Epistaksis
Oleh :
Katerine 0910312134
Wiwi Hermy Putri 1110312010
Preseptor :
Dr. Novialdi, Sp.THT-KL (K)
BAB 1
1
TINJAUAN PUSTAKA
1.1
Anatomi Hidung
Hidung terdiri dari hidung bagian luar berbentuk piramid dengan bagian
bagiannya dari atas ke bawah yaitu pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum
nasi), puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior).1
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal),
prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung,
yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan tepi anterior kartilago septum.1
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut
nar1es posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.1
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang
nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang (vibrise).1
Bagian atas rongga hidung divaskularisasi oleh arteri etmoidalis anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis interna. Bagian
bawah rongga hidung divaskularisasi oleh cabang arteri maksilaris interna, diantaranya
arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina. Arteri sfenopalatina keluar dari foramen
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung divaskularisasi oleh cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan
septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a.
labialis superior, dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (little's area).1,2
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arteri. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup,
sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke
intrakranial.1
Innervasi:
4
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis
anterior yang merupakan cabang n. nasosiliaris yang bersal dari n.oftalmikus. Rongga
hidung lainnya, sebagian besar terdapat persarafan sensorik dari nervus maksilla melalui
ganglion sfenopalatina. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n. maksilaris,
serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n.
petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di ujung
posterior konka media.1
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribrosa dari pemukaan bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.1
Fisiologi Hidung:1
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasalis adalah:
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal,
2. Fungsi penghidu karena terdapat mukosa olfaktorius.
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang,
4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma
dan pelindung panas, dan
5. Refleks nasal, dimana mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan yang dapat menyebabkan refleks
bersin dan napas berhenti, rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur,
mukosa hidung, gangguan pembuluh darah, dan kelainan pembekuan darah. Sebagian
besar kasus epistaksis dapat diatasi dan hanya sedikit kasus yang menjadi berulang dan
berpotensi mengancam jiwa akibat perdarahan atau komplikasi. Pada kasus yang sedikit
ini memerlukan evaluasi yang cepat, menemukan penyebab, tindakan awal yang
dilakukan dalam mencegah hipotensi, hipoksia, anemia, aspirasi atau bahkan kematian.12
Epistaksis merupakan penyebab perdarah tersering pada kepala dan leher. Studi
tahun 1974 melibatkan 1.724 pasien epistaksis didapatkan angka insidensi yang lebih
tinggi pada pria sekitar 58% dan wanita 42%, dan rata rata 71 % diantaranya berusia
diatas 50 tahun . Studi yang dilakukan Midwestern US menemuan bahwa epistaksis
posterior lebih ering ditemukan pada daerah dengan suhu dingin, dan kelembepan
rendah. Beberapa studi melaporkan bahwa epistaksis posterior berhubungan dengan
hipertensi.12
Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:
1.
Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan
biasanya dapat berhenti sendiri.3 Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus
Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum
bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat
berasal dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan
melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek
6
pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi
patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan.1,4
2.
Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid
posterior. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering
ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit
kardiovaskuler.4
1.3
Epidemiologi
Epistaksis atau perdarahan dari hidung banyak dijumpai pada anak maupun pada
usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain.
Epistaksis terutama dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun. Epistaksis bagian
anterior sebagian besar dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis
posterior
sering
pada
orang
tua
dengan
riwayat
penyakit
hipertensi
atau
arteriosklerosis.1,5
1.4
Etiologi
Hidung
a.
Trauma, meliputi trauma karena kuku jari yang menyebabkan cedera hidung,
operasi intranasal, fraktur sepertiga tengah wajah dan basis cranii, bersin
yang terlalu kuat.
b. Infeksi
c. Benda asing
d.
Hidup: lintah.
e.
f.
Deviasi septum.
Nasofaring
a.
Adenoiditis
b. Juvenile angiofibroma
c. Tumor ganas
2) Penyebab Umum
a.
b.
dan
pembuluh
darah
purpura,
hemofilia,
Penyakit hati, sirosis hati (defisiensi faktor II, VII, IX dan X).
d.
kudis,
e.
Obat, penggunaan berlebihan dari salisilat dan analgesik lainnya dan terapi
antikoagulan pada penyakit jantung).
f.
g.
