Anda di halaman 1dari 21

NEURODEGENERATIF

PENDAHULUAN
Istilah degeneratif mungkin tidak memuaskan untuk digunakan dalam menggambarkan
penyakit-penyakit yang akan kita bahas dalam topik Penyakit Neurodegeneratif. Seperti yang
dikatakan oleh Brown & Ropper :
it is not a satisfactory term medically, since it implies an inexplicable decline from
previous level of normalcy to a lower level of function an ambigous conceptualization of
disease that satisfies neither theoretician nor scientist.

Kata degeneratif hanya menggambarkan suatu penurunan dari keadaan tertentu yang dianggap
normal. Konsep ini tentu sangat luas dan memiliki banyak makna sehingga tidak dapat secara tepat
mengarah ke suatu kelompok penyakit. Sebagai contoh, orang yang lumpuh setelah stroke, infeksi
otak, atau trauma mengalami penurunan dari fungsi sebelumnya yang normal. Meskipun demikian,
keadaan ini tidak dikategorikan dalam penyakit neurodegeneratif. Di sisi lain, penyakit metabolik
seperti diabetes melitus dan penyakit hipertensi sering dimasukkan dalam kategori degeneratif.
Jadi apa sebenarnya penyakit neurodegeneratif? Mungkin pertanyaan tersebut sulit untuk
dijawab namun penyakit-penyakit neurodegeneratif memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.

Mempengaruhi bagian tertentu atau sistem fungsional tertentu dari susunan saraf.

2.

Saat mulainya tidak jelas. Biasanya susunan saraf berfungsi normal dalam periode yang panjang.

3.

Sifatnya progresif hingga bertahun-tahun.

4.

Ada kecenderungan untuk bersifat familial.

5.

Penyakit tidak dapat dihambat, kecuali dengan beberapa pengecualian, gejala dapat
diringankan.
Dalam pembahasan ini, kita akan menitikberatkan pada penyakit amyotrophic lateral sclerosis

(ALS). Penyakit Alzheimer dan penyakit Parkinson idiopatik telah dibahas dalam topik neurogeriatri.

GAMBARAN PATOLOGIS & PATOGENESIS UMUM PENYAKIT NEURODEGENERATIF


Penyakit neurodegeneratif umumnya mengenai sistem saraf secara selektif, baik secara anatomis
maupun fungsional. Sebagai contoh, penyakit Parkinson idiopatik mengenai neuron-neuron
dopaminergik sistem nigrostriatal, ataksia progresif mengenai sel-sel Purkinje serebelum, dan
amyotrophic lateral sclerosis (ALS) mengenai motor neuron korteks serebri, batang otak, dan medula
spinalis. Penyakit Alzheimer meski kurang selektif, namun tetap lebih banyak mengenai neuronneuron korteks serebri.
Proses patologis penyakit neurodegeneratif tidak hanya mengenai badan sel tapi bisa juga
dendrit, akson, dan selubung mielin.
Di tingkat selular, terjadi gangguan komunikasi sinaps dan kerusakan sel-sel pendukung (sel
glia). Proses kematian sel umunya mengikuti jalur apoptosis. Karenanya, reaksi jaringan atau respons
selular minimal.
Penelitian-penelitian yang ada kemudian menemukan bahwa pada penyakit neurodegeneratif
terjadi penumpukan protein-protein yang sebenarnya normal seperti amiloid, tau, sinuklein, dan
ubikuitin. Penumpukan ini terjadi karena overproduksi, gangguan dalam jalur sintesis dan
degradasi, dan gangguan dalam pengeluarannya dari sel.
Jika dilalukan pencitraan neurologis maka gambarannya bervariasi dari tidak ada perubahan
hingga pengurangan volume.

KLASIFIKASI PENYAKIT NEURODEGENERATIF


Klasifikasi penyakit neurodegeneratif dapat dilakukan menurut pendekatan sindrom seperti
yang terdapat dalam buku ajar Adams and Victors Principles of Neurology. Hal ini dilakukan
karena pendekatan etiologi masih sulit dibuat. Di sisi lain, pendekatan klinisi dalam mengevaluasi
pasien akan lebih mudah dilakukan bila menggunakan pendekatan sindrom. Dari temuan-temuan
klinis maka kemungkinan etiologi dan proses patologinya bisa ditelusuri.
Penyakit neurodegeneratif dapat diklasifikasikan menjadi :

Sindrom demensia progresif dengan gejala neurologis lain tidak ada atau tidak jelas.

Sindrom demensia progresif yang disertai kelainan neurologis lain.

Sindrom kelainan postur dan gerakan.

Sindrom ataksia progresif.

Sindrom kelemahan otot yang berkembang lambat dan atrofi.

Gangguan sensorik dan sensorimotorik.

Sindrom kebutaan progresif atau oftalmoplegia dengan atau tanpa gangguan neurologis lainnya.

Sindrom demensia progresif yang disertai kelainan neurologis lain.

Sindrom yang ditandai tuli sensorineural.


Konsekuensi dari pendekatan sindrom adalah penyakit dengan etiologi dan patogenesis yang

mirip namun manifestasinya klinis berbeda jauh, digolongkan dalam golongan yang berbeda.
Sebagai contoh, demensia badan Lewy dan penyakit Parkinson idiopatik yang proses patologinya
sama-sama melibatkan penumpukan protein sinuklein dan adanya badan Lewy diklasifikasikan
berbeda. Alasannya adalah demensia badan Lewy memberi gambaran utama demensia dan penyakit
Parkinson idiopatik memberikan gambaran utama gangguan gerak dan sikap.
Dalam pembahasan kali ini kita akan lebih banyak membahas tentang amyotrophic lateral sclerosis
(ALS) dan varian-variannya. Penyakit Alzheimer dan penyakit Parkinson idiopatik dibahas dalam
topik neurogeriatri sedangkan pengetahuan dasar beberapa penyakit neurodegeneratif dengan ciri
penumpukan protein sinuklein dan protein tau diberikan dalam bentuk tugas mandiri di modul
neurogeriatri. Diharapkan para mahasiswa membaca secara mandiri mengenai beberapa penyakit
neurodegeneratif lain yang baik untuk diketahui dan evaluasinya diberikan dalam bentuk tugas di
akhir tulisan ini.

