Anda di halaman 1dari 7

Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah
penyakit paru kronik yang bisa dicegah dan diobati. PPOK ditandai dengan adanya hambatan
aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta
adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2015).
Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi
saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi
pada setiap individu. PPOK sering mengenai individu pada usia pertengahan yang memiliki
riwayat merokok jangka panjang. Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi
PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi (PDPI, 2003).
Patofisiologi
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen untuk
keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme.
Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk
dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan
pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan
ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan
obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk
melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi
digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV1), dan rasio volume ekspirasi
paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (FEV1/FVC) (Sherwood, 2011).
Pada PPOK, hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama yang
diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran napas bagian proksimal, perifer,
parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan
perubahan struktural pada paru. Terjadinya penebalan pada saluran napas kecil dengan
peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran napas
mengakibatkan restriksi pembukaan jalan napas. Lumen saluran napas kecil berkurang akibat
penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit.
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan seimbang. Apabila
terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai
peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit
paru. Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan menyebabkan
terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel dan
inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan
menyebabkan dilepaskannya faktor kemotaktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrien B4,
tumuor necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen
species (ROS). 7 Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang

akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan
hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8,
selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapat
keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofag
dan neutrofil akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion superoksida
dengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akan
diubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero dengan
halida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl). Faktor risiko utama dari PPOK adalah
merokok. Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil
mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau
disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini
mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam
jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat
persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan
yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul
hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental
dan adanya peradangan (GOLD, 2015).
Diagnosis
Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK
Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis
PPOK sesuai derajat penyakit.
1. Anamnesis:
a. Faktor Risiko Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan
adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi tempat kerja.
Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan
apakah pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok. Penentuan
derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang
rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat
ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat ( >600) (GOLD, 2015)
b. Gejala PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan tanda dan
gejala. Diagnosis lain seperti asma, TB paru, bronkiektasis, keganasan dan penyakit paru kronik
lainnya dapat dipisahkan. Anamnesis lebih lanjut dapat menegakkan diagnosis (Jindal dan Gupta,
2004). Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai berikut (COPD
Health Center, 2010) : Batuk kronik Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan
dalam 2 tahun terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi

sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari. Berdahak kronik Hal ini
disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang kadang pasien menyatakan hanya
berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi
pada pagi hari ketika bangun tidur.
c. Sesak napas Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah
mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak
dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala
sesak Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas 0 Tidak ada sesak kecuali dengan
aktivitas berat 1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat 2 Berjalan
lebih lambat karena merasa sesak 3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit
4 Sesak bila mandi atau berpakaian.
d. Mengi Mengi atau wheezing adalah suara memanjang yang disebabkan oleh
penyempitan saluran pernapasan dengan aposisi dinding saluran pernapasan. Suara tersebut
dihasilkan oleh vibrasi dinding saluran pernapasan dengan jaringan sekitarnya. Karena secara
umum saluran pernapasan lebih sempit pada saat ekspirasi, maka mengi dapat terdengar lebih
jelas pada saat fase ekspirasi. Pada pasien PPOK juga terdapat mengi pada fase ekspirasi. Mengi
polifonik merupakan jenis mengi yang paling banyak terdapat pada pasien PPOK. Terdapat suara
jamak simultan dengan berbagai nada yang terjadi pada fase ekspirasi dan menunjukan penyakit
saluran pernafasan yang difus (Sylvia dan Lorraine, 2006).
e. Ronkhi Ronkhi merupakan bunyi diskontinu singkat yang meletup-letup yang
terdengar pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Ronkhi mencerminkan adanya letupan mendadak
jalan nafas kecil yang sebelumnya tertutup. Ronkhi juga dapat disebabkan oleh penutupan jalan
nafas regional dikarenakan penimbunan mucus pada saluran nafas. Pada pasien PPOK dapat pula
terjadi ronhki meskipun bukan gejala khas dari PPOK (Sylvia dan Lorraine, 2006)
f. Penurunan Aktivitas Penderita PPOK akan mengalami penurunan kapasitas fungsional
dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kemampuan fisik yang terbatas pada penderita PPOK lebih
dipengaruhi oleh fungsi otot skeletal atau perifer. Pada penderita PPOK ditemukan kelemahan
otot perifer disebabkan oleh hipoksia, hiperkapnia, inflamasi dan malnutrisi kronis (Sylvia dan
Lorraine, 2006) Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis
ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak
nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang
lebih tua (Sciurba, 2004).
2. Pemeriksaan Fisik: Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi hambatan
fungsi paru yang signifikan (Badgett et al, 2003). Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak
ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai
terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajat berat
seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks. Secara umum

pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut: Inspeksi bentuk dada: barrel
chest (dada seperti tong), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup ),
terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas, pelebaran sela iga, bila telah
terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan edema tungkai, penampilan
pink puffer atau blue bloater. Palpasi fremitus melemah, sela iga melebar, perkusi hipersonor.
Auskultasi fremitus melemah, suara nafas vesikuler melemah atau normal ekspirasi memanjang,
mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi), ronki pink puffer gambaran yang khas pada
emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed lips breathing. Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan
ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer. Pursed - lips breathing Adalah sikap
seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini
terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO yang terjadi sebagai
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO yang terjadi pada gagal napas kronik (GOLD,
2015).
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Spirometri Spirometri adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur
secara obyektif kapasitas/fungsi paru (ventilasi) pada pasien dengan indikasi medis. Alat yang
digunakan disebut spirometer (Miller et. al, 2005). Prinsip spirometri adalah mengukur
kecepatan perubahan volume udara di paru-paru selama pernafasan yang dipaksakan atau disebut
forced volume capacity (FVC). Prosedur yang paling umum digunakan adalah subyek menarik
nafas secara maksimal dan menghembuskannya secepat dan selengkap mungkin. Nilai FVC
dibandingkan terhadap nilai normal dan nilai prediksi berdasarkan usia, tinggi badan dan jenis
kelamin. Bentuk spirogram adalah hasil dari spirometri. Beberapa hal yang menyebabkan
spirogram tidak memenuhi syarat : Terburu-buru atau penarikan nafas yang salah, batuk,
terminasi lebih awal, tertutupnya glottis, ekspirasi yang bervariasi , kebocoran. Setiap
pengukuran sebaiknya dilakukan minimal 3 kali. Kriteria hasil spirogram yang reprodusibel
(setelah 3 kali ekspirasi) adalah dua nilai FVC dan FEV1 dari 3 ekspirasi yang dilakukan
menunjukkan variasi/perbedaan yang minimal (perbedaan kurang dari 5% atau 100 mL) (Miller
et. al, 2005). Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2015,
PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut:

