Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

KAJIAN KESEHATAN MASYARAKAT PANTAI DAN PERKEBUNAN


PADA MASYARAKAT BANDARAN MADURA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kajian Kesehatan Masyarakat
Pantai dan Perkebunan Kelas B

Disusun oleh:
Kelompok 4
Shella Putri Permadani H

(142110101003)

Tika Nurfitriana

(142110101014)

Maulidia Nur Rohma

(142110101019)

Muthmainah Farida H

(142110101020)

Driya Paramarta

(142110101021)

Nurul Fadilah

(142110101025)

Eriena Melati Sukma

(142110101026)

Dwi Kurnia P

(142110101028)

Fitria Khusnul Fadila

(142110101029)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS JEMBER
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur, Alhamdulillah, kehadirat Allah swt. atas limpahan rahmat serta
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini sebagai tugas
mata kuliah Kajian Kesehatan Masyarakat Pantai dan Perkebunan dengan baik. Shalawat
serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Rasulullah saw., keluarga,
sahabat, dan orang-orang yang tegak di atas agama-Nya hingga akhir zaman.
Penulisan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu,
tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Farida Wahyu Ningtyias, S.KM., M.Kes. selaku dosen pengampu mata kuliah
Kajian Kesehatan Masyarakat Pantai dan Perkebunan Kelas B;
2. Orangtua kami, atas segala restu dan dukungan; dan
3. Teman-teman, atas segala bentuk bantuan.
Adapun makalah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin, dengan harapan
dapat memberikan manfaat bagi semua pihak dalam meningkatkan pemahaman
mengenai kajian kesehatan masyarakat pantai dan perkebunan pada masyarakat bandaran
Madura pada khususnya, baik bagi Penyusun maupun bagi Pembaca pada umumnya.
Jember, 16 Oktober 2016

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB 1. PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................2
1.3 Tujuan...................................................................................................................2
BAB 2. PEMBAHASAN...................................................................................................3
2.1 Gambaran Umum Daerah.....................................................................................3
2.2 Karakteristik Masyarakat Pesisir Pantai...............................................................4
2.3 Sosial Ekonomi...................................................................................................12
2.4 Budaya................................................................................................................13
BAB 3. PENUTUP..........................................................................................................16
3.1 Kesimpulan.........................................................................................................16
3.2 Saran...................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................17

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sektor kelautan dan perikanan memiliki peluang strategis untuk dijadikan
sumber pertumbuhan baru bagi bangsa Indonesia agar bisa keluar dari
cengkeraman krisis ekonomi. Keyakinan tersebut berdasarkan alasan utama, yaitu
(1) secara fisik indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, (2) di
wilayah pesisir dan lautan yang sangat luas itu terdapat potensi sumberdaya alam
dan jasa-jasa lingkungan yang beranekaragam sebagai potensi pembangunan yang
belum dimanfaatkan secara optimal (Kusnadi, 2003: 102).
Perhatian terhadap kawasan pesisir tidak hanya didasari oleh pertimbangan
pemikiran bahwa kawasan itu tidak hanya menyimpan potensi sumber daya alam
yang cukup besar, tetapi juga potensi sosial masyarakat yang akan mengelola
sumber daya tersebut secara berkelanjutan.
Bandaran adalah salah satu desa diantara delapan desa yang terdapat di
wilayah kecamatan Tlanakan Pamekasan serta merupakan daerah perbatasan
antara Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Sampang. Desa bandaran
merupakan sebuah potret kehidupan desa nelayan tradisional, yang dalam
mengggerakkan aktivitas perekonomiannya sangat mengandalkan pada mata
pencaharian sebagai nelayan dan beberapa pelaku ekonomi setempat (juragan
pemilik

kapal,

bakul

ikan)

mengelola

dan

mengembangkan

aktivitas

perekonomian mereka secara swasembada, yaitu bertumpu pada pemberdayaan


potensi daerah dan modal yang terdapat di lingkungan setempat (lokal), yang
merupakan ciri khas dari sebuah struktur ekonomi desa.
Kondisi ini agak berbeda dengan desa-desa nelayan lainnya di Pamekasan,
seperti Pasean, Tamberu, dan Talang, yang selain masyarakatnya hidup dari
aktivitas nelayan laut, aktivitas di bidang pertanian pun cukup banyak
memberikan hasil ekonomis. Bagi penduduk desa Bandaran, keberadaan laut telah
mereka terlepas dari sikap ketergantungan hidup terhadap usaha pertanian, dan
pada saat yan bersamaan telah memberikan peluang yang lebih besar untuk
mencapai kehidupan yang lebih baik, bila dibandingkan dengan saudara-saudara
mereka