AMYOTROPHIC LATERAL SCLEROSIS

PENDAHULUAN & DEFINISI


Laporan awal tentang amyotrophic lateral sclerosis (ALS) dipublikasikan oleh Charcot tahun 1869.
Oleh karena itu ALS juga dikenal dengan nama penyakit Charcot. Di Amerika Serikat (AS), ALS juga
dikenal dengan nama penyakit Lou-Gehrig, mengambil nama seorang olahragawan ternama di AS
yang terkena penyakit ini.
ALS digolongkan ke dalam penyakit sistem motorik (motor neuron disease = MND). MND sendiri
adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan gangguan degeneratif di medula spinalis,
batang otak, dan korteks motorik otak yang ditandai secara klinis oleh kelumpuhan otot, atrofi, dan
tanda-tanda kelumpuhan upper motor neuron (UMN) dalam kombinasi yang berbeda-beda. Perbedaan
kombinasi ini memunculkan klasifikasi MND menurut ciri-ciri kelumpuhannya (Tabel I).

TABEL I.
KLASIFIKASI PENYAKIT SISTEM MOTORIK
Nama Penyakit
Amyotrophic lateral sclerosis
Progressive spinal muscular atrophy
Primary lateral sclerosis
Progressive bulbar palsy

Karakeristik
Ditemukan amiotrofi dan hiperrefleks
Amiotrofi
Spastik, hiperrefleks, tanda Babinski bisa (+)
Kelumpuhan secara jelas lebih banyak mengenai otototot yang diinervasi nukleus-nukleus motorik batang
otak bawah
Sumber : Brown & Ropper (2005).

ALS merupakan degeneratif sistem motorik yang memberikan gambaran kelumpuhan tipe upper
motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN). Amyotrophic mengacu pada atrofi otot-otot,
kelumpuhan, dan fasikulasi yang menjadi ciri utama kelumpuhan tipe LMN. Lateral sclerosis
mengacu pada kerasnya kolumna lateralis medula spinalis saat dipalpasi pada autopsi spesimen
penderita ALS. Ini disebabkan oleh gliosis yang terjadi akibat degenerasi traktus kortikospinalis.
Akibat lateral sclerosis ini timbullah tanda-tanda kelumpuhan tipe UMN berupa refleks tendon yang
meningkat, tanda Hoffman, klonus, dan atau tanda Babinski.
Terdapat beberapa varian dari ALS, seperti progressive spinal muscular atrophy (progressive SMA),
primary lateral sclerosis (PLS), dan progressive bulbar palsy (PBP). Progressive SMA adalah varian ALS
yang hanya memperlihatkan tanda-tanda kelumpuhan tipe LMN. Terdapat setidaknya lima tipe
progressive SMA, tipe 1 (penyakit Werdnig-Hoffman), tipe 2 (intermediat), tipe 3 (penyakit WohlfartKugelberg-Welander), tipe 4 (awitan dewasa), dan tipe distal (penyakit Charcot-Marie-Tooth). Tiga
tipe pertama dibedakan menurut usia saat awitan dan tipe terakhir menurut lokasi atrofi.
PLS adalah varian ALS yang hanya memperlihatkan tanda-tanda kelumpuhan UMN.

Progressive bulbar palsy (PBP) merupakan varian ALS terakhir. PBP merupakan varian ALS yang
kelumpuhannya lebih banyak mengenai otot-otot yang diinervasi oleh nukleus-nukleus batang otak
bawah (bulbar). Dengan demikian dari awal penyakit, kelumpuhan memang mengenai otot-otot
lidah, wajah, pengunyah, dan otot-otot menelan. Ini berbeda dengan ALS klasik yang pada awal
penyakit, kelumpuhannya terjadi dari ekstremitas bagian distal.

ETIOLOGI
ALS ada yang terjadi secara sporadik dan familial. ALS sporadik, etiologinya belum jelas namun
ALS familial berhubungan dengan mutasi gen yang mengkode enzim sitosol, Cu-Zn superoxyde
dismutase (SOD1). Kesalahan kode ini menyebabkan terbentuknya suatu protein mutan.
Penumpukan protein mutan akan meningkatkan aktifitas glutaminergik glutamat yang bersifat
eksitotoksik. Akibatnya terjadi kerusakan membran sel dan disfungsi mitokondria yang
menyebabkan kematian neuron. ALS familial persentasenya sekitar 10% dari seluruh kasus ALS.

EPIDEMIOLOGI
Insidens tahunan diperkirakan 0,4 1,76 per 100.000 penduduk. Rasio laki-laki banding
perempuan hampir 2:1. Awitan paling sering terjadi pada usia >45 tahun dan risiko terkena terus
meningkat setiap dekade.
Sebagian besar kasus terjadi dalam pola acak dan sporadik (ALS sporadik). Meskipun demikian,
di Semenanjung Kii di Jepang dan di Guam, angka kejadiannya lebih tinggi dibanding normal. Selain
itu, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, 10% ALS memiliki pola familial dan diwariskan secara
dominan autosomal.

PATOLOGI & PATOGENESIS


Pada ALS terjadi kehilangan sel-sel saraf di kornu anterior medula spinalis dan nukleus motorik
batang otak bagian bawah, yang disertai gliosis. Banyak neuron yang tersisa terlihat mengecil,
mengisut, dan terisi materi tertentu (badan inklusi). Badan inklusi yang ditemukan dapat berupa
badan Bunina (Bunina bodies), penumpukan ubikuitin, struktur menyerupai badan Lewy, badan
inklusi hialin konglomerat (conglomerate hyaline inclusions), dll. Badan Bunina ditemukan pada sekitar
70% spesimen saat autopsi dan sangat jarang ditemukan pada kasus lain sehingga nilai sensitifitas
dan spesifisitas temuan ini cukup tinggi.
Meski jalur molekular yang menyebabkan kematian motor neuron pada ALS belum diketahui
secara terperinci namun mekanisme utama mungkin mencakup efek toksik SOD1 mutan, termasuk
agregasi protein yang abnormal, disorganisasi protein neurofilamen intermediat (protein yang
berperan

dalam transpor aksonal serta menentukan bentuk neuron dan diameter akson), dan

peningkatan aktifitas jalur glutaminergik glutamat yang bersifat eksitotoksik. Hasil akhir jalur ini
adalah terjadinya apoptosis neuron.

Gambar 1.

Gambaran makroskopik medula spinalis individu normal & penderita ALS.


