Anda di halaman 1dari 13

Poliomielitis Akut

Bio Swadi Ghutama


102011388
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna Utara No. 6 Kebon Jeruk Jakarta Barat 1510
email : bioswadighutama@ymail.com

I. Pendahuluan
Pada abad 19, hampir semua penyakit pada medulla spinalis disebut mielitis. Dalam
Dercums Textbook of Nervous Diseases pada 1895, Morton Prince menulis tentang mielitis
traumatic, mielitis kompresif dan sebagainya, yang agak memberi kejelasan tentang arti
terminology tersebut. Dengan bertambah majunya pengetahuan neuropatologi, satu persatu
penyakit diatas dapat diseleksi hingga yang tergolong benar-benar karena radang saja yang masih
tertinggal. Menurut Plum dan Olsen (1981) serta Banister (1978) mielitis adalah terminology
nonspesifik, yang artinya tidak lebih dari radang medulla spinalis. Tetapi Adams dan Victor
menulis bahwa mielitis adalah proses radang infektif maupun noninfektif yang menyebabkan
kerusakan pada neuron, substansia alba dan melibatkan meninges atau menyebabkan nekrosis
pada substansia grisea dan alba. Beberapa istilah lain digunakan untuk dapat menunjukan dengan
tepat, distribusi proses radang tersebut. Bila mengenai substansia grisea disebut poliomyelitis,
bila mengenai substansia alba disebut leukomielitis. Dan bila seluruh potongan melintang
medulla spinalis terserang proses radang maka disebut mielitis transversa.1
Menurut perjalanan klinis antara awitan hingga munculnya gejala klinis mielitis
dibedakan atas :
1. Akut, symptom berkembang dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam tempo
beberapa hari saja
2. Subakut, perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2-6 minggu
3. Kronik, perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih dari 6 minggu1
Bila lesinya multipleks dan tersebar sepanjang sumbu vertical disebut mielitis diseminata
atau difusa. Sedang istilah meningomielitis menunjukan adanya proses radang baik pada
1

meninges maupun medulla spinalis, demikian pula dengan meningoradikulitis (meninges dan
radiks). Proses radang yang hanya terbatas pada duramater spinalis disebut pakimeningitis dan
bahan infeksi yang terkumpul dalam ruang epidural disebut abses epidural atau granuloma.
Istilah mielopati digunakan bagi proses noninflamasi medulla spinalis misalnya yang disebabkan
oleh proses toksik, nutrisional, metabolic dan nekrosis.1
II. Pembahasan
Poliomielitis adalah penyakt enterovirus akut dengan gejala prodromal muntah dan diare
yang berkaitan dengan gambaran meningitis aseptic, pada saat itu pasien mengalami evolusi
sebuah kelemahan flaksid asimetris akibat infeksi pada sekelompok sel kornu anterior.
Poliomielitis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus polio pada sel kornu
anterior medulla spinalis, inti motorik batang otak dan area motorik korteks otak, menyebabkan
kelumpuhan serta atrofi otot. Polio virus menginfeksi melalui jalur fekal-oral tetapi dapat juga
melalui kontak langsung. Poliomielitis diduga pertama kali dikenal kira-kira 6000 tahun yang
lalu pada jaman Mesir kuno, dengan ditemukan mumi yang mempunyai kelainan kaki yang
mengarah pada polio. Meskipun penyakit ini telah diketahui sejak jaman Mesir kuno purba tetapi
pertama kali secara jelas dilaporkan pada tahun 1840 oleh Jacob Heine lalu kemudian Medin
pada tahun 1890 memberikan dasar-dasar epidemiologi peyakit ini. Oleh karena itu dulu
penyakit ini dikenal sebagai penyakit Heine-Medin.2-4
Underwood pertama kali pada tahun 1789 menjelaskan penyakit poliomyelitis oleh
dengan deskripsi klinik sebagai penyakit yang utuh, disusul oleh Duchene mengenai proses
kerusakan yang terjadi di kornu anterior medulla spinalis oleh virus polio. Definisi mengenai
gambaran klinis dan epidemiologi oleh Wickman disusul dengan hasil Landsteiner melakukan
transmisi suatu filterable agent penyebab polio pada kera dan Flexner menemukan cara
passagenya. Jenis antigenic polio dipisahkan pada tahun 1951 disusul dengan pada tahun 19541955 pengembangan dan penggunaan secara luas vaksin inaktif melalui suntikan dengan vaksin
Salk. Vaksin hidup Sabin yang dilemahkan kemudian digunakan secara luas dan diberikan
peroral.3
Anamnesis