yang

berada

di

kampung

Montor

dan

Nangger

yang

lebih

menggantungkan hidupnya dari bercocok tanam. Walaupun masyarakat desa

Bandaran pesisir tersebut berada pada daerah yang tidak terlalu subur, dan bnayak
menggantungkan hidup pada hasil penangkapan ikan di laut, namun secara
ekonomis kehidupan mereka tidak dapat dikatakan sebagai masyarakatterbelakang
dan miskin, bahkan dari hasil penangkapan ikan di laut itu, sebagian besar dari
mereka memiliki rumah tembok, fasilitas rumah tangga modern dan canggih,
untuk ukuran masyarakat tradisional.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana Gambaran Umum Daerah Masyarakat Bandaran Madura?
1.2.2 Bagaimana Karakteristik Masyarakat Bandaran Madura?
1.2.3 Bagaiamana Sosial Ekonomi Masyarakat Bandaran Madura?
1.2.4 Bagaimana Budaya Bandaran Madura?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui Gambaran Umum Daerah Masyarakat Bandaran Madura
1.3.2 Mengetahui Karakteristik Masyarakat Bandaran Madura
1.3.3 Mengetahui Sosial Ekonomi Masyarakat Bandaran Madura
1.3.4 Mengetahui Budaya Bandaran Madura

BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Gambaran Umum Daerah
Kampung Bandaran merupakan salah satu kampung nelayan yang berada
di Kabupaten Bangkalan, yang merupakan sebuah kabupaten di Pulau Madura,
Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibukotanya adalah Bangkalan. Kabupaten ini
terletak di ujung paling barat Pulau Madura yang besar pulaunya kurang lebih
5.250 km2 (lebih kecil daripada pulau Bali); berbatasan dengan Laut Jawa di
utara, Kabupaten Sampang di timur, serta Selat Madura di selatan dan barat.
Secara topografis, daerah Bandaran mempunyai ketinggian tanah antara 0 sampai
50

meter

di

atas

permukaan

laut,

dengan

jenis

tanah

"grumusol"

(Abdurrachman,1977). Ia merupakan sebuah desa "nelayan tradisional" yang


secara geografis terletak sekitar 20 km sebelah barat daya kota Pamekasan. Desa
Bandaran semula bernama kampong cerek. Perubahan nama dari "Cerek"
menjadi"Bandaran" terjadi ketika desa ini berkembang menjadi "bandar" ikan.
Kapan perubahan nama itu terjadi, tampaknya sangat sulit dipastikan. Desa
Bandaran merupakan sebuah potret kehidupan desa nelayan tradisional, yang
dalam menggerakkan aktivitas perekonomiannya sangat mengandalkan pada
matapencaharian sebagai nelayan, dan sedikit sekali yang memiliki mata
pencaharian tetap. Selain itu, para nelayan dan beberapa pelaku ekonomi setempat
(juragan pemilik kapal, bakul ikan) mengelola dan mengembangkan aktivitas
perekonomi-an mereka secara "swasembada", yaitu bertumpu pada pemberdayaan
potensi daerah dan modalyang terdapat di lingkungan setempat (lokal), yang
merupakan ciri khas dari sebuah struktur ekonomi desa.
Desa Bandaran terbagi menjadi 8 (delapan) kampung (kampong), yaitu:
Bandaran I-II, Ombul I-II, Sumber Wangi I-II, Nangger, dan kampung Montor.
Kampung Bandaran I-II, Ombul I-II,serta kampung Sumber Wangi I-II adalah
kampung-kampung yang letaknya di dekat laut/pesisiran, sedangkan dua kampung
lainnya (Nangger dan Montor) terletak agak jauh dari pesisiran dan berada di
lereng sebuah perbukitan di sebelah utara keenam kampung
sebelumnya. Jumlah penduduk secara keseluruhan +4.000 orang, dengan jumlah
kepala keluarga sebanyak +963 orang. Keenam kampung pesisiran tersebut,
walaupun secara geografis memiliki luas wilayah yang lebih kecil dibandingkan

dengan kedua kampung yanglain, akan tetapi memiliki jumlah penduduk yang
sangat besar, serta menjadi pusat konsentrasi pemukiman penduduk desa
Bandaran. Pusat pemerintahan (Kantor Kepala Desa) terletak di kampung Sumber
Wangi II (di pinggir jalan desa). Di sebelah selatan Sumber Wangi II terletak
Puskesmas Cabang Kecamatan Tlanakan, SDN Bandaran I dan IV.
Sedangkan sebelah barat (di seberang jalan) sudah masuk ke wilayah kampung
Ombul Iterdapat SDN Bandaran II dan III dan sebuah mesjid dari dua mesjid
yang ada di Desa Bandaran.
Pada umumnya wilayah desa Bandaran kondisi tanahnya tidaklah subur,
bahkan cenderungagak keras serta aktivitas pertanian dapat dikatakan tidak
berkembang atau tidak diusahakan oleh penduduk setempat. Hal ini berbeda
dengan penduduk yang berada di dua kampung yang lain yaitu kampung Nangger
dan Montor, yang pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani sawah
tadah hujan, meskipun, ada pula di antara mereka yang bermata pencaharian
sebagai nelayan, terutama ketika musim kemarau panjang (mosem nemor
kara).Dalam kondisi geologis seperti itu, matapencaharian pokok masyarakat yang
berada di desa Bandaran pesisir, adalah sebagai nelayan, serta hanya sebagian
kecil di antaranya bermata pencaharian sebagai penjual bahan-bahan kebutuhan
keseharian masyarakat (meracang), pedagang emas, pegawai negeri, dan
pengusaha angkutan penumpang (taksi).
2.2 Karakteristik Masyarakat Pesisir Pantai
Masyarakat pesisir pada umumnya telah menjadi bagian masyarakat yang
pluraristik tapi masih tetap memiliki jiwa kebersamaan. Artinya bahwa struktur
masyarakat pesisir rata-rata merupakan gabungan karakteristik masyarakat
perkotaan dan pedesaan. Karena struktur masyarakat pesisir sangat plurar,
sehingga mampu membentuk sistem dan nilai budaya yang merupakan akulturasi
budaya dari masing-masing komponen yang membentuk struktur masyarakatnya.
Hal menarik adalah bahwa bagi masyarakat pesisir Indonesia, hidup di
dekat pantai merupakan hal yang paling diinginkan untuk dilakukan, mengingat
segenap aspek kemudahan dapat mereka peroleh dalam berbagai aktivitas
kesehariannya. Dua contoh sederhana dari kemudahan-kemudahan tersebut