Serat-serat saraf penderita ALS terlihat mengecil (panah putih) ibanding individu
normal (panah hitam).
Sumber : www.disease-picture.com (cited November 2011)

MANIFESTASI KLINIS
ALS klasik tidak memberikan manifestasi sensorik. Kalaupun ada, sifatnya hanyalah parestesi
minimal. Gejala awal tersering adalah kelemahan di bagian distal salah satu ekstremitas. Pasien dapat
mengeluh sering terpeleset, sulit mengancing baju, sulit memutar kunci kontak, dll. Jari-jari terasa
kaku dan terdapat wasting ringan otot-otot jari.
Penderita dapat mengeluhkan rasa kram tungkai saat berbalik di tempat tidur atau di lengan
saat sedang menulis. Gejala ini cukup sering ditemukan pada penyakit lain yang lebih ringan.
Dalam waktu beberapa minggu atau beberapa bulan, tangan atau lengan sebelahnya juga bisa
terkena. Tidak lama kemudian timbullah trias gejala yang sering ditemukan pada ALS yaitu
kelemahan atrofik tangan dan lengan bawah, spastisitas ringan pada lengan dan tungkai, serta
hiperrefleks umum. Jika dipadukan dengan perjalanan penyakit yang progresif dan tidak adanya
gejala sensorik maka kemungkinan besar kita berhadapan dengan kasus ALS.
Pada pemeriksaan klinis, kita harus mencari tanda LMN dan UMN di empat segmen tubuh :
segmen kranial/batang otak, servikal, torakal, dan lumbosakral. Tanda-tanda LMN dan UMN
tersebut diperlihatkan dalam Tabel II.

Perjalanan klinis berlangsung progresif. Sekitar separuh penderita meninggal dalam tiga tahun
setelah awitan gejala dan 90% dalam enam tahun.

TABEL II.
TANDA LMN DAN UMN PADA EMPAT SEGMEN
Tanda

Tanda-tanda LMN
Kelemahan,
Atrofi,
Fasikulasi
Tanda-tanda UMN
Penyebaran refleksrefleks secara
patologis, klonus, dll

Segmen

Batang otak
Rahang,
wajah,
palatum, lidah, faring

Servikal
Leher,
lengan,
tangan, diafragma

Torakal
Punggung, abdomen

Lumbosakral
Punggung,
abdomen,
tungkai, kaki

Refleks rahang dan


muntah klonik,
refleks mencucu,
gambaran kelumpuhan
pseudobulbar,
refleks menguap (forced
yawning),
refleks tendon dalam
yang meningkat,
tonus otot spastik

Refleks Hoffman
Refleks tendon dalam
yang meningkat
Tonus spastik
Refleks yang normal
pada anggota gerak
yang atrofik

Refleks
abdomen
superfisial
menghilang
Refleks tendon dalam
meningkat
Tonus spastik

Klonus
Refleks
tendon
dalam meningkat
Refleks patologis
positif
Refleks
yang
normal
pada
anggota gerak
yang atrofik

Sumber : Modifikasi dari www.baur-institut.de (cited November 2011).

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat memastikan ALS. Pemeriksaan yang
ada biasanya ditujukan untuk mencari bukti lesi di sistem LMN atau UMN. Untuk mencari bukti lesi
di sistem LMN dapat digunakan pemeriksaan elektromiografi (EMG). Untuk mencari bukti lesi di
sistem UMN dapat digunakan pemeriksaan transcranial magnetic stimulation (TMS), motor evoked
potentials (MEP), magnetic resonance imaging (MRI) dengan teknik khusus, dan magnetic resonance
spectroscopy (MRS).
Pemeriksaan biopsi otot mungkin memperlihatkan tanda-tanda denervasi yang sesuai untuk
kelumpuhan tipe LMN pada ALS. Biopsi medula spinalis mungkin memperlihatkan gambaran
hilangnya neuron di kornu anterior medula spinalis atau nukleus-nukleus bagian bawah batang otak,
badan inklusi patologis, dan degenerasi traktus kortikospinalis di level yang sama.
Pemeriksaan

enzim-enzim

otot

(creatine

kinase

serum,

SGOT,

SGPT,

LDH)

dapat

memperlihatkan peningkatan. Pemeriksaan klorida juga bisa meningkat sebagai akibat dari
peningkatan bikarbonat. Hal ini ditemukan pada penderita dengan perburukan sistem pernafasan.
Kadar creatinin serum meningkat akibat hilangnya massa otot. Protein cairan serebrospinalis juga
meningkat namun jarang melebihi 100 mg/dl.
Pemeriksaan kapasitas vital paru, tes menelan, pemeriksaan neurobehaviour, pemeriksaan
aktifitas kehidupan sehari-hari, dan kekuatan otot diperlukan dalam mendeteksi perburukan
penyakit dan mencari indikasi perlunya obat/alat bantu/tindakan lain untuk membantu fungsi
hidup.

DIAGNOSIS
Diagnosis klinis ALS mungkin tepat pada >95 % kasus. Meskipun demikian, karena tidak ada
pemeriksaan penunjang yang spesifik, terkadang sulit membedakan ALS dari penyakit sistem
motorik lain, mieolopati akibat spondilosis servikalis, bahkan miastenia gravis.
Perlu dibedakan antara ALS dengan kasus ALS plus atau mirip ALS. Kasus ALS plus
merupakan sindrom yang salah satu komponennya adalah ALS. Contohnya sindrom ALS-parkinsondemensia. Dasar genetik penyakit ini berbeda dengan ALS.
Kasus mirip ALS juga cukup banyak. Salah satu yang penting karena kemiripannya adalah
neuropati motorik multipleks. Penyakit ini didominasi oleh tanda-tanda kelumpuhan LMN di
beberapa segmen dan blok konduksi motorik multipel pada pemeriksaan elektrofisiologi. Penyakit
ini juga dapat memberikan gambaran refleks tendon yang normal/meningkat pada ekstremitas yang
mengalami atrofi dan fasikulasi otot. Meskipun demikian neuropati motorik multipleks berespons
baik terhadap terapi dengan imunoglobulin intravena dan cyclophosphamide.
Sindrom pasca poliomielitis yang tertunda, endokrinopati, intoksikasi timbal, dan infeksi juga
dapat memberikan gambaran mirip ALS.
World Federation of Neurology (WFN) membuat suatu kriteria diagnosis ALS yaitu kriteria El
Escorial. Tabel III memperlihatkan kriteria El Escorial yang disempurnakan tahun 1998. Kriteria ini
prinsipnya dibuat dengan mencari tanda-tanda gangguan tipe UMN dan LMN di segmen
kranial/batang otak, servikal, torakal, dan lumbosakral.

TABEL III.
KRITERIA EL ESCORIAL
Kategori

ALS definit
ALS probabel
ALS probabel dengan data
laboratorium yang mendukung
ALS posibel secara klinis

Tersangka ALS secara klinis

Syarat

Tanda klinis gangguan UMN dan LMN pada minimal tiga segmen tubuh (kraniobular,
servikal, torakal, dan atau lumbosakral)
Tanda klinis gangguan UMN dan LMN pada dua segmen tubuh dengan gangguan UMN
berada di atas segmen gangguan LMN
Tanda klinis gangguan UMN dan LMN pada satu segmen tubuh, atau gangguan UMN
saja pada satu segmen dan gangguan LMN dibuktikan dengan EMG pada minimal dua
ekstremitas dan data pencitraan serta laboratorium lainnya yang ditujukan untuk
mengeksklusi kemungkinan lainnya
Tanda klinis gangguan UMN dan LMN ditemukan bersama-sama pada satu segmen
tubuh, atau gejala UMN saja di dua atau lebih segmen tubuh; atau gejala LMN ditemukan
pada daerah di bawah dengan gejala UMN DAN diagnosis ALS probabel dengan data
laboratorium yang mendukung tidak dapat dibuktikan secara klinis atau bersama-sama
dengan pemeriksaan elektrodiagnosis, pencitraan neurologis atau laboratorium.
Diagnosis lain harus disingkirkan agar diagnosis ALS posibel secara klinis dapat diterima.
Dihilangkan dari kriteria El Escorial
Sumber : Modifikasi dari www.baur-institut.de (cited November 2011).

