Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara ekspresi orang yang
penuh stress. Perilaku bunuh diri berkembang dalam beberapa rentang diantaranya:
1. Suicidal ideation
Pada tahap ini merupakan proses contemplasi dari suicide, atau sebuah metoda
yang digunakan tanpa melakukan aksi/ tindakan, bahkan klien pada tahap ini tidak
akan mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan. Walaupun demikian, perawat
perlu menyadari bahwa pasien pada tahap ini memiliki pikiran tentang keinginan
untuk mati
2. Suicidal intent
Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah melakukan perencanaan yang
konkrit untuk melakukan bunuh diri,
3. Suicidal threat
Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yang dalam ,
bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya .
4. Suicidal gesture
Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan pada diri
sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya tetapi sudah pada
percobaan untuk melakukan bunuh diri. Tindakan yang dilakukan pada fase ini
pada umumnya tidak mematikan, misalnya meminum beberapa pil atau menyayat
pembuluh darah pada lengannya. Hal ini terjadi karena individu memahami
ambivalen antara mati dan hidup dan tidak berencana untuk mati. Individu ini
masih memiliki kemauan untuk hidup, ingin di selamatkan, dan individu ini sedang
mengalami konflik mental. Tahap ini sering di namakan Crying for help sebab
individu ini sedang berjuang dengan stress yang tidak mampu di selesaikan.
5. Suicidal attempt
Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang mempunyai indikasi individu ingin mati
dan tidak mau diselamatkan misalnya minum obat yang mematikan . walaupun
demikian banyak individu masih mengalami ambivalen akan kehidupannya.
6. Suicide
Tindakan yang bermaksud membunuh diri sendiri . hal ini telah didahului oleh
beberapa percobaan bunuh diri sebelumnya. 30% orang yang berhasil melakukan
bunuh diri adalah orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri
sebelumnya. Suicide ini diyakini merupakan hasil dari individu yang tidak punya
pilihan untuk mengatasi kesedihan yang mendalam.
pandangan ini terletak pada penilaian negatif yang dilakukan oleh suicidal person
terhadap diri, situasi sekarang, dunia, dan masa depan. Sejalan dengan penilaian
ini, pikiran yang rusak muncul. Pikiran ini seringkali otomatis, tidak disadari, dan
dicirikan oleh sejumlah kesalahan yang mungkin. Beberapa diantaranya begitu
menyeluruh sehingga membentuk distorsi-distorsi kognitif.
Beck (dalam Pervine, 2005) memperkenalkan model kognitif depresi yang
menenkankan bahwa seseorang yang depresi secara sistematis salah menilai
pengalaman sekarang dan masa lalunya. Model ini terdiri dari 3 pandangan negatif
mengenai diri, dunia, dan masa depan. Dia memandang dirinya tidak berharga
dan tidak berguna, memandang dunia menuntut terlalu banyak darinya, dan
memandang masa depan itu suram. Ketika skema kognitif yang disfungsional
(automatic thoughts) ini diaktifkan oleh kejadian hidup yang menekan, individu
beresiko melakukan bunuh diri.
Penjelasan ketiga menyatakan bahwa perilaku bunuh diri itu dipelajari. Teori
ini berpendapat bahwa sebagai seorang anak, individu suicidal belajar untuk tidak
mengekspresikan agresi yang mengarah keluar dan sebaliknya membalikkan
agresi tersebut menuju pada dirinya sendiri. Di samping itu, sebagai akibat dari
reinforcement negatif, individu tersebut menjadi depresi. Depresi dan kaitannya
dengan perilaku bunuh diri atau mengancam hidup lainnya bisa dilihat sebagai
reinforcer positif, karena menurut pandangan ini individu dipandang tidak dapat
bersosialisasi dengan baik dan belum mempelajari penilai budaya terhadap hidup
dan mati.
Sebagai
tambahan,
Jamison
(dalam
Corr,
Nabe,
&
Corr,
2003)
dimana
individu
mengalami
underinvolvement
dan
Menurut Stuart, tahapan perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori :
1. Ancaman bunuh diri
Merupakan peringatan verbal atau nonverbal bahwa seseorang tersebut
mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang ingin bunuh diri mungkin
mengungkapkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita lebih
lama lagi atau mengomunikasikan secara non verbal.
.
Menurut Keliat, 2009, hal. 180, tahapan bunuh diri terdapat tiga macam perilaku
bunuh diri, yakni sebagai berikut :
1. Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukan dengan berperilaku secara tidak langsung ingin
bunuh diri, misalnya dengan mengatakan, tolong jaga anak-anak saya karena
saya akan pergi jauh! atau segala sesuatu akan lebih baik tanpa saya.