diantaranya, pertama, bahwa kemudahan aksesibilitas dari dan ke sumber mata


pencaharian

lebih

terjamin,

mengingat

sebagian

masyarakat

pesisir

menggantungkan kehidupannya pada pemanfaatan potensi perikanan dan laut


yang terdapat di sekitarnya, seperti penangkapan ikan, pengumpulan atau
budidaya rumput laut dan sebagainya. Kedua, bahwa mereka lebih mudah
mendapatkan kebutuhan akan MCK (mandi, cuci, kakus) di mana mereka dapat
mengaksesnya secara lebih mudah.
Masyarakat pesisir, khususnya yang tinggal di wilayah Indonesia,
mempunyai sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang khas atau unik. Sifat ini
sangat erat kaitannya dengan sifat usaha di bidang perikanan itu sendiri. Karena
sifat-sifat dari usaha perikanan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti
lingkungan, musim dan pasar, maka karakteristik masyarakat pesisir juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut dan faktor-faktor lainnya. Beberapa sifat
dan karakteristik masyarakat pesisir diuraikan sebagai berikut :
1. Ketergantungan pada Kondisi Lingkungan
Nilai dan arti penting pesisir dan laut bagi bangsa Indonesia dapat
dilihat dari dua aspek, yaitu : Pertama, secara sosial ekonomi wilayah
pesisir dan laut memiliki arti penting karena (a) sekitar 140 juta (60 %)
penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir (dengan pertumbuhan ratarata 2 % per tahun); (b) sebagian besar kota, baik propinsi dan
kabupaten) terletak di kawasan pesisir; (c) kontribusi sektor kelautan
terhadap PDB nasional sekitar 20,06 % pada tahun 1998 dan (d) industri
kelautan (coastal industries) menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja
secara langsung.
Kedua, secara biofisik, wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki
arti penting karena (a) Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di
dunia setelah Kanada, yaitu sekitar 81.000 km (13,9 % dari panjang
pantai dunia) dan ; (b) sekitar 75 % dari wilayahnya merupakan wilayah
perairan (sekitar 5,8 juta km2 termasuk ZEEI; (c) Indonesia merupakan
negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.508
pulau dan (d) Dalam wilayah tersebut terkandung potensi kekayaan dan
keanekaragaman sumberdaya alamnya yang terdiri atas potensi

sumberdaya alam pulih (renewable resources) seperti perikanan,


ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang) maupun potensi
sumberdaya alam tidak pulih (non renewable resources) seperti migas,
mineral atau bahan tambang lainnya serta jasa-jasa lingkungan
(environmental services), seperti pariwisata bahari, industri maritim dan
jasa transportasi.
Sumberdaya alam dan lingkungan merupakan modal pembangunan
yang dapat dikelola untuk menyediakan barang dan jasa (goods &
services) bagi kemakmuran masyarakat dan bangsa. Dilihat dari potensi
dan kemungkinan pengembangannya, wilayah pesisir memiliki peranan
penting dalam pembangunan nasional, apalagi bangsa Indonesia saat
sekarang sedang mengalami krisis ekonomi. Peranan tersebut tidak hanya
dalam penciptaan pertumbuhan ekonomi (growth), tetapi juga dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat (social welfare) dan pemerataan
kesejahteraan (equity). Namun demikian, peranan tersebut tidak akan
tercapai dengan baik apabila mengabaikan aspek kelestarian lingkungan
(environmental sustainability) dan kesatuan bangsa (unity).
Salah satu sifat usaha perikanan yang sangat menonjol adalah
bahwa keberlanjutan usaha tersebut sangat bergantung pada kondisi
lingkungan. Keadaan ini mempunyai imlikasi yang sangat penting bagi
kondisi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, terutama di
Indonesia. Kondisi masyarakat pesisir itu menjadi sangat bergantung
pada kondisi lingkungan sekaligus sangat rentan terhadap kerusakan
lingkungan, khususnya pencemaran, karena limbah-limbah industri
maupun domestik dapat mengguncang sendi-sendi kehidupan sosialekonomi masyarakat pesisir.
2. Ketergantungan pada Musim
Karakteristik lain yang sangat mencolok di kalangan masyarakat
pesisir, terutama masyarakat nelayan, adalah ketergantungan mereka
pada musim. Ketergantungan pada musim ini akan semakin besar pada
nelayan kecil. Pada musim penangkapan, para nelayan akan sangat sibuk

