Optimalisasi Terapi Antihistamin
Optimalisasi Terapi Antihistamin
vaskular, pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas.
Tak ayal secara klinis, antihistamin H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif
berbagai gejala rhinitis alergi reaksi fase awal, seperti rhinorrhea, pruritus, dan
sneezing. Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal congestion yang terkait
dengan reaksi fase akhir.
Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil
farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga
bisa menurunkan lipofilisitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di
samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan antilergi tambahan, yakni sebagai
antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini mempengaruhi pelepasan mediator
dari sel mast dengan menghambat influks ion kalsium melintasi sel mast/membaran
basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion kalsium intraseluler dalam sel. Obat
ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja pada leukotriene dan prostaglandin, atau
dengan menghasilkan efek anti-platelet activating factor.
Selain berefek sebagai anti alergi, antihistamin H1 diduga juga memiliki efek
anti inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in vitro desloratadine, suatu antihistamin H1
generasi ketiga. Studi menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada
mediator inflamatori, seperti menghambat pelepasan intracellular adhesion molecule-1
(ICAM-1) oleh sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan
imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa
desloratadine secara signifikan bisa memperbaiki nasal congestion pada beberapa
double-blind, placebo-controlled studies. Efek ini tak ditemukan pada generasi
sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu dilakukan studi lebih lanjut
untuk menguak misteri dari efek tambahan ini.
Nasib Antihistamin H1 dalam Tubuh
Pemberian antihistamin H1 secara oral bisa diabsorpsi dengan baik dan
mencapai konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2 jam. Ikatan dengan protein
plasma berkisar antara 78-99%. Sebagian besar antihistamin H1 dimetabolisme
melalui hepatic microsomal mixed-function oxygenase system. Konsentrasi plasma
yang relatif rendah setelah pemberian dosis tunggal menunjukkan kemungkinan
terjadi efek lintas pertama oleh hati.
Waktu paruh antihistamin H1 sangat bervariasi. Klorfeniramin memiliki waktu
paruh cukup panjang sekitar 24 jam, sedang akrivastin hanya 2 jam. Waktu paruh
metabolit aktif juga sangat berbeda jauh dengan obat induknya, seperti astemizole 1,1
hari sementara metabolit aktifnya, N-desmethylastemizole, memiliki waktu paruh 9,5
hari. Hal inilah yang mungkin menjelaskan kenapa efek antihistamin H1 rata-rata
masih eksis meski kadarnya dalam darah sudah tidak terdeteksi lagi. Waktu paruh
beberapa antihistamin H1 menjadi lebih pendek pada anak dan jadi lebih panjang
pada orang tua, pasien disfungsi hati, danm pasien yang menerima ketokonazol,
eritromisin, atau penghambat microsomal oxygenase lainnya.
Indikasi
Antihistamin generasi pertama di-approve untuk mengatasi hipersensitifitas, reaksi
tipe I yang mencakup rhinitis alergi musiman atau tahunan, rhinitis vasomotor, alergi
konjunktivitas, dan urtikaria. Agen ini juga bisa digunakan sebagai terapi anafilaksis
adjuvan. Difenhidramin, hidroksizin, dan prometazin memiliki indikasi lain disamping
untuk reaksi alergi. Difenhidramin digunakan sebagai antitusif, sleep aid, antiparkinsonism atau motion sickness. Hidroksizin bisa digunakan sebagai pre-medikasi
atau sesudah anestesi umum, analgesik adjuvan pada pre-operasi atau prepartum,
dan sebagai anti-emetik. Prometazin digunakan untuk motion sickness, pre- dan
postoperative atau obstetric sedation.