Dalam kondisi ini pasien mungkin sudah mempunyai ide untuk mengakhiri
hidupnya, tetapi tidak disertai dengan ancaman dan percobaan bunuh diri. Pasien
umumnya mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah, sedih, marah, putus
asa, atau tidak berdaya. Pasien juga mengungkapkan hal-hal negative tentang diri
sendiri yang menggambarkan harga diri rendah.
2. Ancaman bunuh diri
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh pasien, berisi keinginan untuk
mati disertai oleh rencana untuk mengakhiri kehidupan dan persiapan alat untuk
melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif pasien telah memikirkan rencana
bunuh diri, tetapi tidak disertai dengan percobaan diri. Walaupun dalam kondisi ini
pasien belum pernah mencoba bunuh diri, pengawasan ketat harus dilakukan.
Kesempatan sedikit saja dapat dimanfaatkan pasien untuk melaksanakan rencana
bunuh dirinya.
3. Percobaan bunuh diri
Percobaan bunuh diri adalah tindakan pasien mencederai atau melukai diri
untuk mengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini, pasien aktif mencoba bunuh diri
dengan cara gantung diri, minum racun, memotong urat nadi, atau menjatuhkan
diri dari tempat yang tinggi.
Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis bunuh diri,
meliputi :
a. Bunuh diri anomik
Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh faktor
lingkungan yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong seseorang untuk
bunuh diri.
b. Bunuh diri altruistic
Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan kehormatan
seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
c. Bunuh diri egoistic
Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor dalam diri
seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor resiko
untuk perilaku resiko bunuh diri
e. Faktor biokimia
Proses yang dimediasi serotonin, opiat, dan dopamine dapat menimbulkan
perilaku resiko bunuh diri.
FAKTOR PRESIPITASI
Faktor pencetus utama untuk seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah
Stres berlebihan kemudian ditambah dengan Kesulitan individu untuk menemukan
koping yang efektif sehingga bunuh diri dianggap sebagai cara untuk mengakhiri
keputusasaan.
Masalah-masalah yang terkait diantaranya :
a. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal
melakukan hubungan yang berarti.
b. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
Stressor pencetus
Stuart (2006) menjelaskan bahwa pencetus dapat berupa kejadian yang memalukan,
seperti masalah interpersonal, dipermalukan di depan umum, kehilangan pekerjaan,
atau ancaman pengurungan. Selain itu, mengetahui seseorang yang mencoba atau
melakukan bunuh diri atau terpengaruh media untuk bunuh diri, juga membuat
individu semakin rentan untuk melakukan perilaku bunuh diri.
Penilaian stressor
Upaya bunuh diri tidak mungkin diprediksikan pada setiap tindakan. Oleh karena itu,
perawat harus mengkaji faktor resiko bunuh diri pada pasien
Sumber koping
Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam kehidupan dapat
melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali orang ini secara sadar memilih untuk
melakukan tindakan bunuh diri. Perilaku bunuh diri berhubungan dengan banyak
faktor, baik faktor social maupun budaya. Struktur social dan kehidupan bersosial
dapat menolong atau bahkan mendorong klien melakukan perilaku bunuh diri. Isolasi
(2006)
mengungkapkan
bahwa
mekanisme
pertahanan
ego
yang
memindahkan
perasaan
yang
tidak
menyenangkan
dari
seseorang atau obyek ke orang atau obyek lain yang biasanya lebih kurang
berbahaya daripada obyek semula.
7. Reaction Formation; mengembangkan pola sikap atau perilaku tertentu yang
disadari tetapi berlawanan dengan perasaan dan keinginannya.
8. Sublimasi; penyaluran rangsangan atau nafsu yang tidak tersalurkan ke dalam
kegiatan lain.
ketidakmampuan
berhubungan
dengan
menghasilkan
baik
dengan
solusi
masalah
alternatif
impersonal
telah
atau
dibuktikan
masalah
interpersonal (Levenson & Neuringer, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Schotte,
Cools, dan Pyvar (dalam Ellis & Rutherford, 2008) menambahkan bahwa
ketidakmampuan menyelesaikan masalah interpersonal merupakan penghubung
antara depresi, hopelessness, dan intensi bunuh diri. Penyebab problem-solving
deficit belum banyak dipelajari. Namun, dua faktor yang pasti menentukan adalah
overgeneral autobiographical memory (Pollock & Williams, dalam Ellis &
Rutherford, 2008) dan saraf yang terdapat di otak. Overgeneral autobiographical
memory berguna dalam mengingat situasi masalah yang mirip yang dialami di
masa lalu. Keilp (dalam Ellis & Rutherford, 2008), menemukan bahwa pasien
dengan sejarah percobaan-percobaan bunuh diri menunjukkan ketidakberfungsian
saraf yang besar, dan ketidakberfungsian ini lebih besar pada pelaku percobaan
yang high-lethality.
