Anda di halaman 1dari 17

1.

1 Definisi Resiko Bunuh Diri


Bunuh diri berasal dari bahasa Latin suicidium, dengan sui yang berarti
sendiri dan cidium yang berarti pembunuhan.
Schneidman mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan
secara sadar yang ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang
bunuh diri sebagai solusi terbaik dari sebuah isu.
Menurut Corr, Nabe, dan Corr (2003), agar sebuah kematian bisa disebut
bunuh diri, maka harus disertai adanya intensi untuk mati. Meskipun demikian, intensi
bukanlah hal yang mudah ditentukan, karena intensi sangat variatif dan bisa
mendahului , misalnya untuk mendapatkan perhatian, membalas dendam, mengakhiri
sesuatu yang dipersepsikan sebagai penderitaan, atau mengakhiri hidup.
Dapat dikatakan bahwa bunuh diri secara umum adalah perilaku membunuh diri
sendiri dengan intensi mati sebagai penyelesaian atas suatu masalah.
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang dapat
mengancam kehidupan. Resiko bunuh diri berkaitan erat dengan cedera diri.
Cidera diri didefinisikan suatu tindakan membahayakan diri sendiri yang
dilakukan dengan sengaja tanpa bantuan orang lain, dan cedera tersebut cukup
parah untuk melukai tubuh. Bentuk umum perilaku pencederaan diri termasuk
melukai dan membakar kulit, membenturkan kepala atau anggota tubuh, melukai
tubuhnya sedikit-demi sedikit, dan menggigit jarinya.
Perilaku destruktif-diri yaitu setiap aktifitas yang jika tidak dicegah dapat
mengarah kepada kematian. Aktifitas ini dapat diklasifikasikan sebagai langsung atau
tidak langsung:
1. Perilaku destruktif-diri langsung mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri,
tujuannya adalah kematian dan individu menyadari hal tersebut hasil yang
diinginkan.
2. Perilaku destruktif-diri tak langsung termasuk tipe aktivitas yang merusak
kesejahteraan fisik indivisudan adapt mengarah pada kematian. Individu tersebut
tidak menyadari tentang potensial terjadi kematian akibat akibat perilakunya dan
biasanya akan menyangkal apabila dikonfrontasi. Durasi dari perilakunya biasanya
lebih lama dari pada perilau bunuh diri. Perilaku destruktif-diri tak langsung
meliputi : Merokok, Mengebut, Berjudi, Tindakan kriminal, Terlibat dalam tindakan
rekreasi berisiko tinggi, Penyalahgunaan zat, Perilaku yang menyimpang secara
sosial, Perilaku yang menimbulkan stress, Gangguan makan, Ketidakpatuhan
pada tindakan medik.
1.2 Rentang Respon Resiko Bunuh Diri

Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara ekspresi orang yang
penuh stress. Perilaku bunuh diri berkembang dalam beberapa rentang diantaranya:
1. Suicidal ideation
Pada tahap ini merupakan proses contemplasi dari suicide, atau sebuah metoda
yang digunakan tanpa melakukan aksi/ tindakan, bahkan klien pada tahap ini tidak
akan mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan. Walaupun demikian, perawat
perlu menyadari bahwa pasien pada tahap ini memiliki pikiran tentang keinginan
untuk mati
2. Suicidal intent
Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah melakukan perencanaan yang
konkrit untuk melakukan bunuh diri,
3. Suicidal threat
Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yang dalam ,
bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya .
4. Suicidal gesture
Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan pada diri
sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya tetapi sudah pada
percobaan untuk melakukan bunuh diri. Tindakan yang dilakukan pada fase ini
pada umumnya tidak mematikan, misalnya meminum beberapa pil atau menyayat
pembuluh darah pada lengannya. Hal ini terjadi karena individu memahami
ambivalen antara mati dan hidup dan tidak berencana untuk mati. Individu ini
masih memiliki kemauan untuk hidup, ingin di selamatkan, dan individu ini sedang
mengalami konflik mental. Tahap ini sering di namakan Crying for help sebab
individu ini sedang berjuang dengan stress yang tidak mampu di selesaikan.
5. Suicidal attempt
Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang mempunyai indikasi individu ingin mati
dan tidak mau diselamatkan misalnya minum obat yang mematikan . walaupun
demikian banyak individu masih mengalami ambivalen akan kehidupannya.
6. Suicide
Tindakan yang bermaksud membunuh diri sendiri . hal ini telah didahului oleh
beberapa percobaan bunuh diri sebelumnya. 30% orang yang berhasil melakukan
bunuh diri adalah orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri
sebelumnya. Suicide ini diyakini merupakan hasil dari individu yang tidak punya
pilihan untuk mengatasi kesedihan yang mendalam.