Infeksi umum akut. Influenza, campak, cacar air, batuk rejan, demam
rematik, infeksi mononucleosis, tipus, pneumonia, malaria, demam berdarah.
3) Idiopatik. 2
Lokasi epistaksis :
1. Littles area. Dalam 90% kasus epistaksis, perdarahan terjadi dari situs ini.
2. Di atas tingkat konka. Perdarahan dari atas konka dan daerah yang sesuai pada septum
sering dari anterior dan posterior ethmoidal pembuluh (sistem karotis internal).
3. Di bawah tingkat konka. Berikut perdarahan dari cabang sphenopalatina arteri. Ini
mungkin tersembunyi, berbaring lateral konka atau lebih rendah dan mungkin
memerlukan infrastruktur turbinates ini untuk lokalisasi dari situs perdarahan dan
penempatan kemasan untuk mengendalikannya.
4. Posterior bagian dari rongga hidung. Berikut arus darah secara langsung ke faring.
5. Septum dan dinding lateral hidung. Ini adalah sering terlihat pada gangguan sistemik
umum dan diskrasia darah.
1.5
Diagnosis
Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan
penyebabnya harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior kavum nasi
biasanya akibat mencongkel hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit
9
infeksi. Sedangkan dari bagian posterior atau media biasanya akibat hipertensi,
arteriosklerosis, fraktur atau tumor. Lakukan pengukuran tekanan darah dan periksa
faktor pembekuan darah. Disamping pemeriksaan rutin THT, dilakukan pemeriksaan
tambahan foto tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau perlu CT-scan.6
Evaluasi awal pasien mimisan meliputi penilaian terhadap stabilitas hemodinamik,
kompromi jalan napas dan vital parameter.
Anamnesis riwayat yang lengkap termasuk pertanyaan berikut:
a.
b.
c.
Pencetus acara-acara seperti trauma, infeksi akut, hidung tetes dan semprotan dan
operasi.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Pemeriksaan
1. Pemeriksaan harus mencakup parameter penting, telinga lengkap, hidung dan
pemeriksaan tenggorokan, fitur umum dan sistemik pemeriksaan.
2. Pemeriksaan sering pengobatan berorientasi dan harus mencoba untuk menemukan
10
Diagnosis banding
Sebagian besar pasien epistaksis mempunyai tempat perdarahan yang terletak
anterior dalam cavitas nasalis akibat kejadian traumatik ringan, misalnya perdarahan bisa
akibat memasukkan objek (lazim suatu jari tangan). Keadaan kering, terutama musim
dingin, akibat sistem pemanasan dan kurangnya kelembaban, maka membrana hidung
menjadi kering dan retak yang menyebabkan permukaannya berdarah. Area ini tepat
mengelilingi perforasi septum atau deviasi septum bisa menjadi kering karena aliran
udara hidung abnormal dan bisa timbul perdarahan.5,6
Pada kelompok usia anak, benda asing dan alergi menjadi penyebab umum
terjadinya epistaksis. Beberapa anak bisa berdarah akibat ruptura pembuluh darah septum
11
yang membesar yang muncul dari lantai hidung. Perdarahan juga dapat terjadi pada
trauma pembuluh darah disekitar basis cranii yang kemudian masuk ke hidung melalui
sinus sphenoid atau tuba eustachius.
1.7
Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang
banyak dan cepat, harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red
cell) disamping penggantian cairan.7
12
Epistaksis Anterior
1.
Kauterisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi,
menggunakan tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4% topikal
dengan epinefrin 1 :100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0.5 %.10
Tampon ini dimasukkan dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5 10 menit untuk
memberikan efek anestesi lokal dan vasokonstriksi.(becker) Kauterisasi secara kimia
dapat dilakukan dengan menggunakan larutan perak nitrat 20 30% atau dengan asam
triklorasetat 10%. Becker (2008) menggunakan larutan sam triklorasetat 40 70%.
Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan larutan tersebut sampai
timbul krusta yang berwarna kekuningan akibat terjadinya nekrosis superfisial.
Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum, karena dapat menimbulkan perforasi.
Selain
2.
menggunakan
zat
kimia
dapat
digunakan
elektrokauter
atau
laser.3,6
Tampon Anterior
Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan
13
1.
