Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pemilukada di Indonesia


Pemilukada adalah merupakan akibat dari pemberlakuan otonomi daerah.
Dimana otonomi daerah adalah akibat dari digunakannya sistem pemerintahan
desentralisasi.
Sebelum diberlakukan otonomi daerah, Indonesia menganut pemerintahan
sentralisasi. Namun banyak dari masyarakat Indonesia merasa tidak terwakili
aspirasinya dengan pemerintahan sentralisasi. Oleh karenanya, diberlakukanlah
otonomi daerah.
Lalu mengapa pemerintahan sentralisasi dianggap kurang memenuhi aspirasi
masyarakat Indonesia ?
Pertama-tama apakah maksud dari pemerintahan sentralisasi ?
Pemerintahan sentralisasi berlaku tatkala terjadi pemusatan seluruh wewenang
atas segala urusan yang menyangkut pemerintahan kepada pemerintah pusat.
Sebenarnya ada sisi positif dari pemerintahan sentralisasi, yaitu pemerintah
daerah tidak perlu pusing-pusing menentukan kebijakan atas daerahnya sendiri,
karena seluruh kebijakan dikoordinir oleh pemerintah pusat.
Namun pemerintahan sentralisasi juga tidak lepas dari sisi negatif, yaitu seluruh
kebijakan di daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat
sehingga waktu yang diperlukan untuk menentukan suatu kebijakan menjadi lama,

dan ada kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah pusat bagi daerah yang dirasa
kurang memenuhi aspirasi masyarakat di daerah tersebut.
Jadi, pemerintahan sentralisasi dianggap kurang memenuhi aspirasi masyarakat
Indonesia, karena ada kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah pusat bagi daerah
yang dirasa kurang memenuhi aspirasi masyarakat di daerah tersebut.
Ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan sentralisasi pada
akhirnya membawa Negara Indonesia memberlakukan pemerintahan desentralisasi
yang berdampak adanya otonomi daerah.
Pemerintahan desentralisasi berlaku tatkala ada penyerahan kewenangan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah
tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyat di daerah tersebut
dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi daerah adalah kewenangan suatu daerah untuk menyusun, mengatur
dan mengurus daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan serta bantuan dari
pemerintah pusat.
Pemberlakuan otonomi daerah tidak terlepas dari sisi negatif, yaitu daerah
harus mengurusi pemerintahannya sendiri termasuk melaksanakan Pilkada sendiri
sehingga rawan terjadi konflik, terutama dalam masa transisi dari pemerintahan
sentralisasi ke desentralisasi.
Sedangkan sisi positif dari otonomi daerah, yaitu kebijakan yang ada di daerah
dapat diputuskan di daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat sehingga
diharapkan lebih memenuhi aspirasi masyarakat di daerah tersebut.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka daerah harus melaksanakan
Pemilukada sendiri untuk memilih kepala dan wakil kepala daerahnya.

B. Sejarah Pemilukada di Indonesia

Pemilukada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Sebelum tahun
2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD).
Sejak berlakunya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala
daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah atau disingkat Pilkada.
Sejak berlakunya UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan
Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezim Pemilu, sehingga secara resmi bernama
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada.
Pada tahun 2011, terbit Undang-Undang baru tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum, yaitu UU No. 15 tahun 2011.

C. Pokok Permasalahan
Pemilukada yang dilaksanakan sejak tahun 2005 ternyata bukannya tanpa
masalah. Banyak terjadi konflik dalam pelaksanaan Pemilukada. Banyak terjadi
sengketa terhadap hasil Pemilukada. Pencegahan terjadinya konflik dan perbaikan
dalam pelaksanaan Pemilukada masih terus dilakukan.
Kemudian bagaimana sebenarnya pelaksanaan Pemilukada dan bagaimana
penyelesaian sengketa terhadap hasil Pemilukada ?
Dalam bab II penulis akan membahas tentang pelaksanaan Pemilukada dan
penyelesaian sengketa terhadap hasil Pemilukada.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan hukum Pemilukada di Indonesia


Ketentuan tentang Pemilukada diatur dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang
berbunyi Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
Sedangkan Undang-Undang yang mengatur tata pelaksanaan Pemilukada di
Indonesia adalah UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 21
UU No. 32 tahun 2004 diatur tentang hak-hak daerah dalam menyelenggarakan
otonomi, dimana salah satu haknya adalah memilih pimpinan daerah.
Juga ada Undang-Undang yang mengatur tentang Penyelenggaraan Pemilihan
Umum, yaitu UU No. 15 tahun 2011.

