi penyebab umum
terjadinya epistaksis. Beberapa anak bisa berdarah akibat ruptura pembuluh darah septum

11

yang membesar yang muncul dari lantai hidung. Perdarahan juga dapat terjadi pada
trauma pembuluh darah disekitar basis cranii yang kemudian masuk ke hidung melalui
sinus sphenoid atau tuba eustachius.
1.7

Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan

perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pasien yang


datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu
lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah
dalam keadaan syok. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk
menyingkirkan bekuan darah. Kemudiandiberikan tampon kapas yang telah dibasahi
dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke
dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada
saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 - 5menit. Dengan cara ini dapat
ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior.3
Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah
dan kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah harus
cepat dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi. Jika
ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung trombosit,
masa protrombin dan masa

tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis

selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang
banyak dan cepat, harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red
cell) disamping penggantian cairan.7

12

Epistaksis Anterior
1.

Kauterisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi,

rongga hidung dianestesi lokal dengan

menggunakan tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4% topikal
dengan epinefrin 1 :100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0.5 %.10
Tampon ini dimasukkan dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5 10 menit untuk
memberikan efek anestesi lokal dan vasokonstriksi.(becker) Kauterisasi secara kimia
dapat dilakukan dengan menggunakan larutan perak nitrat 20 30% atau dengan asam
triklorasetat 10%. Becker (2008) menggunakan larutan sam triklorasetat 40 70%.
Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan larutan tersebut sampai
timbul krusta yang berwarna kekuningan akibat terjadinya nekrosis superfisial.
Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum, karena dapat menimbulkan perforasi.
Selain
2.

menggunakan

zat

kimia

dapat

digunakan

elektrokauter

atau

laser.3,6

Tampon Anterior
Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan

tidak dapat diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan


menggunakan kapas atau kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik. Tampon ini
dipertahankan selama 3 4 hari dan kepada pasien diberikan antibiotik spektrum luas.
Epistaksis Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan
sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Epistaksis posterior dapat
diatasi dengan menggunakan tampon posterior, bolloon tamponade , ligasi arteri dan
embolisasi.

13

1.

Tampon Posterior

Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau setidaknya
dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan
terfiksasi di nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Kemudian
dilakukan pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh
Bellocq,dengan menggunakan tampon yang diikat dengan tiga pita (band). Masukkan
kateter karet kecil melalui hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang dengan
cunam dan dikeluarkan dari mulut agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah
disediakan. Kateter ditarik kembali melalui rongga hidung sehingga tampon tertarik ke
dalam koana melalui nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam
nasofaring akan mempermudah tindakan ini. Apabila masih tampak perdarahan keluar
dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior kedalam kavum nasi.
Kedua pita yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan kain
kasa didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak.
Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk menarik
tampon keluar melalui mulut setelah 2 3 hari.6,8
2.

Tampon Balon

Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pemasangan


tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol epistaksis
posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon yang
dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal
perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan vasokonstriktor.
Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di

14

nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik
kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu
kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi tekanan pada
balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan mengunakan
kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini gagal
mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior.
3.

Ligasi Arteri

Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi
pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera.
Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada
epistaksis yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang
mensuplai darah ke mukosa hidung.
a.

Ligasi Arteri Karotis Eksterna

Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk melindungi suplai
darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna. Tindakan ini dapat
dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas
mandibula yang menyilang pinggir anterior m.sternokleidomastoideus. Setelah flap
subplatisma dielevasi, m. sernokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi
diteruskan ke arah bawah menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio
karotis kemudian a. karotis eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi
dibawah a.faringeal asendens, terutama apabila epistaksis berasal dari bagian posterior
hidung atau nasofaring.10 Arteri karotis eksterna diligasi dengan benang 3/0 silk atau
linen.8,9

15

b.

Ligasi Arteri Maksilaris Interna

Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transantral.


Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal atau umum lalu dilakukan insisi
Caldwell Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah dijumpai antrum maksila,
secara hati-hati buang dinding sinus posterior dengan menggunakan pahat kecil, kuret
atau bor, dimulai dari bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita.
Setelah terbentuk jendela (window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium posterior.
Dengan operating microscope pada daerah itu lakukan observasi untuk melihat adanya
pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan lemak dan jaringan ikat pada fosa
pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan hemostat,alligator clips, bayonet forcep
dengan bipolarelectrocauter dan nervehook. Setelah a. maksila interna diidentifikasi,
arteri ini diretraksi dengan menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-cabangnya.
Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi salap
antibiotik selama 24 jam.2 Maceri (1984) menjelaskan pendekatan transoral untuk ligasi
a. maksilaris interna. Plane of buccinator dimasuki melalui insisi gingivobukal. Jaringan
lemak bukal dibuang, dan identifikasi perlekatan m. temporalis ke prosessus koronoid
mandibula. Lakukan diseksi tumpul pada daerah ini dan identifikasi a. maksila interna.
Selanjutnya arteri dipisahkan, dijepit atau diligasi. Prosedur ini berguna apabila
pendekatan transantral tidak dapat dilakukan oleh karena trauma sinus atau malignansi.
Kelemahan dari prosedur ini adalah lokasi ligasi terletak lebih ke proksimal
dibandingkan dengan pendekatan transantral sehingga lebih memungkinkan untuk
terjadinya kegagalan. Komplikasi utama pendekatan ini adalah pembengkakan pipi dan
trismus yang dapat berlangsung selama tiga bulan. Shah (2005) menggunakan clip

16

titanium pada arteri sphenopalatine untuk mengatasi epistaksis posterior.9,10


c.

Ligasi Arteri Etmoidalis


Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi

dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan pada
tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada
sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari
krista lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm sebelah
anterior nervus optikus.10 Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini.
Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi periostium orbita dan sakus lakrimalis.
Diseksi dilakukan disebelah posterior disepanjang garis sutura pada lamina
subperiosteal. Dua klem arteri diletakkan pada arteri etmoidalis anterior dan rongga
hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, arteri etmoidalis posterior tidak
diganggu untuk menghindari trauma n. optikus. Tetapi bila perdarahan persisten,
a.etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan pemakaian kauter untuk
menghindari trauma.11

17

BAB II
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. IA

MR

: 946415

Umur

: 39 tahun

Tanggal pemeriksaan : 21 Mei 2016

Jenis Kelamin : Laki - laki


Alamat

: Pasa Sasak, Sarak Ranah Pesisir, Pasaman Barat.

ANAMNESIS
Seorang pasien laki laki usia 39 tahun dibawa oleh keluarga datang ke IGD RSUP Dr. M.
Djamil Padang pada tanggal 21 Mei 2016 dengan :
Keluhan Utama :
Keluar darah dari lubang hidung kanan sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang :

Keluar darah dari lubang hidung kanan sejak 10 jam sebelum masuk
rumah sakit.

Awalnya pasien sedang makan dang menggosok hidung dengan tangan,


darah menetes dan membasahi 1 helai kain, pasien memencet hidung
namun darah masih terus menetes. Lalu pasien segera dibawa keluarga ke
RS Umum Daerah. Di RS Umum Daerah pasien dilakukan pemasangan
sumbat hidung dan segera dirujuk ke RSUP Dr.M.Djamil dan
sesampainya di RSUP M Djamil darah masih menetes dari sumbat hidung.
Darah yang menetes diperkirakan sebanyak setengah gelas belimbing.
Darah juga tampak mengalir sedikit demi sedikit dari sudut mata kanan
bagian dalam.

Riwayat hidung berdarah ada 3 hari yang lalu, perdarahan berhenti sendiri
dengan memencet hidung.

Riwayat mengorek ngorek hidung dengan jari sebelumnya ada

Riwayat membuang lendir hidung dengan kuat tidak ada


18

Riwayat hidung atau wajah terbentur tidak ada

Hidung terasa tersumbat tidak ada

Gangguan penciuman tidak ada

Telinga terasa penuh (-)

Penglihatan ganda (-)

Bengkak di leher tidak ada

Riwayat bersin >5x saat dingin atau terkena debu (-)

Riwayat nyeri atau terasa berat di pipi atau dahi, puncak hidung (-)

Perubahan suara (suara serak) tidak ada

Riwayat demam tinggi, terus menerus, diikuti munculnya ruam bintik


bintik merah, nyeri perut, nyeri kepala tidak ada

Riwayat batuk pilek sebelumnya tidak ada

Riwayat berpergian ke daerah cuaca dingin tidak ada

Riwayat penggunaan obat semprot hidung dalam jangka waktu lama tidak
ada.