Tampon Posterior
Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau setidaknya
dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan
terfiksasi di nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Kemudian
dilakukan pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh
Bellocq,dengan menggunakan tampon yang diikat dengan tiga pita (band). Masukkan
kateter karet kecil melalui hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang dengan
cunam dan dikeluarkan dari mulut agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah
disediakan. Kateter ditarik kembali melalui rongga hidung sehingga tampon tertarik ke
dalam koana melalui nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam
nasofaring akan mempermudah tindakan ini. Apabila masih tampak perdarahan keluar
dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior kedalam kavum nasi.
Kedua pita yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan kain
kasa didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak.
Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk menarik
tampon keluar melalui mulut setelah 2 3 hari.6,8
2.
Tampon Balon
14
nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik
kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu
kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi tekanan pada
balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan mengunakan
kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini gagal
mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior.
3.
Ligasi Arteri
Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi
pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera.
Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada
epistaksis yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang
mensuplai darah ke mukosa hidung.
a.
Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk melindungi suplai
darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna. Tindakan ini dapat
dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas
mandibula yang menyilang pinggir anterior m.sternokleidomastoideus. Setelah flap
subplatisma dielevasi, m. sernokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi
diteruskan ke arah bawah menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio
karotis kemudian a. karotis eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi
dibawah a.faringeal asendens, terutama apabila epistaksis berasal dari bagian posterior
hidung atau nasofaring.10 Arteri karotis eksterna diligasi dengan benang 3/0 silk atau
linen.8,9
15
b.
16
dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan pada
tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada
sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari
krista lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm sebelah
anterior nervus optikus.10 Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini.
Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi periostium orbita dan sakus lakrimalis.
Diseksi dilakukan disebelah posterior disepanjang garis sutura pada lamina
subperiosteal. Dua klem arteri diletakkan pada arteri etmoidalis anterior dan rongga
hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, arteri etmoidalis posterior tidak
diganggu untuk menghindari trauma n. optikus. Tetapi bila perdarahan persisten,
a.etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan pemakaian kauter untuk
menghindari trauma.11
17
BAB II
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. IA
MR
: 946415
Umur
: 39 tahun
ANAMNESIS
Seorang pasien laki laki usia 39 tahun dibawa oleh keluarga datang ke IGD RSUP Dr. M.
Djamil Padang pada tanggal 21 Mei 2016 dengan :
Keluhan Utama :
Keluar darah dari lubang hidung kanan sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Keluar darah dari lubang hidung kanan sejak 10 jam sebelum masuk
rumah sakit.
Riwayat hidung berdarah ada 3 hari yang lalu, perdarahan berhenti sendiri
dengan memencet hidung.
Riwayat nyeri atau terasa berat di pipi atau dahi, puncak hidung (-)
Riwayat penggunaan obat semprot hidung dalam jangka waktu lama tidak
ada.
Bertani
Riwayat tidak menggunakan pelindung mulut dan hidung saat
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
19
Keadaan Umum
: sedang
Kesadaran
: CMC