melaut. Sebaliknya, pada musim peceklik kegiatan melaut menjadi


berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur.
Keadaan ini mempunyai implikasi besar terhadap kondisi sosial
ekonomi masyarakat pantai secara umumdan kaum nelayan khususnya.
Mereka mungkin mampu membeli barang-barang yang mahal pada
musim tangkap. Namun pada musim peceklik, pendapatan mereka drastis
menurun sehingga kehidupan mereka juga semakin buruk. Belum lagi
ditambah pola hidup mereka yang menerapakan prinsip ekonomi yang
tidak hemat, artinya saat hasil tangkap memuncak, mereka cenderung
tidak menyimpan hasil untuk menutupi kekurangan ekonomi di saat
kegiatan tangkap menurun sehingga banyak dari nelayan-nelayan
tersebut yang harus meminjam uang bahakan menjual barang-barang
mereka untuk memenuhi kebutuhannya.
Secara umum, pendapatan nelayan memang sangat berfluktuasi
dari hari ke hari. Pada suatu hari, mungkin nelayan memperoleh
tangkapan yang sangat tinggi, tapi pada hari berikutnya bisa saja
kosong. Hasil tangkapan dan pada giliranya pendapatan nelayan juga
dipengaruhi oleh jumlah nelayan operasi penangkapan di suatu daerah
penangkapan. Di daerah yang padat penduduknya, akan mengalami
kelebihan tangkap (overfishing). Hal ini mengakibatkan volume hasil
tangkap dari para nelayan menjadi semakin kecil, sehingga pada akhirnya
akan mempengaruhi pendapatan mereka.
Kondisi di atas turut pula mendorong munculnya pola hubungan
tertentu yang sangat umum dijumpai di kalangan masyarakat di kalangan
nelayan

maupun

petani

tambak,

yakni

pola

hubungan

yang

bersifat patron-klien. Karena keadaan ekonomi yang buruk, maka para


nelayan kecil, buruh nelayan, petani tambak kecil dan buruh tambak
seringkali terpaksa meminjam uang dan barang-barang kebutuhan hidup
sehari-hari dari para juragan atau dari para pedagang pengumpul (tauke).
Konsekuensinya, para peminjam tersebut menjadi terikat dengan
pihak juragan atau pedagang. Keterkaitan tersebut antara lain berupa
keharusan menjual produknya kepada pedagang atau juragan. Pola

hubungan yang tidak simetris ini tentu saja sangat mudah berubah
menjadi alat dominansi dan ekploitasi.
Secara sosiologis, masyarakat pesisir memiliki ciri yang khas
dalam hal struktur sosial yaitu kuatnya hubungan antara patron dan klien
dalam hubungan pasar pada usaha perikanan. Biasanya patron
memberikan bantuan berupa modal kepada klien. Hal tersebut merupakan
taktik bagi patron untuk mengikat klien dengan utangnya sehingga bisnis
tetap berjalan.
3. Terdapatnya Stratifikasi Sosial dalam Masyarakat
Stratifikasi sosial yang sangat menonjol pada masyarakat nelayan
dan petani tambak adalah stratifikasi berdasarkan misalnya membedakan
stratifikasi sosial menjadi tiga jenis yaitu (1) strafikasi karena status
ekonomi (economically stratified); (2) stratifikasi karena perbedaan
status politik (politically stratified) dan (3) stratifikasi karena perbedaan
status pekerjaan (occupationally stratified).
a. Berdasarkan ekonomi dan penguasaan alat tangkap, yaitu jika dalam
suatau masyarakat terdapat perbedaan atau ketidaksetaraan status
ekonomi, pada masyarakat nelayan umumnya terdapat tiga strata
kelompok, yaitu :
1. Starata atas, yaitu mereka yang memiliki kapal motor lengkap
dengan alat tangkapnya. Mereka ini biasanya dikenal dengan
nelayan besar atau modern. Biasanya mereka tidak ikut melaut.
Operasi penangkapan diserahkan kepada orang lain. Buruh atau
tenaga kerja yang digunakan cukup banyak bisa sampai dua atau
tiga puluhan. Seringkali nelayan besar juga merangkap sebagai
pedangang pengumpul. Namun demikian, biasanya ada pula
pedagang pengumpul yang bukan nelayan, sehingga pedagang ini
merupakan kelas tersendiri.
2. Strata kedua, adalah mereka yang memiliki perahu dengan motor
tempel. Pada strata ini, biasanya pemilik tersebut ikut melaut dan
memimpin kegiatan penagkapan. Buruh yang ikut mungkin ada
tetapi terbatas dan seringkali merupakan anggota keluarga saja.