Anamnesis merupakan suatu wawancara dokter terhadap pasien untuk mendapatkan


informasi mengenai penyakit yang diderita oleh pasien. Tidakah berlebihan jika dikatakan bahwa
Anamnesis yang baik membawa kita menempuh setengah jalan ke arah diagnosis yang tepat.
Untuk mendapatkan anamnesis yang baik dibutuhkan sikap pemeriksa yang sabar dan penuh
perhatian, serta waktu yang cukup. Pengambilan anamnesis sebaiknya dilakukan ditempat
tersendiri karena biasanya pasien tidak suka penyakitnya diketahui orang lain. Biasanya
wawancara dengan pasien dimulai dengan menanyakan nama, umur, pekerjaan, alamat.
Kemudian ditanyakan keluhan utamanya, yaitu keluhan yang mendorong pasien datang berobat
ke dokter. Pada tiap keluhan atau kelainan perlu ditelusuri sejak kapan mulai, sifat serta beratnya,
lokasi serta penjalarannya, hubungan dengan waktu, keluhan lain yang ada hubungannya dengan
keluhan tersebut, pengobatan sebelumnya dan bagaimana hasilnya, factor yang memperberat,
perjalanan keluhan apakah menetap dsb. Berikut kerangka anamnesis yang baku :

Keluhan utama (KU)


Riwayat perjalanan peyakit sekarang (RPS)
Anamnesis system
Riwayat penyakit dahulu (RPD)
Alergi
Riwayat pengobatan
Alcohol
Merokok
Riwayat keluarga
Riwayat sosial

Pada skenario dikatakan anak laki-laki tersebut kaki kanannya tidak dapat digerakkan sejak 2
hari yang lalu. Jika kasus yang kita hadapi adalah poliomyelitis perlu ditanyakan pula 2 hari
sebelumnya apakah ada demam, pilek, batuk, diare, muntah, sakit kepala, malaise, nyeri otot,
faringitis, anoreksia, sakit pinggang dan kesulitan menekuk leher serta punggung. Gejala tersebut
merupakan gejala yang tidak khas, tetapi gejala tersebut merupakan gejala prodromal yang
muncul sebelum timbulnya kelumpuhan 3-6 hari, dan kelumpuhan terjadi dalam waktu 7-21
hari.5,6
Pemeriksaan Fisik

Dalam pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan pengukuran tanda-tanda vital (TTV)