Penurunan berat badan secara drastis tidak ada

Riwayat penyakit dahulu :

Riwayat kelainan darah sukar membeku, perdarahan dari hidung


sebelumnya tidak ada

Riwayat hipertensi ada, tidak pernah berobat, dan tidak pernah


mendapatkan pengobatan obat antihipertensi.

Riwayat diabetes, penyakit hati, alergi obat (-)

Riwayat pekerjaan, kebiasaan:

Bertani
Riwayat tidak menggunakan pelindung mulut dan hidung saat

menyemprot pestisida tidak ada


Merokok (+), alkohol (-)

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
19

Keadaan Umum

: sedang

Kesadaran

: CMC

Tekanan Darah

: 150/100

Frekuensi Nadi

: 90x/menit

Frekuensi nafas

: 21x/menit

Suhu

:37,20C

Pemeriksaan Sistemik
Kepala

: tidak ditemukan kelainan

Wajah

: tidak ditemukan kelainan

Mata

: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.

Abdomen

: Distensi tidak ditemukan

Extremitas

: teraba hangat, CRT < 2 detik

STATUS LOKALIS THT


Telinga
Pemeriksaan

Kelainan
Kel. Kongenital
Trauma
Radang
Daun Telinga
Kel. Metabolik
Nyeri tarik
Nyeri tekan
Dinding liang Cukup lapang (N)
Sempit
telinga
Hiperemi
Edema
Massa
Sekret /
Serumen
Membran Timpani
Utuh
Perforasi

Dekstra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Cukup lapang
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Cukup lapang
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Bau
Warna
Jumlah
Jenis

Tidak ada
Kuning
Sedikit
Serumen

Tidak ada
Kuning
sdikit
Serumen

Warna
Refleks cahaya
Bulging
Retraksi
Atrofi
Jumlah perforasi

Putih
(+) arah jam 5
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Putih
(+) arah jam 7
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

20

Mastoid

Jenis
Kwadran
Pinggir
Tanda radang
Fistel
Sikatrik
Nyeri tekan
Nyeri ketok
Rinne
Schwabach

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
(+)
Sama
dengan

Weber
Kesimpulan

pemeriksa
pemeriksa
Tidak ada lateralisasi
Normal
Tidak dilakukan

Tes Garpu tala


512 Hz
Audiometri

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
(+)
Sama
dengan

Hidung
Pemeriksaan
Hidung luar

Kelainan
Deformitas
Kelainan congenital
Trauma
Radang
Massa

Dextra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Sinus Paranasal
Pemeriksaan
Nyeri tekan
Nyeri ketok

Dextra
Tidak ada
Tidak ada

Sinistra
Tidak ada
Tidak ada

Rinoskopi Anterior
Vestibulum
Kavumnasi

Sekret
Konka inferior

Vibrise
Radang
Cukup lapang (N)
Sempit
Lapang
Lokasi
Jenis
Jumlah
Bau
Ukuran
Warna
Permukaan
Edema

Ada
Tidak ada
Tidak Ada
Eutrofi
Hiperemis
Laserasi (+)
Ada
21

Ada
Tidak ada
sempit
Tidak Ada
Eutrofi
Merah muda
Licin
Tidak Ada

Konka media

Ukuran

Eutrofi

Sulit dinilai

Warna
Permukaan
Edema
Cukuplurus/deviasi
Permukaan

Merah muda
Licin
Tidak ada

Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai

Licin

Darah
mengalir(+)

Septum

Massa

Warna
Spina
Krista
Abses
Perforasi
Lokasi
Bentuk
Ukuran
Permukaan
Warna
Konsistensi
Mudah digoyang
Pengaruh

Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
-

cloating (+)
Merah
Tidak ada
ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
-

Dekstra

Sinistra

vasokonstriktor
Rinoskopi Posterior : sulit dinilai
Pemeriksaan

Kelainan
Cukup lapang (N)
Koana
Sempit
Lapang
Warna
Mukosa
Edema
Jaringangranulasi
Ukuran
Warna
Konka superior
Permukaan
Edema
Adenoid
Ada/tidak
Muara
tuba Tertutup secret
Edema mukosa
Eustachius
Massa
Lokasi
Ukuran
Bentuk

