Anda di halaman 1dari 7

Optimalisasi Terapi Antihistamin

ULAS OBAT - Edisi Desember 2006 (Vol.6 No.5), oleh andra

Antihistamin H1 yang lebih spesifik memperbaiki modalitas terapi.


Antihistamin H1 merupakan salah satu obat terbanyak dan terluas digunakan di
seluruh dunia. Fakta ini membuat perkembangan sekecil apapun yang berkenaan
dengan obat ini menjadi suatu hal yang sangat penting. Semisal perubahan dalam
penggolongan antihistamin H1. Dulu, antihistamin-H1 dikenal sebagai antagonis
reseptor histamin H1. Namun baru-baru ini, seiring perkembangan ilmu farmakologi
molekular, antihistamin H1 lebih digolongkan sebagai inverse agonist ketimbang
antagonis reseptor histamin H1.
Suatu obat disebut sebagai inverse agonist bila terikat dengan sisi reseptor
yang sama dengan agonis, namun memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini
memiliki aktivitas intrinsik (efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan.
Sedangkan suatu antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan yang mengikat
reseptor atau menghentikan kaskade pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan
inverse agonist, suatu antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai
aktivitas intrinsik.
Penemuan modus operandi antihistamin H1 yang lebih spesifik tersebut, bisa
menjadi pertimbangan untuk pemberian obat secara tepat. Demikian juga dengan
perkembangan identifikasi serta pengelompokkan antihistamin. Sebelumnya
antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan struktur kimia, yakni
etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan fenotiazin. Penemuan
antihistamin baru yang ternyata kurang bersifat sedatif, akhirnya menggeser
popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian lebih dikenal dengan
penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni generasi pertama,
kedua, dan ketiga.
Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi
pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih
nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi
pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu,
generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga
mengurangi kemampuannya melintasi otak.
Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa
metabolit (desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine).
Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang
lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal. Faktanya,
fexofenadine memang memiliki risiko aritmia jantung yang lebih rendah dibandingkan
obat induknya, terfenadine. Demikian juga dengan levocetirizine atau desloratadine,
tampak juga lebih baik dibandingkan dengan cetrizine atau loratadine.

Anti alergi Plus Anti inflamasi


Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama
dan menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada status yang
tidak aktif. Penghambatan reseptor histamine H1 ini bisa mengurangi permiabilitas

vaskular, pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas.
Tak ayal secara klinis, antihistamin H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif
berbagai gejala rhinitis alergi reaksi fase awal, seperti rhinorrhea, pruritus, dan
sneezing. Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal congestion yang terkait
dengan reaksi fase akhir.
Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil
farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga
bisa menurunkan lipofilisitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di
samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan antilergi tambahan, yakni sebagai
antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini mempengaruhi pelepasan mediator
dari sel mast dengan menghambat influks ion kalsium melintasi sel mast/membaran
basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion kalsium intraseluler dalam sel. Obat
ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja pada leukotriene dan prostaglandin, atau
dengan menghasilkan efek anti-platelet activating factor.
Selain berefek sebagai anti alergi, antihistamin H1 diduga juga memiliki efek
anti inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in vitro desloratadine, suatu antihistamin H1
generasi ketiga. Studi menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada
mediator inflamatori, seperti menghambat pelepasan intracellular adhesion molecule-1
(ICAM-1) oleh sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan
imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa
desloratadine secara signifikan bisa memperbaiki nasal congestion pada beberapa
double-blind, placebo-controlled studies. Efek ini tak ditemukan pada generasi
sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu dilakukan studi lebih lanjut
untuk menguak misteri dari efek tambahan ini.
Nasib Antihistamin H1 dalam Tubuh
Pemberian antihistamin H1 secara oral bisa diabsorpsi dengan baik dan
mencapai konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2 jam. Ikatan dengan protein
plasma berkisar antara 78-99%. Sebagian besar antihistamin H1 dimetabolisme
melalui hepatic microsomal mixed-function oxygenase system. Konsentrasi plasma
yang relatif rendah setelah pemberian dosis tunggal menunjukkan kemungkinan
terjadi efek lintas pertama oleh hati.
Waktu paruh antihistamin H1 sangat bervariasi. Klorfeniramin memiliki waktu
paruh cukup panjang sekitar 24 jam, sedang akrivastin hanya 2 jam. Waktu paruh
metabolit aktif juga sangat berbeda jauh dengan obat induknya, seperti astemizole 1,1
hari sementara metabolit aktifnya, N-desmethylastemizole, memiliki waktu paruh 9,5
hari. Hal inilah yang mungkin menjelaskan kenapa efek antihistamin H1 rata-rata
masih eksis meski kadarnya dalam darah sudah tidak terdeteksi lagi. Waktu paruh
beberapa antihistamin H1 menjadi lebih pendek pada anak dan jadi lebih panjang
pada orang tua, pasien disfungsi hati, danm pasien yang menerima ketokonazol,
eritromisin, atau penghambat microsomal oxygenase lainnya.
Indikasi
Antihistamin generasi pertama di-approve untuk mengatasi hipersensitifitas, reaksi
tipe I yang mencakup rhinitis alergi musiman atau tahunan, rhinitis vasomotor, alergi
konjunktivitas, dan urtikaria. Agen ini juga bisa digunakan sebagai terapi anafilaksis
adjuvan. Difenhidramin, hidroksizin, dan prometazin memiliki indikasi lain disamping
untuk reaksi alergi. Difenhidramin digunakan sebagai antitusif, sleep aid, antiparkinsonism atau motion sickness. Hidroksizin bisa digunakan sebagai pre-medikasi
atau sesudah anestesi umum, analgesik adjuvan pada pre-operasi atau prepartum,
dan sebagai anti-emetik. Prometazin digunakan untuk motion sickness, pre- dan
postoperative atau obstetric sedation.