3. Strata terakhir adalah buruh nelayan. Meskipun para nelayan bisa


juga merangkap menjadi buruh, tetapi lebih banyak pula buruh ini
yang tidak memiliki sarana produksi apa-apa, hanya tenaga
mereka itu sendiri.
b. Stratifikasi karena

perbedaan

status

politik

(politically

stratified), yaitu jika terdapat ranking sosial berdasarkan otoritas,


prestise, kehormatan dan gelar. Misalnya seseorang yang memperoleh
gelar sebagai kepala desa dan pemimpin-pemimpin desa memiliki
strata yang lebih tinggi dibandingkan dengan warga-warga biasa.
c. Stratifikasi karena perbedaan status pAekerjaan (occupationally
stratified), misalnya stratifikasi pada petani tambak, yaitu :
1. Strata atas adalah mereka yang menguasi tambak yang luas.
2. Strata menengah yang memiliki luas tambak yang
sedang/kecil.
3. Strata bawah adalah mereka yang tidak memiliki tambak,
melainkan hanya mengelola atau sebagai buruh.
4. Ketergantungan pada Pasar
Karakteristik

lain

masyarakat

pesisir

ini

adalah

sifat

ketergantungan terhadap keadaaan pasar. Hal ini disebabkan karena hasil


tangkap mereka itu harus dijual terebih dahulu sebelum hasil
penjualannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karakteristik
tersebut mempunyai implikasi yang sangat penting, yakni masyarakat
pesisisir sangat peka terhadap harga. Perubahan harga produk perikanan
sangat mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat tersebut.
5. Aktivitas Kaum Perempuan dan Anak-Anak
Ciri khas lain dari suatu masyarakat pesisir adalah aktivitas kaum
perempuan dan anak-anak. Pada masyarakat ini, umumnya perempuan
dan anak-anak ikut bekerja mencari nafkah. Kaum perempuan (orang tua
maupun anak-anak) seringkali bekerja sebagai pedagang ikan (pengecer),
baik pengecer ikan segar maupun ikan olahan. Mereka juga melakukan
pengolahan hasil tangkapan, baik pengolahan kecil-kecilan di rumah
untuk dijual sendiri maupun sebagai buruh pada pengusaha pengolahan
ikan atau hasil tangkap lainnya. Sementara itu anak laki-laki seringkali

telah dilibatkan dalam kegiatan melaut. Ini antara lain yang


menyebabkan anak-anak nelayan banyak yang tidak sekolah.
6. Rentan Terhadap Pengaruh Eksternal
Ditinjau dari aspek biofisik wilayah, ruang pesisir dan laut serta
sumberdaya yang terkandung di dalamnya bersifat khas sehingga adanya
intervensi manusia pada wilayah tersebut dapat mengakibatkan
perubahan yang signifikan. Ditinjau dari aspek kepemilikan, wilayah
pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya sering
tidak mempunyai kepemilikan yang jelas (open access), kecuali pada
beberapa wilayah di Indonesia, seperti Ambon dengan kelembagaan sasi,
NTB dengan kelembagaan tradisional Awig-awig dan Sangihe Talaud
dengan kelembagaan Maneeh.
Dengan karaktersitik yang khas dan open access tersebut, maka
setiap pembangunan wilayah dan pemanfaatan sumberdaya timbul
konflik kepentingan pemanfaatan ruang dan sumberdaya serta sangat
mudah terjadinya degradasi lingkungan dan problem eksternalitas.
Selain itu penumpukan limbah-limbah dari daratan seperti limbah
industri dan limbah domestik sangat mempengaruhi kondisi mereka.
Penurunan kualitas perairan dapat menurunkan hasil tangkap mereka
sehingga pendapatan mereka pun merosot. Jika hal ini terjadi maka
kondisi ekonomi mereka akan semakin terpuruk.
7. Rendahnya Tingkat Kesejahteraan dan Ilmu Pengetahuan
Kondisi lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya
nelayan masih belum tertata dengan baik dan terkesan kumuh. Dengan
kondisi sosial ekonomi masyarakat yang relatif berada dalam tingkat
kesejahteraan rendah, maka dalam jangka panjang tekanan terhadap
sumberdaya pesisir akan semakin besar guna pemenuhan kebutuhan
pokoknya.
Sebagian besar penduduk di wilayah pesisir bermata pencaharian
di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resources base),
seperti nelayan, petani ikan (budidaya tambak dan laut), Kemiskinan
masyarakat nelayan (problem struktural), penambangan pasir, kayu