B. Penyelenggaraan Pemilukada di Indonesia


Sesuai dengan pasal 24 UU No. 32 tahun 2004, di Indonesia saat ini pemilihan
kepala daerah dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat
yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan
wakil kepala daerah.

Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dimaksud mencakup ;


Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi.
Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten.
Walikota dan wakil walikota untuk kota.
Pemilukada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)
provinsi dan KPUD kabupaten atau kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas
Pemilihan Umum (Panwaslu) provinsi dan Panwaslu kabupaten atau kota.
Khusus di Aceh, Pemilukada diselenggarakan oleh Komisi Independen
Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih
Aceh).
Berdasarkan pasal 56 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004, peserta Pemilukada adalah
pasangan

calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Ketentuan ini diubah dengan UU No. 12 tahun 2008, yang menyatakan bahwa peserta
Pemilukada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh
sejumlah orang. Undang-Undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi
yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pemilukada dalam UU No. 32
tahun 2004.
Khusus di Aceh, peserta Pemilukada juga dapat diusulkan oleh partai politik
lokal.
Mengenai masa jabatan kepala daerah diatur dalam pasal 110 ayat (3) UU No.
32 tahun 2004, yang menyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
telah dilantik secara sah sesuai dengan pasal 110 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004
memegang jabatan selama lima tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat
dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dalam pelaksanaan Pemilukada
diancam dengan ketentuan pidana yang diatur pada pasal 115 sampai 119 UU No. 32
tahun 2004.

C. Penyelesaian Sengketa Terhadap Hasil Pemilukada


Jika terjadi sengketa tentang hasil Pemilukada, maka yang berwenang
menyelesaikannya adalah Mahkamah Konstitusi. Hal ini sebenarnya janggal, karena
pada awal penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) kewenangan untuk
menangani sengketa hasil Pilkada diserahkan kepada Mahkamah Agung.
Pada mulanya sesuai dengan pasal 24C ayat (1) UUD 1945, tugas utama
Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang (UU) yang dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945), dan kewenangan-kewenangan lainnya adalah memutus sengketa
kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus
pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Setelah munculnya UU No. 22 tahun 2007 yang menggolongkan pemilihan


kepala daerah ke dalam rezim Pemilu, barulah terjadi pelimpahan kewenangan dari
Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan sengketa
terhadap hasil Pemilukada.
Bertambahnya kewenangan Mahkamah Konstitusi menyebabkan bertambah
banyak gugatan yang masuk. Apalagi menurut pasal 78 huruf (a) UU No. 24 tahun
2003, batas waktu penyelesaian sengketa terhadap hasil Pemilukada paling lambat 14
hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Banyaknya gugatan yang masuk dan sempitnya waktu penyelenggaraan
peradilan (14 hari) berdampak tidak maksimalnya Mahkamah Konstitusi dalam
memeriksa dan memutus kasus sengketa terhadap hasil Pemilukada.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (upaya pertama
dan terakhir) dalam penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan umum, juga
berdampak negatif. Sifat final dan mengikat artinya setelah Mahkamah Konstitusi
memutus tidak ada lagi upaya lain yang dapat ditempuh. Hal ini bisa menjadi ladang
korupsi. Didukung lagi dengan tidak adanya lembaga pengawas yang mengawasi
jalannya setiap persidangan sengketa terhadap hasil pemilihan umum di Mahkamah
Konstitusi.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemilukada dilaksanakan setelah pemberlakuan otonomi daerah. Masa transisi
dari pemerintahan sentralisasi ke desentralisasi menyebabkan pelaksanaan otonomi
daerah masih belum seperti yang diharapkan masyarakat. Pelaksanaan Pemilukada
juga belum memenuhi pengharapan masyarakat.