Table 1. Indikasi Generasi Pertama yang Diakui FDA


Drug Name

Batas Usia

Indikasi

Kategori
Kehamilan

Azatadine

> 12 tahun

PAR, SAR, CU

Azelastine

> 3 tahun

PAR, SAR, VR, AC

Brompheniramine

> 6 tahun

AR, HR Type 1

Chlorpheniramine

> 2 tahun

AR

Clemastine

> 6 tahun

PAR, SAR, CU

Cyproheptadine

> 2 tahun

PAR, SAR, CU

Dexchlorpheniramine

> 2 tahun

PAR, SAR, CU

Bisa diberikan <


6 tahun

Pruritus, sedasi,
analgesia, anti-emetik

> 2 years old

HR Type 1, Sedation,
Motion sickness,
Analgesia

> 1 bulan

PAR, SAR, CU

Hydroxyzine
Promethazine

Tripelennamine

*PAR = perennial allergic rhinitis, SAR = seasonal allergic rhinitis, CU =


chronic urticaria, HR Type 1 = hypersensitivity reaction type 1, AR = allergic
rhinitis, VMR = vasomotor rhinitis, AC = allergic conjunctivitis
Table 2. Indikasi Antihistamin Generasi II & III yang diakui FDA
Nama Obat
Cetirizine
Fexofenadine
Loratadine
Desloratadine

Batas Usia

Indikasi

Kategori Kehamilan

> 2 tahun

PAR, SAR, CIU

> 6 tahun

SAR, CIU

> 2 tahun

SAR, CIU

> 12 tahun

PAR, SAR, CIU

*PAR = perennial allergic rhinitis, SAR = seasonal allergic rhinitis, CIU =


chronic idiopathic urticaria

Kontraindikasi
Antihistamin generasi pertama: hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait

secara struktural, bayi baru lahir atau premature, ibu menyusui, narrow-angle
glaucoma, stenosing peptic ulcer, hipertropi prostat simptomatik, bladder neck
obstruction, penyumbatan pyloroduodenal, gejala saluran napas atas (termasuk
asma), pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI), dan pasien
tua.
Antihistamin generasi kedua dan ketiga : hipersensitif terhadap antihistamin khusus
atau terkait secara struktural.
Efek Samping
Antihistamin Generasi Pertama:
1. Alergi fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2. Kardiovaskular hipotensi postural, palpitasi, refleks takikardia, trombosis vena
pada sisi injeksi (IV prometazin)
3. Sistem Saraf Pusat - drowsiness, sedasi, pusing, gangguan koordinasi, fatigue,
bingung, reaksi extrapiramidal bisa saja terjadi pada dosis tinggi
4. Gastrointestinal - epigastric distress, anoreksi, rasa pahit (nasal spray)
5. Genitourinari urinary frequency, dysuria, urinary retention
6. Respiratori dada sesak, wheezing, mulut kering, epitaksis dan nasal burning
(nasal spray)
Antihistamin Generasi Kedua Dan Ketiga):
1. Alergi fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2. SSP mengantuk/ drowsiness, sakit kepala, fatigue, sedasi
3. Respiratori** - mulut kering
4. Gastrointestinal** - nausea, vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine)
*Efek samping SSPsebanding dengan placebo pada uji klinis, kecuali cetirizine yang
tampak lebih sedatif ketimbang placebo dan mungkin sama dengan generasi pertama.
**Efek samping pada respiratori dan gastrointestinal lebih jarang dibanding generasi
pertama.
Interaksi Obat:
Precipitant Drug
Antihistamin

Object Drug
Alkohol, depresan
SSP

Effect
Menambah efek depresan SSP
dan efek lebih kecil pada
antihistamin generasi kedua
dan ketiga.

Antifungi Azole dan Antibiotik loratadine,


Makrolida :
desloratadine
azithromycin, clarithromycin,
erythromycin, fluconazole,
itraconazole, ketoconazole,
miconazole

Meningkatkan kadar plasma


object drug

Cimetadine

loratadine

Meningkatkan kadar plasma


object drug

Levodopa

promethazine

Menurunkan efek levodopa

MAOIs:
phenelzine, isocarboxazid,
tranylcypromine

Antihistamin generasi Bisa memperlama dan


pertama
memperkuat efek antikolinergik
dan sedative antihistamin,
sehingga bisa terjadi hipotensi
dan efek samping

ekstrapiramidal
Protease Inhibitors:
Antihistamin generasi Meningkatkan kadar plasma
ritonavir, indinavir, saquinavir, pertama, loratadine
object drug
nelfinavir
Serotonin Reuptatke
Inhibitors (SSRIs):
fluoxetine, fluvoxamine,
nefazodone, paroxetine,
sertraline

Antihistamin generasi Meningkatkan kadar plasma


pertama
object drug

Efikasi Klinis:
Table 5. Efikasi Antihistamin
Studi/Ind
ikasi (a)

Design studi

Jumlah
Sampel

Grup
Terapi

Lama Penentuan
(hari)
efikasi

Meltzer, et al.( J
Allergy Clin
Immunol
1996;97(2):617626)
SAR

Studi acak,
double blind,
Alergi musim
semi,
outdoor.

279

-Cet 10
mg /hari
-Lor 10
mg /hari
-Pla /hari

Prenner, et al.
( Clin Ther
2000;22(6):760769)
SAR

Acak, double
blind, 2 fase,
crossover
treatment of
nonresponders

659

Fex 60
mg 2 x
sehari
Lor 10
mg/ hari

Howarth, et al.( J
Allergy Clin
Immunol
1999;104(5):927)
SAR

Studi acak
dan double
blind

722

Fex 120
mg/hari
Fex 180
mg/hari
Cet 10
mg/ hari
Pla /hari

14

202

Cet 10
mg/hari
Lor 10
mg/hari
Placebo/

Day, et al.( Allergy Studi acak,


Clin Immunol
double blind,
1998;101(5):638allergen
645)
exposure unit
SAR

Hasil (b)

Skor lengkap Cet > Lor =


gejala utama
Pla
dan total
pada pasien.

Fase Pasien dan Fase 1 1: 14


dokter
Lor > Fex
Fase menentukan (pasien);
2: 16
total
Lor = Fex
keparahan
(dokter)
gejala
Fase 2 Lor = Fex
(pasien
&dokter)
Skor total
gejala

Fex 120 =
Fex 180 =
Cet > Pla

Skor lengkap Cet > Lor =


gejala utama
Pla
dan total
pada pasien.

hari
Druce, et al. (J
Clin Pharmacol
1998;38(4):382389)
AR

Acak dan
double blind

338

Bro 12
mg 2 x
sehari
Lor 10
mg/hari
Pla 2 x
sehari

Gejala global Bro > Lor >


oleh peneliti
Pla
dan subjek

Berger et al. (Ann


Allergy Asthma
Immunol
1999;82(6):535541 )
SAR

Acak dan
double blind

1070

Lor 10
mg/ hari
plus Bec
2 semprot
tiap
hidung 2
kali sehari
Aze 2
semprot
tiap
hidung 2
kali sehari