Metode Bunuh Diri


Richman menyatakan ada dua fungsi dari metode bunuh diri (dalam Maris dkk.,
2000). Fungsi pertama adalah sebagai sebuah cara untuk melaksanakan intensi mati.
Sedangkan pada fungsi yang kedua, Richman percaya bahwa metode memiliki
makna khusus atau simbolisasi dari individu.
Secara umum, metode bunuh diri terdiri dari 6 kategori utama yaitu :
1. obat (memakan padatan, cairan, gas, atau uap)
2. menggantung diri (mencekik dan menyesakkan nafas)
3. senjata api dan peledak
4. menenggelamkan diri
5. melompat
6. memotong (menyayat dan menusuk)
1.3 Klasifikasi Resiko Bunuh Diri
Berdasarkan teori terdapat 3 persepektif berbeda tentang penyebab bunuh diri
adalah sebagai berikut :
1. Penjelasan Psikologis
Leenars (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengidentifikasi tiga bentuk
penjelasan psikologis mengenai bunuh diri. Penjelasan yang pertama didasarkan
pada Freud yang menyatakan bahwa suicide is murder turned around 180
degrees, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri dengan kehilangan seseorang
atau objek yang diinginkan. Secara psikologis, individu yang beresiko melakukan
bunuh diri mengidentifikasi dirinya dengan orang yang hilang tersebut. Dia merasa
marah terhadap objek kasih sayang ini dan berharap untuk menghukum atau
bahkan membunuh orang yang hilang tersebut. Meskipun individu mengidentifikasi
dirinya dengan objek kasih sayang, perasaan marah dan harapan untuk
menghukum juga ditujukan pada diri. Oleh karena itu, perilaku destruktif diri terjadi.
Penjelasan kedua memandang masalah bunuh diri pada dasarnya adalah
masalah kognitif. Pada pandangan ini, depresi merupakan faktor kontribusi yang
sangat besar, yang khususnya diasosiasikan dengan hopelessness. Fokus

pandangan ini terletak pada penilaian negatif yang dilakukan oleh suicidal person
terhadap diri, situasi sekarang, dunia, dan masa depan. Sejalan dengan penilaian
ini, pikiran yang rusak muncul. Pikiran ini seringkali otomatis, tidak disadari, dan
dicirikan oleh sejumlah kesalahan yang mungkin. Beberapa diantaranya begitu
menyeluruh sehingga membentuk distorsi-distorsi kognitif.
Beck (dalam Pervine, 2005) memperkenalkan model kognitif depresi yang
menenkankan bahwa seseorang yang depresi secara sistematis salah menilai
pengalaman sekarang dan masa lalunya. Model ini terdiri dari 3 pandangan negatif
mengenai diri, dunia, dan masa depan. Dia memandang dirinya tidak berharga
dan tidak berguna, memandang dunia menuntut terlalu banyak darinya, dan
memandang masa depan itu suram. Ketika skema kognitif yang disfungsional
(automatic thoughts) ini diaktifkan oleh kejadian hidup yang menekan, individu
beresiko melakukan bunuh diri.
Penjelasan ketiga menyatakan bahwa perilaku bunuh diri itu dipelajari. Teori
ini berpendapat bahwa sebagai seorang anak, individu suicidal belajar untuk tidak
mengekspresikan agresi yang mengarah keluar dan sebaliknya membalikkan
agresi tersebut menuju pada dirinya sendiri. Di samping itu, sebagai akibat dari
reinforcement negatif, individu tersebut menjadi depresi. Depresi dan kaitannya
dengan perilaku bunuh diri atau mengancam hidup lainnya bisa dilihat sebagai
reinforcer positif, karena menurut pandangan ini individu dipandang tidak dapat
bersosialisasi dengan baik dan belum mempelajari penilai budaya terhadap hidup
dan mati.
Sebagai

tambahan,

Jamison

(dalam

Corr,

Nabe,

&

Corr,

2003)

mengemukakan bahwa psikopatologi adalah elemen paling umum pada perilaku


bunuh diri. Dia percaya bahwa sakit mental memainkan suatu peranan penting
pada perilaku bunuh diri. Beberapa kondisi psikopatologis yang difokuskannya
adalah mood disorder, schizophrenia, borderline dan antisocial personality
disorder, alkoholik, dan penyalahgunaan obat-obatan.
2. Penjelasan Biologis
Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan penjelasan biologis
yang tepat untuk perilaku bunuh diri. Beberapa peneliti percaya bahwa ada
gangguan pada level serotonin di otak, dimana serotonin diasosiasikan dengan
perilaku agresif dan kecemasan. Penelitian lain mengatakan bahwa perilaku
bunuh diri merupakan bawaan lahir, dimana orang yang suicidal mempunyai
keluarga yang juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Walaupun demikian,
hingga saat ini belum ada faktor biologis yang ditemukan berhubungan secara
langsung dengan perilaku bunuh diri.
3. Penjelasan Sosiologis