Tekanan Darah
: 150/100
Frekuensi Nadi
: 90x/menit
Frekuensi nafas
: 21x/menit
Suhu
:37,20C
Pemeriksaan Sistemik
Kepala
Wajah
Mata
Abdomen
Extremitas
Kelainan
Kel. Kongenital
Trauma
Radang
Daun Telinga
Kel. Metabolik
Nyeri tarik
Nyeri tekan
Dinding liang Cukup lapang (N)
Sempit
telinga
Hiperemi
Edema
Massa
Sekret /
Serumen
Membran Timpani
Utuh
Perforasi
Dekstra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Cukup lapang
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Cukup lapang
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Bau
Warna
Jumlah
Jenis
Tidak ada
Kuning
Sedikit
Serumen
Tidak ada
Kuning
sdikit
Serumen
Warna
Refleks cahaya
Bulging
Retraksi
Atrofi
Jumlah perforasi
Putih
(+) arah jam 5
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Putih
(+) arah jam 7
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
20
Mastoid
Jenis
Kwadran
Pinggir
Tanda radang
Fistel
Sikatrik
Nyeri tekan
Nyeri ketok
Rinne
Schwabach
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
(+)
Sama
dengan
Weber
Kesimpulan
pemeriksa
pemeriksa
Tidak ada lateralisasi
Normal
Tidak dilakukan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
(+)
Sama
dengan
Hidung
Pemeriksaan
Hidung luar
Kelainan
Deformitas
Kelainan congenital
Trauma
Radang
Massa
Dextra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Sinus Paranasal
Pemeriksaan
Nyeri tekan
Nyeri ketok
Dextra
Tidak ada
Tidak ada
Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Rinoskopi Anterior
Vestibulum
Kavumnasi
Sekret
Konka inferior
Vibrise
Radang
Cukup lapang (N)
Sempit
Lapang
Lokasi
Jenis
Jumlah
Bau
Ukuran
Warna
Permukaan
Edema
Ada
Tidak ada
Tidak Ada
Eutrofi
Hiperemis
Laserasi (+)
Ada
21
Ada
Tidak ada
sempit
Tidak Ada
Eutrofi
Merah muda
Licin
Tidak Ada
Konka media
Ukuran
Eutrofi
Sulit dinilai
Warna
Permukaan
Edema
Cukuplurus/deviasi
Permukaan
Merah muda
Licin
Tidak ada
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Licin
Darah
mengalir(+)
Septum
Massa
Warna
Spina
Krista
Abses
Perforasi
Lokasi
Bentuk
Ukuran
Permukaan
Warna
Konsistensi
Mudah digoyang
Pengaruh
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
-
cloating (+)
Merah
Tidak ada
ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
-
Dekstra
Sinistra
vasokonstriktor
Rinoskopi Posterior : sulit dinilai
Pemeriksaan
Kelainan
Cukup lapang (N)
Koana
Sempit
Lapang
Warna
Mukosa
Edema
Jaringangranulasi
Ukuran
Warna
Konka superior
Permukaan
Edema
Adenoid
Ada/tidak
Muara
tuba Tertutup secret
Edema mukosa
Eustachius
Massa
Lokasi
Ukuran
Bentuk
22
Permukaan
Ada/tidak
Jenis
Dekstra
Tidak ada
Edema
Tidak ada
Bifida
Tidak ada
Palatum mole Simetris/tidak
Simetris
Warna
Merah muda
Arkus faring
Edema
Tidak ada
Bercak/eksudat
Tidak ada
Dinding Faring Warna
Merah muda
Permukaan
Licin
Tonsil
Ukuran
T1
Warna
Merah muda
Permukaan
Rata
Muarakripti
Tidak Melebar
Detritus
Tidak ada
Eksudat
Tidak ada
Perlengketandenganpilar Tidak ada
Peritonsil
Warna
Merah muda
Edema
Tidak ada
Abses
Tidak ada
Tumor
Lokasi
Tidak ada
Bentuk
Tidak ada
Ukuran
Tidak ada
Permukaan
Tidak ada
Konsistensi
Tidak ada
Karies/radiks
Ada
Gigi
Lidah
Kelainan
Warna
Bentuk
Deviasi
Massa
Merahmuda
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Simetris
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Merah muda
Licin
T1
Merah muda
Rata
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Merahmuda
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Kelainan
Dekstra
23
Sinistra
Epiglotis
Aritenoid
Ventrikular Band
PlikaVokalis
Subglotis/trachea
Sinus piriformis
Valekule
Bentuk
Warna
Edema
Pinggir rata/tidak
Massa
Warna
Edema
Massa
Gerakan
Warna
Edema
Massa
Warna
Gerakan
Pinggir medial
Massa
Massa
Sekret ada/tidak
Massa
Sekret
Massa
Sekret (jenisnya)
Palpasi
Diagnosis Kerja
Pemeriksaan Anjuran
Terapi
Pronalges sup
Asam mefenamat 3 x 500 mg (po)
Amliodipin 1 x 5 mg (po)
Candesertan 1 x 8 mg (po)
Cefoperazone 1 x 1 gr (iv)
Pantau perdarahan
Prognosis
Quo ad Sanam
: bonam
RESUME
Anamnesis :
Keluar darah dari lubang hidung kanan sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit
Awalnya pasien sedang makan dang menggosok hidung dengan tangan, darah
menetes dan membasahi 1 helai kain, pasien memencet hidung namun darah
masih terus menetes. Lalu pasien segera dibawa keluarga ke RS Umum Daerah.