Pengamatan Aze = Lor


dokter akan
+ Bec
kebutuhan
obat
tambahan
untuk rhinitis
alergi,
pengamatan
global gejala
pasien

Sienra-Monge, et
al. (Am J Ther
1999;6(3):149155 )
PAR

Double blind, 80 (anak Cet 0.2


randomized,
2-6 mg/kg per
longitudinal tahun)
hari
Lor 0,2
mg/kg per
hari

28

Tes histamine
kulit, jumlah
eusinofil,
pengamatan
gejala total
oleh pasien
dan dokter

Cet > Lor


(wheal
response)
Cet = Lor
(jumlah
eusinofil)
Cet = Lor
(gejala)

Breneman (Ann
Acak, double
Pharmacother
blind, dan
1996;30(10):1075allergy
1079)
practice
CIU
settings

188

Cet 10
mg/hari
Hyd 25
mg/3 x
sehari
Pla

28

Pengamatan Cet = Hyd


gejala oleh
> Pla
peneliti dan
pasien

Monroe, et al.
( ArzneimittelForschung
1992;42(9):111911121)
CIU

203

Lor 10
mg/hari
Hyd 25 3
x sehari

12

Pengamatan Lor = Hyd


gejala oleh
> Pla
dokter dan
pasien

Acak dan
double blind.

(a) PAR = perennial allergic rhinitis, SAR = seasonal allergic rhinitis, AR = allergic
rhinitis, CIU = chronic idiosyncratic urticaria
(b) Cet = cetirizine, Lor = loratadine, Pla = placebo, Fex = fexofenadine, Bro =
brompheniramine, Bec = beclomethasone, Aze = Azelastine, Hyd = hydroxyzine,
Strategi AM-PM
Keputusan untuk memilih suatu antihistamin untuk mengatasi gangguan alergi
semisal rhinitis alergica atau urtikaria idiosinkratik kronik harus berdasarkan pada
harga, frekuensi dosis, ketersediaan, kontraindikasi, dan efek samping. Semua

antihistamin generasi pertama kini telah ada dalam sediaan generik serta sediaan
OTC dengan harga lebih murah. Namun tidak demikian halnya dengan antihistamin
generasi kedua dan ketiga. Masalah perbedaan harga ini menjadi suatu
pertimbangan.
Meski sedikit lebih mahal, antihistamin generasi kedua dan ketiga secara klinis
menunjukkan efikasi tanpa efek sedatif yang menjadi karakteristik dari generasi
pertama. Sebenarnya rasa sedasi dan drowsiness sangatlah subjektif, hanya
dirasakan oleh individu dan tidak bisa jadi bukti klinis. Sebuah studi mengevaluasi efek
fexofenadine, diphenhydramine, alkohol, dan placebo terhadap kemampuan
mengendarai. Subjek yang memperoleh fexofenadine mampu mengendarai
selayaknya placebo. Sedang subjek yang menerima diphenhydramine memiliki
kemampuan mengendarai paling buruk, diikuti dengan subjek yang menerima alcohol.
The Joint Task Force on Practice Parameters in Allergy, Asthma, and
Immunology menekankan bahwa efek sedasi dan gangguan performance dari
antihistamin generasi pertama adalah berisiko baik untuk individu maupun
masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengatasi rhinitis alergi dan gangguan alergi
kronis lainnya direkomendasikan suatu strategi baru, yakni terapi
antihistaminAM/PM. Penderita diberikan antihistamin generasi kedua dan ketiga
yang lebih sedikit atau bahkan tidak ada efek sampingnya sebelum pemberian
antihistamin generasi pertama. Jadi, dosis siang hari generasi kedua dan ketiga,
sedangkan dosis malam hari diberikan generasi pertama. Selain bisa mengoptimalkan
terapi dengan efek samping minimal, strategi ini juga lebih murah karena tetap bisa
menggunakan antihistamin generasi pertama yang lebih murah.
(Arnita)

Anda mungkin juga menyukai