Penjelasan yang terbaik datang dari sosiolog Durkheim yang memandang


perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan individu dengan masyarakatnya,
yang menekankan apakah individu terintegrasi dan teratur atau tidak dengan
masyarakatnya. Berdasarkan hubungan tersebut, Durkheim (dalam Corr, Nabe,
& Corr, 2003) membagi bunuh diri menjadi 4 tipe yaitu :
a. Egoistic Suicide
Inidividu yang bunuh diri di sini adalah individu yang terisolasi dengan
masyarakatnya,

dimana

individu

mengalami

underinvolvement

dan

underintegration. Individu menemukan bahwa sumber daya yang dimilikinya


tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, dia lebih beresiko melakukan perilaku
bunuh diri.
b. Altruistic Suicide
Individu di sini mengalami overinvolvement dan overintegration. Pada situasi
demikian, hubungan yang menciptakan kesatuan antara individu dengan
masyarakatnya begitu kuat sehingga mengakibatkan bunuh diri yang dilakukan
demi kelompok. Identitas personal didapatkan dari identifikasi dengan
kesejahteraan kelompok, dan individu menemukan makna hidupnya dari luar
dirinya. Pada masyarakat yang sangat terintegrasi, bunuh diri demi kelompok
dapat dipandang sebagai suatu tugas.
c. Anomic Suicide
Bunuh diri ini didasarkan pada bagaimana masyarakat mengatur anggotanya.
Masyarakat membantu individu mengatur hasratnya (misalnya hasrat terhadap
materi, aktivitas seksual, dll.). Ketika masyarakat gagal membantu mengatur
individu karena perubahan yang radikal, kondisi anomie (tanpa hukum atau
norma) akan terbentuk. Individu yang tiba-tiba masuk dalam situasi ini dan
mempersepsikannya sebagai kekacauan dan tidak dapat ditolerir cenderung
akan melakukan bunuh diri. Misalnya remaja yang tidak mengharapkan akan
ditolak oleh kelompok teman sebayanya.
d. Fatalistic Suicide
Tipe bunuh diri ini merupakan kebalikan dari anomic suicide, dimana individu
mendapat pengaturan yang berlebihan dari masayarakat. Misalnya ketika
seseorang dipenjara atau menjadi budak.

Menurut Stuart, tahapan perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori :
1. Ancaman bunuh diri
Merupakan peringatan verbal atau nonverbal bahwa seseorang tersebut
mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang ingin bunuh diri mungkin
mengungkapkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita lebih
lama lagi atau mengomunikasikan secara non verbal.

2. Upaya bunuh diri


Merupakan semua tindakan terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh individu yang
dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.
3. Bunuh diri
Mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau diabaikan. Orang yang
melakukan bunuh diri dan yang tidak bunuh diri akan terjadi jika tidak ditemukan
tepat pada waktunya.

.
Menurut Keliat, 2009, hal. 180, tahapan bunuh diri terdapat tiga macam perilaku
bunuh diri, yakni sebagai berikut :
1. Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukan dengan berperilaku secara tidak langsung ingin
bunuh diri, misalnya dengan mengatakan, tolong jaga anak-anak saya karena
saya akan pergi jauh! atau segala sesuatu akan lebih baik tanpa saya.
Dalam kondisi ini pasien mungkin sudah mempunyai ide untuk mengakhiri
hidupnya, tetapi tidak disertai dengan ancaman dan percobaan bunuh diri. Pasien
umumnya mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah, sedih, marah, putus
asa, atau tidak berdaya. Pasien juga mengungkapkan hal-hal negative tentang diri
sendiri yang menggambarkan harga diri rendah.
2. Ancaman bunuh diri

Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh pasien, berisi keinginan untuk
mati disertai oleh rencana untuk mengakhiri kehidupan dan persiapan alat untuk
melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif pasien telah memikirkan rencana
bunuh diri, tetapi tidak disertai dengan percobaan diri. Walaupun dalam kondisi ini
pasien belum pernah mencoba bunuh diri, pengawasan ketat harus dilakukan.
Kesempatan sedikit saja dapat dimanfaatkan pasien untuk melaksanakan rencana
bunuh dirinya.
3. Percobaan bunuh diri
Percobaan bunuh diri adalah tindakan pasien mencederai atau melukai diri
untuk mengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini, pasien aktif mencoba bunuh diri
dengan cara gantung diri, minum racun, memotong urat nadi, atau menjatuhkan
diri dari tempat yang tinggi.
Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis bunuh diri,
meliputi :
a. Bunuh diri anomik
Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh faktor
lingkungan yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong seseorang untuk
bunuh diri.
b. Bunuh diri altruistic
Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan kehormatan
seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
c. Bunuh diri egoistic
Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor dalam diri
seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.

