Anda di halaman 1dari 13

DAFTAR HALAMAN

DAFTAR HALAMAN.............................................................................................1
HERPES ZOSTER...................................................................................................2
Pendahuluan.........................................................................................................2
Definisi ................................................................................................................3
Etiologi.................................................................................................................3
Patogenesis...........................................................................................................4
Diagnosis Klinis...................................................................................................5
Diagnosis Banding...............................................................................................7
Penatalaksanaan....................................................................................................8
Komplikasi.........................................................................................................10
Kesimpulan.........................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................13

HERPES ZOSTER
Pendahuluan
Herpes zoster atau shingles, dampa atau cacar ular telah dikenal sejak
zaman Yunani kuno. Herpes zoster disebabkan oleh infeksi virus yang sama
dengan varisela, yaitu virus varisela zoster (VZV). Infeksi ini merupakan
reaktivasi virus varisela zoster dari infeksi endogen yang telah menetap dalam
bentuk laten setelah infeksi primer oleh virus. Herpes zoster ditandai dengan
adanya nyeri hebat unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada
dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf
sensorik dan nervus kranialis.1,2
Insiden herpes zoster tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada
perbedaan angka kesakitan antara pria dan wanita. Angka kesakitan meningkat
dengan peningkatan usia. Diperkirakan terdapat antara 2-5 per 1000 orang per
tahun. Lebih dari 2/3 kasus berusia di atas 50 tahun dan kurang dari 10% kasus
berusia di bawah 20 tahun.3
Patogenesis herpes zoster belum seluruhnya diketahui. Selama terjadi
varisela, virus varisela zoster berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan
mukosa ke ujung saraf sensorik dan ditransportasikan secara sentripetal melalui
serabut saraf sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion terjadi infeksi laten,
virus tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap
mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi infeksius. Herpes zoster pada
umumnya terjadi pada dermatom sesuai dengan lokasi ruam varisela yang
terpadat. Aktivasi virus varisela zoster laten diduga karena keadaan tertentu yang
berhubungan dengan imunosupresi, dan imunitas selular merupakan faktor
penting untuk pertahanan pejamu terhadap infeksi endogen.3,4
Infeksi pada mata terjadi jika reaktivasi virus berada pada ganglion
sensoris dari nervus trigeminus (N.V), meskipun masuknya virus dari luar juga
mungkin dapat terjadi. Reaktivasi terjadi saat imunitas seluler terhadap virus
menurun. Penyakit ini jarang ditemukan pada anak-anak, tetapi terjadi konstan
pada usia 20-50 tahun dan lebih tinggi pada usia >60 tahun. Faktor risiko lainnya
adalah

pengobatan

dengan

kortikosteroid,

terapi

radiasi,

imunosupresi,
1

transplantasi organ dan penyakit sistemik seperti SLE, AIDS, leukemia, atau
lymphoma. Pada orang dewasa muda lebih sering terjadi reaktivasi dikarenakan
penggunaan obat imunosupresif dan meningkatnya AIDS pada usia ini. Oleh
sebab itu, karena herpes zoster dapat terjadi pada orang dengan AIDS, maka tes
sindroma ini diindikasikan pada pasien dibawah 50 tahun.5
Komplikasi herpes zoster dapat terjadi pada 10-15% kasus, komplikasi
yang terbanyak adalah neuralgia paska herpetik yaitu berupa rasa nyeri yang
persisten setelah krusta terlepas. Komplikasi jarang terjadi pada usia di bawah 40
tahun, tetapi hampir 1/3 kasus terjadi pada usia di atas 60 tahun. Penyebaran dari
ganglion yang terkena secara langsung atau lewat aliran darah sehingga terjadi
herpes zoster generalisata. Hal ini dapat terjadi oleh karena defek imunologi
karena keganasan atau pengobatan imunosupresi.4
Secara umum pengobatan herpes zoster mempunyai 3 tujuan utama yaitu:
mengatasi infeksi virus akut, mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus
herpes zoster dan mencegah timbulnya neuralgia paska herpetik. Prognosis
umumnya baik tergantung pada factor predisposisi yang mendasari. Pada herpes
zoster oftalmikus prognosis tergantung pada perawatan dan pengobatan secara
dini.6