10

mangrove dan lain-lain. Sebagai contoh : Kecamatan Kepulauan Seribu,


Jakarta Utara dengan penduduk 17.991 jiwa, sekitar 71,64 % merupakan
nelayan (Tahun 2001).
Sebagian besar penduduk wilayah pesisir memiliki tingkat
pendidikan yang rendah. Sebagai contoh : penduduk Kecamatan
Kepulauan Seribu, Jakarta Utara (Tahun 2001) sekitar 70,10 %
merupakan tamatan Sekolah Dasar (SD) dan sejalan dengan tingkat
tersebut, fasilitas pendidikan yang ada masih sangat terbatas.
Dilihat dari aspek pengetahuan, masyarakat pesisir mendapat
pengetahuan dari warisan nenek moyangnya misalnya mereka untuk
melihat kalender dan penunjuk arah maka mereka menggunakan rasi
bintang.
8. Memiliki Kepribadian Yang Keras, Tempramental dan Boros
Masyarakat nelayan akrab dengan ketidakpastian yang tinggi
karena secara alamiah sumberdaya perikanan bersifat invisible sehingga
sulit untuk diprediksi. Sementara masyarakat agraris misalnya memiliki
ciri sumberdaya yang lebih pasti dan visible sehingga relatif lebih mudah
untuk diprediksi terkait dengan ekspetasi sosial ekonomi masyarakat.
Dalam kondisi seperti ini maka tidak jarang ditemui karakteristik
masyarakat nelayan yang keras, sebagian temparemental dan tidak jarang
yang boros karena ada persepsi bahwa sumberdaya perikanan tinggal
diambil di laut.
9. Memiliki Sistem Kepercayaan dan Adat Yang Kuat
Dilihat dari aspek kepercayaan, masyarakat pesisir masih
menganggap bahwa laut memilki kekuatan magic sehingga mereka masih
sering melakukan adat pesta laut atau sedekah laut. Namun, dewasa ini
sudah ada dari sebagian penduduk yang tidak percaya terhadap adat-adat
seperti pesta laut tersebut. Mereka hanya melakukan ritual tersebut hanya
untuk formalitas semata. Begitu juga dengan posisi nelayan sosial, pada
umumnya, nelayan bergolong kasta rendah

11

2.3 Sosial Ekonomi


Dalam menggerakkan aktivitas perekonomiannya, masyarakat Bandaran
sangat mengandalkan pada mata pencaharian sebagai nelayan, dan sedikit sekali
yang memiliki mata pencaharian tetap. Selain itu, para nelayan dan beberapa
pelaku ekonomi setempat (juragan pemilik kapal, bakul ikan) mengelola dan
mengembangkan aktivitas perekonomian secara swasembada, yaitu bertumpu
pada pemberdayaan potensi daerah dan modal yang terdapat di lingkungan
setempat (lokal), yang merupakan ciri khas dari sebuah struktur ekonomi desa.
Kehidupan

sosial

masyarakat

desa

tradisional

di

Bandaran

sulit

diklasifikasikan menurut pekerjaan mereka. Masyarakat desa tradisional yang


hidup di daerah-daerah nelayan pedalaman hidup yang cenderung bersikap
tertutup. Realitas ini dapat dilihat dari bagaimana pemikiran, sikap dan tindakan
mereka terhadap aktivitas ekonomi,

Setiap aktivitas ekonomi masyarakat

Bandaran dicampur dengan berbagai macam motif yaitu, motif sosial, keagamaan,
etis dan tradisional. Dari sisi konsumsi, kehidupan ekonomi desa tradisional
dibangun atas dasar prinsip swasembada, dimana hampir seluruh kebutuhan
hidup kesehariannya diproduksi/dipenuhi oleh desa tradisional sendiri.
Di sisi lain, perhatian dan tingkat partisipasi penduduk terhadap pendidikan
anak-anaknya sangat kurang. Anak-anak mereka terutama yang perempuan, pada
umumnya hanya bersekolah hingga jenjang SD, itupun tidak seluruhnya tamat,
terutama karena alasan akan dikawinkan. Kepedulian masyarakat setempat
terhadap arti penting pendidikan bagi masa depan kehidupan anak-anak mereka,
mulai berubah sejak dasa warsa 90-an. Anak-anak mereka, laki-laki dan atau
perempuan, telah mulai ada yang disekolahkan hingga jenjang SMTA. Walaupun
dengan tingkat persentase yang tidak terlalu tinggi, dan hanya satu-dua orang saja
yang bisa mencapai jenjang Perguruan Tinggi.
Kehidupan para nelayan Desa Bandaran bukanlah bersifat individual, tetapi
berkelompok. Setiap kelompok nelayan terdiri dari: (1) juragan pemilik
kapal/perahu; (2) juragan kepala perahu; (3) pandhiga. Sebagai sebuah kelompok
nelayan pola relasi kerja, baik antara juragan perahu, juragan kepala dan
phandiga, atau antar anggota nelayan sendiri, bukan terjadi dalam kerangka
hubungan kerja antara atasan dan bawahan yang bersifat hubungan