B. Saran
Tidak ada satupun hal yang sempurna di dunia ini, wajar saja jika otonomi
daerah juga mempunyai sisi negatif. Pengharapan masyarakat akan pemerintahan
yang lebih baik dengan diterapkannya otonomi daerah mungkin belum bisa terwujud
saat ini. Tetapi bisa saja terwujud di masa depan dengan perbaikan berbagai sumber
daya yang ada, terutama sumber daya manusia. Karena jika otonomi daerah
diibaratkan sebagai senjata, keberhasilan otonomi daerah bergantung pada manusiamanusia yang melaksanakannya.

Analisis Terhadap Proses Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) 2010


Sebelum menjelaskan analisis kasus maka terlebih dahulu akan
dijelaskan beberapa kerusuhan dan kekerasan pilkada yang terjadi
pada tahun 2010. Pemilihan Kepala daerah (pilkada) yang akan
diadakan mencapai 244 daerah pada tahun tersebut dan sampai bulan
mei 2010 .

Contoh Kasus :
Belum mencapai separuh dari total 244 daerah. Dalam 39 pilkada
yang sudah digelar, ribuan pelanggaran yang telah terjadi.
Berdasarkan laporan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu),
terdapat 1.645 kasus yang termasuk dalam catatan mereka. "Data
tersebut diperoleh dari panwas provinsi, kota, dan kabupaten
penyelenggara pemilukada (pilkada 2010, Red)," kata Nur Hidayat
Sardini, ketua Bawaslu di Jakarta, kemarin (28/5). Secara rinci, di
antara 1.645 pelanggaran itu, yang terbanyak adalah pelanggaran
administrasi pasangan calon yang mencapai 1.383 kasus. Jika
dipecah lagi, tahap pendaftaran pemilih terdapat 12 pelanggaran,
tahap pencalonan 28 pelanggaran, tahap kampanye tujuh
pelanggaran, dan tahap pemungutan berikut penghitungan suara
mencapi 1.336 pelanggaran. Sementara pelanggaran yang
berpotensi pidana mencapai 169. Sedangkan pelanggaran kode etik
yang diduga dilakukan penyelenggara pemilu sebanyak 50 kasus.
"43 di antaranya kini masuk sengketa (dewan kehormatan, Red),"
ujar Hidayat.Hidayat mengatakan, secara garis besar, konflik yang
terjadi di pilkada dikategorikan dua jenis. Yang pertama adalah
konflik yang berujung kerusuhan dan yang kedua konflik tanpa
kerusuhan.
Konflik yang berujung kerusuhan terjadi di Kabupaten Flores Timur,
Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Mojokerto, dan Kota Sibolga.
Sementara konflik tanpa kekerasan. antara lain, Banyuwangi,
Menado, Samarinda, Bengkulu, dan Provinsi Sulut.Khusus untuk
Mojokerto, Bawaslu telah mendapatkan laporan panwas soal adanya
dugaan pelanggaran kode etik oleh KPU setempat. Kerusuhan yang
terjadi pada 21 Mei diduga merupakan kekecewaan massa terhadap
KPU. Kinerja KPU Mojokerto dinilai tidak profesional. "Misalnya,
melakukan jadwal perubahan pemilukada," kata dia. Mengenai
kerusuhan yang diduga akibat tidak lolosnya salah satu pasangan
calon, hal itu tengah diselidiki kepolisian setempat.
Terhadap masih maraknya pelanggaran pilkada, Bawaslu memiliki
kesimpulan tersendiri. Menurut Hidayat, Bawaslu menilai bahwa

salah satu penyebab terjadinya pelanggaran adalah kurang


koordinasinya para pemangku kepentingan dalam pilkada. Stigma
yang berkembang adalah anggapan bahwa pilkada hanya
dilaksanakan KPU dan pengawas setempat. "Hal itu menimbulkan
penegakan hukum lemah," ujarnya.
Lebih lanjut dari itu, terdapat sikap permisivitas terhadap
pelanggaran pemilu kepala daerah. Padahal, dengan semakin kuat
penanganan, Bawaslu optimistis bahwa stabilitas pilkada semakin
kuat. "Terhadap pelanggaran administrasi, KPU juga kurang tegas
menetapkan aturan," tandasnya
Analisis :