22

Permukaan

Post Nasal Drip

Ada/tidak
Jenis

Orofaring dan Mulut


Pemeriksaan
Trismus
Uvula

Dekstra
Tidak ada
Edema
Tidak ada
Bifida
Tidak ada
Palatum mole Simetris/tidak
Simetris
Warna
Merah muda
Arkus faring
Edema
Tidak ada
Bercak/eksudat
Tidak ada
Dinding Faring Warna
Merah muda
Permukaan
Licin
Tonsil
Ukuran
T1
Warna
Merah muda
Permukaan
Rata
Muarakripti
Tidak Melebar
Detritus
Tidak ada
Eksudat
Tidak ada
Perlengketandenganpilar Tidak ada
Peritonsil
Warna
Merah muda
Edema
Tidak ada
Abses
Tidak ada
Tumor
Lokasi
Tidak ada
Bentuk
Tidak ada
Ukuran
Tidak ada
Permukaan
Tidak ada
Konsistensi
Tidak ada
Karies/radiks
Ada
Gigi

Lidah

Kelainan

Warna
Bentuk
Deviasi
Massa

Merahmuda
Normal
Tidak ada
Tidak ada

Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Simetris
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Merah muda
Licin
T1
Merah muda
Rata
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada

Merahmuda
Normal
Tidak ada
Tidak ada

Laringoskopi Indirek : Sulit dinilai


Pemeriksaan

Kelainan

Dekstra
23

Sinistra

Epiglotis

Aritenoid

Ventrikular Band

PlikaVokalis
Subglotis/trachea
Sinus piriformis

Valekule

Bentuk
Warna
Edema
Pinggir rata/tidak
Massa
Warna
Edema
Massa
Gerakan
Warna
Edema
Massa
Warna
Gerakan
Pinggir medial
Massa
Massa
Sekret ada/tidak
Massa
Sekret
Massa
Sekret (jenisnya)

Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher

Pada Inspeksi : tidak tampak kelainan / pembengkakan pada leher

Palpasi

: tidak teraba massa / nodul di KGB leher.

Diagnosis Kerja

: Epistaksis anterior ec trauma mekanik


Hipertensi stage II ec essential

Pemeriksaan Anjuran

: pem. Lab darah rutin + PT/APTT

Terapi

Pemasangan tampon anterior

Pronalges sup
Asam mefenamat 3 x 500 mg (po)
Amliodipin 1 x 5 mg (po)
Candesertan 1 x 8 mg (po)
Cefoperazone 1 x 1 gr (iv)
Pantau perdarahan

Prognosis

Quo ad Vitam: bonam


24

Quo ad Sanam

: bonam

Quo ad Fungsionam : bonam

RESUME
Anamnesis :

Keluar darah dari lubang hidung kanan sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit

Awalnya pasien sedang makan dang menggosok hidung dengan tangan, darah
menetes dan membasahi 1 helai kain, pasien memencet hidung namun darah
masih terus menetes. Lalu pasien segera dibawa keluarga ke RS Umum Daerah.
Di RS Umum Daerah pasien dilakukan pemasangan sumbat hidung dan segera
dirujuk ke RSUP Dr.M.Djamil dan sesampainya di RSUP M Djamil darah masih
menetes dari sumbat hidung. Darah yang menetes diperkirakan sebanyak
setengah gelas belimbing. Darah juga tampak mengalir sedikit demi sedikit dari
sudut mata kanan bagian dalam.

Riwayat hidung berdarah ada 3 hari yang lalu, perdarahan berhenti sendiri dengan
memencet hidung.

Riwayat mengorek ngorek hidung dengan jari sebelumnya ada

Riwayat penyakit dahulu :

Riwayat hipertensi ada, tidak pernah berobat, dan tidak pernah mendapatkan
pengobatan obat antihipertensi.

