Anda di halaman 1dari 13

KARAKTERISTIK FASE PERKEMBANGAN ANAK USIA

REMAJA DARI ASPEK INTELEKTUAL

MAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas Perkembangan Peserta Didik Pendidikan Dasar


Dosen Pembimbing: Dr. Khomsum Nurhalim

OLEH:
SUCIYATI
0103515025

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR (MATEMATIKA)
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah
Perkembangan Peserta Didik Pendidikan Dasar tentang Karakteristik Fase
Perkembangan Anak Usia Remaja dari Aspek Intelektual ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Salawat serta salam selalu kita
panjatkan atas junjungan baginda Nabi Muhammad SAW, sahabat, keluarga dan
pengingkut-pengikutnya.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Karakteristik Fase Perkembangan
Anak Usia Remaja dari Aspek Intelektual. Penulis juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang.

Semarang, April 2016

Penyusun

DAFTAR ISI
Judul ................................................................................................................... i
Kata Pengantar ................................................................................................. ii
Daftar Isi .......................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................
.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ............................................................................
.........................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan Makalah ...............................................................
.........................................................................................................1
BAB II. PEMBAHASAN
A. Definisi Masa Remaja ......................................................................
.........................................................................................................2
B. Perkembangan Intelektual ................................................................
.........................................................................................................4
C. Karakteristik Perkembangan Intelektual Anak Usia Remaja ...........
.........................................................................................................5
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................
......................................................................................................10
B. Saran ....................................................................................................
10
Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa remaja merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia.
Masa remaja sering digambarkan sebagai masa yang paling indah, dan tidak
terlupakan karena penuh dengan kegembiraan dan tantangan. Namun masa remaja
juga identik dengan kata pemberontakan, dalam istilah psikologi sendiri sering
disebut sebagai masa strom and stress karena banyaknya goncangan-goncangan
dan perubahan-perubahan yang cukup radikal dari masa remaja sebelumnya.
Dalam masa remaja, pikiran mereka berubah dengan artian mereka lebih
dapat berfikir abstrak dan hipotesis, perasaan mereka berubah hampir terhadap
segala hal, semua bidang cakupan perkembangan sebagai seorang remaja
menghadapi tugas utama mereka, membangun identitas termasuk identitas seksual
yang akan terus mereka bawa sampai masa dewasa.
Salah satu tugas perkembangan remaja yang harus dilaluinya adalah
mampu berfikir secara lebih dewasa dan rasional, serta memiliki perkembangan
yang lebih matang dalam menyelesaikan masalah. Dengan kata lain remaja harus
memiliki kemampuan intelektual serta konsepsi yang dibutuhkan untuk menjadi
warga masyarakat yang baik.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini antara lain:
1.
Apa definisi masa remaja?
2.
Apa yang dimaksud perkembangan intelektual?
3.
Bagaimanakah karakteristik perkembangan intelektual anak
usia remaja?

C.
1.
2.
3.

Tujuan Penulisan Makalah


Untuk mengetahui definisi masa remaja.
Untuk mengetahui yang dimaksud dengan perkembangan intelektual.
Untuk mengetahui karakteristik perkembangan intelektual anak usia remaja.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Masa Remaja


Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara masa anakanak dan masa ke dewasa, di mulai dari pubertas, yang ditandai dengan perubahan
pesat dalam berbagai aspek perkembangan, baik fisik maupun psikis. Secara
harfiyah pubertas berasal dari bahasa latin pubescence (yang berarti to grow
hairy), yang berarti tumbuhnya bulu-bulu, seperti bulu-bulu di sekitar kelamin,
ketiak, dan muka. Secara istilah, kata pubertas berarti proses pencapaian
kematangan seksual dan kemampuan bereproduksi.
Masa remaja disebut juga adolesene, yang dalam bahasa latin berasal dari
kata adolescere, yang berarti to grow into adulthood. Adolsen merupakan
periode transisi masa anak ke masa dewasa, dalam mana terjadi perubahan dalam
aspek biologis, psikologis dan sosial. Menurut Laurence Steinberg dalam (Yusuf
dan Nani, 2012:78) ada tiga perubahan fundamental pada masa remaja, sebagai
berikut:
1. Biologis, seperti mulai matangnya alat reproduksi, tumbuhnya buah dada
pada anak wanita, dan tumbuhnya kumis pada anak pria.
2. Kognisi, yaitu kemampuan untuk memikirkan konsep-konsep yang abstrak
(seperti persaudaraan, demokrasi, dan moral), dan mampu berpikir hipotesis
(mampu