1.4 Penyebab Resiko Bunuh Diri


FAKTOR PREDISPOSISI
Stuart (2006) menyebutkan bahwa faktor predisposisi yang menunjang perilaku
resiko bunuh diri meliputi :
a. Diagnosis psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat pasien berisiko untuk bunuh diri yaitu
gangguan alam perasaan, penyalahgunaan obat, dan skizofrenia.
b. Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan peningkatan resiko bunuh diri
adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.
c. Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan yang dini,
dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang berhubungan
dengan bunuh diri.
d. Riwayat keluarga

Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor resiko
untuk perilaku resiko bunuh diri
e. Faktor biokimia
Proses yang dimediasi serotonin, opiat, dan dopamine dapat menimbulkan
perilaku resiko bunuh diri.
FAKTOR PRESIPITASI
Faktor pencetus utama untuk seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah
Stres berlebihan kemudian ditambah dengan Kesulitan individu untuk menemukan
koping yang efektif sehingga bunuh diri dianggap sebagai cara untuk mengakhiri
keputusasaan.
Masalah-masalah yang terkait diantaranya :
a. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal
melakukan hubungan yang berarti.
b. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.

c. Dipermalukan di depan umum


d. Kehilangan pekerjaan
e. Ancaman hukuman
f. Sickness atau penyakit medis kronis
Cook dan Fontaine (1987) menerangkan penyebab bunuh diri dari masingmasing golongan usia :
Masalah Penyebab Bunuh Diri Pada Anak :
1. Pelarian dari penganiayaan atau pemerkosaan
2. Situasi keluarga yang kacau
3. Perasaan tidak disayang atau selalu dikritik
4. Takut atau dihina disekolah
5. Kehilangan orang yang dicintai
6. Dihukum orang lain
Masalah Penyebab Bunuh Diri Pada Remaja :
1. Hubungan interpersonal yang tidak bermakna
2. Sulit mempertahankan hubungan interpersonal
3. Pelarian dari penganiayaan fisik atau pemerkosaan
4. Perasaan tidak dimengerti orang lain
5. Kehilangan orang yang dicintai
6. Keadaan fisik
7. Masalah dengan orang tua
8. Masalah seksual
9. Depresi

Masalah Penyebab Bunuh Diri Pada Mahasiswa :


1. Self ideal terlalu tinggi
2. Cemas akan tugas akademik yang banyak
3. Kegagalan akademik berarti kehilangan penghargaan dan kasih sayang orangtua
4. Kompetisi untuk sukses
Masalah Penyebab Bunuh Diri pada Usia Lanjut :
1. Perubahan dari status mandiri ke tergantung
2. Penyakit yang menurunkan kemampuan berfungsi
3. Perasaan tidak berarti dimasyarakat
4. Kesepian dan isolasi sosial
5. Kehilangan ganda (seperti pekerjaan, kesehatan, pasangan)
6. Sumber hidup berkurang
MEKANISME RESIKO BUNUH DIRI

Stressor pencetus
Stuart (2006) menjelaskan bahwa pencetus dapat berupa kejadian yang memalukan,
seperti masalah interpersonal, dipermalukan di depan umum, kehilangan pekerjaan,
atau ancaman pengurungan. Selain itu, mengetahui seseorang yang mencoba atau
melakukan bunuh diri atau terpengaruh media untuk bunuh diri, juga membuat
individu semakin rentan untuk melakukan perilaku bunuh diri.
Penilaian stressor
Upaya bunuh diri tidak mungkin diprediksikan pada setiap tindakan. Oleh karena itu,
perawat harus mengkaji faktor resiko bunuh diri pada pasien
Sumber koping
Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam kehidupan dapat
melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali orang ini secara sadar memilih untuk
melakukan tindakan bunuh diri. Perilaku bunuh diri berhubungan dengan banyak
faktor, baik faktor social maupun budaya. Struktur social dan kehidupan bersosial
dapat menolong atau bahkan mendorong klien melakukan perilaku bunuh diri. Isolasi

social dapat menyebabkan kesepian dan meningkatkan keinginan seseorang untuk


melakukan bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam kegiatan masyarakat lebih mampu
menoleransi stress dan menurunkan angka bunuh diri. Aktif dalam kegiatan
keagamaan juga dapat mencegah seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
Mekanisme koping
Stuart