Batas Usia
Indikasi
Kategori
Kehamilan
Azatadine
> 12 tahun
PAR, SAR, CU
Azelastine
> 3 tahun
Brompheniramine
> 6 tahun
AR, HR Type 1
Chlorpheniramine
> 2 tahun
AR
Clemastine
> 6 tahun
PAR, SAR, CU
Cyproheptadine
> 2 tahun
PAR, SAR, CU
Dexchlorpheniramine
> 2 tahun
PAR, SAR, CU
Pruritus, sedasi,
analgesia, anti-emetik
HR Type 1, Sedation,
Motion sickness,
Analgesia
> 1 bulan
PAR, SAR, CU
Hydroxyzine
Promethazine
Tripelennamine
Batas Usia
Indikasi
Kategori Kehamilan
> 2 tahun
> 6 tahun
SAR, CIU
> 2 tahun
SAR, CIU
> 12 tahun
Kontraindikasi
Antihistamin generasi pertama: hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait
secara struktural, bayi baru lahir atau premature, ibu menyusui, narrow-angle
glaucoma, stenosing peptic ulcer, hipertropi prostat simptomatik, bladder neck
obstruction, penyumbatan pyloroduodenal, gejala saluran napas atas (termasuk
asma), pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI), dan pasien
tua.
Antihistamin generasi kedua dan ketiga : hipersensitif terhadap antihistamin khusus
atau terkait secara struktural.
Efek Samping
Antihistamin Generasi Pertama:
1. Alergi fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2. Kardiovaskular hipotensi postural, palpitasi, refleks takikardia, trombosis vena
pada sisi injeksi (IV prometazin)
3. Sistem Saraf Pusat - drowsiness, sedasi, pusing, gangguan koordinasi, fatigue,
bingung, reaksi extrapiramidal bisa saja terjadi pada dosis tinggi
4. Gastrointestinal - epigastric distress, anoreksi, rasa pahit (nasal spray)
5. Genitourinari urinary frequency, dysuria, urinary retention
6. Respiratori dada sesak, wheezing, mulut kering, epitaksis dan nasal burning
(nasal spray)
Antihistamin Generasi Kedua Dan Ketiga):
1. Alergi fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2. SSP mengantuk/ drowsiness, sakit kepala, fatigue, sedasi
3. Respiratori** - mulut kering
4. Gastrointestinal** - nausea, vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine)
*Efek samping SSPsebanding dengan placebo pada uji klinis, kecuali cetirizine yang
tampak lebih sedatif ketimbang placebo dan mungkin sama dengan generasi pertama.
**Efek samping pada respiratori dan gastrointestinal lebih jarang dibanding generasi
pertama.
Interaksi Obat:
Precipitant Drug
Antihistamin
Object Drug
Alkohol, depresan
SSP
Effect
Menambah efek depresan SSP
dan efek lebih kecil pada
antihistamin generasi kedua
dan ketiga.
Cimetadine
loratadine
Levodopa
promethazine
MAOIs:
phenelzine, isocarboxazid,
tranylcypromine
ekstrapiramidal
Protease Inhibitors:
Antihistamin generasi Meningkatkan kadar plasma
ritonavir, indinavir, saquinavir, pertama, loratadine
object drug
nelfinavir
Serotonin Reuptatke
Inhibitors (SSRIs):
fluoxetine, fluvoxamine,
nefazodone, paroxetine,
sertraline
Efikasi Klinis:
Table 5. Efikasi Antihistamin
Studi/Ind
ikasi (a)
Design studi
Jumlah
Sampel
Grup
Terapi
Lama Penentuan
(hari)
efikasi
Meltzer, et al.( J
Allergy Clin
Immunol
1996;97(2):617626)
SAR
Studi acak,
double blind,
Alergi musim
semi,
outdoor.
279
-Cet 10
mg /hari
-Lor 10
mg /hari
-Pla /hari
Prenner, et al.