memikirkan

hal-hal

yang

mungkin

terjadi

berdasarkan

pengalamannya).
3. Sosial, yaitu perubahan dalam status sosial yang memungkinkan remaja
(khususnya remaja akhir) masuk ke peran-peran atau aktivitas-aktivitas baru,
seperti bekerja, atau menikah.
Untuk memahami masa remaja ini, pada paparan berikut dijelaskan
tentang pendapat atau pandangan para ahli (filsafat, antropologi, dan psikologi)
dalam Yusuf dan Nani (2012:78), yaitu sebagai berikut:
1. Aristoteles, berpendapat bahwa aspek terpenting bagi remaja adalah
kemampuannya untuk memilih dan determinasi diri (self-determination)
sebagai tanda kematangannya.

2. Jean-Jacques Rousseau, berpendapat bahwa pada usia 15-20 tahun, individu


sudah

matang

emosinya,

dan

dapat

mengubah

sikap

selfishness

(memerhatikan atau mementingkan diri sendiri) ke interest in others


(memerhatikan orang lain).
3. Stanley Hall, sebagai pionir dalam studi ilmiah tentang remaja berpendapat
bahwa adolesen adalah masa storm-and-stress, masa penuh konflik, yaitu
sebagai periode yang berada dalam dua situasi, antara kegoncangan,
penderitaan, asmara, dan pemberontakan dengan otoritas orang dewasa.
4. Margaret Mead, seorang ahli antropologi yang mempelajari masa adolesen di
Samoa. Dia berpendapat bahwa hakikat dasar adolesen bukan biologis tetapi
sosial budaya. Menurut dia bahwa remaja Samoa itu tidak berada dalam
suasana storm-and-stres, bahkan sebaliknya, mereka hidupnya relatif bebas
dari kegelisahan atau stress (tetapi setelah ada penelitian berikutnya, kira-kira
dua dasawarsa setelah itu, kondisi pelaku adolesen telah berubah).
5. Jacqueline Lerner dan kawan-kawan sebagai ahli yang mempromosikan
Possitive Youth Development (PYD) berpendapat bahwa remaja memiliki lima
karakteristik, yaitu (a) Competence, remaja memiliki persepsi positif terhadap
aspek sosial, akademik, fisik, karir, dan sebagainya, (b) Cofidence, remaja
memiliki keyakinan dan sikap positif, seperti memiliki self-worth dan selfefficacy, (c) Connection, remaja memiliki hubungan positif dengan orang
lain, seperti keluarga, teman sebaya, guru, dan yang lainnya dalam kehidupan
masyarakat, (d) Character, remaja memiliki sikap respek terhadap peranperan sosial, memahami benar-salah atau baik-buruk, dan memiliki integritas,
dan (e) Caring/compassion, remaja

menunjukkan perhatian emosional

terhadap orang lain, terutam pada saat mereka sedang berada dalam keadaan
duka cita.
Masa remaja (12-21 tahun) merupakan masa peralihan antara masa
kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Masa remaja sering
dikenal dengan masa pencarian jati diri (ego identity). Menurut Desmita (2014:37)
masa remaja ditandai dengan sejumlah karakteristik penting, yaitu:
1. Mencapai hubungan yang matang dengan teman sebaya.
2. Dapat menerima dan belajar peran sosial sebagai pria atau wanita dewasa
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
3. Menerima keadaan fisik dan mampu menggunakannya secara efektif.
4. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.

