BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia terkenal dengan Negara yang kaya akan budaya. Indonesia
memiliki keragaman budaya yang tersebar di pelosok-pelosok nusantara.
Mulai dari kesenian, adat-istiadat hingga makanan melekat mewarnai
keragaman bangsa indonesia. Namun, karena banyaknya budaya yang kita
miliki, justru membuat kita tidak mengetahui apa saja budaya yang
ada Indonesia. Bahkan kita sendiri pun sebagai generasi muda terkadang
melupakan budaya daerah kita. Sangat disayangkan sekali,kita mengaku
orang Indonesia tetapi tak tahu ciri khas bangsanya sendiri. Itu dapat kita
lihat di sekeliling kita,para generasi muda yang sudah tidak tertarik untuk
mempelajari budaya Indonesia lagi, seperti tarian tradisional, sebetulnya kita
jugalah yang tidak mau tahu akan keluhuran budaya kita sendiri.
Ketertarikan budaya yang semakin meluntur disebabkan karena globalisasi.
Membahas era globalisasi, tentu juga akan berpengaruh pada
dinamika budaya di setiap negara. Khususnya di Indonesia, hal ini bisa
dirasakan dan sangat menonjol nampaknya. Begitu bebas budaya yang
masuk dari berbagai arus kehidupa dan berbagai daerah. Pribadi yang
ramah-tamah juga sangat mendukung masuknya berbagai budaya tersebut.
Ditambah lagi generasi muda kita yang terkesan bosan dengan budaya yang
mereka anggap kuno dan membosankan. Sehingga mereka mencoba budaya
baru yang itu. Namun, masuknya budaya dari luar justru sering berimbas
buruk bagi bangsa ini. Misalnya budaya berpakaian, gaya hidup (life style),
segi iptek, maupun adat-istiadat. Semuanya itu berdampak sangat buruk dan
dengan mudah dapat menggeser budaya asli Indonesia..
Kita sebenarnya belum siap menerima era globalisasi. Gaya hidup kita
semakin menjurus ke arah barat yang individual dan liberal. Budaya gotongroyong pun semakin memudar. Dari segi iptek, sebagian besar juga
berdampak buruk bagi kita. Yakni penyalahgunaan teknologi kerap kali
terjadi. Kemudian, belum ada filterisasi budaya yang masuk. Begitu mudah
budaya masuk tanpa ada penyaringan kesesuaian dengan budaya asli kita.
Para generasi muda sekarang lebih tertarik pada dance,dan melupakan
tarian tradisional yang ada di daerah mereka masing-masing. Akibatnya kita
seperti berjalan mengikuti perkembangan zaman yang semakin modern,
Tetapi sayangnya budaya luhur yang dulu melekat dalam diri, perlahan
semakin menghilang. Parahnya, budaya daerah yang ada dan kita junjung
tinggi justru semakin kita abaikan. Dan akibatnya kita tidak merasakan
bahwa perlahan-lahan budaya kita di ambil oleh bangsa lain,kemudian
bangsa itu mengklaim bahwa itu adalah budayanya.
1.2 Pokok Permasalahan
Pada zaman era presiden soekarno, pengklaiman beberapa
wilayah indonesiayaitu
Sipadan
Ligitan
juga
Blok
Ambalat
oleh Malaysia pernah membuat hubungan antar kedua negara ini menjadi
cukup tegang hingga muncul istilah GanyangMalaysia. Seiring dengan
redanya
isu
tersebut,
muncul
kembali
kasus
yang
membuat
negara indonesia terusik dan teganggu dengan pengklaiman berbagai
kebudayaanindonesia oleh
negara
tetangga Malaysia.
Dahulu
kasus
pengklaiman wilayahindonesia tak cukup menjadikan kedua negara ini
bermasalah dan beritanya hilang seiring berjalannya waktu.
Namun, beberapa waktu yang lalu kembali terdengar mengenai
pengklaiman beberapa kebudayaan asli indonesia oleh Malaysia diantaranya
adalah batik tulis, lagu rasa sayange, angklung, reog ponorogo, di klaim
berasal dari Malaysia. Sungguh mengherankan bukan, dari mulai dari
wilayah, hingga tarian dan lagu khas Indonesia
diklaim sebagai
kebudayaan Malaysia. Apa mungkin Malaysia tidak memiliki kebudayaan,
sehingga dalam berbagai aspek kebudayaan indonesia diklaim sebagai milik
negaranya?