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Contoh kericuhan dalam pilkada 2010 yang dipaparkan diatas merupakan bukti dari
ketidakseimbangan komunikasi yang berlangsung dalam proses politik di Indonesia.
Ketidakseimbangan tersebut ditandai dengan beberapa indicator yang terjadi ditengah realitas
masyarakat yang menyelenggarakan pilkada.
Contoh-contoh adanya ke tidak seimbangan komunikasi itu antara lain :
Adanya komunikasi searah dari penyelenggara pemilu daerah ( KPUD), baik dalam
memutuskan lolos tidaknya seorang calon, hingga pengesahan calon yang memenangkan
pemilukada.
Tidak adanya ruang publik yang legal bagi para pemilih dalam mengkomunikasikan pendapat
mereka melalui suatu diskusi yang equal dengan penyelenggara pemulikada (KPUD)
Hak legal dalam memutuskan hasil pemilukada sepenuhnya ada ditangan penyelenggara
pemilukada (KPUD) sehingga terjadi absolutism kekuasaan dalam batas tertentu
Fakta mengenai hak untuk menyatakan pendapat melalui demonstrasi, yang dimanfaatkan
masyarakat yang kecewa sebagai forum komunikasi mereka untuk menyuarakan aspirasi
Kerusuhan sosial, sebagai akibat ketidak dewasaan dalam menyikapi suatu keputusan, yang
sekaligus menggambarkan level rasionalitas pelakunya dalam merespon situsi
Kerusuhan sosial juga merupakan akibat dari munculnya praduga-praduga penyalahgunaan
sistem dan kekuasaan untuk mencapai tujuan kelomp[ok masyarakat tertentu
Proses Pemilu di Indonesia telah banyak mendapat pujian dari berbagai negara
terutama negara-negara yang selama ini juga mengusung sistem demokrasi atau atas dasar
keuntungan bagi negara-negara yang notabenenya lebih kuat dari Indonesia. Sistem
demokrasi modern sekaligus membuka peluang-peluang bagi banyak pihak untuk secara
lebih terbuka untuk terlibat dalam proses politik. Jika dilihat dari terbukanya akses politik,
maka proses demokrasi memberikan peluang sebesar-besarnya kepada masyarakat, siapa saja
tanpa melihat latar belakang dan aliran dapat berpartisipasi dalam proses politik. Walau tidak
dapat disangkal, bahwa pertimbangan kekuasaan dan uang lebih kental dibandingkan
memperjuangkan kesejahteraan masyarakat.
Beragam kerusuhan pada pilkada yang berlangsung pada tahun 2010 saja yang baru
melaksanakan 39 Pilkada namun sudah menimbulkan jumlah pelanggaran sebanyak 1.645
kasus. Kerusuhan yang berlangsung bukan melibatkan kekerasan bahkan cenderung brutal
dengan perkelahian, perusakan, pembakaran dll. Lihatlah kerusuhan yang terjadi dalam
Pemilihan Bupati Sibolga Sumatera Utara, Proses Pemilihan Bupati Mojekerto Jawa Timur
dll. Kerusuhan-kerusuhan tersebut tidaklah dapat kita anggap enteng atau hanya gejolak
sesaat dari konflik yang muncul pada waktu pilkada saja. Melainkan akan sangat bijak jika
membangun proses komunikatif antara berbagai pihak yang terlibat atau melibatkan diri
dengan sengaja dalam pilkada yang berlangsung.

1.
2.
3.
4.
5.