5. Memilih dan mempersiapkan karir di masa depan sesuai dengan minat dan
kemampuannya.
6. Mengembangkan sikap positif terhadap pernikahan, hidup berkeluarga, dan
memiliki anak.
7. Mengembangkan

keterampilan

intelektual

dan

konsep-konsep

yang

diperlukan sebagai warga negara.


8. Mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial.
9. Memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai pedoman dalam
bertingkah laku.
10. Mengembangkan wawasan keagamaan dan meningkatkan religiutas.
B. Perkembangan Intelektual
Menurut English & English dalam bukunya A Comprehensive Dictionary
of Psychological and Psychoanalitical Terms, istilah intellect berarti antara lain:
(1) kekuatan mental di mana manusia dapat berpikir, (2) suatu rumpun nama
untuk proses kognitif, terutama untuk aktivitas yang berkenanan dengan berpikir
(misalnya menghubungkan, menimbang, dan memahami), dan (3) kecakapan,
terutama kecakapan yang tinggi untuk berpikir (Sunarto, 2008:99).
Menurut kamus Webster New World Dictionary of the American
Language, istilah intellect berarti:
1. Kecakapan untuk berpikir, mengamati atau mengerti, kecakapan untuk
mengamati hubungan-hubungan, perbedaan-perbedaan dan sebagainya.
Dengan demikian kecakapan berbeda dari kemauan dan perasaan,
2. Kecakapan mental yang besar, sangat intellegence, dan
3. Pikiran atau inteligensi.

C. Karakteristik Perkembangan Anak Usia Remaja dari Aspek Inteletual


Inteligensi pada masa remaja tidak mudah diukur, karena tidak mudah
terlihat perubahan kecepatan perkembangan kemampuan tersebut. Pada umumnya
3-4 tahun pertama menunjukkan perkembangan kemampuan yang hebat,
selanjutnya akan terjadi perkembangan yang teratur. Pada masa remaja
kemampuan untuk mengatasi masalah yang majemuk bertambah. Pada awal masa
remaja, kira-kira pada umur 12 tahun, anak berada pada masa yang disebut masa
operasi formal (berpikir abstrak). Pada masa ini remaja telah berpikir dengan
mempertimbangkan hal yang mungkin di samping hal yang nyata (real)
(Gleitman) dalam Sunarto (2008:104).

Menurut Jean Piaget dalam Yusuf & Nani (2012:81), perkembangan


inteletual remaja berada pada tahap Formal operation stage, yaitu tahap ke
empat atau terakhir dari tahapan perkembangan intelektual. Tahapan berpikir
formal ini terdiri atas dua subperiode.
1. Early formal operational thought, yaitu kemampuan remaja untuk berpikir
dengan cara-cara hipotetik yang menghasilkan pikiran-pikiran sukarela
(bebas) tentang berbagai kemungkinan tidak terbatas. Dalam periode awal ini,
remaja mempersepsi dunia sangat bersifat subjektif dan idealistik.
2. Late formal operational thought, yaitu remaja mulai menguji pikirannya yang
berlawanan dengan pengalamannya, dan mengembalikan keseimbangan
intelektualnya. Melalui akomodasi (penyesuaian terhadap informasi/hal baru),
remaja mulai dapat menyesuaikan terhadap bencana atau kondisi pancaroba
yang telah dialaminya.
Menurut Desmita (2014:107) secara umum karakteristik pemikiran remaja
pada tahap operasional formal ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir
secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang
tersedia. Pada tahap ini anak yang menginjak usia remaja sudah dapat berpikir
abstrak dan hipotesis, sehingga ia mampu memikirkan sesuatu yang akan atau
mungkin terjadi, sesuatu yang bersifat abstrak. Pemikiran remaja tidak lagi
terbatas di sini dan sekarang, mereka sudah mampu memahami waktu historis dan
ruang luar angkasa. Mereka dapat menggunakan simbol untuk menyimbol
(misalnya, menjadikan huruf X sebagai angka yang tidak diketahui), dan karena
itu, ia sudah dapat mempelajari aljabar dan kalkulus. Mereka dapat menghargai
lebih baik metafora dan alegori, sehingga ia bisa menemukan makna yang lebih
kaya dan literatur.
Menurut Sunarto (2008:104) pada usia remaja ini anak sudah dapat
berpikir abstrak dan hipotek. Dalam berpikir operasional formal setidak-tidaknya
mempunyai dua sifat yang penting, yaitu:
1. Sifat Deduktif Hipotesis
Dalam menyelesaikan suatu masalah, seorang remaja akan mengawalinya
dengan pemikiran teoretik. Ia menganalisis masalah dan mengajukan cara-cara
penyelesaian hipotesis yang mungkin. Pada dasarnya pengajuan hipotesis itu
menggunakan cara berpikir induktif di samping deduktif, oleh sebab itu dari sifat
analisis yang ia lakukan, ia dapat membuat strategi penyelesaian. Analisis teoretik

