Anda di halaman 1dari 26

DAFTARISI

DAFTAR
ISI
1
BAB I

PENDAHULUAN
2
1.

Definisi kusta dan reaksi kusta..


2

2.

Klasifikasi Reaksi Kusta..


2

3.

Etiologi Reaksi Kusta


2

4.

Cara Penularan
2

5.

Epidemiologi Reaksi Kusta


3

BAB II

PATOFISIOLOGI
4

BAB III

GEJALA KLINIS..
7

Kusta
.
7

Reaksi Kusta tipe I.


10

Reaksi Kusta tipe II


11

BAB IV

PEMERIKSAAN PENUNJANG.
14

BAB V

PENATALAKSANAAN.....
17

BAB VI
KESIMPULAN

23

DAFTAR
PUSTAKA

24

BABI
PENDAHULUAN
2

Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, yang disebabkan oleh Mycobacterium
lepraeyangbersifatintraselularobligat.Sarafperifersebagaiafinitaspertama,lalukulitdan
mukosatraktusrespiratoriusbagianatas,kemudiandapatkeorganlainkecualisusunansaraf
pusat..KustabiasadisebutjugalepraataumorbusHansen 1.
Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta. Reaksi kusta ini adalah interupsi
dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik, yang
merupakansuatureaksikekebalan(cellularresponse)ataureaksiantigenantibody(humoral
response). Reaksi kusta dibagi menjadi dua yaitu reaksi tipe I atau reaksi reversal yang
disebabkankarenameningkatnyakekebalanselulersecaracepatdanreaksitipeIIataureaksi
erythemanodosumleprosum(ENL)yangmerupakanreaksihumoralyangditandaidengan
timbulnyanodulkemerahan,neuritis,gangguansaraf,dll.
Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae berbentuk basil
dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alkohol, serta positif
Gram. Sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media artifisial.
Masa replikasi kuman memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan
dengan kuman lain, yaitu 2-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi
lama, yaitu rata-rata 25 tahun1.
Meskipun gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis maupun faktor pencetus
reaksi kusta sudah diketahui dengan jelas, namun penyebab pasti belum diketahui.
Kemungkinanreaksiinimenggambarkanepisodehipersensitivitasakutterhadapantigenbasil
yangmenimbulkangangguankeseimbanganimunitasyangtelahada.
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih belum diketahui. Yang
diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung.
Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah
mengering, diluar masih dapat hidup 27 x 24 jam.
b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, dan
adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.
Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan 13 %, tetapi
anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur

antara 25-35 tahun. Kusta terdapat dimana-mana, tertama di Asia, Afrika, Amerika latin,
daerah tropis dan subtropik, serta masyarakat yang social ekonominya rendah.
Menurutdatakustanasionaltahun2000,sebanyak5%penderitakustamengalami
reaksikusta. PenderitatipePBdapatmengalamireaksikustasebanyak1kalidanpenderita
tipeMBsebanyak2kali.MenurutPieterA.MSchreuder(1998),sebanyak12%penderita
kustamengalamireaksitipeIselamamasapengobatandan1,6%terjadisetelahpenderita
RFT.30PenelitianR.BwiredanH.J.SKawuma(1993),menyatakanbahwareaksikusta
dapat terjadi sebelum pengobatan adalah 14,8 %, selama pengobatan 80,5 % dan setelah
pengobatan4,7%.31.StudidariScollardD.M,et.al(1994),menyimpulkanbahwafrekuensi
terjadinyareaksitipeIadalah32%danfrekuensireaksitipeII37%.Frekuensikejadian
reaksikustamenurutjeniskelaminadalahpadawanita47%danlakilaki26%.32Kajian
dariVanBrakelW.H(1994),menyebutkanbahwaprevalensireaksireversaladalah28%dan
ENLadalah5,7%142.