Beberapa ide dan tindakan reflektif yang dapat dilakukan dalam menganalisis
kerusuhan pilkada di Indonesia, yaitu :
Membangun suatu sistem yang kuat, yang merepresentasikaan komunikasi seimbang bagi
tiap kelompok dalam masyarakat sehingga tercipta kepercayaan publik terhadap
penyelenggara pemilukada.
Mengembangkan rasionalitas, otonomi dan tindakan komunikasi masyarakat yang
berlandaskan equalitas, baik dalam konteks hak maupun kewajiban bagi tiap kelompok
masyarakat.
Mengembankan publik yang reflektif.
Membangun emancipatory power - masyarakat komunikatif melalui media yang independen
dan tidak memihak.
Menciptakan suatu sistem yang membuat media berada dalam posisi netral melalui
mekanisme hukum tanpa harus mereduksi kebebasan media.
Berbagai kerusuhan pilkada yang terjadi sepanjang sejarah pilkada di Indonesia harus
dengan serius dipelajari dan melakukan kritik mendasar sebagai masalah sosial politik
berkaitan dengan beragam hal berkaitan dengan pelaksanaan pilkada. Kritik mendasar harus
lebih ditujukan kepada beragam UU yang menjadi payung hukum pelaksanaan Pilkada. UU
pelaksanaan pemilu daerah dan UU Otonomi harus lebih melibatkan masyarakat dalam
proses pembuatan UU, tidak hanya sebagai objek pada saat pelaksanaan pilkada
berlangsung.
Teori kritik yang memberi peluang kepada masyarakat untuk melakukan kritik secara
terbuka terhadap proses pilkada semestinya sudah mulai dilakukan, dan ini bukan hanya
tanggung jawab masyarakat, namun tanggung jawab utama adalah pada pemerintah yang
wajib mengkonstruksi masyarakat menuju kualitas yang lebih baik. Pemerintah tidak
membiarkan proses politik masyarakat terjadi apa adanya dan hanya melalui media massa
sebagaimana selama ini terjadi. Masyarakat lebih banyak belajar pada media berkaitan
dengan proses politik sehingga dalam konsep Habermas masyarakat tidak memiliki
rasionalitas dan otonomi dan cenderung kapitalistik.
Masyarakat kapitalistik, yang selama ini cenderung terkungkung oleh kekuatan
kapitalisme dan kekuasaan telah mengakibatkan masyarakat berada dalam realitas objektif
semata dan sangat materialistik. Masyarakat cenderung tidak mengalami perkembangan
dalam proses realitas intersubjektif mereka, namun mereka terbelenggu dalam realitas
objektif sehari-hari yang sangat biasa sehingga aktivitas kerja hanya menjadi kegiatan rutin
yang kurang memiliki nilai intersubjektif bagi eksplorasi kualitas individual mereka.
Atas dasar pertimbangan tersebut, kritik tindakan sosial kerusuhan pilkada
berdasarkan kaedah filsafat harus dilakukan. Sebagaimana dinyatakan oleh Nolan, Titus dan
Smith sebagaimana diterjemahkan oleh M.Rasjidi dalam bukunya Persoalan-Persoalan
Filsafat, bahwa kritik mendasar dengan menggunakan metode filsafat yaitu 1). menyeluruh,
2). mendasar dan 3). skeptis. Ketiga kaedah menjadi landasar dalam melakukan kritik
menurut teori tindakan komunikasi Habermas. Kritik dengan menggunakan tiga kaedah
filsafat tersebut diharapkan mampu melihat persoalan kerusuhan pilkada 2010 secara
mendalam dan menyeluruh. Artinya, kritik yang dilakukan berani mempertanyakan realitas
yang terjadi dan menyatakan serta mengakui bahwa memang kerusuhan pilkada memang
masalah besar, sebagaimana juga banyak masalah politik lainnya. Kerusuhan Pilkada 2010
berdasarkan pemahaman Habermas merupakan tindakan sosial yang tidak memenuhi rasio
komunikatif karena bukan refleksi dari tindakan komunikatif, melainkan tindakan sosial yang
penuh kekerasan dan tidak mengedepankan diskursus dan emansipasi masyarakat dalam
proses penyelesaian konflik.