Di RS Umum Daerah pasien dilakukan pemasangan sumbat hidung dan segera
dirujuk ke RSUP Dr.M.Djamil dan sesampainya di RSUP M Djamil darah masih
menetes dari sumbat hidung. Darah yang menetes diperkirakan sebanyak
setengah gelas belimbing. Darah juga tampak mengalir sedikit demi sedikit dari
sudut mata kanan bagian dalam.
Riwayat hidung berdarah ada 3 hari yang lalu, perdarahan berhenti sendiri dengan
memencet hidung.
Riwayat hipertensi ada, tidak pernah berobat, dan tidak pernah mendapatkan
pengobatan obat antihipertensi.
Pemeriksaan Fisik
:
25
o Keadaan Umum
o TD
: 150/100 mmHg
Pemeriksaan Anjuran
Terapi
Pronalges sup
Asam mefenamat 3 x 500 mg (po)
Amliodipin 1 x 5 mg (po)
Candesertan 1 x 8 mg (po)
Cefoperazone 1 x 1 gr (iv)
Pantau perdarahan
Prognosis
Quo ad Sanam
: bonam
26
BAB III
DISKUSI
Telah dilaporkan seorang pasien laki laki usia 39 tahun dengan diagnosis kerja
Epistaksis anterior ec trauma mekanik. Diagnosis ini ditegakkan dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik. Pasien datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil padang dengan keluhan
keluar darah dari lubang hidung kanan yang tidak berhenti spontan walau telah dilakukan
pemencetan. Keluar darah dari hidung atau mimisan atau epistaksis merupakan gejala
dari suatu kelainan berupa perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring. Pada pasien yang datang dengan keluhan perdarahan, dinilai
tanda vitalnya. Keadaan umum tampak sedang, tidak ada penurunan kesadaran, pasien
dapat berkomunikasi dan menjawab pertanyaan dengan baik, tidak tampak pucat, dan
pada pemeriksaan tanda vital tidak ditemukan tanda tanda syok seperti akral dingin,
hipotensi dan CRT yang memanjang. Jumlah perdarahan diperkirakan sekitar 125 ml.
Sehingga keadaan gawat darurat yang harus dilakukan resusitasi dapat disingkirkan.
Pasien berusia 39 tahun yang mana secara epidemiologi epistaksis terutama dijumpai
pada usia diatas 50 tahun. 12
Epistaksis merupakan penyebab perdarahan tersering pada kepala dan leher dan
90 % kasus epistaksis dapat diatasi dan berhenti secara spontan. Pada pasien, ini
merupakan kejadian epistaksis kedua kalinya, dimana 3 hari yang lalu pasien juga
27
mengalami epistaksis dan berhenti sendiri dengan pemencetan hidung namun kembali
berulang setelah pasien mengorek ngorek hidung. Berdasarkan epidemiologi, penyebab
tersering epistaksis pada dewasa adalah adanya manipulasi hidung menggunakan tangan
seperti mengorek ngorek hidung dengan jari. Etiologi terkait kasus ini ditinjau dari faktor
lokal dan faktor sistemiknya.
Epistaksis dapat disebabkan kelainan lokal seperti trauma, kelainan anatomi,
kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan
dan kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sitemik,
perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.2,3,4,5 Pada kasus
ini pasien memiliki riwayat kebiasaan sering menggosok-gosok hidung yang mana
berdasarkan literatur trauma ringan berupa mengorek hidung, benturan ringan, bersin
atau mengeluarkan ingus terlalu keras dapat menyebabkan perdarahan. 2,5 ,13Pada pasien
ini tidak ditemukannya faktor lokal lainnya yang mungkin dapat menjadi penyebab
epistaksis, seperti pada anamnesa ditanyakan mengenai penggunaan obat semprot hidung
dalam jangka waktu yang lama, hidung tersumbat untuk menyingkirkan kemungkinan
adanya deformitas anatomi, benda asing dan tumor intranasal. Selain itu ditanyakan juga
adanya tanda tanda inflamasi pada hidung, seperti hidung tersumbat, hidung berair,
bersin atau adanya tanda infeksi lainnya seperti batuk pilek yang juga dapat menjadi
faktor lokal penyebab epistaksis. Pada riwayat pekerjaan sebagai petani, juga tidak
ditemukan adanya riwayat inhalasi zat kimia yang dapat mengganggu mukosa hidung.