BABII
PATOFISIOLOGI

Pada penderita kusta, Mycobacterium leprae dapat ditemukan di seluruh tubuh seperti
saraf, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Perubahan patologik dari saraf biasanya merupakan
respon dari ditemukannya Mycobacterium leprae dalam kulit yang memunculkan reaksi
imunologi pada penderita. Beberapa penderita mengalami perluasan lesi dan rekuren yang
berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sehingga menjadi kronik. Kusta tipe
lepromatosa mempunyai dampak paling buruk, hal ini karena tidak adanya respon imun
seluler terhadap antigen Mycobacterium leprae.
M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terdapat pada sel makrofag di
sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann di jaringan saraf. Bila
kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag
(berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya. Pada kusta
tipe TT kemarnpuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup
menghancurkan kuman. Sayangnya, setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan
berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu
membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi, maka akan terjadi reaksi
berlebihan dan massa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae. Sel Schwann memiliki
fungsi untuk demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi
gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi.
Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.
Sedangkan pada kusta tipe LL, terjadi kelumpuhan sistem-imunitas, dengan demikian
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan
bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan1.
Respon imun pada penyakit kusta meliputi respon imun humoral atau antibody
mediated immunity dan respon imun seluler atau cell mediated immunity (CMI). Pada respon
imun humoral, tubuh akan memproduksi antibodi untuk menghancurkan antigen yang masuk.
Dengan CMI, antigen akan memacu produksi sel pertahanan spesifik yang dapat dimobilisasi
untuk menghancurkan antigen dan akan memicu terjadinya reaksi kusta. Meskipun respon
imun berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap bakteri atau antigen, tetapi respon imun
yang berlebihan dapat menimbulkan reaksi kusta reversal maupun ENL. Pada kusta tipe

lepromatosa aktivasi limfosit Th2 mempengaruhi produksi IL - 4 dan IL -10, yang akan
menstimulasi respon imun humoral dan intensitas produksi antibody limfosit B 2.
Mekanisme imunopatologi ENL masih kurang jelas. ENL diduga merupakan
manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada pembuluh darah 3. Perlu ditegaskan
bahwa pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya dengan reaksi reversal yang hanya
dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga dapat disebut reaksi
borderline. Diperkirakan reaksi pada ENL ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas
tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil lepra berada, yaitu pada saraf
dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama 1.
Secara ringkasnya fenomena ini berupa kompleks imun akibat reaksi antara antigen
M.leprae + antibody (IgM, IgG) + komplemen kompleks imun. Komplemen akan
bergabung dengan kompleks imun dan akhirnya akan membentuk endapan kompleks imun
dan menghasilkan polimorfonuklear leukotaktik factor.1 Itulah sebabnya penimbunan
kompleks imun pada pembuluh darah dan lesi merupakan karakteristik reaksi ENL 5.
Terdapat juga penelitian yang mempelajari peranan tumor nekrosis faktor alfa, (TNFa) pada patogenesiss ENL. Penderita LL yang menunjukkan reaksi ENL setelah terapi MDT
juga menunjukkan kadar TNF-a yang tinggi diduga akibat sel mononuklear pada darah tepi
penderita ENL yang dapat meningkatkan jumlah TNF. Faktor nekrosis tumor ini bisa
menimbulkan kerusakan langsung pada sel dan jaringan, mengaktifkan makrofag, memacu
makrofag memproduksi IL-1 dan IL-6 dan memacu sel hepar menghasilkan protein reaktif C
(PRC).
Konsentrasi antigen dari bakteri yang tinggi dalam jaringan akan meningkatkan level
antibodi IgM dan IgG pada penderita tipe lepromatosa. Formasi dan berkurangnya komplek
imun serta aktivasi sistem komplemen dengan meningkatnya mediator inflamasi, merupakan
mekanisme imunopatologi penting pada ENL. Selama reaksi ENL terjadi penurunan tingkat
IgM anti PGL -1 (phenol glukolipid) yang berasal dari dinding M. leprae. Sesudah penderita
mengalami pemulihan, memacu antibodi IgM membentuk komplek imun dengan konsentrasi
yang berlebihan dari PGL -1 dalam jaringan. Beratnya ENL disebabkan oleh meningkatnya
produksi sitokin oleh limfosit Th2 sebagai respon imun tubuh untuk mengatasi peradangan.
Reaksi reversal (RR) merupakan reaksi hipersensitifitas tipe lambat yang dijumpai
pada kusta tipe borderline. Antigen Mycobacterium leprae muncul pada saraf dan kulit
penderita reaksi tipe ini. Infeksi Mycobacterium leprae akan meningkatkan ekspresi major
histocompatibility complex (MHC) pada permukaan sel makrofag dan memacu limfosit Th
CD 4 untuk menjadi aktif dalam membunuh Mycobacterium leprae2.