Pemeriksaan Fisik

:
25

o Keadaan Umum

: tampak sakit sedang

o TD

: 150/100 mmHg

o Kavum Nasi Dekstra : tampak laserasi di area konka inferior, septum


deviasi (+) krista, darah tampak mengalir (+), cloting (+).
o Kavum Nasi Sinistra : septum deviasi (+) krista (kiri)
Diagnosis Kerja

: Epistaksis anterior ec trauma mekanik


Hipertensi stage II ec essential

Pemeriksaan Anjuran

: pem. Lab darah rutin + PT/APTT

Terapi

Pemasangan tampon anterior

Pronalges sup
Asam mefenamat 3 x 500 mg (po)
Amliodipin 1 x 5 mg (po)
Candesertan 1 x 8 mg (po)
Cefoperazone 1 x 1 gr (iv)
Pantau perdarahan

Prognosis

Quo ad Vitam: bonam

Quo ad Sanam

Quo ad Fungsionam : bonam

: bonam

26

BAB III
DISKUSI
Telah dilaporkan seorang pasien laki laki usia 39 tahun dengan diagnosis kerja
Epistaksis anterior ec trauma mekanik. Diagnosis ini ditegakkan dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik. Pasien datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil padang dengan keluhan
keluar darah dari lubang hidung kanan yang tidak berhenti spontan walau telah dilakukan
pemencetan. Keluar darah dari hidung atau mimisan atau epistaksis merupakan gejala
dari suatu kelainan berupa perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring. Pada pasien yang datang dengan keluhan perdarahan, dinilai
tanda vitalnya. Keadaan umum tampak sedang, tidak ada penurunan kesadaran, pasien
dapat berkomunikasi dan menjawab pertanyaan dengan baik, tidak tampak pucat, dan
pada pemeriksaan tanda vital tidak ditemukan tanda tanda syok seperti akral dingin,
hipotensi dan CRT yang memanjang. Jumlah perdarahan diperkirakan sekitar 125 ml.
Sehingga keadaan gawat darurat yang harus dilakukan resusitasi dapat disingkirkan.
Pasien berusia 39 tahun yang mana secara epidemiologi epistaksis terutama dijumpai
pada usia diatas 50 tahun. 12
Epistaksis merupakan penyebab perdarahan tersering pada kepala dan leher dan
90 % kasus epistaksis dapat diatasi dan berhenti secara spontan. Pada pasien, ini
merupakan kejadian epistaksis kedua kalinya, dimana 3 hari yang lalu pasien juga
27

mengalami epistaksis dan berhenti sendiri dengan pemencetan hidung namun kembali
berulang setelah pasien mengorek ngorek hidung. Berdasarkan epidemiologi, penyebab
tersering epistaksis pada dewasa adalah adanya manipulasi hidung menggunakan tangan
seperti mengorek ngorek hidung dengan jari. Etiologi terkait kasus ini ditinjau dari faktor
lokal dan faktor sistemiknya.
Epistaksis dapat disebabkan kelainan lokal seperti trauma, kelainan anatomi,
kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan
dan kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sitemik,
perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.2,3,4,5 Pada kasus
ini pasien memiliki riwayat kebiasaan sering menggosok-gosok hidung yang mana
berdasarkan literatur trauma ringan berupa mengorek hidung, benturan ringan, bersin
atau mengeluarkan ingus terlalu keras dapat menyebabkan perdarahan. 2,5 ,13Pada pasien
ini tidak ditemukannya faktor lokal lainnya yang mungkin dapat menjadi penyebab
epistaksis, seperti pada anamnesa ditanyakan mengenai penggunaan obat semprot hidung
dalam jangka waktu yang lama, hidung tersumbat untuk menyingkirkan kemungkinan
adanya deformitas anatomi, benda asing dan tumor intranasal. Selain itu ditanyakan juga
adanya tanda tanda inflamasi pada hidung, seperti hidung tersumbat, hidung berair,
bersin atau adanya tanda infeksi lainnya seperti batuk pilek yang juga dapat menjadi
faktor lokal penyebab epistaksis. Pada riwayat pekerjaan sebagai petani, juga tidak
ditemukan adanya riwayat inhalasi zat kimia yang dapat mengganggu mukosa hidung.
Namun pada pasien ini ditemukan adanya riwayat merokok yang dapat mengganggu
system pertahanan mukosa hidung.
Faktor sistemik yang digali pada pasien ini yaitu kelainan vaskular, pada pasien
ini sering mengeluh sakit kepala dan tekanan darah tinggi, tidak pernah mendapat
pengobatan dan tidak pernah rutin memeriksakan tekanan darah. Dimana hipertensi
merupakan faktor sistemik dari epistaksis yang sukar berhenti. Selain itu kelainan darah,
keganasan, dan infeksi sistemik juga disingkirkan melalui anamnesis seperti adanya
riwayat kelainan darah sukar membeku, penurunan berat badan secara drastis, riwayat
penyakit hati, dan alergi.
Pemeriksaan fisik didapatkan pada pemeriksaan kavum nasi sinistra terdapat
septum deviasi (+), Krista dan kavum nasi dextra tampak laserasi di area konka inferior,
28