meliputi tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, dan suhu tubuh. Kemudian dilanjutkan dengan
pemeriksaan khusus pada penyakit terkait. Pada kasus yang terkait dengan neurologis dapat
dilakukan pemeriksaan fisik seperti kesadaran, tanda rangsang meningeal, saraf cranial, motorik,
sensorik, koordinasi, status mental/kognitif. Tetapi, semua itu tidak dilakukan karena memakan
banyak waktu. Kita nilai keadaan umum terlebih dahulu, disini dikatakan pasien tampak sakit
sedang dan dinding faring hiperemis. Kesadaran pasien compos mentis. Lalu diperiksa tanda
rangsang meningeal didapatkan kaku kuduk (+), dan brudzinski (+). Lalu didapatkan pasien sulit
angkat kepala dan kaki saat supine, refleks tendon (-), kekuatan motorik (-), sensorik (+).1,4,5
Kaku kuduk dilakukan dengan tangan pemeriksa diletakkan dibawah kepala pasien yang
sedang berbaring. Kemudian kepala pasien ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu
mencapai dada. Jika terdapat suatu tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada berarti kaku
kuduk (+). Tanda brudzinski 1 dilakukan sama dengan ingin melakukan kaku kuduk tetapi
tangan pemeriksa yang satu ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan.
Bila tanda brudzinski (+), maka tindakan ini mengakibatkan fleksi kedua tungkai. Refleks tendon
menurun atau tidak ada sama sekali. Atrofi otot bagian yang lumpuh biasanya terlihat 3-5
minggu dan menetap dalam 12-15 minggu. Gangguan saraf cranial (poliomyelitis bulbar) dapat
mengenai saraf cranial IX dan X atau III. Bila mengenai formasio retikularis di batang otak maka
terdapat gangguan bernapas, menelan, dan system kardiovaskular. Kemudian didapatkan tanda
tripod, yaitu bila dari sikap berbaring ia hendak duduk maka kedua lutut akan fleksi sedang
kedua lengan dalam sikap ekstensi pada sendi siku untuk dipakai menunjang ke belakang pada
tempat tidur. Tanda ini timbul karena adanya spasme pada otot-otot paravertebral, erector trunsi
sehingga anak tidak dapat melakukan gerak antefleksi kolumna vertebralis waktu hendak
melakukan gerak dari berbaring ke sikap duduk. Di samping tanda tripod dapat pula dijumpai
tanda kepala terkulai (head drop) yaitu bila penderita yang dalam sikap berbaring hendak kita
tegakkan dengan cara menarik kedua ketiak/lengannya maka kepala penderita akan terkulai ke
belakang (retrofleksi).1,4,5
Pemeriksaan Penunjang
Virus polio dapat diisolasi dan dibiakkan dalam jaringan, dari hapusan tenggorok (swab
tenggorok), darah, LCS, feces, darah tepi, dan serologi antibody virus polio.
4

Darah tepi perifer : tidak ada pemeriksaan yang spesifik untuk diagnosis poliomyelitis
pada gejala awal, sama seperti virus lainnya. Pemeriksaan darah perifer mungkin dalam
batas normal atau terjadi leukositosis pada fase akut yaitu 10.000-30.000/ml dengan

predominan PMN.
Cairan LCS : adanya pleositosis yaitu peningkatan jumlah sel 20-300 sel/ml, terjadi
dominasi PMN, selanjutnya dominasi limfosit. Kadar protein sedikit meninggi dan kadar
glukosa menurun serta elektrolit normal, sedang tekanan tidak meninggi. Kadar protein
berkisar antara 30-120 mg/100 ml pada minggu pertama tapi jarang > 150 mg /100 ml,

kadar protein yang meninggi ini akan bertahan selama 3-4 minggu.
Isolasi virus : penderita mulai mengeluarkan virus ke dalam tinja saat sebelum fase
paralitik terjadi. Pada isolasi feses yang diambil 10 hari dari awitan gejala neurologic, 8090% psitif untuk virus polio, oleh karena ekskresi terjadi intermiten maka yang sebaiknya
diambil 2 atau lebih specimen dalam beberapa hari. Ekskresi dari faring dan LCS jarang
menghasilkan virus. Hasil biakan juga penting untuk menentukan jenis serotype virus dan

mempengaruhi cara vaksinasi.


Serologi : diagnosis poliomyelitis ditegakkan berdasarkan peninggian titer antibody 4x
atau lebih antara fase akut dan konvalesens, yaitu dengan cara pemeriksaan uji netralisasi
dan uji fiksasi komplemen. Karena complement fixing antibody mempunyai waktu lebih
pendek dibandingkan dengan titer netralisasi, dan lebih kuat maka dapat ditentukan
adanya infeksi polio baru bila terdapat peninggian tes fiksasi komplemen. Sangat
membantu bila wabah disebabkan oleh tipe tertentu atau oleh NPE yang lain.1,3