PENATALAKSANAAN
Penanganan terbaik untuk ALS bersifat multidisiplin. Penanganan multidisiplin meningkatkan
kesintasan (survival) hingga 7,5 tahun. Penanganan multidisiplin mencakup deteksi gangguan
pernafasan dan menelan, medikamentosis, fisioterapi, pemakaian alat bantu, psikoterapi, dan nutrisi.
Deteksi gangguan pernafasan dan menelan dilakukan dengan evaluasi rutin fungsi pernafasan
dan menelan di awal pemeriksaan dan pada waktu-waktu tertentu selang perjalanan penyakit. Uji
pernafasan mencakup kapasitas vital serta kapasitas vital paksa dan volume ekspirasi paksa detik
pertama, dll. Uji menelan dilakukan menggunakan subskor Bulbar dari Norris ALS Score, skala
disartria Fenchay (diuji bersama kekuatan otot wajah, mengunyah, dan bicara), tes kecepatan bicara,
videofluoroskopi, dll.
Sebagian besar obat yang pernah dianggap mampu mengobati ALS seperti dextromethorphan,
gabapentin, lamotrigine, vitamin E, acetylcysteine, selegiline, brain-derived neurotrophic factor,
cyclophosphamide, dll terbukti tidak bermanfaat dalam uji-uji klinis. Hingga kini, obat yang disetujui
oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat untuk terapi ALS adalah riluzole. Obat ini
merupakan antagonis glutamat. Pemberian riluzole saja hanya meningkatkan kesintasan tiga bulan.
Antioksidan

seperti

selenium

dan

koenzim

Q,

faktor

neurotrofik

xaliproden,

obat

imunomodulator seperti gangliosida dan interferon, serta agen lainnya seperti bisa ular saat ini
sedang diteliti manfaatnya.
Untuk mengurangi spastisitas dapat digunakan relaksan otot seperti baclofen. Meskipun
demikian pemakaiannya mungkin berefek terhadap perburukan kekuatan otot lebih jauh.
Latihan rutin harus dilakukan dalam pengawasan karena dapat memperparah keadaan. Alat
bantu seperti tongkat, kursi roda, dan splint diperlukan jika telah ada kesulitan berjalan atau
kontraktur otot karena spastisitas lama.
Lingkungan sekitar perlu dimodifikasi agar memudahkan aktifitas pasien. Misalnya mendesain
kamar mandi berpegangan dan memiliki shower, alat makan berukuran besar agar mudah
digenggam, dll.
Pemilihan makanan dipilih yang mudah dibuat dan tidak sulit ditelan, terutama pada penderita
yang telah memberikan manifestasi gangguan menelan. Beberapa penelitian menunjukkan manfaat
hiperlipidemia sebagai komponen protektif atau memperlama usia pasien ALS. Hal ini menimbulkan
kontroversi pemberian obat penurun kolesterol pada penderita ALS yang mengalami dislipidemia.
Terapi psikologis dan dukungan mental berperan penting. Para penderita ALS menghadapi
suatu penyakit yang belum dapat disembuhkan. Mereka akan berhadapan dengan konsekuensi
kecacatan dalam perjalanan penyakitnya dan akhirnya mereka harus berhadapan dengan kematian.
Di awal penyakit banyak penderita yang menjadi cemas dan kemudian depresi.
Di tahap akhir, penderita mungkin membutuhkan perawatan institusional. Banyak yang
meninggal karena penyulit medis seperti pneumonia aspirasi.

RINGKASAN

Definisi : ALS merupakan degeneratif sistem motorik yang memberikan gambaran


kelumpuhan tipe upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN)
Varian :
o Progressive spinal muscular atrophy
: Amiotrofi
o Primary lateral sclerosis
: Spastik, hiperrefleks, tanda Babinski bisa
(+)
o Progressive bulbar palsy
: Kelumpuhan secara jelas lebih banyak
mengenai otot-otot yang diinervasi nukleus-nukleus motorik batang otak bawah
Etiologi :
o Sporadik : Tidak diketahui.
o Familial : Mutasi gen yang mengkode enzim sitosol Cu-Zn superoxyde dismutase
(SOD1) pewarisan dominan autosomal.
Epidemiologi :
o Insidens tahunan 0,4 1,76 per 100.000 penduduk.
o Rasio laki-laki banding perempuan 2:1.
o Awitan paling sering terjadi pada usia >45 tahun.
Patologi :
o Kehilangan sel-sel saraf di kornu anterior medula spinalis dan nukleus motorik
batang otak bagian bawah, yang disertai gliosis.
o Banyak neuron yang tersisa terlihat mengecil, mengisut, dan terisi materi tertentu
(badan inklusi) paling khas : badan Bunina.
Patogenesis : Mutasi gen SOD1 protein SOD1 mutan agregasi protein yang abnormal
memicu efek eksitotoksik glutamat apoptosis neuron.
Manifestasi klinis :
o Perjalanan progresif
o Tidak ada gejala sensorik
o kelemahan atrofik tangan dan lengan bawah, spastisitas ringan pada lengan dan
tungkai, serta hiperrefleks umum tanda LMN & UMN.
Pemeriksaan penunjang :
o Tujuannya untuk mencari bukti lesi LMN & UMN,
o Lesi LMN : EMG
o Lesi UMN : TMS, MEP,MRI, MRS.
o Biopsi otot : tanda-tanda denervasi.
o Biopsi medula spinalis : hilangnya neuron di kornu anterior medula spinalis atau
nukleus-nukleus bagian bawah batang otak, badan inklusi patologis, dan degenerasi
traktus kortikospinalis di level yang sama.
Diagnosis :
o Mencari tanda-tanda kelumpuhan LMN & UMN di minimal tiga dari empat segmen
tubuh (kranial/bulbar, servikal, torakal, lumbosakral).
o Menggunakan kriteria El Escorial dari WFN.
Penatalaksanaan :
o Multidisiplin : deteksi ggn pernafasan & menelan, medikamentosis, fisioterapi,
pemakaian alat bantu, psikoterapi, nutrisi.
o Obat : riluzole.