12

pengabdian, tetapi lebih bersifat kolegialisme dan kekeluargaan, Hubungan


di antara mereka pun sangat terbuka. Hal ini terjadi, karena para nelayan dan
juragan kepala tersebut secara rutin dan berkesinambungan mendapatkan uang
pengikat (pesse panyengset) dari para bakul ikan. Uang tersebut merupakan
uang muka dari bakul ikan kepada para nelayan dan juragan dari hasil penjualan
ikan yang diterimakan kepada bakul ikan. Pemberian uang tersebut tujuannya
tidak lain adalah agar para nelayan dan juragan kepala tadi menyerahkan atau
menjual ikan kepada si bakul ikan. Menjadi kewajiban bagi para nelayan dan
juragan kepala penerima uang tadi untuk menjual atau menyerahkan sebagian atau
seluruh ikan-ikan yang menjadi bagiannya sesuai dengan kesepakatan kepada
bakul yang telah memberinya uang. Kecenderungan para nelayan dan juragan
kepala untuk menjual ikan kepada bakul yang telah mengikatnya dengan uang
pengikat tadi, adalah pada pertimbangan kecepatan dan kemudahan menjual ikan
serta memperoleh uang, Hal lain yang menjadi daya tarik dari para nelayan dan
juragan kepala melakukan praktik bisnis semacam itu, adalah karena mereka akan
mendapatkan fasilitas tambahan dari para bakul ikan, yaitu kemudahan untuk
mendapatkan pinjaman uang dari para bakul rekanannya. Praktik jual beli di atas,
senantiasa dipelihara dan semakin diperkuat.
2.4 Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitubuddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai halhal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia.Dalam bahasa Inggris,
kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah
atau

mengerjakan.Bisa

diartikan

juga

sebagai

mengolah

tanah

atau

bertani.Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa


Indonesia.
Bandaran adalah salah satu desa (dhisa) di antara delapan desa yang
terdapat di wilayah Kecamatan Tlanakan Pamekasan serta merupakan daerah
perbatasan antara Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Sampang.Desa Bandaran

13

semula bernama kampong cerek. Perubahannama dari "Cerek" menjadi


"Bandaran" terjadi ketika desa ini berkembang menjadi "bandar" ikan.
Desa Bandaran terbagi menjadi 8 (delapan) kampong (kampong), yaitu:
Bandaran I-II, Ombul I-II, Sumber Wangi I-II, Nangger, dan kampung Montor.
Kampung Bandaran I-II, Ombul I-II, serta kampung Sumber Wangi I-II adalah
kampung-kampung yang letaknya di dekat laut/pesisiran, sedangkan dua kampung
lainnya (Nangger dan Montor) terletak agak jauh dari pesisiran dan berada di
lereng sebuah perbukitan di sebelah utara keenam kampung sebelumnya.
Walaupun masyarakat desa Bandaran pesisir tersebut berada pada daerah
yang tidak terlalu subur, dan banyak menggantungkan hidup pada hasil
penangkapan ikan di laut, namun secara ekonomis kehidupan mereka tidak dapat
dikatakan sebagai masyarakat terbelakang dan miskin, bahkan, dari hasil
penangkapan ikan di laut itu, sebagian besar dari merekamemiliki rumah tembok,
fasilitasrumah tangga

"modern dan

canggih",untuk

ukuran "masyarakat

tradisional" (traditional peasant society), dan mobil.


Seperti lazimnya pemukiman masyarakat nelayan lain di Pulau Madura,
rumah-rumah penduduk setempat cukup padat, berjejal, tidak menganut pola
penataan rumah seperti dalam masyarakat petani pedalaman, serta mengesankan
sebuah "pemukiman kumuh". Pada umumnya rumah-rumah mereka menghadap
ke laut, kecuali rumah-rumah di kedua kampung Bandaran yang berada tepat di
pinggir laut menghadap ke utara.Jalan-jalan di perkampungan sangat sempit dan
berkelok-kelok, sehingga apabila berpapasan salah satu harus mengalah, namun,
apabila diperhatikan, sulit dibayangkan bahwa daerah itu adalah daerah nelayan,
dengan mata-pencaharian "satu-satunya" adalah menangkap ikan di laut. Kondisi
rumah-rumah mereka yang berderet dari Timur ke Barat sepanjang 500 meter
sebelah utara dan selatan jalan raya antara Pamekasan dan Sampang, tidak begitu
jauh berbeda dengan rumah-rumah pemukiman orangorang kota. Deretan
bangunan rumah pemukiman penduduk di desa Bandaran itu ibarat sebuah "kota
kecil di tepi pantai" (a little state in thecoast), lengkap dengan berbagai aksesoris
peralatan rumah tangga "modern", berselang-seling dengan rumah- rumah desa
khas penduduk kampung nelayan, baik yang terbuat dari bambu maupun kayu,

14

juga berbagai perabot rumah tangga khas masyarakat nelayan. Sungguh


merupakan sebuah mozaik desa yang sangat mencengangkan.
Paradigma lainnya yang muncul berupa pola hidup yang ditimbulkan oleh
borjuisme sangat kental pengaruhnya bagi masyarakat.Pola hidup konsumtif,
serba instans dan berpikir kekuasaan merupakan inti dari kehidupan borjuisme
yang hidup dalam masyarakat pada umumya. Satu hal lain dari gerak urat nadi
paradigma borjuisme adalah kapitalisme. Paradigma ini mencoba untuk
mengetengahkan kekuatan modal sebagai daya pancing yang bertujuan untuk
membuat individu atau masyarakat serba tergantung pada kekuatan kapital
(modal).Kapitalisme yang beratiliasi dangan materialisme telah masuk ke ranah
masyarakat dengan begitu dahsyatnya, sehingga masyarakat terbawa oleh
paradigma ini dan menjadi sangat bergantung pada kekuatan modal.Efek
semuanya adalah masyarakat mulai berpikir dan bertindak dengan modal. Pola
interaksi masyarakat berdasarkan apa yang dapat diraih dan keuntungan apa yang
dapat dicapai begitu pula yang terjadi pada masyarakat kampung nelayan ini.