Kasus Reog Ponorogo saat itu mengakibatkan terjadinya berbagai
demonstrasi di Indonesia. Salah satunya yaitu demonstrasi yang dilakukan di
depan kedubes malaysia oleh para warok dan para budayawan reog
ponorogo yang tidak terima dengan pengklaiman Malaysia atas Reog
Ponorogo dengan nama Barongan. Kasus ini cukup menarik perhatian dari
berbagai pihak dan masyarakat, khususnya dari pemerintah kabupaten
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tentang Kebudayaan Indonesia
Sudah berapa banyak produk budaya dan kesenian Indonesia yang
diklaim oleh Malaysia. Sebut saja Reog Ponorogo, Jaran kepang, Angklung,
Gamelan, Rendang, Rasa Sayange, dan masih banyak lagi hingga terakhir,
Batik dari Jawa dan Tari Pendet yang jelas-jelas produk budaya local rakyat
Bali ikut pula diklaim. Klaim Malaysia terhadap budaya dan kesenian
Indonesia sudah terjadi sejak awal kemerdekaan Malaysia dan menjadi salah
satu pemicu konflik antara kedua negara serumpun. Kita tidak bisa
menerima pernyataan seorang budayawan Malaysia, yang mengatakan
bahwa klaim yang dilakukan oleh Malaysia merupakan usaha untuk
melindungi khasanah budaya Melayu dari klaim barat. Negara-negara Eropa
memang sangat tertarik dengan eksotika budaya Indonesia. Namun tidak
berarti seni dan budaya Indonesia diklaim menjadi milik Malaysia. Tentu saja
kita tidak setuju dengan pernyataan itu. Batik dan Tari pendet misalnya. Jelas
merupakan produk yang berasal dari Indonesia. Maka pemerintah wajib
melindungi dari klaim negara manapun. Apa bedanya direbut Malaysia atau
negara Eropa?. Untungnya Norman Abdul Halim, produser film dokumenter
Malaysia, meminta maaf atas klaim batik dan tari pendet serta
menghentikan iklan Enigmatic Malaysia di Discovery Chanel.
Dibidang politik, Indonesia-Malaysia negara serumpun tetangga paling
dekat yang seharusnya saling mendukung dan mengisi kekurangan justru
tidak pernah luput dari konflik. Lihat saja sejak Soekarno menjadi Presiden,
aksi ganyang Malaysia menjadi salah satu bukti sejarah ketidak harmonisan
hubungan kedua negara. Indonesia beranggapan bahwa negara boneka
bentukan Inggris itu adalah sebatas semenanjung Malaya (bekas jajahan
Inggris) tidak meliputi negeri Sabah yang berada di Kalimantan bagian utara.
Sektor Seni dan Budaya menjadi saasaran empuk potensi konflik.
Konflik yang pemicunya dari sektor tersebut muncul karena keragaman
budaya leluhur kedua negara. Mengingat Malaysia adalah negara dengan
budaya luhur melayu, begitupun Indonesia, khususnya di Indonesia bagian
barat. Karena budaya ini dimiliki oleh kedua negara yang berbeda, maka
kebudayaan yang berada di wilayah ini disebut budaya daerah abu-abu ;
gray area. Budaya yang berada di wilayah ini bisa dimiliki oleh kedua belah
pihak, tapi tidak boleh diklaim secara sepihak.
Yang kerap terjadi, khususnya akhir-akhir ini adalah seringanya terjadi
klaim di satu pihak saja. Tidak hanya itu, seringkali juga Malaysia mengklaim
budaya-budaya yang tidak berada di daerah abu-abu atau yang secara
sangat jelas merupakan milik Indonesia, misalnya saja Tari pendet dan Batik
Indonesia. Sangat banyak hal-hal yang menjadi pemicu konflik dalam hal
budaya ini karena jika kita bicara tentang budaya suatu negara, maka secara
tidak langsung kita tengah berbicara tentang identitas negara tersebut yang
jelas berhubungan langsung dengan kedaulatan negara yang bersangkutan.
Klaim Malaysia terhadap Batik dan Tari pendet seharusnya bisa
menjadi pelajaran dan peringatan bagi kita semua. Sepertinya kita kurang
bersyukur, kita punya begitu banyak kesenian dan tarian yang mempesona,
namun
tak
banyak
dari
kita
yang
mau
mempelajari
dan
melestarikan. Bahkan kita sepertinya bangga kalau seni dan budaya kita
dipelajari dan kemudian ditampilkan/dipertontonkan oleh bangsa lain. Papanpapan penunjuk jalan di Jogja khususnya dan dikota-kota di Jawa pada
umumnya banyak yang dituliskan dalam aksara Jawa, tapi berapa banyak
anak muda sekarang yang bisa membaca dengan huruf Jawa?.
Pemerintah sudah tentu harus bertindak cepat, tegas, namun
juga smart. Berbagai produk kesenian dan budaya kita musti didata dan
didaftarkan hak miliknya agar tak perlu lagi kecolongan di kemudian hari.