Definisi
Herpes zoster merupakan manifestasi reaktivasi infeksi laten endogen
virus varisela zoster di dalam neuron ganglion sensoris radiks dorsalis, ganglion
saraf kranialis atau ganglion saraf autonomik yang menyebar ke jaringan saraf dan
kulit dengan segmen yang sama.9

Etiologi
Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan infeksi virus varisela
zoster yang menyerang kulit dan mukosa. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus
varisela zoster dari infeksi endogen yang telah menetap dalam bentuk laten setelah
infeksi primer oleh virus. Kadang-kadang infeksi primer berlangsung subklinis.

Frekuensi penyakit pada pria dan wanita sama, lebih sering mengenai usia
dewasa.6
Virus varisela zoster (VZV) tergolong virus berinti DNA, virus ini
berukuran 140-200 nm, yang termasuk subfamili alfa herpes viridae. Berdasarkan
sifat biologisnya seperti siklus replikasi, penjamu, sifat sitotoksik dan sel tempat
hidup laten diklasifikasikan kedalam 3 subfamili yaitu alfa, beta dan gamma. VZV
dalam subfamili alfa mempunyai sifat khas menyebabkan infeksi primer pada sel
epitel yang menimbulkan lesi vaskuler. Selanjutnya setelah infeksi primer, infeksi
oleh virus herpes alfa biasanya menetap dalam bentuk laten didalam neuron dari
ganglion. Virus yang laten ini pada saatnya akan menimbulkan kekambuhan
secara periodik. Secara in vitro virus herpes alfa mempunyai jajaran penjamu
yang relatif luas dengan siklus pertumbuhan yang pendek serta mempunyai enzim
yang penting untuk replikasi meliputi virus spesifik DNA polimerase dan virus
spesifik deoxypiridine (thymidine) kinase yang disintesis di dalam sel yang
terinfeksi.9

Patogenesis
Hope Simpson, 1965, mengajukan hipotesis bahwa imunitas terhadap
varisela zoster virus berperan dalam patogenesis herpes zoster terutama imunitas
selulernya. Mengikuti infeksi primer virus verisela zoster, partikel virus dapat
tetap tinggal di dalam ganglion sensoris saraf spinalis, kranialis atau otonom
selama tahunan. Pada saat respons imunitas seluler dan titer antibodi spesifik
terhadap virus varisela-zoster yang laten tersebut mengalami reaktivasi dan
menimbulkan ruam kulit yang terlokalisata di dalam satu dermatom. Faktor lain
seperti radiasi, trauma fisis, obat-obat tertentu, infeksi lain, atau stres dapat
dianggap sebagai pencetus walaupun belum pasti.7
Infeksi primer dari VZV ini pertama kali terjadi di daerah nasofaring.
Disini virus mengadakan replikasi dan dilepas ke darah sehingga terjadi viremia
permulaan yang sifatnya terbatas dan asimptomatik. Keadaan ini diikuti masuknya
virus ke dalam Reticulo Endothelial System (RES) yang kemudian mengadakan
replikasi kedua yang sifat viremia nya lebih luas dan simptomatik dengan
3

penyebaran virus ke kulit dan mukosa. Sebagian virus juga menjalar melalui seratserat sensoris ke satu atau lebih ganglion sensoris dan berdiam diri atau laten
didalam neuron. Virus berdiam diri di ganglion posterior saraf tepid an ganglion
kranialisSelama antibodi yang beredar didalam darah masih tinggi, reaktivasi dari
virus yang laten ini dapat dinetralisir, tetapi pada saat tertentu dimana antibodi
tersebut turun dibawah titik kritis maka terjadilah reaktivasi dari virus sehingga
terjadi herpes zoster.6,8,9
Herpes Zoster Ophtalmicus (HZO) terjadi sekitar 10-15% dari kasus
Zoster. HZO terjadi karena virus menginvasi ganglion Gasserian. Untuk alasan
yang belum jelas, keterlibatan cabang ophtalmicus (N. V1) 5 kali lebih sering
daripada keterlibatan dari cabang maksilaris (N. V2) atau cabang mandibularis (N.
V3).10
Diagnosis Klinis
Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa rasa sakit dan parestesi
pada dermatom yang terkena. Gejala ini terjadi beberapa hari menjelang
timbulnya erupsi. Gejala konstitusi, seperti sakit kepala, malaise, dan demam,
terjadi pada 5% penderita (terutama pada anak-anak) dan timbul 1-2 hari sebelum
terjadi erupsi. Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang
lokalisata dan unilateral. Jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh.
Umumnya lesi terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu ganglion
saraf sensorik.