(2006)

mengungkapkan

bahwa

mekanisme

pertahanan

ego

yang

berhubungan dengan perilaku destruktif-diri tidak langsung adalah penyangkalan,


rasionalisasi, intelektualisasi, dan regresi.
Mekanisme koping : tiap upaya yang dilakukan untuk penatalaksanaan stress
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung (task oriented) dan mekanisme
pertahanan ego yang digunakan untuk melindungi diri (ego oriented).
a. Contoh Task Oriented :
1. Meminta bantuan kepada orang lain
2. Mengungkapkan perasaan sesuai yang dirasakan saat ini
3. Mencari lebih banyak informasi yang berhubungan dengan masalah yang
dihadapi
4. Menyusun rencana untuk memecahkan masalah
5. Meluruskan persepsi terhadap masalah
b. Contoh Ego Oriented :
1. Denial; menyangkal untuk melihat kenyataan yang tidak diinginkan dengan
cara mengabaikan atau menolak kenyataan tersebut.
2. Proyeksi; menyalahkan orang lain atas ketidakmampuan dirinya atau atas
kesalahan yang dia perbuat.
3. Represi; menekan ke alam bawah sadar dan sengaj melupakan pikiran,
perasaan, dan pengalaman yang menyakitkan.
4. Regresi; kemunduran dalam hal tingkah laku yang dilakukan seseorang dalam
menghadapi stres.
5. Rasionalisasi; berusaha memberi alasan yang masuk akal terhadap perbuatan
yang dilakukannya.
6. Pengalihan;

memindahkan

perasaan

yang

tidak

menyenangkan

dari

seseorang atau obyek ke orang atau obyek lain yang biasanya lebih kurang
berbahaya daripada obyek semula.
7. Reaction Formation; mengembangkan pola sikap atau perilaku tertentu yang
disadari tetapi berlawanan dengan perasaan dan keinginannya.
8. Sublimasi; penyaluran rangsangan atau nafsu yang tidak tersalurkan ke dalam
kegiatan lain.

1.5 Tanda dan Gejala Resiko Bunuh Diri


1. Keputusasaan
2. Celaan terhadap diri sendiri, perasaan gagal dan tidak berguna
3. Alam perasaan depresi
4. Agitasi dan gelisah
5. Insomnia yang menetap
6. Penurunan BB
7. Berbicara lamban, keletihan, menarik diri dari lingkungan sosial.
8. Petunjuk psikiatrik :
a. Upaya bunuh diri sebelumnya
b. Kelainan afektif
c. Alkoholisme dan penyalahgunaan obat
d. Kelaianan tindakan dan depresi mental pada remaja
e. Dimensia dini/ status kekacauan mental pada lansia
f. Riwayat psikososial :
Baru berpisah, bercerai/ kehilangan
Hidup sendiri
Tidak bekerja, perbahan/ kehilangan pekerjaan baru dialami
9. Faktor-faktor kepribadian
a. Implisit, agresif, rasa bermusuhan
b. Kegiatan kognitif dan negative
c. Keputusasaan
d. Harga diri rendah
e. Batasan/gangguan kepribadian antisosial
Karakteristik Pikiran Bunuh Diri
Ketika seseorang mengalami distres psikologis, pikirannya menjadi lebih kaku
dan bias, penilaian menjadi absolut, dan pandangan tentang diri, dunia, dan masa
depan menjadi susah diubah (Weishaar, dalam Salkovskis, 1998). Weishaar juga
berpendapat bahwa kesalahan logika atau distorsi kognitif mengubah persepsi ke
arah yang negatif dan menyebabkan kesipulan yang salah.
Menurut Ellis dan Rutherford (2008), beberapa karakteristik pikiran bunuh diri
antara lain:
1. Executive Functioning: Cognitive Rigidity, Dichotomous thinking, dan
Deficient Problem-Solving
Cognitive rigidity adalah karakteristik kognitif dimana individu melihat
dirinya dan orang lain sebagai baik atau buruk, memilih antara kesedihan atau
kematian, dimana individu susah atau tidak mungkin dapat berpikir fleksibel untuk
mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi. Individu yang memiliki pikiran

bunuh diri susah untuk membayangkan adanya alternatif untuk penderitaannya.