ini dapat dilakukan secara verbal. Anak lalu mengajukan pendapat-pendapat atau
prediksi tertentu, yang juga disebut proporsi-proporsi, kemudian mencari
hubungan antara proporsi yang berbeda-beda tadi. Berhubungan dengan itu maka
berpikir operasional juga disebut proposional.
2. Berpikir Operasional juga Berpikir Kombinatoris
Sifat ini merupakan kelengkapan sifat yang pertama dan berhubungan
dengan cara bagaimana melakukan analisis. Misalnya anak diberi lima buah gelas
berisi cairan tertentu. Suatu kombinasi cairan ini membuat cairan tadi berubah
warna. Anak diminta untuk mencari kombinasi ini. Anak yang berpikir
operasional formal, lebih dahulu secara teoretik membuat matriksnya mengenai
segala macam kombinasi yang mungkin, kemudian sistematik mencoba mengisi
setiap sel matriks tersebut secara empiris. Bila ia mencapai penyelesaian yang
betul, maka ia juga akan segera dapat mereproduksi.
Jadi, dengan berpikir operasional formal memungkinkan orang untuk
mempunyai tingkah laku problem solving yang betul-betul ilmiah, serta
memungkinkan untuk mengadakan pengujian hipotesis dengan variabel-variabel
tergantung yang mungkin ada. Berpikir abstrak atau formal operation ini
merupakan cara-cara berpikir bertalian dengan hal-hal yang tidak dilihat dan
kejadian-kejadian yang tidak langsung dihayati.
Cara berpikir terlepas dari tempat dan waktu, dengan cara hipotetis,
deduktif yang sistematis, tidak terlalu dicapai oleh semua remaja. Tercapai atau
tidak tercapainya cara berpikir ini tergantung juga pada tingkat inteligensi dan
kebudayaan sekitarnya. Seorang remaja yang dengan kemampuan inteligensi
terletak di bawah normal atau IQ kurang dari 90% tidak akan mencapai taraf
berpikir yang abstrak. Seorang remaja dengan kemampuan berpikir normal tetapi
hidup dalam lingkungan atau kebudayaan yang tidak merangsang cara berpikir,
misalnya tidak adanya kesempatan untuk menambah pengetahuan, pergi ke
sekolah tetapi tidak adanya fasilitas yang dibutuhkan, maka remaja itu sampai
dewasa pun tidak akan sampai pada taraf berpikir abstrak.
Kemampuan berpikir hipotetik, berarti remaja

telah

dapat

mengintegrasikan apa yang telah mereka pelajari dengan tantangan di masa


mendatang dan membuat rencana untuk masa mendatang. Meskipun remaja
dipandang sudah dapat memecahkan masalah abstrak dan membayangkan
masyarakat yang ideal, namun dalam beberapa hal pemikiran remaja masih