6,11

Gejala Prodromal
Berlangsung 1-5 hari. Keluhan biasanya diawali dengan nyeri pada daerah
dermatom yang akan timbul lesi dan dapat berlangsung dalam waktu yang
bervariasi. Nyeri bersifat segmental dan dapat berlangsung terus-menerus atau
sebagai serangan yang hilang timbul. Keluhan bervariasi dari rasa gatal,
kesemutan, panas, pedih, nyeri tekan, hiperestesi sampai rasa ditusuk-tusuk.
Selain nyeri, dapat didahului dengan cegukan atau sendawa. Gejala konstitusi
berupa malaise, sefalgia, other flu like symptoms yang biasanya akan menghilang
setelah erupsi kulit timbul. Kadang-kadang terjadi limfadenopati regional.12

Erupsi Kulit
Erupsi kulit hampir selalu unilateral dan biasanya terbatas pada daerah
yang dipersarafi oleh satu ganglion sensorik. Erupsi dapat terjadi di seluruh
bagian tubuh, yang tersering di daerah ganglion torakalis. 12
Lesi dimulai dengan makula eritroskuamosa, kemudian terbentuk papul-papul dan dalam waktu 12-24 jam lesi berkembang menjadi vesikel. Pada hari
ketiga berubah menjadi pustul yang akan mengering menjadi krusta dalam 710
hari. Krusta dapat bertahan sampai 2-3 minggu kemudian mengelupas. Pada saat
ini biasanya nyeri segmental juga menghilang. 12
Lesi baru dapat terus muncul sampai hari ketiga dan kadang-kadang
sampai hari ketujuh. Erupsi kulit yang berat dapat meninggalkan makula
hiperpigmentasi dan jaringan parut (pitted scar). Erupsi umumnya disertai nyeri
(60-90% kasus).12
Variasi Klinis

a.

Pada beberapa kasus nyeri segmental tidak diikuti erupsi kulit, keadaan ini

disebut zoster sine herpete.


b. Herpes zoster abortif, bila perjalanan penyakit berlangsung singkat dan
kelainan kulit hanya berupa vesikel dan eritema.
c. Herpes zoster oftalmikus, bila HZ yang menyerang cabang pertama
nervus trigeminus. Erupsi kulit sebatas mata sampai ke verteks, tetapi
tidak melalui garis tengah dahi. Bila mengenai anak cabang nasosilaris
(adanya vesikel pada puncak hidung yang dikenal sebagai tanda
Hutchinson,

sampai

dengan

kantus

medialis)

harus

diwaspadai

kemungkinan terjadinya komplikasi pada mata.


d. Sindrom Ramsay-Hunt : HZ di liang telinga luar atau membrana timpani,
disertai paresis fasialis yang nyeri, gangguan lakrimasi, gangguan
pengecap 2/3 bagian depan lidah, tinitus, vertigo, dan tuli. Kelainan
tersebut sebagai akibat virus menyerang nervus fasialis dan nervus
auditorius.
e. Herpes zoster aberans : HZ disertai vesikel minimal 10 buah yang
melewati garis tengah.