TUGAS
1.

2.

Jelaskan secara singkat tentang :


a.

Korea huntington.

b.

Ataksia spinoserebelaris.

c.

Penyakit Charcot-Marie-Tooth

Jelaskan tentang neurotransmiter glutamat: perannya dalam metabolisme, jenis-jenis


reseptornya, perannya sebagai neurotransmiter eksitatorik, dan peranannya sebagai agen
eksitotoksik!

3.

Apa yang dimaksud dengan fasikulasi otot? Bagaimana membedakannya dengan mioklonus
dan miokimia?

4.

Salah satu isu tentang nutrisi pada ALS adalah dislipidemia sebagai faktor protektif. Bacalah
penelitian berjudul Dyslipidemia is a protective factor in amyotrophic lateral sclerosis
dari L. Dupuis, dkk di jurnal Neurology (www.neurology.org) tahun 2008. Berikan pendapat
Anda tentang metode penelitian yang dilakukan, hasil penelitian, dan pembahasannya. Apa
kesimpulan Anda mengenai penelitian ini?

5.

Soal kasus :
Seorang laki-laki, 50 tahun, memperlihatkan gambaran korea progresif, gangguan emosi,
dan demensia. Dia kemudian dicurigai menderita korea Huntington. Meskipun demikian
riwayat keluarganya tidak jelas menunjukkan penyakit ini dalam keluarga.
Jika masalah kepastian diagnosis penting, pemeriksaan apa yang Anda anjurkan untuk
mendukung diagnosis korea Huntington?
Penderita tersebut memiliki dua orang anak laki-laki. Hal apa saja yang perlu Anda
sampaikan pada mereka berdua terkait penyakit yang diderita ayahnya?

MULTIPLE SCLEROSIS: SUATU PENYAKIT DEMIELINISASI


PENYAKIT DEMIELINISASI

Beberapa entitas penyakit dengan gambaran utama demielinisasi di susunan saraf digolongkan
ke dalam penyakit demielinisasi. Penyakit-penyakit ini memiliki ciri patologis kerusakan mielin.
Klasifikasi penyakit demielinisasi adalah sebagai berikut :

Sklerosis multipel/multiple sclerosis (MS).

Bentuk ensefalomielopati relaps kronik.

Sklerosis multipel akut.

Sklerosis serebral akut (penyakit Schilder & sklerosis konsenstrik dari Balo).

Neuromielitis optika (penyakit Devic).

Ensefalomielitis diseminata akut.

Pasca infeksi : setelah infeksi cacar air, cacar, campak, gondongan, rubela, influenza, dan
beberapa virus serta bakteri lain.

Setelah vaksinasi rabies, cacar, dan vaksin lain.

Ensefalomielitis hemoragik nekrotikans akut & subakut.

Bentuk ensefalopatik akut (leukoensefalitis hemoragik Hurst).

Mielopati nekrotik subakut.

Perlu diketahui bahwa ada beberapa penyakit lain dengan manifestasi demielinisasi tidak lagi
dimasukkan dalam klasifikasi ini karena etiologinya telah diketahui dan dengan demikian penyakit
tersebut diklasifikasikan menurut klasifikasi etiologi, tidak menurut klasifikasi patologis seperti cara
di atas. Selain itu, ada penyakit lain yang lebih cocok dimasukkan dalam kelompok dismielinisasi
bukan demielinisasi.

MULTIPLE SCLEROSIS
PENDAHULUAN & DEFINISI
Sklerosis multipel atau multiple sclerosis (MS) disebut juga disseminated sclerosis di Inggris atau
sclrose en plaques di Perancis. MS merupakan bagian dari penyakit demielinisasi. Sebagai bagian dari
penyakit demielinisasi, MS penting karena frekuensinya cukup tinggi, sifatnya yang kronik, dan
cenderung menyerang dewasa muda (usia produktif). Berdasarkan pada suatu survei terhadap
neurolog di AS, MS merupakan salah satu vonis yang paling ditakuti untuk dijatuhkan oleh para
neurolog pada pasiennya.
Laporan awal tentang MS mungkin dibuat oleh Cruveilhier pada sekitar tahun 1835. Sejak itu
banyak tulisan lain yang dibuat tentang penyakit ini. Beberapa yang penting antara lain, oleh DeJong
(1970) dan McDonald (1986).

ETIOLOGI
Etiologi MS belum jelas. Diperkirakan proses autoimun, infeksi virus, atau interaksi keduanya
berperan dalam patogenesis penyakit. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menyebutkan
bahwa faktor gen dan lingkungan mungkin berperan memicu penyakit. Kerusakan pada lokus DR di
kromosom 6 yang merupakan lokasi untuk gen respons imun ditemukan pada sebagian kasus MS.

EPIDEMIOLOGI
Secara geograsi, semakin jauh suatu daerah dari khatulistiwa, prevalensi MS-nya semakin besar.
MS ditemukan pada <1 per 100.000 penduduk di khatulistiwa, 6 14 per 100.000 penduduk di AS
bagian selatan dan Eropa Selatan, serta 30 80 per 100.000 penduduk di Kanada, AS bagian utara,
dan Eropa Utara.
Lima belas persen penderita MS memiliki keluarga sedarah yang juga terkena MS. Persentase
individu kembar monozigotik terkena MS adalah 34% dan dizigotik hanya 4%.
Perempuan sekitar 2 3 kali lebih banyak terkena MS dibanding laki-laki. Sekitar 2/3 kasus
dimilai pada usia 20 30 tahun.

PATOLOGI & PATOGENESIS


Gambaran patologi MS adalah lesi-lesi berbatas tegas di substansia alba yang disebut plak.
Lokasi plak yang khas adalah di daerah periventrikular, nervus optikus, kiasma optikum, dan
medula spinalis. Plak-plak ini berukuran <1 milimeter hingga beberapa sentimeter. Meski terdapat
destruksi mielin, struktur lain di susunan saraf pusat relatif terjaga kecuali di tahap akhir penyakit.
Salah satu teori patogenesis MS yang banyak diterima mengatakan bahwa infeksi virus awal di
masa kanak-kanak menyebabkan sensitisasi limfosit T. Limfosit T akan mengingat antigen virus
agar dapat mengenal dan membunuh virus tersebut jika terjadi reinfeksi. Di sisi lain, sensitisasi