15

BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kampung Bandaran merupakan salah satu kampung nelayan yang berada di
Kabupaten Bangkalan, yang merupakan sebuah kabupaten di Pulau Madura,
Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibukotanya adalah Bangkalan. Kabupaten ini
terletak di ujung paling barat Pulau Madura yang besar pulaunya kurang lebih
5.250 km2 (lebih kecil daripada pulau Bali); berbatasan dengan Laut Jawa di
utara, Kabupaten Sampang di timur, serta Selat Madura di selatan dan barat.
Secara topografis, daerah Bandaran mempunyai ketinggian tanah antara 0
sampai 50 meter di atas permukaan laut, dengan jenis tanah "grumusol"
(Abdurrachman,1977).
Masyarakat pesisir pada umumnya telah menjadi bagian masyarakat yang
pluraristik tapi masih tetap memiliki jiwa kebersamaan. Artinya bahwa
struktur masyarakat pesisir rata-rata merupakan gabungan karakteristik
masyarakat perkotaan dan pedesaan. Karena struktur masyarakat pesisir sangat
plurar, sehingga mampu membentuk sistem dan nilai budaya yang merupakan
akulturasi budaya dari masing-masing komponen yang membentuk struktur
masyarakatnya.
Ketergantungan pada musim ini akan semakin besar pada nelayan kecil. Pada
musim penangkapan, para nelayan akan sangat sibuk melaut. Sebaliknya, pada
musim peceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan
yang terpaksa menganggur.
Kehidupan para nelayan Desa Bandaran bukanlah bersifat individual, tetapi
berkelompok. Setiap kelompok nelayan terdiri dari: (1) juragan pemilik
kapal/perahu; (2) juragan kepala perahu; (3) pandhiga. Sebagai sebuah
kelompok nelayan pola relasi kerja, baik antara juragan perahu, juragan kepala
dan phandiga, atau antar anggota nelayan sendiri, bukan terjadi dalam
kerangka hubungan kerja antara atasan dan bawahan yang bersifat
hubungan

pengabdian,

tetapi

lebih

bersifat

kolegialisme

dan

kekeluargaan, Hubungan di antara mereka pun sangat terbuka.


16

3.2 Saran
saran dari isi makalah seharusnya petani menerapkan hidup hemat dalam
perekonomiannya sebab jika mereka tidak mempunyai mereka bisa memakai
uang dari hasil tangkapan pada musim pengkapan jadi mereka tidak sering
melakukan penjualan barang-barang yang mereka punya. Dan seharusnya
mereka membuka lapangan kerja pada musim paceklik sehingga mereka tidak
mengalami kesusahan mencari kebutuhan sehari-harinya. Karena masyarakat
pantai selalu ketergantungan pada hasil nelayan yang di harapkan.

17

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrachman. 1977. Sekelumit Cara Mengenal Masyarakat Madura: Madura I.
Proyek Penelitian Madura. Malang: Depdikbud.
Bengen, Dietriech G. 2011. Pelatihan Pengelolaan Wilayah Terpadu. Bogor :
ITB
Famif. 2010. Masyarakat Pesisir. Tersedia: http://famif08.student.ipb.ac.id. [13
Oktober 2016]
Kusnadi dkk. 2006. Perempuan Pesisir. Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara
Lasiki, Iswan. 2012. Karakteristik Sosial-Ekonomi Masyarakat Pesisir. Tersedia:
http://iswanlasiki.student.ung.ac.id. [13 Oktober 2016]
Mintaroem dkk. 2001. Aspek Sosial Budaya pada Kehidupan Ekonomi
Masyarakat Nelayan Tradisional. Jurnal Studi Indonesia, Vol. 11, No. 2.
https://mfarisiblog.files.wordpress.com/2013/05/nelayan.pdf [11 Oktober
2016]
PADA KEHIDUPAN EKONOMI MASYARAKAT NELAYAN TRADISIONAL
(Studi pada Masyarakat Nelayan Tradisional di Desa Bandaran,
Pamekasan). Jurnal Studi Indonesia, Volume 11, No. 2,
https://mfarisiblog.files.wordpress.com/2013/05/nelayan.pdf.[13 Oktobe
2016]
Pemukiman dan Kehidupan Sosial Nelayan Kampung Bandaran | Lontar
Madura http://www.lontarmadura.com/kehidupan-sosial-nelayankampung-bandaran/3/#ixzz4MvepbjS4
Soebagio. .Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut Kepulauan
Seribu dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat. Bogor : ITB

18

Anda mungkin juga menyukai