2. Hopelessness
Hopelessness didefinisikan sebagai harapan individu bahwa kejadian
negatif akan terjadi di masa depan dan dia akan terus gagal dalam mencapai
tujuannya. Melalui penelitian yang dilakukan, Minkoff, Bergman, dan Beck (dalam
Ellis & Rutherford, 2008) menyatakan hopelessness merupakan penengah antara
depresi dan kecenderungan bunuh diri. Hopelessness juga berhubungan dengan
perilaku bunuh diri tanpa variabel depresi (Steer, Kumar, & Beck, dalam Ellis &
Rutherford, 2008). Di samping itu, kejadian hidup yang negatif dapat memprediksi
munculnya hopelessness (Yang & Clum, dalam Ellis & Rutherford, 2008).
3. Alasan untuk hidup
Alasan untuk hidup menunjukkan kemampuan individu menyatakan
pernyataan-pernyataan baik secara eksplisit atau dalam dirinya sendiri untuk
bertahan hidup. Individu yang memiliki pikiran bunuh diri biasanya susah untuk
menyatakan alasan untuk hidup. Linehan telah mengembangkan RFL (Reasons
for Living) yang merupakan alat untuk membedakan alasan hidup pada individu
suicidal dan non-suicidal yang hasilnya dapat diasosiasikan dengan beberapa
variabel, termasuk diantaranya intensi bunuh diri (Linehan, Goodstein, & Nielsen,
dalam Ellis & Rutherford, 2008).
4. Perfectionism
Perfeksionisme, yaitu penentuan harapan yang tinggi, telah dikenal
sebagai faktor resiko melakukan bunuh diri. Penentuan harapan yang tidak
realistis ini mengakibatkan self-criticism. Perfeksionisme dapat dibagi menjadi tiga
jenis, diantaranya self-oriented (menetapkan standar yang tidak realistis untuk diri
sendiri), other-oriented (menuntut kesempurnaan dari orang lain), dan socially
prescribed (mempercayai bahwa orang lain mengharapkan dirinya sempurna).
Dari ketiga jenis perfeksionisme ini, jenis socially prescribed dan self-oriented
berkaitan erat dengan kecenderungan bunuh diri.
5. Konsep diri
Markus (dalam Weiten & Lloyd, 2006) menyatakan bahwa konsep diri
adalah kumpulan kepercayaan seseorang mengenai dirinya. Konsep diri ini
terbentuk dari pengalaman masa lalu dan berhubungan dengan trait kepribadian,
kemampuan, karakteristik fisik, nilai, tujuan, dan peran sosial (Campbell,
Assanand, & DiPaula, dalam Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, Swann
mengemukakan bahwa orang yang mempunyai skema diri yang negatif selalu
mencari informasi yang mengkonfirmasi skema negatif tersebut(self-verification)
(dalam Pervine, Cervone, & John, 2005).
Salah satu fungsi konsep diri yaitu untuk menilai diri sendiri, atau yang
lebih sering disebut dengan harga diri (self-esteem). Harga diri merupakan
penilaian keseluruhan seseorang terhadap keberhargaan dirinya sebagai seorang
manusia (Weiten & Lloyd, 2006). Jika seseorang memandang dirinya secara
positif (konsep diri positif), maka dia akan memiliki harga diri yang tinggi, begitu
juga sebaliknya (Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, pola asuh orang tua
berperan dalam pembentukan harga diri, dimana pola asuh authoritative
diasosiasikan dengan harga diri yang tinggi, dan pola asuh neglected
diasosiasikan dengan harga diri yang rendah (Furnham & Cheng, dalam Weiten &
Lloyd, 2006). Konsep diri yang negatif telah dibuktikan merupakan faktor resiko
kecenderungan bunuh diri tanpa variabel karakteristik kognitif lainnya.
6. Ruminative Response Style
Gaya berpikir merupakan faktor resiko terjadinya depresi, dan depresi
merupakan prediktor yang kuat dalam perilaku bunuh diri (Tanney, dalam Ellis &
Rutherford, 2008). Ruminative response style adalah gaya berpikir yang secara
terus menerus berfokus pada mood negatif dan implikasinya. Gaya berpikir ini
terdiri dari dua bentuk, yaitu bentuk pasif (brooding) dan bentuk aktif (reflection)
(Chan, Miranda, & Surrence, 2009). Brooding merupakan sebuah perbandingan
pasif antara situasi sekarang dengan standar yang tidak tercapai, sedangkan
reflection merupakan gaya berpikir adaptif yang berfokus pada diri dan bertujuan
untuk menyelesaikan masalah dan mengurangi simtom depresi. Brooding dapat
memprediksi terjadinya pikiran bunuh diri dan depresi. Sedangkan, reflection
hingga saat ini masih diprediksikan sebagai faktor protektif untuk pikiran bunuh
diri.