BAB III
GEJALA KLINIS

Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada multiplikasi dan diseminasi kuman M.
leprae, respons imun penderita terhadap kuman M. leprae, komplikasi yang diakibatkan oleh
kerusakan saraf perifer6.
Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS). SIS baik akan
tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah akan memberikan
gambaran lepromatosa. Tipe I atau indeterminate tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah
tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil sehingga tidak
mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar merupakan lepromatosa
100% yang stabil. Sedangkan tipe antara Li dan Ti disebut tipe borderline atau campuran,
campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri dari 50%
tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan
Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe ini merupakan tipe yang labil, sehingga bisa bebas
beralih tipe kearah TT atau LL. Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat
dilihat pada table dibawah ini1:

Klasifikasi

Zona spektrum kusta

Ridley & Jopling

TT, Ti, BT, BB, BL, Li, LL

Madrid

Tuberkuloid, Borderline, Lepromatosa

WHO

Pausibasilar, Multibasilar

Puskesmas

Pausibasilar, Multibasilar
Tabel 1. zona spektrum kusta

Perbandingan gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar dan Multibasilar disajikan


dalam tabel berikut:

Tabel 2. Gejala klinis menurut WHO

Gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar1:

Tabel 3. Gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar


*Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui
setelah 3minggu.

Gejala klinik Morbus-Hansen Multibasilar1:

Gejala-gejala kerusakan saraf:


1

N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawing
kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan oto interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial

10

N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu
jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk, tangan
gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan

N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki
gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.

N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik kaki dan
kolaps arkus pedis

N. fasialis: lagoftalmus ( cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi wajah


dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal)

N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.

Reaksi kusta tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading)


Reaksi kusta tipe I terjadi pada penderita kusta tipe PB dan MB, terutama pada
fase 6 bulan pertama pengobatan. Reaksi tipe I yang terjadi selama pengobatan diduga
disebabkan oleh meningkatnya respon imun seluler secara cepat terhadap kuman kusta di
kulit dan saraf penderita. Penderita dengan jumlah lesi yang banyak dan hasil kerokan
kulit positip akan menaikkan risiko terjadinya reaksi tipe I. Reaksi tipe I merupakan
masalah besar pada penyakit kusta karena dapat berpotensi potensi untuk menyebabkan
kerusakan saraf dan hilangnya fungsi saraf. Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini
dapat terjadi pada semua bentuk kusta yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih
sering terjadi daripada bentuk yang lain sehingga disebut reaksi borderline.
Gejala yang terjadi pada reaksi tipe I berupa adanya perubahan lesi kulit (lesi
hipopigmentasu menjadi eritema, lesi macula menjadi infiltrate) maupun saraf akibat
peradangan yang terjadi, onset nya mendadak. Manifestasi lesi pada kulit dapat berupa
warna kemerahan, bengkak, nyeri dan panas, sering muncul lesi kulit yang baru dengan
waktu yang relative singkat. Pada saraf dapat terjadi neuritis dan gangguan fungsi saraf.
Kadang dapat terjadi gangguan keadaan umum penderita (demam). Hampir tidak terjadi
peradangan pada organ lain. Reaksi kusta tipe I dapat berlangsung 6-12 minggu atau
lebih2.

11

Gambar 1. Reaksi reversal

Menurut beratnya reaksi Beratnya reaksi tipe I dapat dibedakan menjadi reaksi
ringan dan berat. Adapun perbedaan antara reaksi kusta tipe I ringan dan berat dapat
dilihat pada pada tabel berikut2 :

12

2 ReaksikustatipeII(Erythema Nodosum Leprosum / ENL)


Reaksi kusta tipe II sering terjadi pada penderita kusta tipe MB dan merupakan
respon imun humoral karena tingginya respons imun humoral penderita. Pada kusta tipe
MB, reaksi kusta banyak terjadi setelah pengobatan. Kompleks imun dapat beredar
dalam sirkulasi darah dan mengendap pada organ kulit, saraf, limfonodus dan testis.
Diagnosis ENL diperoleh dengan pemeriksaan klinik maupun histologi. Secara
mikroskopis spesimen ENL digolongkan menjadi 3 bagian mengikuti lokasi peradangan
utama yaitu : klasikal (subkutis), kulit dalam, dan permukaan.
Gejala ENL bisa dilihat pada perubahan lesi kulit berupa nodul kemerahan yang
multiple, mengkilap, tampak berupa nodul atau plakat, ukurannya pada umumnya kecil,
terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan dan
paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang
berambut, aksila, lipatan paha dan daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri,
pustulasi dan ulserasi juga disertai gejala sistematik seperti demam, malaise, nyeri sendi,
nyeri otot dan mata, neuritis, gangguan fungsi saraf, gangguan konstitusi dan komplikasi
pada organ tubuh lainnya.