Selanjutny kita juga tidak boleh kalah dalam memasarkan Indonesia di luar
negeri. Harapannya, tentu saja agar orang asing lebih tertananm dengan
seni dan budaya kita. Kalau seni dan budaya itu sudah dikenal bangsa asing,
maka sulit bagi bangsa lain untuk mengklaim seni dan budaya tersebut
sebagai miliknya.
Dari kasus tersebut tentu kita sebagai bangsa religi harus selalu
mengambil hikmahnya. Dari kasus pencurian budaya semacam ini ternyata
juga mampu menggugah semangat untuk mempertahannkan seni dan
budaya kita. Sejak batik diklaim negara Malaysia, sekarang banyak instansi
yang mewajibkan penggunaan seragam batik di hari-hari tertentu. Anak
muda pun tak lagi canggung mengenakan batik karena desain dan motifnya
terus berkembang menyesuaikan zaman. Bangsa Indonesia yang di luar
negeri pun kian bersemangat dalam mempromosikan budaya Indonesia
kepada orang asing. Banyak orang Indonesia yang sebelumnya cuek dengan
budaya Indonesia, kini menjadi lebih peduli terhadap nasionalisme dan
identitas bangsa ini. Apa yang ditunjukkan Malaysia seharusnya bukan hanya
membuat rasa nasionalisme kita tersentil. Tapi nasionalisme yang produktif,
seperti digagas mendiang Nurcholish Madjid. Menurut Cak Nur, kita harus
menjadi bangsa yang lebih kompetitif dengan karya-karya nyata yang
mengharumkan bangsa. Menurutnya, SDM kita misalnya, harus terus
dibenahi sehingga setidaknya bisa melebihi Malaysia. Dulu mereka
mengimpor guru, kini kita hanya mampu mengekspor tenaga kasar sehingga
telah terjadi perbudakan di zaman modern. Kita harus marah, tetapi setelah
marah reda, kita harus bekerja keras untuk mengatasi ketertinggalan kita
dari Malaysia.
Batik Indonesia secara resmi telah diakui oleh UNESCO. Batik
dimasukkan ke dalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak Benda
Warisan Manusia (representative list of the intangible cultural heritage of
humanity) dalam Sidang ke-4 Komite Antar-Pemerintah (fourth session of the
intergovernmental committee) tentangWarisan Budaya Tak Benda di Abu
Dhabi. Sedangkan Tari Pendet seperti yang penulis utarakan diatas bahwa
Malaysia telah mengakui Tari Pendit milik bangsa Indonesia. Selanjutnya
bagai mana bangsa Indonesia mampu mempertahankan seni budaya
tersebut?. Dibawah ini akan penulis sampaikan beberapa strategi yang dapat
dipakai sebagai acuan untuk mempertahankan senibudaya adiluhung bangsa
Indonesia.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian penulis diatas dapat ditarik suatu kesimpulan sederhana
yang mungkin tidak akan dapat diuraikan dengan kalimat yang panjang.
Namun, ada baiknya kita sedikit menyadari bahwa kebijakan konkrit
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas medesak untuk dilakukan agar
bangsa Indonesia tidak terjerembab ke lubang yang sama untuk ke sekian
kalinya, seni dan budaya kita diklaim oleh Malaysia atau bahkan negara lain.
Strategi kebudayaan yang monolitik mesti dipudarkan oleh upaya
pemerintah memfasilitasi serta mengadvokasi setiap hak sosial-budaya yang
dimiliki kebudayaan lokal. Jika ingin menyelamatkan/mempertahankan 'jati
diri bangsa', maka strategi kebudayaan yang usang perlu dibuang,
karenanya, politik kebudayaan perlu direartikulasi dan revitalisasi dalam
nuansa baru yang lebih memberdayakan, bukan menentukan, tidak jatuh
pada logika hasrat materialistik-kapitalistik semata.
Terkait dengan pendidikan, pemerintah hendaknya merancang sebuah
kurikulum yang sarat muatan budaya lokal dan nasional yang diakui dan
dijadikan identitas bangsa. Pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai
pelajaran ekstrakurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah yang
terintegrasi dalam mata pelajaran yang telah ada, mulai dari tingkat
pendidikan yang paling rendah sampai dengan perguruan tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Sugiarti, dan Trisakti Handayani. Kajian Kontemporer Ilmu Budaya Dasar. Malang:
UMM Press. 1999.
Suseno, FM. Filsafat Kebudayaan Politik. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
1992.
Swasono, MFH. Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir. Bukittinggi:
makalah Kongres Kebudayaan V, Bukittinggi, 20 22 Oktober 2003.
Rochaeti, E. Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2006.