Diagnosis Kerja
Seorang anak laki-laki berusia 7 tahun dibawa ibunya ke puskesmas karena kaki
kanaannya tidak dapat digerakkan sejak 2 hari yang lalu. Pasien tersebut menderita penyakit
poliomyelitis. Poliomielitis anterior akuta (paralisis infantile, penyakit Heine-Medin) adalah
suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi virus polio dan mengakibatkan
kerusakan pada sel motorik di kornu anterior medulla spinalis, batang otak (dan dapat pula
mengenai mesensefalon, serebelum, ganglia basal) dan area motorik korteks serebri.1
Diagnosis Banding
A. Sindrom Guillaine Barre

Merupakan suatu neuropati perifer autoimun pascainfeksi yang sering terjadi setelah
infeksi respiratorik atau gastrointestinal. Dalam bentuk klasik, sindrom guilaine barre (SGB)
merupakan inflamasi demielinisasi polineuropati akut yang ditandai oleh kelemahan mototrik,
paralisis, dan hiporefleksi simetris, asendens dan progresif dari ujung ekstremitas tangan dan
kaki kemudian menjalar ke atas/proksimal tubuh dengan atau tanpa disertai gejala sensorik atau
otonom. Gejala yang khas meliputi arefleksia, flaksiditas, dan kelemahan yang relative simetris
dimulai dari kaki dan naik hingga melibatkan lengan, tubuh, tenggorokan, dan wajah.
Progresivitas dapat terjadi dengan cepat dalam beberapa jam atau hari atau lebih lambat, dalam
beberapa minggu. Gangguan muncul pada kedua sisi tubuh, kelemahan otot terjadi dalam
beberapa hari atau minggu, bahkan berbulan-bulan. Kelemahan pada awalnya muncul di tungkai
yang kemudian menjalar ke atas hingga dapat mengenai otot pernapasan dan otot-otot lengan.
Ditemukan riwayat infeksi saluran napas atau pencernaan sebelum awitan. Adanya factor
pencetus seperti riwayat vaksinasi, kehamilan, operasi sebelumnya dll. Refleks tendon
menghilang akibat terlambatnya penyampaian impuls saraf karena kerusakan myelin. Biasanya
gejala dimulai dengan mati rasa atau parastesi pada tangan dan kaki, kemudian rasa lemah dan
berat pada kaki, diikuti ketidakmampuan naik tangga atau berjalan. Refleks tendon dalam
negative walaupun kekuatan otot terpelihara. Disfungsi saraf autonom dapat menyebabkan
hipertensi, hipotensi, hipotensi ortostatik, takikardia, dan aritmia lain, retensi atau inkontinensia
urin, retensi feses, atau berkeringat yang abnormal, flushing, atau vasokonstriksi perifer.
Terpeliharanya fungsi defekasi dan miksi, hilangnya refleks pada lengan, tidak adanya suatu
batas sensorik yang tegas, dan tidak adanya nyeri disekitar tulang punggung mengarah kepada
sindrom guillaine barre.2,4
B. Mielitis transversa akut
Mielitis transversa adalah suatu radang medulla spinalis yang mengenai potongan
melintang substansia alba dan grisea. Perjalanan penyakit akut hampir separuh penderita dalam
waktu 12 jam menglami deficit neurologic maksimal sedang dua pertiga dalam 24 jam. Pada
mulanya dapat ditemukan adanya demam, malaise dan mailgia. Kemudian timbulah gejala
deficit neurologic yang secara umum merupakan kombinasi kelemahan ekstremitas, gangguan
sensibilitas, gangguan fungsi genitourinaria dan defekasi. Bagian yang sering terkena adalah
segmen torakal atas atau tengah (antara T2 dan T6). Gejala neurologic awal adalah parastesi pada
6