f. Herpes zoster pada imunokompromais : perjalanan penyakit dan


manifestasi klinisnya berubah, seringkali tidak spesifik , sering rekurens,
berlangsung lebih lama (lebih dari 6 minggu), cenderung kronik persisten,
menyebar ke alat-alat dalam terutama paru, hati, dan otak. Gejala
prodromal lebih hebat, erupsi kulit lebih berat (bula hemoragik,
hiperkeratotik, nekrotik), lebih luas (aberans/ multidermatom/diseminata),
lebih nyeri, dan komplikasi lebih sering terjadi.
g. Herpes zoster pada ibu hamil : ringan, kemungkinan terjadi komplikasi
sangat jarang. Risiko infeksi pada janin dan neonatus dari ibu hamil
dengan HZ juga sangat kecil. Karena alasan tersebut, HZ pada kehamilan
tidak diterapi dengan antiviral.
h. Herpes zoster pada neonatus : jarang ditemukan. Penyakit biasanya
ringan, sembuh tanpa gejala sisa. HZ pada neonatus tidak membutuhkan
terapi antiviral.
i. Herpes zoster pada anak : ringan, banyak menyerang di daerah servikal
bawah. Juga tidak membutuhkan pengobatan dengan antiviral.
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan bila terdapat gambaran klinis yang
meragukan.
a. Tes Tzanck (adanya perubahan sitologi sel epitel dimana terlihat multi
nucleated giant sel)
b. Indentifikasi antigen/asam nukleat VVZ dengan metode PCR

Diagnosis banding
a.

Stadium praerupsi : nyeri akut segmental sulit dibedakan dengan nyeri

yang timbul karena penyakit sistemik sesuai dengan lokasi anatomik.


b. Stadium erupsi : herpes simpleks zosteriformis, dermatitis kontak iritan,
dermatitis venenata, penyakit Duhring, luka bakar, autoinokulasi vaksinia,
infeksi bakterial setempat.

Penatalaksanaan
Prinsip dasar pengobatan herpes zoster adalah menghilangkan nyeri secepat
mungkin dengan cara membatasi replikasi virus, sehingga mengurangi kerusakan
saraf lebih lanjut.9
Sistemik9
1. Obat antivirus
Tiga antivirus oral yang disetujui oleh FDA untuk terapi herpes zoster
adalah famsiklovir, valasiklovir hidroklorida, dan asiklovir.
Antivirus famsiklovir 3x500 mg atau valasiklovir 3x1000 mg atau
asiklovir 5x800 mg diberikan sebelum 72 jam awitan lesi lesi selama 7
hari.
2. Kortikosteroid
Prednison yang digunakan bersama asiklovir dapat mengurangi nyeri akut.
Hal ini disebabkan penuruan derajat neuritis akibat infeksi virus dan
kemungkinan juga menurunkan serajat kerusakan pada saraf yang terlibat.
Akan tetapi pada penelitian lain, penambahan kortikosteroid hanya
memberikan sedikit manfaat dalam memperbaiki nyeri dan tidak
bermanfaat untuk mencegah NPH, walaupun memberikan perbaikan
kualitas hidup. Mengingat resiko komplikasi terapi kortikosteroid lebih
berat daripada keuntungannya, Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin FKUI/RSCM tidak menganjurkan pemberian kortikosteroid pada
herpes zoster.
3. Analgetik
Pasien dengan nyeri akut ringan menunjukkan respons baik terhadap AINS
(asetosal, piroksikam, ibuprofen, diklofenak), atau analgetik non opioid
(parasetamol, tramadol, asam mefenamat. Kadang-ladang diperlukan
opioid (kodein, morfin atau oksikodon) untuk pasien dengan nyeri kronik
hebat. Pernah dicoba pemakaian kombinasi parsetamol dengan kodein 3060 mg.
4. Antidepresan dan antikonvulsan
Penelitian-penelitian terakhir menunjukkan bahwa kombinasi terapi
asiklovir dengan antidepresan trisiklik atau gabapentin sejak awal
mengurangi prevalensi NPH.
7