Pemeriksaan Penunjang lain, Spirometri adalah tes utama untuk mendiagnosis PPOK,
namun beberapa tes tambahan berguna untuk menyingkirkan penyakit bersamaan. Radiografi
dada harus dilakukan untuk mencari bukti nodul paru, massa, atau perubahan fibrosis. Radiografi
berulang atau tahunan dan computed tomography untuk memonitor kanker paru-paru. Hitung
darah lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan anemia atau polisitemia. Hal ini wajar
untuk melakukan elektrokardiografi dan ekokardiografi pada pasien dengan tanda-tanda
corpulmonale untuk mengevaluasi tekanan sirkulasi paru. Pulse oksimetri saat istirahat, dengan
pengerahan tenaga, dan selama tidur harus dilakukan untuk mengevaluasi hipoksemia dan
kebutuhan oksigen tambahan (Stephens dan Yew, 2008).
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi nonfarmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan terapi tersebut adalah mengurangi gejala,
mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan mengatasi ekserbasasi dan komplikasi,
menaikkan keadaan fisik dan psikologis pasien, meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi
angka kematian (PDPI, 2003) Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan cara
menghentikan kebiasaan merokok, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan
pernapasan serta memperbaiki nutrisi. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan
jangkan panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.
Karena PPOK adalah penyakit kronik yang bersifat irreversible dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan penyakit. Pada
terapi farmakologis, obat-obatan yang paling sering digunakan dan merupakan pilihan utama
adalah bronchodilator. Penggunaan obat lain seperti kortikosteroid, antibiotik dan antiinflamasi
diberikan pada beberapa kondisi tertentu. Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi
dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit.
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka
panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat
berefek panjang (long acting) (PDPI, 2003).

Macam-macam bronkodilator : a. Golongan 2 agonis. Bentuk inhaler digunakan untuk


mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk
nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan
jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
Mekanisme kerja : melalui stimulasi reseptor 2 di trachea dan bronkus, yang menyebabkan
aktivasi dari adenilsiklase. Enzim ini memperkuat pengubahan 17 adenosintrifosat (ATP) yang
kaya energi menjadi cyclic-adenosin mononosphat (cAMP) dengan pembebasan energi yang
digunakan untuk proses-proses dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP di dalam sel menghasilkan
beberapa efek bronchodilatasi dan penghambatan pelepasan mediator oleh sel mast. b. Golongan
antikolinergik. Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kaliperhari ). Mekanisme kerja : Di dalam sel-sel
otot polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergis dan sistem kolinergis. Bila karena
sesuatu sebab reseptor b2 dari sistem adrenergis terhambat, maka sistem kolinergis akan
berkuasa dengan akibat bronchokonstriksi. Antikolinergik memblok reseptor muskarinik dari
saraf-saraf kolinergis di otot polos bronkus, hingga aktivitas saraf adrenergis menjadi dominan
dengan efek bronkodilatasi. c. Kombinasi antikolinergik dan 2 agonis. Kombinasi kedua
golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat
kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebihs ederhana dan
mempermudah penderita. d. Golongan xantin. Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan
pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasiakut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
Mekanisme kerja : Daya bronkorelaksasinya diperkirakan berdasarkan blokade reseptor
adenosin. Selain itu, teofilin seperti kromoglikat mencegah meningkatnya hiperektivitas.

Daftar pustaka
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK): Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Available from :
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensusppok/ppok.pdf
Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem. Jakarta : ECG
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2015. Global Strategy
for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
Available from : www.goldcopd.com
Jindal S.K, Gupta D., Anggarwal A.N. 2004. Guidelines for Management of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD) in India. Indian J Chest Dis Allied. Available from :
http://medind.nic.in/iae/t04/i2/iaet04i2p137.pdf

COPD Health Center. 2010. History and Physical Exam for COPD. Available from :
http://www.webmd.com
Price, A. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson, 2006, Patofisiologi : Konsep Klinis Prosesproses Penyakit, Edisi 6, (terjemahan), Peter Anugrah, EGC, Jakarta.
Sciurba F.C. 2004. Diagnosing and Assessing COPD in Primary Care: The Elephant in
The Room, 4(10A):750-755.
Badgett R.G., Tanaka D.J., Hunt D.K., Jelley M.J., Feinberg L.E., Steiner J.F., et al. 2003.
Can Moderate Chronic Obstructive Pulmonary Disease be Diagnosed by Historical and Physical
Findings Alone? 94:188-196. Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov
Miller MR, Hankinson JL, Brusasco V et al., 2005. Standarisasi spirometri Eur Respir J;
26:. 319-38
Mark B., Stephens and Kenneth S. Yew. 2008. Diagnosis of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease [Internet].78(1):87-92. Available from : http://www.aafp.org

Anda mungkin juga menyukai