Marzuk, Hartwell, Leon, dan Poetra (dalam Ellis & Rutherford, 2008), menyatakan
bahwa cognitive rigidity merupakan karakteristik yang mendasari dichotomous
thinking dan problem-solving deficit.
Karakteristik kedua dari fungsi eksekutif adalah dichotomous (black or
white) thinking, dimana individu berpikir secara kutub seperti baik dan buruk,
berhasil dan gagal, dan lain sebagainya. Kurangnya kemampuan menyelesaikan
masalah (problem-solving deficit) diasosiasikan dengan dua karakteristik di atas,
karena

ketidakmampuan

berhubungan

dengan

menghasilkan

baik

dengan

solusi

masalah

alternatif
impersonal

telah
atau

dibuktikan
masalah

interpersonal (Levenson & Neuringer, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Schotte,
Cools, dan Pyvar (dalam Ellis & Rutherford, 2008) menambahkan bahwa
ketidakmampuan menyelesaikan masalah interpersonal merupakan penghubung
antara depresi, hopelessness, dan intensi bunuh diri. Penyebab problem-solving
deficit belum banyak dipelajari. Namun, dua faktor yang pasti menentukan adalah
overgeneral autobiographical memory (Pollock & Williams, dalam Ellis &
Rutherford, 2008) dan saraf yang terdapat di otak. Overgeneral autobiographical
memory berguna dalam mengingat situasi masalah yang mirip yang dialami di
masa lalu. Keilp (dalam Ellis & Rutherford, 2008), menemukan bahwa pasien
dengan sejarah percobaan-percobaan bunuh diri menunjukkan ketidakberfungsian
saraf yang besar, dan ketidakberfungsian ini lebih besar pada pelaku percobaan
yang high-lethality.
2. Hopelessness
Hopelessness didefinisikan sebagai harapan individu bahwa kejadian
negatif akan terjadi di masa depan dan dia akan terus gagal dalam mencapai
tujuannya. Melalui penelitian yang dilakukan, Minkoff, Bergman, dan Beck (dalam
Ellis & Rutherford, 2008) menyatakan hopelessness merupakan penengah antara
depresi dan kecenderungan bunuh diri. Hopelessness juga berhubungan dengan
perilaku bunuh diri tanpa variabel depresi (Steer, Kumar, & Beck, dalam Ellis &
Rutherford, 2008). Di samping itu, kejadian hidup yang negatif dapat memprediksi
munculnya hopelessness (Yang & Clum, dalam Ellis & Rutherford, 2008).
3. Alasan untuk hidup
Alasan untuk hidup menunjukkan kemampuan individu menyatakan
pernyataan-pernyataan baik secara eksplisit atau dalam dirinya sendiri untuk
bertahan hidup. Individu yang memiliki pikiran bunuh diri biasanya susah untuk
menyatakan alasan untuk hidup. Linehan telah mengembangkan RFL (Reasons
for Living) yang merupakan alat untuk membedakan alasan hidup pada individu
suicidal dan non-suicidal yang hasilnya dapat diasosiasikan dengan beberapa

variabel, termasuk diantaranya intensi bunuh diri (Linehan, Goodstein, & Nielsen,
dalam Ellis & Rutherford, 2008).
4. Perfectionism
Perfeksionisme, yaitu penentuan harapan yang tinggi, telah dikenal
sebagai faktor resiko melakukan bunuh diri. Penentuan harapan yang tidak
realistis ini mengakibatkan self-criticism. Perfeksionisme dapat dibagi menjadi tiga
jenis, diantaranya self-oriented (menetapkan standar yang tidak realistis untuk diri
sendiri), other-oriented (menuntut kesempurnaan dari orang lain), dan socially
prescribed (mempercayai bahwa orang lain mengharapkan dirinya sempurna).
Dari ketiga jenis perfeksionisme ini, jenis socially prescribed dan self-oriented
berkaitan erat dengan kecenderungan bunuh diri.
5. Konsep diri
Markus (dalam Weiten & Lloyd, 2006) menyatakan bahwa konsep diri
adalah kumpulan kepercayaan seseorang mengenai dirinya. Konsep diri ini
terbentuk dari pengalaman masa lalu dan berhubungan dengan trait kepribadian,
kemampuan, karakteristik fisik, nilai, tujuan, dan peran sosial (Campbell,
Assanand, & DiPaula, dalam Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, Swann
mengemukakan bahwa orang yang mempunyai skema diri yang negatif selalu
mencari informasi yang mengkonfirmasi skema negatif tersebut(self-verification)
(dalam Pervine, Cervone, & John, 2005).
Salah satu fungsi konsep diri yaitu untuk menilai diri sendiri, atau yang
lebih sering disebut dengan harga diri (self-esteem). Harga diri merupakan
penilaian keseluruhan seseorang terhadap keberhargaan dirinya sebagai seorang
manusia (Weiten & Lloyd, 2006). Jika seseorang memandang dirinya secara
positif (konsep diri positif), maka dia akan memiliki harga diri yang tinggi, begitu
juga sebaliknya (Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, pola asuh orang tua
berperan dalam pembentukan harga diri, dimana pola asuh authoritative
diasosiasikan dengan harga diri yang tinggi, dan pola asuh neglected
diasosiasikan dengan harga diri yang rendah (Furnham & Cheng, dalam Weiten &
Lloyd, 2006). Konsep diri yang negatif telah dibuktikan merupakan faktor resiko
kecenderungan bunuh diri tanpa variabel karakteristik kognitif lainnya.
6. Ruminative Response Style
Gaya berpikir merupakan faktor resiko terjadinya depresi, dan depresi
merupakan prediktor yang kuat dalam perilaku bunuh diri (Tanney, dalam Ellis &
Rutherford, 2008). Ruminative response style adalah gaya berpikir yang secara
terus menerus berfokus pada mood negatif dan implikasinya. Gaya berpikir ini
terdiri dari dua bentuk, yaitu bentuk pasif (brooding) dan bentuk aktif (reflection)
(Chan, Miranda, & Surrence, 2009). Brooding merupakan sebuah perbandingan
pasif antara situasi sekarang dengan standar yang tidak tercapai, sedangkan