anggota gerak bawah atau parastesi pada tubuh dengan pola segmental serta kadangkala terdapat
nyeri punggung yang menjalar sepanjang batas atas lesi medulla spinalis yang bersangkutan,
parastesi pada anggota gerak atas jarang dijumpai. Perjalanan penyakit yang akut serta lesi
transversal ini sering menunjukan fase syok spinal. Pada fase ini mulanya didapati paralisis
flaksid kedua tungkai, retensio urin dan alvi. Penderita juga mengalami gangguan kontrol system
saraf otonom. Setelah fase syok berlalu (3-6 minggu) akan dijumpai paralisis spastic.
Makroskopik pada medula spinalis yang mengalami peradangan akan tampak edema, hyperemia
dan pada kasus berat terjadi perlunakan. Mikroskopik terdapat kongesti dan infiltrasi sel radang
pada leptomeninges.1
C. Ensefalitis virus
Merupakan radang pada jaringan otak yang disebabkan oleh virus. Penyebab tersering
adalah Virus Herpes Simpleks (HSV). Infeksi virus pada saraf pusat relative jarang tetapi dapat
menjadi penyebab yang serius. Umumnya, virus menginvasi SSP melalui darah. Gejala
prodromal seperti demam, nyeri kepala, mual dan muntah, vertigo, nyeri badan, nausea,
kemudian kesadaran menurun, timbul serangan kejang-kejang. Deficit neurologic yang timbul
tergantung lokasi kerusakan yang terjadi. Pada bayi tanda penting yang dapat dilihat seperti
muntah, ubun-ubun/fontanel menonjol, dan menangis terus-menerus dan lebih buruk jika
digendong. Gejala spesifik yang disebabkan oleh EBV, CMV, campak dan mumps meliputi
bercak kemerahan, limfadenopati, hepatosplenomegali, dan pembesaran kelenjar parotis. Pada
aq2pemeriksaan LCS didapati peningkatan kadar protein, sementara glukosa dan elektrolit
normal, serta cairan berwarna jernih.1,4
D. Acute flaccid paralysis
Kelumpuhan yang terjadi secara akut yang mengenai otot, saraf, neuromuscular junction,
otak, medulla spinalis dan kornu anterior. Banyak penyakit yang memberikan gejala acute
flaccid paralysis, diantaranya :poliomyelitis, miastenia gravis, dan sindrom guillaine barre.
Manifestasi klinis berupa kelemahan otot-otot proksimal yang simetris tanpa gejala atau tanda
seperti pada neuropati akut. Kelemahan otot akibat kelemahan, kuadriparesis flaksid simetris
(melibatkan fungsi respirasi dengan/tanpa mengenai medulla oblongata) disertai arefleksia; dapat
terjadi kehilangan fungsi sensorik minimal seperti pada neuropati atau poliradikulopati akut.
7

Paraparesis flaksid dengan gangguan di tingkat sensorik (lebih sering melibatkan tungkai bawah
dan disfungsi kandung kemih) seperti pada sindrom kauda ekuina, lesi medulla spinalis setinggi
vertebra torakal (misalnya mielitis transversa atau infark medulla spinalis). Kerusakan yang
mengenai medulla oblongata seperti pada botulism, miastenia gravis, penyakit motorneuron
(misalnya ALS) atau adanya lesi di pons. Oftalmoplegia disertai kelemahan motorik dan
disfungsi otonom.4
Gangguan gaya berjalan histerikal biasanya terjadi dalam hubungannya dengan paralisis
histerik dari satu tungkai atau lebih. Gaya berjalan biasanya aneh, mudah dikenali sebagai gaya
berjalan histerikal, dan tidak seperti gangguan gaya berjalan yang dicetuskan oleh penyakit
organic. Dapat terjadi pada pria atau wanita dan dapat terjadi pada usia muda, dewasa muda, dan
usia pertengahan. Pada hemiplegia histerikal, pasien menyeret tungkai bawah yang terkena pada
tanah di belakang tubuh dan kaki tidak sirkumduksi atau menggunakannya secara efektif untuk
menopang berat badan. Lengan pada sisi yang terkena seringkali lemas bergantung tanpa guna
disamping tubuh. Tanda objektif dari penyakit neurologic tidak ada, tungkai yang terkena
menunjukan tahanan normal terhadap manipulasi pasif. Refleks tendo profunda sama pada kedua
sisi tubuh, dan respon plantaris turun. Pada paraplegia histerikal pasien biasanya berjalan dengan
satu atau dua tongkat atau berbaring ditempat tidur dengan tungkai bawah dipertahankan baik
yang lemas seluruhnya maupun yang lurus dan kaku. Beberapa pasien dengan paresis histerikal
berjalan agak sulit tapi menunjukan kekuatan dan koordinasi yang normal ketika berbaring
ditempat tidur. Pada waktu berjalan, orang histerikal berpegangan erat. Jika diminta berjalan
tanpa dukungan pasien akan terhuyung ke depan secara dramatis membelok kesatu sisi ke sisi
yang lain dengan interval yang teratur. Pasien dapat mengatasi kesulitan dari ketidakseimbangan
yang luar biasa agar tidak jatuh dan membuat berbagai sikap tubuh. Pasien histerik dapat jatuh
ketika berjalan tetapi hanya jika dokter atau anggota keluarga berdiri didekatnya sehingga dapat
menangkap pasien.7
Manifestasi Klinis
Minor illness, gejala ini terjadi sebagai akibat proses inflamasi akibat berbiaknya virus
polio. Gejala sangat ringan atau bahkan tanpa gejala. Keluhan biasanya nyeri tenggorok dan
perasaan tak enak di perut, gangguan GIT, demam ringan, malaise, dan nyeri kepala ringan.
Gejala ini terjadi selama 1-4 hari, kemudian menghilang. Gejala ini merupakan fase enteric.
8