limfosit T menimbulkan suatu fenomena yang disebut mimikri molekular. Mimikri molekular adalah
kemiripan struktur molekul antigen dengan molekul protein normal dalam tubuh, seperti protein
mielin. Di saat dewasa, saat terjadi reinfeksi, maka limfosit T kemudian teraktifasi dan memerangi
virus tersebut. Sayangnya, aktivasi limfosit T juga menyebabkan sel ini menyerang protein mielin.
Limfosit T akan mengaktifkan imunitas selular dan humoral. Imunitas selular diaktifkan dengan
memicu proliferasi limfosit T dan aktifasi makrofag. Limfosit T dan makrofag secara langsung
merusak mielin susunan saraf pusat.
Mekanisme imunitas humoral diawali dengan aktifasi limfosit T penolong. Limfosit T penolong
akan mengaktifasi limfosit B serta mensekresi sitokin-sitokin proinflamasi. Aktifasi limfosit B akan
menyebabkan diproduksi imunoglobulin. Imunoglobulin, makrofag, dan sitokin-sitokin proinflamasi
akan merusak mielin susunan saraf pusat. Rusaknya mielin ini yang disebut demielinisasi.
Selain merusak mielin susunan saraf pusat, respons imunitas selular dan humoral juga akan
merusak sawar darah otak. Kebocoran sawar darah otak menyebabkan zat-zat intravaskular yang
bersifat neurotoksik akan masuk ke susunan saraf pusat dan memperparah kerusakan.
Demielinisasi dan kerusakan sawar darah otak selanjutnya akan memberikan manifestasi defisit
neurologis pada MS.
Setelah terjadi demielinisasi, umumnya mielin dapat terbentuk kembali melalui proses
remielinisasi. Adanya remielinisasi memberi manifestasi klinis perbaikan gejala MS. Sayang,
remielinisasi ini tidak sempurna dan hasilnya tipis.

MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan Tanda Awal
Sejumlah penderita memiliki riwayat capek, kurang berenergi, penurunan berat badan, serta
nyeri otot dan sendi beberapa minggu atau bulan sebelum awitan.
Defisit neurologis yang berkembang penuh dalam hitungan menit dialami sekitar 20%
penderita, dalam hitungan jam pada sekitar 20%, dalam sehari atau beberapa hari pada sekitar 30%,
beberapa minggu hingga bulan pada sekitar 20%, dan dalam beberapa bulan hingga tahun pada 10%
penderita. Jadi pandangan bahwa MS selalu berlangsung akut seperti stroke tidak sepenuhnya benar.
Pola intermiten biasanya dialami penderita berusia <40 tahun. Proses peradangan pada MS tidak
mempengaruhi sistem organ lain selain susunan saraf pusat.
Kelemahan atau rasa baal di satu atau beberapa anggota gerak merupakan gejala awal yang
dikeluhkan separuh penderita. Gejala rasa geli di ekstremitas dan sensasi seperti diikat di pinggang
atau anggota gerak merupakan tanda keterlibatan kolumna posterior medula spinalis.
Gejala biasanya berlangsung selama beberapa jam hingga beberapa hari. Umumya gejala bersifat
ringan sehingga penderita sering mengabaikannya. Lebih jarang, gejala langsung memberat sehingga
penderita langsung mencari pertolongan medis.

Pada pemeriksaan dapat ditemukan refleks tendon dalam yang normal hingga meningkat,
hilangnya refleks superfisial abdomen, dan terganggunya sensibilitas dalam berbagai derajat.
Seringkali,

meski penderita mengeluhkan gejala pada satu tungkai, pemeriksaan justru

memperlihatkan tanda patologis di kedua tungkai.


Pada fleksi leher bisa ditemukan sensasi rasa seperti tersengat listrik yang menjalar sepanjang
bahu dan punggung dan terkadang sampai paha depan. Fenomena ini disebut tanda Lhermitte.
Tanda Lhermitte terjadi karena peningkatan sensitifitas akson yang mengalami demielinisasi
terhadap regangan atau tekanan medula spinalis saat leher difleksikan.
Sebagai tambahan, terdapat beberapa temuan yang juga bisa menjadi manifestasi awal MS,
yaitu: 1) neuritis optik; 2) mielitis transversa; 3) ataksia serebelar; 4) berbagai sindrom batang otak
(vertigo, nyeri atau rasa baal di wajah, disartria, diplopia). Meskipun demikian, perlu diingat bahwa
temuan-temuan tersebut lebih sering ditemukan di tahap lanjut. Jadi, jika ditemukan di tahap awal,
maka kemungkinan diagnosis lain harus lebih dulu dipikirkan.

Gejala dan Tanda Yang Ditemukan Pada Tahap Lanjut


Pada tahap lanjut, beberapa sindrom klinis dapat ditemukan. Sebagian besar penderita
memperlihatkan manifestasi klinis tipe campuran atau tersebar yang melibatkan nervus optikus,
batang otak, serebelum, dan medula spinalis (terutama kolumna posterior dan traktus
kortikospinalis). Sebagian kecil pasien akan memperlihatkan manifestasi klinis yang lebih terbatas
seperti hanya melibatkan medula spinalis, serebelum, atau pontobulboserebelar.
Gangguan neurobehaviour, kognitif dan non kognitif dapat pula ditemukan pada tahap lanjut
penyakit. Ditemukan penurunan atensi, penurunan kecepatan berpikir, kecepatan bergerak,
perlambatan fungsi eksekutif, dan gangguan memori. Kondisi ini sering disebut demensia
subkortikal. Timbulnya depresi, mudah terganggu, dan mudah marah lebih banyak terjadi sebagai
reaksi penderita atas sakit yang dialaminya.
Gejala gangguan berkemih, rasa lelah, nyeri tic doloreux, dan timbulnya bangkitan (seizure) jarang
dilaporkan.
Perjalanan Klinis dan Prognosis
Manifestasi klinis yang bersifat intermiten (penyakit berkembang dengan serangkaian serangan
yang jarak antar serangannya makin lama makin pendek) mungkin merupakan karakter MS paling
penting. Penderita dapat mengalami defisit neurologis untuk beberapa waktu yang kemudian
membaik dan berlanjut dengan serangkaian eksaserbasi.
Serangan bisa cukup parah hingga menyebabkan kebutaan, kelumpuhan pseudobulbar, atau
tetraplegia. Rata-rata relaps adalah 0,3 0,4 serangan per tahun. Interval antara serangan pertama
dengan eksaserbasi sangat bervariasi, yaitu 1 hingga 30 tahun. Derajat kecacatan berat akan dialami
lebih awal oleh penderita dengan jumlah serangan yang lebih banyak, interval antara serangan