kurang matang. Ketidakmatangan berpikir remaja itu, menurut David Elkind


dalam Desmita (2014:110) dimanifestasikan ke dalam enam karakteristik, yaitu:
1. Idealisme dan kekritisan. Ketika para remaja memimpikan dunia yang ideal,
mereka menyadari betapa jauhnya mereka dengan dunia nyata, dimana
mereka memegang tanggung jawab orang dewasa. Mereka menjadi sangat
sadar akan kemunafikan, sehingga mereka sering kali mengkritik orang tua
mereka.
2. Argumentasi. Para remaja senantiasa mencari kesempatan untuk mencoba
atau menunjukkan kemampuan penalaran formal baru mereka. Mereka
menjadi argumentatif ketika mereka menyusun fakta dan logika untuk
mencari alasan, misalnya begadang.
3. Ragu-ragu. Para remaja dapat menyimpan berbagai alternatif dalam pikiran
mereka pada waktu yang sama, tetapi karena kurangnya pengalaman, mereka
kekurangan strategi efektif untuk memilih.
4. Menunjukkan hipocrisy. Remaja sering tidak menyadari perbedaan antara
mengekspresikan sesuatu yang ideal dan membuat pengorbanan yang
dibutuhkan untuk mewujudkannya.
5. Kesadaran diri. Para remaja sekarang dapat berpikir tentang pemikiranpemikiran mereka sendiri dan pemikiran orang lain. Tetapi, dalam keasyikan
mereka akan kondisi mental mereka, para remaja sering berasumsi bahwa apa
yang dipikirkan oleh orang lain sama dengan apa yang mereka pikirkan.
Kesadaran diri remaja yang demikian disebut oleh Elkind sebagai imaginary
audience, yakni perilaku menarik perhatian, keinginan untuk diperhatikan,
tampil menonjol dan menjadi pusat perhatian, seperti seorang yang tampil di
panggung.
6. Kekhususan dan ketangguhan. Karakteristik lain yang menunjukkan
ketidakmatangan pemikiran remaja adalah keyakinan remaja tentang dirinya
yang spesial, unik, dan tidak tunduk pada peraturan yang mengatur dunia,
atau disebut oleh Elkind sebagai personal fable (dongeng pribadi). Ini
merupakan suatu bentuk egosentrisme remaja, dimana ia merasa bahwa tidak
seorang pun yang dapat memahami bagaimana isi hatinya. Sebagai bagian
dari upaya mempertahankan perasaan unik, remaja sering mengarang cerita
tentang dirinya yang dipenuhi fantasi, yang menceburkan diri mereka ke
dalam suatu dunia yang jauh terpencil dari realistis. Dongeng-dongeng

pribadi ini sering ditemui dalam buku harian remaja. Bentuk egosentrisme
khusus ini mendasari perilaku self-destructive dan beresiko. Dalam sebuah
studi tentang personal fable,remaja lebih cenderung melihat dirinya rapuh
terhadap resiko-resiko tertentu, seperti alkohol dan obat-obat lainnya.
Untuk memahami perkembangan intelektual remaja ini