Topikal9
1. Analgetik topikal
a. Kompres
Kompres terbuka dengan solusio Burowi dan solusio Calamin
dapat digunakan pada lesi akut untuk mengurangi nyeri dan
pruritus. Kompres dengan solusio Burowi (aluminium asetat 5%)
dilakukan 4-6 kali/hari selama 30-60 menit. Kompres dingin atau
cold pack juga sering digunakan.
b. Antiinflamasi non steroid (AINS)
Berbagai AINS topikal seperti bubuk aspirin dalam kloroform atau
etil eter, krim indometasin dan diklofenak banyak dipakai.
Balakrishnan S dkk. (2001), melaporkan asam asetil salisilat
topikal dalam pelembab lebih efektif dibandingkan aspirin oral
dalam mempebaiki nyeri akut. Aspirin dalam etil eter atau
kloroform dilaporkan aman dan bermanfaat menghilangkan nyeri
untuk beberapa jam. Krim indometasin sama efektifnya dengan
aspirin, dan aplikasinya lebih nyaman. Pemggunaannya pada area
luas dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal akibat absorpsi
per kutan. Penelitian lain melaporkan bahwa krim indometasin dan
diklofenak tidak lebih baik dari plasebo.
2. Anestesi lokal
Pemberian anestesi lokal pada berbagai lokasi sepanjang jaras saraf yang
terlibat dalam herpes zoster lebih banyak dilakukan untuk menghilangkan
nyeri. Pendekatan seperti infiltrasi lokal subkutan, blom saraf perifer,
ruang paravertebral atau epidural, dan blok simpatis untuk nyeri
berkepanjangan sering digunakan. Akan tetapi, dalam studi prospektif
dengan kontrol berskala besar, efikasi blok saraf terhadap pencegahan
NPH belum terbukti dan berpotensi menimbulkan risiko.
3. Kortikosteroid
Krim/losio yang mengandung kortikosteroid tidak digunakan pada lesi
akut herpes zoster dan juga tidak dapat mengurangi risiko terjadinya NPH.

Komplikasi
1. Komplikasi Kutaneus
a. Infeksi sekunder

dapat

menghambat

penyembuhan

dan

pembentukan jaringan parut (selulitis ,impetigo dll).


b. Gangren superfisialis : menunjukkan HZ yang berat, mengakibatkan
hambatan penyembuhan dan pembentukan jaringan parut.
2. Komplikasi Neurologis
a. Neuralgia paska herpes (NPH) : nyeri yang menetap di dermatom
yang terkena 3 bulan setelah erupsi HZ menghilang. Insidensi PHN
berkisar sekitar 10-40% dari kasus HZ.
NPH merupakan aspek HZ yang paling mengganggu pasien secara
fungsional. dan psikososial. Pasien dengan NPH akan mengalami nyeri
konstan (terbakar, nyeri, berdenyut), nyeri intermiten (tertusuk-tusuk),
dan nyeri yang dipicu stimulus seperti allodinia (nyeri yang dipicu
stimulus normal seperti sentuhan dll).
Risiko NPH meningkat pada usia>50 th (27x lipat) ; nyeri prodromal
lebih lama atau lebih hebat; erupsi kulit lebih hebat (luas dan
berlangsung lama) atau intensitas nyerinya lebih berat. Risiko lain :
Distribusi di daerah oftalmik, ansietas, depresi, kurangnya kepuasan
hidup, wanita, diabetes.
Walaupun mendapat terapi antivirus, NPH tetap terjadi pada 10-20%
pasien HZ, dan sering kali refrakter terhadap pengobatan, walau
pengobatan sudah optimal, 40 % tetap merasa nyeri.
b. Meningoensefalitis, arteritis granulomatosa, mielitis, motor neuropati
(defisit motorik), stroke dan bells palsy.
3. Komplikasi Mata
a. Keterlibatan saraf trigeminal cabang pertama menyebabkan HZ
Oftalmikus, terjadi pada 10-25% dari kasus HZ, yang dapat
menyebabkan hilangnya penglihatan, nyeri menetap lama, dan/atau
luka parut.
b. Keratitis (2/3 dari pasien HZO), konjungtivitis, uveitis, episkleritis,
skleritis, koroiditis, neuritis optika, retinitis, retraksi kelopak, ptosis,
dan glaukoma.
4. Komplikasi THT
9