pertama dan eksaserbasi pertama yang lebih pendek, dan waktu untuk mencapai tingkat kecacatan
sedang yang lebih cepat.
Kehamilan tampaknya berhubungan dengan perbaikan klinis namun risiko eksaserbasi
meningkat dalam beberapa bulan setelah partus.
Durasi penyakit sangat bervariasi. Sejumlah kecil pasien meninggal dalam beberapa bulan atau
tahun setelah awitan. Walaupun demikian rerata durasi adalah 30 tahun.
Penyakit Devic dan Beberapa Varian Multiple Sclerosis
Manifestasi klinis MS yang tidak khas ditemukan pada sebagian kecil kasus. Bentuk itu antara
lain adalah MS akut, MS kronik progresif, MS dengan neuropati perifer, dll.
MS akut disebut juga tipe Marburg. Bentuk ini perburukannya sangat cepat dengan kombinasi
gejala otak, batang otak, dan medula spinalis. Sering penderita jatuh ke dalam koma dan tidak
pernah pulih hingga meninggal.
Pada MS kronik progresif, defisit neurologis tidak mengalami perbaikan malah cenderung
memburuk lalu muncul defisit lain juga dengan pola yang makin memburuk.
Adanya MS yang disertai neuropati perifer sering ditemukan dari waktu ke waktu. Bentuk
neuropati perifernya dapat polineuropati atau mononeuropati multipleks. Hal ini dapat saja
merupakan suatu kebetulan, karena proses demielinisasi yang menyerang susunan saraf pusat dan
perifer, atau karena timbulnya defisiensi nutrisi pada MS tahap lanjut yang menyebabkan neuropati
nutrisional.
Penyakit Devic, ensefalomielitis diseminata akut, serta ensefalomielitis hemoragik nekrotikans
akut & subakut merupakan tipe penyakit demielinisasi yang sekarang dipisahkan dari MS. Penyakit
Devic memberikan gejala keterlibatan nervus optikus dan medula spinalis secara bersamaan atau
berturutan. Bentuknya cukup parah hingga menyebabkan kebutaan dan kelumpuhan. Biasanya
terjadi kebutaan akut/subakut satu atau kedua mata yang didahului atau diikuti (dalam waktu
beberapa hari atau bulan) oleh mielitis transversa atau mielitis asendens. Penyakit ini dibedakan
dengan MS karena memang memiliki beberapa perbedaan yang konsisten. Beberapa di antaranya
adalah 1) tidak munculnya lesi demielinasi di batang otak, serebelum, atau serebrum bahkan hingga
bertahun-tahun; 2) MRI substansia alba otak yang normal hingga bertahun-tahun; dan 3) tidak
ditemukannya pita oligoklonal pada cairan serebrospinalis hampir semua penderitanya.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
MRI telah menjadi pemeriksaan penunjang yang sangat membantu dalam diagnosis MS.
Beberapa gambaran MRI khas untuk lesi MS kronik. Secara umum, plak MS kronik terlihat
hiperintens (putih) pada sekuens T2 weighted image (T2WI) dan bahkan lebih jelas lagi perbedaannya
pada sekuens fluid attenuated inverse recovery (FLAIR). Lesi yang telah mengalami kavitasi akan
terlihat hipointens pada sekuens T1 weighted image (T1WI). Selanjutnya, lesi hiperintens MS

umumnya terlihat multipel, asimetris, berbatas tegas, dan berlokasi di sekitar ventrikel
(periventrikular).
Lesi-lesi hiperintens yang diagnostik untuk MS disebut jari-jari Dawson (Dawsons fingers)
(Gambar 1). Lesi-lesi ini berbentuk oval atau linear yang tegak lurus dengan permukaan ventrikel.
Saat dilihat dalam potongan sagital, lesi-lesi ini terlihat keluar dari korpus kalosum dalam pola
menjari. Lesi-lesi ini bisa meluas hingga sentrum semiovale dan lekukan-lekukan substansia alba
(serabut U).

Gambar 1.

Dawsons fingers (panah) pada MRI sekuens FLAIR potongan sagital tanpa
kontras.
Sumber : www.asktheneurologist.com (cited November 2011)

Ditemukannya lesi yang khas untuk MS sudah menjadi bukti yang kuat untuk diagnosis MS.
Ditemukannya lesi tersebut di korpus kalosum juga menjadi petunjuk berharga karena struktur ini
biasanya tidak menunjukkan kelainan pada banyak gangguan lain.
Pemeriksaan potensial cetusan (evoked potentials) dapat membantu menemukan lesi fungsional
pada MS yang mungkin tidak ditemukan secara klinis atau dengan pencitraan. Pemeriksaan
potensial cetusan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan potensial cetusan visual, auditorik, dan
somatosensorik. Pemeriksaan potensial cetusan lain belum menjadi standar.
Analisis cairan serebrospinalis (CSS) dapat memperlihatkan peningkatan jumlah sel
mononuklear yang ringan sampai sedang saat awitan akut atau eksaserbasi. Myelin basic protein
(MBP) CSS juga bisa meningkat saat eksaserbasi.
Pita oligoklonal CSS ditemukan pada sekitar 90% kasus MS. Meskipun demikian, kelainan lain
juga bisa memperlihatkan pita oligoklonal di CSS (lihat perbedaan gambaran klinis). Sebaliknya,
seperti yang telah disebutkan, pada penyakit Devic pita oligoklonal jarang sekali ditemukan di CSSS
penderitanya.

DIAGNOSIS
Diagnosis MS dibuat dengan mencari adanya gambaran klinis defisit neurologis sentral di
beberapa lokasi dan dalam waktu yang berbeda (perbedaan dalam hal lokasi dan waktu =
dissemination in space and time). Jika tidak dapat ditemukan secara klinis maka dilakukan pemeriksaan
penunjang (MRI dan potensial cetusan) untuk mencari bukti perbedaan dalam hal lokasi dan waktu.
Ditemukannya pita oligoklonal CSS juga berperan dalam mendukung diagnosis.
Berdasarkan prinsip di atas, McDonald mengajukan kriteria diagnosis MS. Dalam kriteria
tersebut tercakup juga persyaratan yang dibutuhkan untuk membuat diagnosis (Tabel III). Kriteria ini
cukup banyak dipakai sebagai dasar memulai terapi MS.

TABEL III.
KRITERIA MCDONALD UNTUK MULTIPLE SCLEROSIS
Serangan

Lesi Klinis

Dua atau lebih


Dua atau lebih

Dua atau lebih


Satu

Satu

Dua

Satu

Satu

Tidak ada

Komponen Yang Dibutuhkan Mendiagnosis MS

Tidak ada
Perbedaan lokasi yang ditunjukkan oleh MRI (atau CSS positif* atau
tunggu serangan berikut)
Perbedaan waktu yang ditunjukkan oleh MRI (atau serangan klinis
ke dua)
Perbedaan dalam waktu dan tempat yang ditunjukkan oleh MRI
(atau CSS positif dan serangan ke dua)
Ditemukan dua dari tiga temuan berikut :
MRI otak yang sesuai**
MRI medula spinalis yang sesuai**
CSS positif

* ) CSS positif : ditemukan pita oligoklonal yang mendukung diagnosis MS; ** ) MRI yang sesuai : gambaran plak pada MRI yang sesuai
untuk MS.
Sumber : modifikasi dari www.radiologyassistant.nl (2007).