Masa inkubasi 1-3 hari dan jarang lebih dari 6 hari. Selama waktu itu virus bereplikasi pada
nasofaring dan saluran cerna bawah. Gejala tidak khas ini terdapat pada 90-95% kasus polio.3
Major illness merupakan gejala klinik akibat penyebaran dan replikasi virus di tempat
lain serta kerusakan yang ditimbulkannya. Gejala klinis dimulai dengan demam, kelemahan
cepat dalam beberapa jam, nyeri kepala dan muntah. Dalam waktu 24 jam terlihat kekakuan pada
leher dan punggung. Penderita terlihat mengantuk, iritabel, dan cemas. Bila terjadi paralisis
biasanya dimulai dalam beberapa detik sampai 5 hari sesudah keluhan nyeri kepala. Pada anak,
stadium pre-paralisis lebih singkat dan kelemahan otot terjadi pada waktu penurunan suhu, pada
saat penderita merasa lebih baik. Pada dewasa, stadium pre-paralisis berlangsung lebih lama dan
hebat, penderita terlihat sakit berat, tremor, agitasi, kemerahan di daerah muka, otot menjadi
sensitive dan kaku, pada otot ekstensor ditemukan refleks tendon meninggi dan fasikulasi. Secara
umum proporsi bentuk klinik poliomyelitis :

Asimtomatik, tanpa gejala klinik, merupakan proporsi kasus terbanyak (72%)


Poliomyelitis abortif, terdapat 3 gambaran klinis utama, yaitu infeksi saluran napas atas,

gangguan GIT, dan gejala seperti influenza. Gejala tersebut mereda 2-3 hari.
Poliomyelitis aseptic nonparalitik, terdapat tanda poliomyelitis abortif, namun nyeri
kepala, mual dan muntah lebih berat, otot-otot leher posterior dan punggung kaku serta
nyeri, sulit BAK dan konstipasi. Pada PF ditemukan kaku kuduk. Refleks profundus
(tendon) biasanya terganggu 8-24 jam setelah refleks superficial menghilang,

menandakan akan terjadi paresis ekstremitas.


Poliomyelitis paralitik : pada poliomyelitis paralitik spinal setelah nyeri kepala dan
demam, terjadi nyeri otot hebat. Dalam 1-2 hari timbul paresis atau paralisis flaksid
asimetris. Pada PF ditemukan kaku kuduk, nyeri otot, refleks tendon dalam hiperaktif
kemudian menghilang dan terjadi paralisis. Pasien merasa lebih baik setelah 2-5 hari.
Poliomyelitis bulbar, terdapat disfungsi saraf cranial dan medulla spinalis. Manifestasi
klinis berupa gangguan pernapasan (selain paralisis otot-otot ekstraokular, wajah dan
pengunyah). Saraf cranial yang terkena jarang mengalami gangguan permanen.
Poliensefalitis, kejang, koma, dan paralisis spastic disertai peningkatan refleks fisiologis,
iritabilitas, disorientasi, mengantukm dan tremor. Dapat terjadi paralisis nervus kranialis
atau perifer.3,4