Bila mengenai organ lain dapat

menimbulkangejalasepertiiridosiklitis,neuritisakut,limfadenitis,arthritis,orkitis,dan
nefritisyangakutdenganadanyaproteinuria.Iajugadapatdisertaigejalakonstitusidariringansampaiberatyang
dapatditerangkansecaraimunologikpula.Lama perjalanan ENL dapat berlangsung 3 minggu
atau lebih, kadang lebih lama2.

Gambar. 2 contoh-contoh reaksi ENL

13

Menurut beratnya reaksi Beratnya reaksi tipe II dapat dibedakan menjadi reaksi
ringan dan berat Perbedaan reaksi tipe II ringan dan berat dapat dilihat pada tabel berikut
:2

Nyerineuritikyanghebatdanperubahanyangcepatdarikerusakansarafperiferyang
menghasilkanclawhandataudropfoot.11Kerusakanmatapadakustadapatprimerdansekunder.
Primermengakibatkanalopesiapadaalismatadanbulumata,jugadapatmendesakjaringan
matalainnya.SekunderdisebabkanolehrusaknyaN.fasialisyangdapatmembuatparalisis
N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus
yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian bagian mata lainnya. Secara
sendirianataubersamasamaakanmenyebabkankebutaan 2.
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta
tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrate difus,
berwarna merah muda, bentuk tidah teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstermitas,
kemudian meluas keseluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai purpur,
bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat
menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut1.
14

Gambaran histopatologi menunjukan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis


pembuluh darah superficial, edema, dan proliferasi endothelial pembuluh darah lebih dalam.
Didapatkan basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrate
polimorfonuklear seperti pada ENL namun dengan imunofluorensi tampak deposit
imonoglobulin dan komplemen didalam dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang
beredar dan krigobulin sangat tinggi pada semua penderita 2.

BAB IV
PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan
15

kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam,
antara lain dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Jumlah tempat yang diambil untuk
pemeriksaan ruitn sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah
dan 2-4 lesi lain yang paling aktif (yang paling eritematosa dan infiltratif).
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skapel steril. Setelah lesi tersebut
didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik,
sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah. Irisan yang dibuat harus
sampai di dermis, melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang
diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya mengandung
basil M.leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian
diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen.
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA) akan tampak merah pada sediaan.
Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran
(granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedangkan fragmented dan granular
merupakan bentuk mati. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada
sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+
menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP), 1+ bila 1-10 BTA
dalam 100 LP, 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP, 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP, 4+
bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP, 5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP, 6+ bila
>1000 BTA rata-rata dalam 1 LP. Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya
dengan minyak emersi pada pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB ratarata semua lesi yang dibuat sediaan1.

2. Pemeriksaan histopatologik
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikellingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita
dengan sistem imunitas selular rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan
M. leprae yang sudah ada di dalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan
disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa.
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran
histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak
ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi

16

subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis
yang jarinagnnya tidak patologik1.
3. Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik
terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi
antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi
anti-lipoarabinomanan (LAM), yamg juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis. Macammacam pemeriksaan serologik kusta ialah:
1

Uji MLPA (M. leprae Particle Aglutination)

Uji ELISA

ML dipstick (M. leprae dipstick)

Cara memeriksa gangguan fungsi saraf dan kelemahan otot adalah dengan teknik
voluntary muscle test (VMT) atau tes kekuatan otot dan untuk memeriksa berkurangnya rasa
raba dilakukan sensitivity test (ST) atau tes rasa raba. Untuk membantu diagnosis ENL dapat
dilakukan penyelidikan tentang abnormalitas konduksi saraf termasuk sebagai berikut:
1

Konduksi yang melambat secara segmental terlihat pada tempat-tempat terperangkap


(segmen siku dari saraf ulnaris), latensi distal memanjang, berkurangnya (sensorik
atau motorik) velositas konduksi saraf.