reflection merupakan gaya berpikir adaptif yang berfokus pada diri dan bertujuan
untuk menyelesaikan masalah dan mengurangi simtom depresi. Brooding dapat
memprediksi terjadinya pikiran bunuh diri dan depresi. Sedangkan, reflection
hingga saat ini masih diprediksikan sebagai faktor protektif untuk pikiran bunuh
diri.
7. Autobiographical Memory
Autobiographical memory merupakan memori mengenai pengalaman yang
pernah dialami dalam kehidupan seseorang. Memori ini diasosiasikan dengan
depresi, posttraumatic stress disorder , dan bunuh diri. Pelaku percobaan bunuh
diri menunjukkan kesulitan dalam tugas mengingat autobiographical memory dan
menghasilkan autobiographical memory yang tidak jelas dan umum (William &
Broadbent, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Memori ini berkaitan dengan bunuh
diri dalam 3 hal berikut: autobiographical memory yang terlalu umum
menyebabkan episode gangguan emosional yang menetap, merusak kemampuan
menyelesaikan masalah karena pengalaman masa lalu tidak dapat digunakan
sebagai referensi untuk strategi mengatasi masalah di masa depan, dan merusak
kemampuan individu untuk membayangkan masa depan secara spesifik. Hal
tersebut dapat meningkatkan tingkat hopelessness dan kecenderungan bunuh diri
pada individu.
1.6 Pohon Masalah Resiko Bunuh Diri

CEDERA /
KEMATIAN

Akibat

RESIKO BUNUH
DIRI

Core
Probem

Penyebab

(Mencederai Diri)
PERILAKU
KEKERASAN

ISOLASI SOSIAL

GANGGUAN
PROSES PIKIR /
HALUSINASI

HARGA DIRI
RENDAH
KOPING TIDAK
EFEKTIF

PENOLAKAN/ KEHILANGAN/ DUKA


DISFUNGSIONAL

1.
Pengertian citra tubuh
Body image adalah gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya,
bagaimana seseorang mempersepsikan dan memberikan penilaian atas apa yang dia
pikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya, dan bagaimana kira-kira
penilaian orang lain terhadap dirinya. Sebenarnya, apa yang dia pikirkan dan rasakan,
belum tentu benar-benar merepresentasikan keadaan yang aktual, namun lebih
merupakan hasil penilaian diri yang subyektif.
Citra tubuh membentuk persepsi seseorang tentang tubuh, baik secara internal maupun
eksternal. Persepsi ini mencakup perasaan dan sikap yang ditujukan pada tubuh. Citra
tubuh dipengaruhi oleh pandangan pribadi tentang karakteristik dan kemampuan fisik dan
oleh persepsi dari pandangan orang lain (Potter & Perry, 2005).
Gambaran diri atau citra tubuh merupakan komponen konsep diri yang paling utama
dari komponen konsep diri lainnya, citra tubuh adalah persepsi individu terhadap dirinya
seara sadar ataupun tidak sadar terhadap penilaian dirinya meliputi: persepsi atau
perasaan tentang ukuran, fungsi, penampilan dan potensi tubuh. Gambaran diri atau citra
tubuh bersifat dinamis karena merupakan perubahan yang terjadi secara konstan sebagai
persepsi baru dan pengalaman dalam kehidupan (Stuart&Laraia,2005).
2.
Klasifikasi Citra Tubuh
a. Citra Tubuh Positif
Persepsi yang benar tentang bentuk individu, individu melihat tubuhnya sesuai dengan
kondisi yang sebenarnya. Individu menghargai badan/tubuhnya yang alami dan
individu memahami bahwa penampilan fisik seseorang hanya berperan kecil dalam
menunjukkan karakter mereka dan nilai dari seseorang.
b. Citra Tubuh Negatif
Merupakan suatu persepsi yang salah mengenai bentuk individu, perasan yang
bertentangan dengan kondisi tubuh individu sebenarnya. Individu merasa bahwa
hanya orang lain yang menarik. Bentuk tubuh dan ukuran tubuh individu adalah
sebuah tanda kegagalan pribadi. Individu merasakan malu, self-conscious, dan
khawatir akan badannya. Individu merasakan canggung dan gelisah terhadap
badannya .
3.
Komponen Citra Tubuh
Ada beberapa ahli yang mengemukakan mengenai komponen citra tubuh. Salah satunya
adalah Cash (2000) yang mengemukakan adanya lima komponen citra tubuh, yaitu :