Namun pada pasien ini ditemukan adanya riwayat merokok yang dapat mengganggu
system pertahanan mukosa hidung.
Faktor sistemik yang digali pada pasien ini yaitu kelainan vaskular, pada pasien
ini sering mengeluh sakit kepala dan tekanan darah tinggi, tidak pernah mendapat
pengobatan dan tidak pernah rutin memeriksakan tekanan darah. Dimana hipertensi
merupakan faktor sistemik dari epistaksis yang sukar berhenti. Selain itu kelainan darah,
keganasan, dan infeksi sistemik juga disingkirkan melalui anamnesis seperti adanya
riwayat kelainan darah sukar membeku, penurunan berat badan secara drastis, riwayat
penyakit hati, dan alergi.
Pemeriksaan fisik didapatkan pada pemeriksaan kavum nasi sinistra terdapat
septum deviasi (+), Krista dan kavum nasi dextra tampak laserasi di area konka inferior,
28
darah tampak mengalir (+), clotting (+). Pada pemeriksaan ini sangat mendukung
diagnosis epistaksis anterior ec trauma mekanik. Hal ini dikarenakan epistaksis anterior
terutama berasal dari bagian depan konkha inferior oleh karena mukosa pada daerah ini
sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya.2,5,6 Pada kasus ini pasien
berusaha menghentikan perdarahan dengan memencet hidung. Menekan atau menjepit
cuping hidung dapat membantu menghentikan perdarahan pada epistaksis anterior.7,9,10
Perdarahan pada septum anterior biasanya disebabkan oleh keadaan mukosa yang
hiperemis dan kebiasaan mengorek hidung yang sering terjadi.
Penatalaksanaan pasien pada kasus ini dimulai dengan usaha menghentikan
perdarahan setelah memastikan tidak adanya kegawatdaruratan pada pasien dengan
perdarahan. Pada pasien ini usaha penghentian darah dengan memencet hidung tidak
memberikan hasil, berikutnya dilakukan pemasangan tampon anterior. Dilakukan
penilaian apakah terdapat perdarahan aktif. Langkah selanjutnya adalah menilai sumber
perdarahan setelah dilakukan pemasangan tampon, lokasi perdarahan akan tampak. Pada
pasien tampak laserasi pada konka inferior dan perdarahan masih aktif. Langkah
selanjutnya yaitu dilakukan kauterisasi kimia dengan menggunakan larutan AgNO3
(Perak Nitrat) dan pemberian antibiotik sistemik. Antibiotik dapat menghambat
pertumbuhan bakteri pada daerah yang luka dan perak nitrat dapat mengkoagulasi protein
seluler dan menghancurkan jaringan granulasi. Penyulit pasien ini adalah faktor sistemik
yaitu dengan hipertensi, maka diberikan obat anti hipertensinya dan dilakukan
pemantauan terhadap perdarahannya. Terdapat hubungan antara epistaksis dengan
hipertensi yang berlangsung lama. Hipertensi diduga tidak menyebabkan epistaksis
namun memperberat episode epistaksis. Obat anti hipertensi diberikan segera, sebelu atau
selama manajemen epistaksis.13
29
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Dhingra PL, Dhingra S. Disease of Ear, Nose, and Throat, Head and Neck
Surgery. India : Elsevier. 2014.
3.
4. Ballenger JJ. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 6th Edition. Spain :
BC Decker Inc. 2013.
5.
6.
Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat disease, a pocket
reference. Second Edition. New York, Thieme Medical Publiseher, Inc, 2008.
7.
Abelson TI. Epistaxis. Dalam: Paparella MM, Shumrick DA, Glucman JL,
Meyerhoff WL. Otolaryngology. Vol. III. Ed. 3 rd. Philadelphia: WB Saunders
30
Company, 2003.
8. Bansal M. Disease of Ear, Nose and Throat. New Delhi : Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) Ltd. 2013
9. Probs R, Gerhard G, Heinrich I. Basic Otorhinolaryngology. German : Georg
Thieme. 2004
10. Thornton MA, Mahest BN, Lang J. Posterior epistaxix: Identification of common
bleeding sites. Laryngodcope, 2005. Vol.115 (4): 588 90
11.
Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit THT. Alih bahasa:
Caroline W. Edisi VI. Jakarta. EGC Penerbit buku kedokteran, 1993.
12.
31