Berkurangnya amplitude dari evoked motor responses (compound muscle action


potentials [CMAPs]) atau hilangnya amplitudo rendah dari potensial sensoris.

Saraf-saraf yang paling sering terlibat didalamnya adalah saraf ulnaris, peroneal,
median, dan saraf-saraf tibial.7
Pemeriksaan penunjang pada ENL dapat berupa pemeriksaan laboratorium dan

pemeriksaan histopatologi
1

Pada pemeriksaan laboratorium, dilakukan pemeriksaan protein dan sel darah merah
dalam urine yang dapat menunjukkan terjadinya glomerulonefritis akut. Pada
pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop, dapat terlihat kompleks imun pada
glomerulus ginjal. Pada pemerksaan hematologi dapat ditemukan leukositosis PMN,

17

trombositosis, peninggian LED, anemia normositik normokrom dan peninggian kadar


gammaglobulin
2

Pemerikaan histologi, ENL akan menunjukkan inflamasi akut berupa lapisan infiltrat
pada inflamasi granulomatosa yang kronik dari BL dan LL 7. Selain itu, akan tampak
peningkatan vaskularisasi dengan dilatasi kapiler pada dermis bagian atas dan pada
dermis bagian bawah terdapat infiltrasi lekosit polimorfonuklear yang lokalisasinya
disekeliling pembuluh darah dan menyerang dinding pembuluh darah. 3 Terdapat
pembengkakan dan edema endothelium vena, arteriole dan arteri-artei kecil pada lasi
ENL. Fragmen basil sedikit dan, terdapat disekitar pembuluh darah. Kerusakan
dinding vaskuler ini mengakibatkan ekstravasasi eritrosit. 3

BAB V
PENATALAKSANAAN

Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT), yang
direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah: mengatasi
resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out rate) dan
ketidaktaatan penderita1.
Obat obat dalam rejimen MDT-WHO
1

Dapson

18

Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim
dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA. Indeks morfologi kuman
penderita LL yang diobati dengan Dapson biasanya menjadi nol setelah 5 sampai 6 bulan.
Dosis : Dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badan untuk
anak-anak.
Efek samping : Erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia, nekrolisis
epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Efek samping tersebut jarang dijumpai
pada dosis lazim.
2

Rifampisin

Sifat dan Farmakologi : Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan
merupakan obat paling ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambat enzim
polimerase RNA yang berikatan secara irreversibel. Namun obat ini harganya mahal dan telah
dilaporkan adanya resistensi.
Dosis : Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh kuman kira-kira
99.9% dalam waktu beberapa hari.
Efek samping : hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi kulit.
3

Klofazimin

Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya
diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek anti
inflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta.
Dosis : 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kgBB/hari.
Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe I
dan 2.
Efek samping : Hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal (nyeri
abdomen, diare, anoreksia dan vomitus).
4

Etionamid dan Protionamid

Kedua obat ini merupakan obat anti tuberkulosis dan hanya sedikit dipakai pada pengobatan
kusta. Dosis diberikan 5-10 mg/kgBB setiap hari. Obat ini bekerja bakteriostatik, cepat
menimbulkan resistensi, lebih toksik, harganya mahal serta hepatotoksik, oleh karenanya
sekarang tidak dianjurkan lagi pada rejimen pengobatan kusta.

19

Obat Kusta Baru


Pada pelaksanaan program MDT-WHO masalah-masalah yang timbul yaitu : adanya
resistensi kuman terhadap rifampisin dan lamanya pengobatan terutama pada kusta MB. Pada
penderita kusta PB timbul masalah yaitu masih menetapnya lesi kulit setelah 6 bulan
pengobatan dan Late Reversal Reaction (LVR) yang timbul justru setelah selesai MDT. Maka
diperlukan obat-obat baru yang memenuhi syarat antara lain : Bersifat bakterisidal kuat
terhadap M. leprae, tidak anatagonis terhadap obat yang sudah ada, aman dan akseptabilitas
penderita baik, dapat diberikan per oral dan sebaiknya diberikan tidak lebih dari sehari sekali.
Obat-obat yang sudah terbukti efektif tersebut adalah : ofloksasin, minosiklin dan
klaritomisin.
1

Ofloksasin
Ofloksasin merupakan obat turunan fluorokuinolon yang paling efektif terhadap M.

leprae, dibandingkan dengan siprofloksaisn dan pefloksasin. Dosis optimal harian 400 mg,
dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis. Kerjanya melalui hambatan pada enzim girase
DNA mikobakterium. Efek sampingnya adalah mual, daire dan gangguan saluran cerna
lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, dizziness, nervousness,
dan halusinasi. Walau demikian jarang ditemukan dan biasanya tidak membutuhkan
penghentian pemakaian obat. Bisa juga digunakan levofloxacin 500 mg lebih efektif.