a. Appearance Evaluation (Evaluasi Penampilan), yaitu penilaian individu mengenai


keseluruhan tubuh dan penampilan dirinya, apakah menarik atau tidak menarik,
memuaskan atau tidak memuaskan.
b. Appearance Orientation (Orientasi Penampilan), perhatian individu terhadap
penampilan

dirinya

dan usaha

yang

dilakukan

untuk memperbaiki

dan

meningkatkan penampilan dirinya.


c. Body Areas Satisfaction (Kepuasan terhadap Bagian Tubuh), yaitu kepuasan
individu terhadap bagian tubuh secara spesifik, seperti wajah, rambut, payudara,
tubuh bagian bawah (pinggul, pantat, kaki), tubuh bagian tengah (pinggang, perut),
dan keseluruhan tubuh.
d. Overweight Preocupation (Kecemasan Menjadi Gemuk), yaitu kecemasan menjadi
gemuk, kewaspadaan individu terhadap berat badan, melakukan diet ketat, dan
membatasi pola makan.
e. Self-Clasified Weight (Persepsi terhadap Ukuran Tubuh), yaitu persepsi dan
penilaian individu terhadap berat badannya, mulai dari kekurangan berat badan
sampai kelebihan berat badan.
Komponen citra tubuh menurut Keaton, Cash, dan Brown (Tresnanari, 2001) mengatakan
citra tubuh berkaitan dengan dua komponen yaitu:
a. Komponen persepsi, bagaimana individu menggambarkan kondisi fisiknya yaitu
mengukur tingkat keakuratan persepsi seseorang dalam mengestimasi ukuran tubuh
seperti tinggi atau pendek, cantik atau jelek, putih atau hitam, kuat atau lemah.
b. Komponen sikap, yaitu berhubungan dengan kepuasan dan ketidakpuasan individu
terhadap bagian-bagian tubuh yang meliputi wajah, bibir, hidung, mata, rambut dan
keseluruhan tubuh yang meliputi proporsi tubuh, bentuk tubuh, penampilan fisik.
4.
Penyebab Gangguan Citra Tubuh
Gangguan citra tubuh adalah perubahan persepsi seseorang tentang tubuh yang
diakibatkan oleh perubahan ukuran, bentuk, struktur, fungsi, keterbatasan, makna dan
objek yang sering kontak dengan tubuh. Gangguan citra tubuh merupakan suatu keadaan
ketika individu mengalami atau beresiko untuk mengalami gangguan dalam penerapan
citra diri seseorang (Lynda Juall,2006).
5.

Faktor-faktor yang mempengaruhi citra tubuh


a. Sosialkultural: budaya serta adat-istiadatberpengaruh terhadap citra tubuh
seseorang melihat di Indonesia terdapat beraneka ragam budaya dan adat
b. Jenis kelamin: laki-laki dan perempuan memiliki citra tubuh yang berbeda
tergantung dari tiap-tiap individu.
c. Status hubungan
d. Agama

6.

Tanda dan Gejala Terjadinya Gangguan Citra Tubuh


a. Menolak untuk menyentuh dan melihat bagian yang berubah
b. Tidak dapat menerima perubahan struktur dan fungsi tubuh

c.
d.
e.
f.
g.
7.

Mengurangi kontak social sehingga terjadi menarik diri


Perasaan atau pandangan negative terhadap tubuh
Mengungkapkan keputusasaan
Mengungkapkan ketakutan ditolak
Menolak penjelasan tentang oerubahan tubuh

Pohon Masalah Gangguan Citra Tubuh


Klien di RS/ Tempat yg berisiko cedera

Masalah fisik dan masalah psikososial

Berdiam diri, tidak ingin bertemu dengan orang lain, merasa kecewa, malu, tidak
percaya diri

Gangguan Citra Tubuh


Kehilangan kepercayaan diri

Klien tidak mau melihat


wajahnya dicermin

Harga diri rendah

Klien malu dg kondisinya

Klien tidak mau berinteraksi


dg orang lain

Isolasi sosial

Anda mungkin juga menyukai