Etiologi
Virus polio adalah virus RNA yang termasuk kelompok enterovirus dan family pikorna
virus. Virus ini juga termasuk salah satu virus yang terkecil jadi ia termasuk virus yang filterable.
Terdapat 3 tipe virus polio yaitu tipe 1 (Brunhilde), tipe 2 (Lansing), dan tipe 3 (Leon). Tipe 1
yang sering menyebabkan paralisis. Virus ini akan menimbulkan 3 macam antibody, tetapi tidak
terdapat kekebalan silang. Virus ini hanya dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau
pemberian zat oksidator yang kuat seperti peroksida, atau kalium permanganate.1
Patogenesis
Virus masuk ke dalam tubuh melalui saluran ororfaring setelah ditularkan melalui fekaloral. Masa inkubasi biasanya antara 4-17 hari, tapi bisa sampai 5 minggu. Setelah masuk ke
dalam tubuh, virus akan berkembang biak (multiplikasi) di jaringan limfoid tonsil atau pada plak
peyeri kemudian ia akan menembus dinding usus melalui darah akan tersebar ke seluruh tubuh.
Viremia ini tidak menimbulkan gejala (asimtomatik) atau hanya sakit ringan saja. Diduga pada
kasus-kasus yang menimbulkan paralisis, virus mencapai system saraf secara langsung melalui
darah atau secara retrograd melalui saraf tepi atau saraf simpatetik atau ganglion sensorik pada
tempat ia bermultiplikasi yaitu di saluran GIT atau jaringan ekstraneural lain. Bila virus banyak
didapat pada suatu daerah, maka timbulnya penyakit polio dapat dicetuskan oleh tindakan
operasi daerah tenggorok, dan mulut seperti tonsilektomi dan ekstraksi gigi atau tindakan
penyuntikan/vaksinasi DPT, kehamilan, kerja fisik yang berat/kelelahan.1
Epidemiologi
Goar (1955) dalam uraiannya tentang polio di negeri yang sedang berkembang dengan
sanitasi yang buruk berkesimpulan bahwa epidemic ditemukan 90% pada anak dibawah usia 5
tahun (karena itu dulu disebut paralisis infantil) tapi bukan berarti poliomyelitis tidak ditemukan
pada orang dewasa. Penyakit polio jarang didapatkan pada usia dibawah umur 6 bulan, mungkin
karena imunitas pasif yang didapat dari ibu. Wabah epidemic poliomyelitis yang terakhir
dilaporkan terjadi pada tahun 1955 di New England, USA. Dengan ditemukan vaksin polio maka
kini poliomyelitis hanya dijumpai sebagai kasus yang sporadik saja.1
Penatalaksanaan
10

Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk poliomyelitis. Rehat baring total harus segera
dilakukan pada penderita yang diduga menderita poliomyelitis karena aktivitas fisik pada
stadium pre-paralitik akan menigkatkan risiko terjadinya paralisis yang berat. Analgesic atau
NSAID diberikan untuk mengatasi mialgia, spasme otot, dan nyeri kepala. Bila terjadi
kelumpuhan otot-otot pernapasan, diperlukan ventilator portable. Pada penderita poliomyelitis
paralitik bentuk spinal selain tirah baring total dan pengobatan simtomatik maka posisi
ekstremitas harus pula diperhatikan untuk menghindari terjadinya kontraktur. Lengan dan tangan
dapat diberi splint sedang untuk menghindari foot drop dapat diberikan papan pengganjal pada
telapak kaki agar kaki selalu berada pada posisi dorsofleksi. Fisioterapi sebaiknya dikerjakan
setelah 2 hari demam hialng. Dan apabila terjadi paralisis bulbaris maka yang harus diperhatikan
adalah kebutuhan cairan, sekresi farings yang dapat menyebabkan aspirasi lalu adanya disfagia
akan membutuhkan pemasangan sonde lambung. Antibiotic diberikan untuk mencegah infeksi
traktus urinarius. Betanekol dapat mencegah retensio urin. Terapi okupasional dan terapi
bicara.1,3,4
Pencegahan
Menjaga kebersihan penting dalam pencegahan. Terdapat 2 tipe vaksin yang digunakan
dalam pencegahan poliomyelitis :
1. Vaksin polio yang tidak aktif (Inactivated Polio Vaccine/IPV). Vaksin primer. Diberikan
dalam 3 dosis awal : saat usia 6 minggu atau biasanya usia 2 bulan, usia 4 bulan, dan
pada usia antara 6-18 bulan. Dosis keempat diberikan pada usia 4 tahun.
2. Vaksin polio oral (Oral Polio Vaccine/OPV). Pemberian sama dengan IPV.4

Komplikasi
Komplikasi yang paling berat adalah kelumpuhan yang menetap. Kelumpuhan terjadi
sebanyak kurang dari 1 dari setiap 100 kasus, tetapi kelemahan satu atau beberapa otot, sering
ditemukan. Kadang bagian dari otak yang mengatur pernapasan terserang polio, sehingga terjadi
kelemahan atau kelumpuhan pada otot dada. Beberapa penderita mengalami komplikasi 20-30
11

tahun setelah terserang polio. Keadaan ini disebut sindroma post-poliomielitis, yang terdiri dari
kelemahan otot yang progresif, yang seringkali menyebabkan kelumpuhan.2
Prognosis
Prognosis polio bergantung pada derajat penyakitnya. Pada polio ringan dan sedang,
kebanyakan pasien sembuh sempurna dalam jangka waktu singkat. Penderita polio spinal 50%
akan sembuh sempurna, 25% mengalami disabilitas ringan, 25% disabilitas serius dan permanen.
Sebanyak 1% penderita polio berat akan mengalami kematian. Prognosis tergantung kepada jenis
polio (subklinis, non-paralitik, atau paralitik) dan bagian tubuh yang terkena. Jika tidak
menyerang otak dan korda spinalis, kemungkinan akan terjadi pemulihan total. Jika menyerang
otak atau korda spinalis merupakan suatu keadaan gawat yang mungkin akan menyebabkan
kelumpuhan atau kematian (biasanya akibat gangguan pernapasan).2,4
III. Kesimpulan
Poliomielitis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus polio. Virus
tersebut meyerang sel kornu anterior medulla spinalis yang berfungsi dalam system motorik
sehingga penderita mengalami kelumpuhan, kelumpuhan yang terjadi bersifat asimetris. Tidak
ada pengobatan yang spesifik, hanya di tangani komplikasi dan gejala serta menguragi
progresivitas yang terjadi saja. Kini untuk pencegahan digunakan vaksin oral. Dengan
ditemukannya vaksin polio, kini penyakit tersebut hanya bersifat sporadic saja.
IV. Daftar Pustaka :
1. Joesoef AA, Aliah A, Limoa A, Chandra B, Asnawi C, Gunawan D. Kapita selekta
neurologi. Edisi kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press: 2009
2. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Alpert JJ, Bishop WP. Nelson
ilmu kesehatan anak esensial. Edisi keenam. Singapura: Saunders Elsevier; 2011
3. Merdjani A, Syoeib AA, Tumbelaka AR, Chaerulfatah A, Kaspan F, Setiabudi D. Buku
ajar infeksi & pediatric tropis. Edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI: 2002
4. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis & tatalaksana
penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2009
5. Lumbantobing SM, Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta: FKUI; 2006
6. Thomas J, Monaghan T. Buku saku oxford pemeriksaan fisik & keterampilan praktis.
Jakarta: EGC; 2012
12

7. Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Harrison

prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi 13 Volume 1. Jakarta: EGC; 2001

13

Anda mungkin juga menyukai