Minosiklin

Minosiklin merupakan turunan tetrasiklin yang bersifat lipofilik sehingga mampu menembus
dinding M. leprae. Minosiklin bekerja dengan menghambat sintesis protein melakui
mekanisme yang berbeda dengan obat anti kusta yang lain. Dosis harian yang diberikan 500
mg. efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare.
3

Klaritromisin

Klaritromisin merupakan golongan makrolid yang mempunyai aktivitas bakterisidal dengan


menghambat suntesis protein melalui mekanisme yang lain dari minosiklin.
Penghentian obat lazim disebut release from treatment (RFT). Setlah RFT dilanjutkan
dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun
selama minimal 5 tahun. Jika bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru
maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut release from control (RFC).

20

MDT untuk pausibasiler (I, TT, BT) adalah rifampisin 600 mg setiap bulan dan DDS
100 mg tiap hari, keduanya diberikan 6-9 bulan, berarti RFT setelah 6-9 bulan. Selama
pengobatan, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada
akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis
dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktifan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap
negatif, dinyatakna RFC
Prinsip dalam penatalaksanaan reaksi kusta adalah mengontrol neuritis akut dalam
rangka pencegahan anastesi, paralisis dan kontraktur, serta menghentikan kerusakan pada
mata dan mencegah kebutaan. 9 Prinsip pengobatan reaksi kusta : 1). Istirahat / imobilisasi 2).
Pemberian analgesik / sedatif 3). Pemberian obat anti reaksi pada reaksi berat 4). MDT
diteruskan dengan dosis tidak berubah.
Penatalaksanaan reaksi kusta berbeda tergantung manifestasi dan berat ringannya
penyakit.
1

Reaksi ringan
Pada reaksi ENL ringan dapat diberikan analgesik / antipiretik seperti
Aspirin atau Asetaminofen, berobat jalan dan istirahat di rumah, reaksi kusta
ringan yang tidak membaik setelah pengobatan 6 minggu harus diobati sebagai
reaksi kusta berat.

Reaksi berat
Berikut adalah pedoman WHO untuk pengelolaan reaksi eritema
nodosum leprosum (ENL) berat.
Prinsip umum:
1

Reaksi ENL berat sering berulang dan kronis serta dapat bervariasi dalam
manifestasinya.

Manajemen ENL berat yang terbaik dilakukan oleh dokter di pusat rujukan.

Dosis dan durasi obat anti reaksi yang digunakan dapat disesuaikan oleh
dokter sesuai dengan kebutuhan pasien individu.

Pemberian prednisone dengan cara bertahap atau tappering off selama 12


minggu.

Setiap

2 minggu

pemberian

prednison harus

dilakukan

pemeriksaan untuk pencegahan cacat.

21

Pemberian analgetik, bila perlu sedative

Reaksi tipe II berulang diberikan prednison dan clofazimin

Imobilisasi lokal dan bila perlu penderita dirawat di rumah sakit

Manajemen dengan kortikosteroid:


1

Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.

Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan


nyeri.

Gunakan prednisolon dengan dosis per hari tidak melebihi 1mg/KgBB


dengan total durasi pemberian 12 minggu.
Minggu

Dosis harian

1-2

40 mg

3-4

30 mg

5-6

20 mg

7-8

15 mg

9-10

10 mg

11-12

5 mg

Manajemen dengan klofazimin dan kortikosteroid:


Indikasinya pada kasus ENL berat yang tidak berespon dengan pengobatan
kortikosteroid atau dimana risiko toksisitas dengan kortikosteroid yang tinggi.
1

Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.

Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri.

Gunakan prednisolon dengan dosis per hari tidak melebihi 1mg/KgBB.

Mulai pemberian klofazimin 100mg 3xsehari selama maksimum 12 minggu.

22

Teruskan terapi standar prednisolon. Dilanjutkan dengan pemberian klofazimin


seperti di bawah ini.
Manajemen dengan klofazimin saja:
Indikasinya pada kasus ENL berat dimana terdapat kontraindikasi
penggunaan kortikosteroid.

Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.

Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri.

Mulai pemberian klofazimin 100mg 3xsehari selama maksimum 12 minggu.

Kurangi dosis klofazimin sampai 100mg 2xsehari selama 12 minggu dan kemudian
100mg 1 x sehari selama 12-24 minggu.
Minggu

Dosis harian

1-4

40 mg

5-8

30 mg

9-12

20 mg

13-16

15 mg

17-20

10 mg

21-24

5 mg

Obat lain yang berguna dalam pengobatan reaksi ENL adalah pentoxifylline saja
atau dalam kombinasi dengan klofazimin/ prednisolone. Karena alasan efek samping
teratogenik, WHO tidak menganjurkan penggunaan thalidomide untuk manajemen reaksi
ENL pada kusta.nPengobatan reaksi kusta tipe II berulang selain prednison, perlu
ditambahkan clofazimin dengan dosis dewasa sebagai berikut : Selama 2 bulan 3 X 100 mg /
hari , Selama 2 bulan 2 X 100 mg / hari Selama 2 bulan 1 X 100 mg / hari 2.

23

BAB VI
KESIMPULAN

24

Reaksi kusta hampir selalu terjadi pada penderita kusta baik sebelum pengobatan,
sedang dalam pengobatan dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta ini dibagi menjadi 2, yaitu :
reaksi tipe I atau reaksi reversal dan reaksi tipe II atau reaksi ENL dengan manifestasi klinis
yang jelas.
Walaupun reaksi kusta ini sangat sering ditemukan namun etiologinya masih belum
jelas. Beberapa factor pencetus diduga berkaitan dengan angka kejadian reaksi ini, seperti :
setelah pengobatan antikusta yang intensif, stress fisik / psikis, imunisasi, kehamilan,
persalinan, menstruasi, infeksi, trauma, dll.
Reaksi ENL terutama terjadi pada tipe lepromatosa (LL) dan borderline lepromatosa
(BL). Reaksi ini ditandai dengan adanya nodus eritematosa yang nyeri, terutama di
ekstremitas, dan beberapa gejala prodormal dan gejala sistemik.
Penatalaksanaan dari reaksi ini ditujukan untuk mengatasi neuritis, mencegah
paralisis dan kontraktur, mengatasi gangguan mata, dan disarankan untuk istirahat atau
imobilisasi. Diharapkan dengan penatalaksanaan yang baik dan cepat, dapat mengurangi
kecacatan permanen yang dapat terjadi pada penderita kusta.

25

DAFTAR PUSTAKA

1 Kosasih, A, Wisnu,M, Sjamsoe,E, dkk. Kusta. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin FKUI, edisi kelima. 2007. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hlm.73-88.
2 Prawoto. Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya reaksi
(Studi di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten Brebes). Available at:
http://eprints.undip.ac.id/17745/2/PRAWOTO.pdf. Access on : March 8
2013.
3 Amirudin MD. Eritema Nodosum Leprosum. Ilmu Penyakit Kusta. 2003.
Makassar : Hassanudin University Press. Hlm. 83-99.
4 Dermatology

Online

Journal

[Online].

2001.

Available

at:

url:http://dermatology.cdlib.org/121/case_presentations/leprosy2/chauhan.html.
Access on: March 8 2013.
5 Freedbeg IM, Eizen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA. Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. 6th ed. 2003, New York: McGraw Hill. Hlm. 1962-1971.
6 Wor l d H e a l t h O rga ni z a t i o n . WH O E x p e r t C o m mi t t e e o n L e pr o s y
S i x R e p o r t . W o r l d Health Organization, Geneva. 1988
7 Sridharan R, Lorenzo NZ. Neuropathy of leprosy. 2007. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/1171421overview
8 Lockwood DNJ,

Br yceson ADM.

Burton JL, Burns DA,

L e p r o s y. I n : C h a m p i o n R H ,

Breathnach SM, editor. Rook. Wilkinson/Ebling Textbook of

Dermatology. 7th ed. London: Blackwel science; 1998.p.29


9 Menaldi,S. repository reaksi kusta. Dept. I.K. Kulit dan
K e l a m i n R S U P D r . C i p t o Mangunkusumo. Jakarta. 2010

26

Anda mungkin juga menyukai