PENATALAKSANAAN
Banyak agen yang telah diuji untuk mengobati MS. Beberapa yang efektif menurut uji klinis
adalah kortikosteroid, cyclophosphamide, kopolimer, interferon , mitoxantron, dan natalizumab.
Pemilihan obat didasarkan pada perjalanan klinis penyakit, defisit utama yang timbul, pertimbangan
efek samping, dan ketersediaan obat.
Kortikosteroid dosis tinggi efektif mengatasi serangan akut namun memberi efek samping yang
cukup serius jika digunakan dalam waktu lama. Interferon digunakan dalam terapi MS jangka
panjang, terutama untuk bentuk relaps-remitting. Pilihan lain adalah natalizumab yang cara
pemberiannya lebih nyaman dengan efek samping yang lebih sedikit (hingga saat ini).

RINGKASAN

Etiologi :
o Belum jelas autoimun, infeksi virus, atau interaksi keduanya?
o Faktor gen dan lingkungan mungkin berperan memicu penyakit.
o Kerusakan lokus DR kromosom 6 gen untuk respons imun.
Epidemiologi :
o Geografis : semakin jauh dari khatulistiwa prevalensi makin meningkat.
o Familial : 15% MS punya keluarga sedarah yang terkena MS.
o Jenis kelamin : sekitar 2 3 kali lebih banyak terkena MS dibanding laki-laki.
o Usia : sekitar 2/3 kasus dimilai pada usia 20 30 tahun.
Patologi :
o Lesi-lesi berbatas tegas di substansia alba yang disebut plak.
o Lokasi plak yang khas adalah di daerah periventrikular, nervus optikus, kiasma
optikum, dan medula spinalis.
o Struktur lain di susunan saraf pusat relatif terjaga.
Patogenesis : Belum jelas teori mimikri molekular yang melibatkan kesalahan mengenali
protein mielin oleh limfosit T.
Manifestasi klinis :
o Kombinasi tanda-tanda UMN.
o Paling banyak ditemukan : pola relaps & remitting.
o Terdapat dissemination in time & space : tanda-tanda UMN ditemukan dalam waktu
dan lokasi yang berbeda.
o Tahap lanjut : campuran/tersebar nervus optikus, batang otak, serebelum, dan
medula spinalis (terutama kolumna posterior dan traktus kortikospinalis).
o Mungkin ditemukan tanda Lhermitte.
Pemeriksaan penunjang :
o MRI :
Plak MS kronik terlihat hiperintens (putih) pada T2WI, lebih jelas lagi pada
FLAIR.
Lesi yang telah mengalami kavitasi akan terlihat hipointens pada T1WI.
Lesi hiperintens MS umumnya terlihat multipel, asimetris, berbatas tegas,
dan berlokasi di sekitar ventrikel (periventrikular).
Lesi-lesi hiperintens yang diagnostik jari-jari Dawson (Dawsons fingers) :
bentuk oval atau linear yang tegak lurus dengan permukaan ventrikel. Saat
dilihat dalam potongan sagital, lesi-lesi ini terlihat keluar dari korpus
kalosum dalam pola menjari. Lesi-lesi ini bisa meluas hingga sentrum
semiovale dan lekukan-lekukan substansia alba (serabut U).
o Potensial cetusan : potensial cetusan visual, auditorik, dan somatosensorik.
o Analisis CSS : pita oligoklonal, myelin basic protein, pleiositosis sel mononuklear
ringan sedang saat awitan akut atau eksaserbasi.
Diagnosis :
o Dibuat dengan mencari adanya gambaran klinis defisit neurologis sentral di
beberapa lokasi dan dalam waktu yang berbeda.
o Kriteria McDonald.
Terapi :
o Perawatan umum.
o Medikamentosis : kortikosteroid, cyclophosphamide, kopolimer, interferon ,
mitoxantron, dan natalizumab.
o Kortikosteroid dosis tinggi efektif mengatasi serangan akut.
o Interferon digunakan dalam terapi MS jangka panjang.
o Natalizumab yang cara pemberiannya lebih nyaman dengan efek samping yang lebih
sedikit (hingga saat ini).

TUGAS
1.

Bacalah buku ajar Adams & Victor Principles of Neurology edisi ke-8 tahun 2005, tentang
Multiple Sclerosis and Allied Demyelinative Diseases (hal. 771). Carilah kriteria patologis
untuk penyakit demielinisasi!

2.

Jelaskan tentang perbedaan secara patologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, dan
respons terhadap terapi dari MS dan penyakit Devic!

3.

Jelaskan tentang ensefalomielitis diseminata akut (acute disseminated encephalomyelitis =


ADEM) : hubungannya dengan infeksi virus, manifestasi klinis, dan terapinya!

4.

Apa saja aspek penatalaksanaan non medikamentosis yang perlu diperhatikan pada MS?
Apa tujuan utama penatalaksanaan tersebut menurut Anda?

5.

Soal kasus :
Perempuan, 21 tahun, datang dengan keluhan utama kelemahan tungkai kanan. Kelemahan
tungkai kanan dirasakan pertama kali satu tahun lalu. Saat itu penderita mengeluh sering
keseleo tungkai kanan karena kaki kananya menjadi lemah. Tidak ada riwayat trauma saat
itu. Kelemahan ini berangsur-angsur membaik dalam dua minggu dan penderita dapat
kembali berjalan. Sejak itu, penderita pernah sekali mengalami kelemahan tungkai kanan
yang ringan sekitar tiga bulan dengan pola yang sama. Satu minggu lalu, setelah bekerja di
lapangan seharian, penderita beristirahat tidur. Pagi harinya, penderita terbangun dan
merasa tungkai kanannya baal. Rasa baal diikuti oleh kelemahan kaki kanan yang kemudian
diikuti kelemahan tungkai kanan. Kelemahan ini dirasakan makin memberat. Dua hari
berikutnya, tungkai kiri penderita juga terasa baal dan sulit digerakkan. Pada pemeriksaan
didapatkan paraparesis dengan tonus otot sedikit meningkat, refleks patologis Babinski (+)
di kedua kaki. Terdapat hipestesi mulai dari lipat paha ke bawah untuk modalitas raba halus
dan nyeri. Tes Lhermitte (-). Pemeriksaan neurologis lain dalam batas normal.
a.

Jika Anda mencurigai ini sebagai MS, pemeriksaan apa yang Anda sarankan?

b.

Apa yang Anda harapkan dari pemeriksaan tersebut untuk memenuhi kriteria
McDonald?

KEPUSTAKAAN
Dapat diminta pada penulis.

Anda mungkin juga menyukai