dapat

dikemukakan pendapat Vigotksy dalam Yusuf dan Nani (2012:83). Konsep utama
dia adalah Zone of proximal development (ZPD), yaitu daerah-daerah tugas
yang sangat sulit untuk diatasi oleh individu secara sendirian, tetapi baru dapat
dicapai apabila mendapat bimbingan atau bantuan dari orang dewasa atau teman
sebaya yang lebih terampil. ZPD ini meliputi dua sisi, yaitu batas bawah dan batas
atas. Batas bawah adalah tahap pemecahan masalah yang dapat dilakukan oleh
remaja sendiri tanpa bantuan orang lain. Sementara batas atas adalah tahap
berpikir remaja dalam memecahkan masalah dengan bantuan orang lain (guru atau
instruktur). Vigotksy meyakini bahwa perkembangan intelektual, dalam hal ZPD
sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial (sosial budaya).
Menurut Vigotksy, sekolah merupakan salah satu agen budaya yang
menentukan perkembangan berpikir remaja. Faktor lain yang mempengaruhi
perkembangan kognitif atau berpikir remaja adalah orang tua, teman sebaya,
komunitas, dan orientasi teknologi budaya. Contohnya sikap orang tua dan teman
sebaya terhadap kompetensi intelektual memengaruhi motif remaja untuk
memperoleh ilmu pengetahuan. Demikian juga sikap guru dan orang dewasa
lainnya di masyarakat.
Meskipun Piaget dan Vigotksy beraliran sama sebagai contructivist, namun
Vigotksy lebih terkenal dengan a social contructivist approach of learning yang
menekankan kepada social contexts of learning dan pemerolehan pengetahuan
adalah melalui interaksi sosial. Menurut Piaget, akhir perkembangan intelektual
adalah operasi formal, sedangkan menurut Vigotksy biasa berbeda bagi setiap
remaja, tergantung kepada keterampilan yang dipandang paling penting dalam
budaya tertentu. Menurut Piaget, anak mengonstruk pengetahuan melalui upaya
menstransformasi, mengorganisasi, dan mereorganisasi pengetahuan yang
sebelumnya. Sementara menurut Vigotksy, anak dan remaja mengonstruk
pengetahuan melalui interaksi sosial.
Implikasi kedua pendekatan atau teori tersebut terhadap pendidikan atau
mengajar, masing-masing adalah (a) menurut teori Piaget, guru perlu mendukung

siswa untuk mengeksplorasi lingkungan dan menemukan pengetahuan, dan (b)


menurut teori Vigotksy, siswa memerlukan banyak kesempatan untuk belajar
bersama guru dan teman sebaya yang lebih terampil. Peran guru dalam mengajar,
baik menurut Piaget maupun Vigotksy adalah sebagai fasilitator dan pembimbing,
bukan pengarah belajar siswa.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara masa anakanak dan masa ke dewasa, di mulai dari pubertas, yang ditandai dengan perubahan
pesat dalam berbagai aspek perkembangan, baik fisik maupun psikis. Masa remaja
(12-21 tahun) merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan
masa kehidupan orang dewasa. Masa remaja sering dikenal dengan masa
pencarian jati diri (ego identity). Secara umum karakteristik pemikiran remaja
pada tahap operasional formal ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir
secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang
tersedia. Pada tahap ini anak yang menginjak usia remaja sudah dapat berpikir
abstrak dan hipotesis, sehingga ia mampu memikirkan sesuatu yang akan atau
mungkin terjadi, sesuatu yang bersifat abstrak. Ketidakmatangan berpikir remaja
dimanifestasikan ke dalam enam karakteristik, yaitu: idealisme dan kekritisan,
argumentasi, ragu-ragu, menunjukkan hipocrisy, kesadaran diri, kekhususan dan
ketangguhan.
B. Saran
Remaja merupakan tahap awal seorang anak untuk tumbuh menjadi
seorang dewasa yang cerdas dan berpengetahuan luas. Oleh sabab itu, orang tua
harus memperhatikan setiap fase perkembangan yang dialami oleh anaknya
terutama dari aspek intelektual. Agar anak tidak terjerumus kedalam hal-hal yang

negatif yang akan merusak dirinya sendiri. Orang tua hendaknya mengetahui
kedewasaan remaja dengan jalan memberikan kebebasan terbimbing untuk
mengambil keputusan dan tanggung jawab sendiri. Sedangkan guru perlu
mendukung

siswa

untuk

mengeksplorasi

lingkungan

dan

menemukan

pengetahuan, siswa memerlukan banyak kesempatan untuk belajar bersama guru


dan teman sebaya yang lebih terampil. Peran guru dalam mengajar adalah sebagai
fasilitator dan pembimbing, bukan pengarah belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Desmita. 2014. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Sunarto. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.
Yusuf, S., dan Nani S. 2012. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

Anda mungkin juga menyukai