7. Autobiographical Memory
Autobiographical memory merupakan memori mengenai pengalaman yang
pernah dialami dalam kehidupan seseorang. Memori ini diasosiasikan dengan
depresi, posttraumatic stress disorder , dan bunuh diri. Pelaku percobaan bunuh
diri menunjukkan kesulitan dalam tugas mengingat autobiographical memory dan
menghasilkan autobiographical memory yang tidak jelas dan umum (William &
Broadbent, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Memori ini berkaitan dengan bunuh
diri dalam 3 hal berikut: autobiographical memory yang terlalu umum
menyebabkan episode gangguan emosional yang menetap, merusak kemampuan
menyelesaikan masalah karena pengalaman masa lalu tidak dapat digunakan
sebagai referensi untuk strategi mengatasi masalah di masa depan, dan merusak
kemampuan individu untuk membayangkan masa depan secara spesifik. Hal
tersebut dapat meningkatkan tingkat hopelessness dan kecenderungan bunuh diri
pada individu.
1.6 Pohon Masalah Resiko Bunuh Diri
CEDERA /
KEMATIAN
Akibat
RESIKO BUNUH
DIRI
Core
Probem
Penyebab
(Mencederai Diri)
PERILAKU
KEKERASAN
ISOLASI SOSIAL
GANGGUAN
PROSES PIKIR /
HALUSINASI
HARGA DIRI
RENDAH
KOPING TIDAK
EFEKTIF
1.
Pengertian citra tubuh
Body image adalah gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya,
bagaimana seseorang mempersepsikan dan memberikan penilaian atas apa yang dia
pikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya, dan bagaimana kira-kira
penilaian orang lain terhadap dirinya. Sebenarnya, apa yang dia pikirkan dan rasakan,
belum tentu benar-benar merepresentasikan keadaan yang aktual, namun lebih
merupakan hasil penilaian diri yang subyektif.
Citra tubuh membentuk persepsi seseorang tentang tubuh, baik secara internal maupun
eksternal. Persepsi ini mencakup perasaan dan sikap yang ditujukan pada tubuh. Citra
tubuh dipengaruhi oleh pandangan pribadi tentang karakteristik dan kemampuan fisik dan
oleh persepsi dari pandangan orang lain (Potter & Perry, 2005).
Gambaran diri atau citra tubuh merupakan komponen konsep diri yang paling utama
dari komponen konsep diri lainnya, citra tubuh adalah persepsi individu terhadap dirinya
seara sadar ataupun tidak sadar terhadap penilaian dirinya meliputi: persepsi atau
perasaan tentang ukuran, fungsi, penampilan dan potensi tubuh. Gambaran diri atau citra
tubuh bersifat dinamis karena merupakan perubahan yang terjadi secara konstan sebagai
persepsi baru dan pengalaman dalam kehidupan (Stuart&Laraia,2005).
2.
Klasifikasi Citra Tubuh
a. Citra Tubuh Positif
Persepsi yang benar tentang bentuk individu, individu melihat tubuhnya sesuai dengan
kondisi yang sebenarnya. Individu menghargai badan/tubuhnya yang alami dan
individu memahami bahwa penampilan fisik seseorang hanya berperan kecil dalam
menunjukkan karakter mereka dan nilai dari seseorang.
b. Citra Tubuh Negatif
Merupakan suatu persepsi yang salah mengenai bentuk individu, perasan yang
bertentangan dengan kondisi tubuh individu sebenarnya. Individu merasa bahwa
hanya orang lain yang menarik. Bentuk tubuh dan ukuran tubuh individu adalah
sebuah tanda kegagalan pribadi. Individu merasakan malu, self-conscious, dan
khawatir akan badannya. Individu merasakan canggung dan gelisah terhadap
badannya .
3.
Komponen Citra Tubuh
Ada beberapa ahli yang mengemukakan mengenai komponen citra tubuh. Salah satunya
adalah Cash (2000) yang mengemukakan adanya lima komponen citra tubuh, yaitu :
dirinya
dan usaha
yang
dilakukan
untuk memperbaiki
dan
6.
c.
d.
e.
f.
g.
7.
Berdiam diri, tidak ingin bertemu dengan orang lain, merasa kecewa, malu, tidak
percaya diri
Isolasi sosial