Sindrom Ramsay Hunt sering disebut HZ Otikus merupakan komplikasi


pada THT yang jarang terjadi namun dapat serius. Sindrom ini terjadi
akibat reaktivasi VZV di ganglion genikulata saraf fasialis.
Tanda dan gejala sindrom Ramsay Hunt meliputi HZ di liang telinga luar
atau membrana timpani, disertai paresis fasialis yang nyeri, gangguan
lakrimasi, gangguan pengecap 2/3 bagian depan lidah, tinitus, vertigo, dan
tuli. Banyak pasien yang tidak pulih sempurna.
5. Viseral
a. Dipertimbangkan bila ditemukan nyeri abdomen dan distensi
abdomen.
b. Komplikasi visceral pada HZ jarang terjadi, komplikasi yang dapat
terjadi misalnya hepatitis, miokarditis, pericarditis, artitis.

KESIMPULAN
Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus variselazoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus
yang terjadi setelah infeksi primer. Berdasarkan lokasi lesi, herpes zoster dibagi
atas: herpes zoster oftalmikus, fasialis, brakialis, torakalis, lumbalis dan sakralis.
Manifestasi klinis herpes zoster dapat berupa kelompok-kelompok vesikel sampai
bula di atas daerah yang eritematosa. Lesi yang khas bersifat unilateral pada
dermatom yang sesuai dengan letak syaraf yang terinfeksi virus.
Diagnosa herpes zoster dapat ditegakkan dengan mudah melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan
laboratorium sederhana, yaitu tes Tzanck dengan menemukan sel datia berinti

10

banyak. Pada umumnya penyakit herpes zoster dapat sembuh sendiri (self limiting
disease), tetapi pada beberapa kasus seperti herpes zoster ophtalmicus dan
Ramsay Hunt Sindrom dapat timbul komplikasi sehingga butuh pengobatan yang
agresif. Semakin lanjut usia, semakin tinggi frekuensi timbulnya komplikasi.

11

1. Melton CD. Herpes Zoster. eMedicine World Medical Library:


http://www.emedicine.com/EMERG/topic823.htm [diakses pada tanggal
11 Oktober 2016]
2. Stawiski MA. Infeksi Kulit. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC, 1995; 1291.
3. Siregar RS. Penyakit Virus. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi
Ke-2. Jakarta: ECG, 2005 ; 84-7.
4. Hartadi, Sumaryo S. Infeksi Virus. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta:
Hipokrates, 2000; 92-4.
5. Achdannasich. Herpes Zoster Bilateral Asimetris-Pada Anak.
Perkembangan Penyakit Kulit dan Kelamin Indonesia Menjelang Abad 21.
Perdoski. Surabaya: Airlangga University Press, 1999 ; 212-4.
6. Indrarini, Soepardiman L. Penatalaksaan Infeksi Virus Varisela-Zoster
pada Bayi dan Anak. Media Dermato-Venereologica Indonesiana. Volume
27. Jakarta: Perdoski, 2000; 65s-71s.
7. Niode NJ, Suling PL. Insiden Herpes Zoster Pada Anak di Poliklinik Kulit
dan Kelamin RSUP Manado. Perkembangan Penyakit Kulit dan Kelamin
di Indonesia Menjelang Abad 21. Perdoski.
Surabaya: Airlangga
University Press, 1999 ; 215.
8. Stankus SJ, Dlugopolski M, Packer D. Management of Herpes Zoster and
Post Herpetic Neuralgia. eMedicine World Medical Library:
http://www.emedicine.com/info_herpes_zoster.htm [diakses pada tanggal
11 Oktober 2016].
9. Pusponegoro, H. D. P., 2016. Herpes Zoster. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, pp. 121 -124.
10. Naros WE. Tinjauan Retrospektif Penyakit Herpes Zoster Pada Penderita
Yang Dirawat Di Bagian Kulit Dan Kelamin RSUP DR. M. Djamil Padang
Periode 1993-1997. Skripsi. Padang: 1999; 5-9.
11. Martodihardjo S. Penanganan Herpes Zoster dan Herpes Progenitalis. Ilmu
Penyakit kulit dan Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press, 2001.
12. Pusponegoro, HDP. et al,. Buka Panduan Herpes Zoster. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014.

12

Anda mungkin juga menyukai