darah tampak mengalir (+), clotting (+). Pada pemeriksaan ini sangat mendukung
diagnosis epistaksis anterior ec trauma mekanik. Hal ini dikarenakan epistaksis anterior
terutama berasal dari bagian depan konkha inferior oleh karena mukosa pada daerah ini
sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya.2,5,6 Pada kasus ini pasien
berusaha menghentikan perdarahan dengan memencet hidung. Menekan atau menjepit
cuping hidung dapat membantu menghentikan perdarahan pada epistaksis anterior.7,9,10
Perdarahan pada septum anterior biasanya disebabkan oleh keadaan mukosa yang
hiperemis dan kebiasaan mengorek hidung yang sering terjadi.
Penatalaksanaan pasien pada kasus ini dimulai dengan usaha menghentikan
perdarahan setelah memastikan tidak adanya kegawatdaruratan pada pasien dengan
perdarahan. Pada pasien ini usaha penghentian darah dengan memencet hidung tidak
memberikan hasil, berikutnya dilakukan pemasangan tampon anterior. Dilakukan
penilaian apakah terdapat perdarahan aktif. Langkah selanjutnya adalah menilai sumber
perdarahan setelah dilakukan pemasangan tampon, lokasi perdarahan akan tampak. Pada
pasien tampak laserasi pada konka inferior dan perdarahan masih aktif. Langkah
selanjutnya yaitu dilakukan kauterisasi kimia dengan menggunakan larutan AgNO3
(Perak Nitrat) dan pemberian antibiotik sistemik. Antibiotik dapat menghambat
pertumbuhan bakteri pada daerah yang luka dan perak nitrat dapat mengkoagulasi protein
seluler dan menghancurkan jaringan granulasi. Penyulit pasien ini adalah faktor sistemik
yaitu dengan hipertensi, maka diberikan obat anti hipertensinya dan dilakukan
pemantauan terhadap perdarahannya. Terdapat hubungan antara epistaksis dengan
hipertensi yang berlangsung lama. Hipertensi diduga tidak menyebabkan epistaksis
namun memperberat episode epistaksis. Obat anti hipertensi diberikan segera, sebelu atau
selama manajemen epistaksis.13

29

DAFTAR PUSTAKA
1.

Soejipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. 7th Ed. FKUI. Jakarta: 2012.

2.

Dhingra PL, Dhingra S. Disease of Ear, Nose, and Throat, Head and Neck
Surgery. India : Elsevier. 2014.

3.

Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis.


Dalam: Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 3. Jakarta, Balai
Penerbit FK UI, 1998.

4. Ballenger JJ. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 6th Edition. Spain :
BC Decker Inc. 2013.
5.

Munir D, Haryono Y, Rambe AYM. Epistaksis. Dalam majalah Kedokteran


Nusantara. 2006.

6.

Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat disease, a pocket
reference. Second Edition. New York, Thieme Medical Publiseher, Inc, 2008.

7.

Abelson TI. Epistaxis. Dalam: Paparella MM, Shumrick DA, Glucman JL,
Meyerhoff WL. Otolaryngology. Vol. III. Ed. 3 rd. Philadelphia: WB Saunders
30

Company, 2003.
8. Bansal M. Disease of Ear, Nose and Throat. New Delhi : Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) Ltd. 2013
9. Probs R, Gerhard G, Heinrich I. Basic Otorhinolaryngology. German : Georg
Thieme. 2004
10. Thornton MA, Mahest BN, Lang J. Posterior epistaxix: Identification of common
bleeding sites. Laryngodcope, 2005. Vol.115 (4): 588 90
11.

Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit THT. Alih bahasa:
Caroline W. Edisi VI. Jakarta. EGC Penerbit buku kedokteran, 1993.

12.

Wormald PJ. Epistaxis. In: Bailey BJ, Johnson JT et al editors. Otolaryngology


Head and Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2006. p. 506-14.

13. Budiman JB, Hafiz A. Epistaksis dan Hipertensi: Adakah Hubungannya?.Padang:


Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

31

Anda mungkin juga menyukai