( Clin Ther
2000;22(6):760769)
SAR
Acak, double
blind, 2 fase,
crossover
treatment of
nonresponders
659
Fex 60
mg 2 x
sehari
Lor 10
mg/ hari
Howarth, et al.( J
Allergy Clin
Immunol
1999;104(5):927)
SAR
Studi acak
dan double
blind
722
Fex 120
mg/hari
Fex 180
mg/hari
Cet 10
mg/ hari
Pla /hari
14
202
Cet 10
mg/hari
Lor 10
mg/hari
Placebo/
Hasil (b)
Fex 120 =
Fex 180 =
Cet > Pla
hari
Druce, et al. (J
Clin Pharmacol
1998;38(4):382389)
AR
Acak dan
double blind
338
Bro 12
mg 2 x
sehari
Lor 10
mg/hari
Pla 2 x
sehari
Acak dan
double blind
1070
Lor 10
mg/ hari
plus Bec
2 semprot
tiap
hidung 2
kali sehari
Aze 2
semprot
tiap
hidung 2
kali sehari
Sienra-Monge, et
al. (Am J Ther
1999;6(3):149155 )
PAR
28
Tes histamine
kulit, jumlah
eusinofil,
pengamatan
gejala total
oleh pasien
dan dokter
Breneman (Ann
Acak, double
Pharmacother
blind, dan
1996;30(10):1075allergy
1079)
practice
CIU
settings
188
Cet 10
mg/hari
Hyd 25
mg/3 x
sehari
Pla
28
Monroe, et al.
( ArzneimittelForschung
1992;42(9):111911121)
CIU
203
Lor 10
mg/hari
Hyd 25 3
x sehari
12
Acak dan
double blind.
(a) PAR = perennial allergic rhinitis, SAR = seasonal allergic rhinitis, AR = allergic
rhinitis, CIU = chronic idiosyncratic urticaria
(b) Cet = cetirizine, Lor = loratadine, Pla = placebo, Fex = fexofenadine, Bro =
brompheniramine, Bec = beclomethasone, Aze = Azelastine, Hyd = hydroxyzine,
Strategi AM-PM
Keputusan untuk memilih suatu antihistamin untuk mengatasi gangguan alergi
semisal rhinitis alergica atau urtikaria idiosinkratik kronik harus berdasarkan pada
harga, frekuensi dosis, ketersediaan, kontraindikasi, dan efek samping. Semua
antihistamin generasi pertama kini telah ada dalam sediaan generik serta sediaan
OTC dengan harga lebih murah. Namun tidak demikian halnya dengan antihistamin
generasi kedua dan ketiga. Masalah perbedaan harga ini menjadi suatu
pertimbangan.
Meski sedikit lebih mahal, antihistamin generasi kedua dan ketiga secara klinis
menunjukkan efikasi tanpa efek sedatif yang menjadi karakteristik dari generasi
pertama. Sebenarnya rasa sedasi dan drowsiness sangatlah subjektif, hanya
dirasakan oleh individu dan tidak bisa jadi bukti klinis. Sebuah studi mengevaluasi efek
fexofenadine, diphenhydramine, alkohol, dan placebo terhadap kemampuan
mengendarai. Subjek yang memperoleh fexofenadine mampu mengendarai
selayaknya placebo. Sedang subjek yang menerima diphenhydramine memiliki
kemampuan mengendarai paling buruk, diikuti dengan subjek yang menerima alcohol.
The Joint Task Force on Practice Parameters in Allergy, Asthma, and
Immunology menekankan bahwa efek sedasi dan gangguan performance dari
antihistamin generasi pertama adalah berisiko baik untuk individu maupun
masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengatasi rhinitis alergi dan gangguan alergi
kronis lainnya direkomendasikan suatu strategi baru, yakni terapi
antihistaminAM/PM. Penderita diberikan antihistamin generasi kedua dan ketiga
yang lebih sedikit atau bahkan tidak ada efek sampingnya sebelum pemberian
antihistamin generasi pertama. Jadi, dosis siang hari generasi kedua dan ketiga,
sedangkan dosis malam hari diberikan generasi pertama. Selain bisa mengoptimalkan
terapi dengan efek samping minimal, strategi ini juga lebih murah karena tetap bisa
menggunakan antihistamin generasi pertama yang lebih murah.
(Arnita)