Masyarakat yang memiliki rasionalitas dan tindakan komunikatif tidak akan


melakukan proses komunikasi yang hanya memilikirkan kepentingan sepihak dan juga
memaksa kehendak kepada pihak lain atau menggunakan kekerasan dan paksaan dan
mengabaikan rasionalitas dalam proses pilkada. Dengan kata lain, kritik yang tawarkan oleh
teori kritis dalam melihat persoalan secara mendasar dan menyeluruh serta selalu memelihara
sifat skeptis guna menemukan penyelesaian dengan menggunakan diskursus dalam mencapai
konsensus. Littlejohn (1996; 226) menyatakan bahwa Teori Kritis mempunyai tiga hal
mendasar yaitu:
1. Teori Kritis percaya merupakan hal yang sangat penting untuk memahami pengalaman hidup
orang menurut konteks persoalan dan peristiwa.
2. Pemahaman diatas kemudian akan menguji kondisi sosial yang selama ini tidak terjangkau
atau tersembunyi, disebabkan kondisi yang tidak equal. Dalam pemahaman ini pengetahuan
berfungsi sebagai kekuatan untuk memahami cara-cara manusia melakukan perubahan.
3. Membuat dan membangkitkan kesadaran untuk menjadikan teori sebagai kesadaran dalam
bertindak.
Artinya melihat realitas sosial kerusuhan pilkada sebagai suatu yang mendasar pada
masyarakat kita dan memahami itu dengan memahami situasi masyarakat serta tidak
menyalahkan secara sepihak. Masyarakat selama ini hanya menjadi objek pihak yang lebih
berkuasa dan memiliki uang sehingga membentuk dominasi sepihak dalam diri masyarakat.
Realitas tersebut menjelaskan bahwa rasionalitas sebelumnya telah mengalami krisis, dan
berdasarkan pertimbangan paradigma dan teori kritikal harus mengalami kritis secara terbuka
bahwa rasionalitas baru diperlukan untuk memahami dan menyelesaikan masalah sosial
politik masyarakat dewasa ini.
Rasionalitas yang diperlukan adalah rasionalitas komunikatif yang ditawarkan oleh
Jurgen Habermas. Rasionalitas komunikatif merupakan rasionalitas yang memberikan
kebebasaan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses
diskursus/argumentatif untuk menghasilkan suatu pemahaman bersama yang juga dapat
diterima bersama yang itu dinamakan konsensus. Rasionalitas ini memberikan individu
kekuatan untuk melakukan tindakan sosial, walau bukan berarti bebas dari aturan dan
prosedur. Keduanya diperlukan untuk menciptakan sistem dalam masyarakat dan keduanya
merupakan hasil konsensus. Artinya bukan sesuatu yang statis dan dipkasa, melainkan hasoil
dari kesepahaman bersama anggota masyarakat dalam membangun masyarakat komunikatif.
Kerusuhan dan kekerasan yang terjadi selama pilkada 2010 dapat kita katakan sebagai
cerminan tidak adanya otonomi atau emansipasi dalam tindakan komunikasi di tengah
masyarakat. Pilkada pada esensinya adalah penjawantahan dari sistem demokrasi yang
menjadi pilihan politik Indonesia. Pada tahun 2010 akan digelar 244 Pemililihan Umum
Daerah (Pilkada) tingkat II atau kabupaten/kota di Indonesia, namun sebagaimana yang telah
dipaparkan sebelumnya, sampai bukan Mei 2010 ini pelaksanaan Pilkada baru berlangsung
39 kali, namun kerusuhan dan kekerasan selama proses Pilkada acap terjadi atau banhkan
menjadi bagian integral dari pelaksanaan Pilkada.
Berdasarkan Data Panwaslu bahwa sampai bulan Mei ini sudah terjadi 1645 kali/jenis
pelanggaran selama Pilkada berlangsung. Bentuk pelanggaran beragam dari pelanggaran
administratif sampai dengan kekerasan seperti konflik antara para pendukung kandidat,
pembakaran mobil dll. Realitas ini sangatlah mencengangkan karena terjadi ditengah pesta
demokrasi yang dipercaya lebih bermartabat dan dalam lingkungan masyarakat yang
lehidupannya ditata secara modern.
Sistem dan tatanan modern yaitu sistem demokrasi dalam politik Indonesia memang
telah mengubah situasi masyarakat yang sebelumnya (selama orde Baru) kurang memiliki

kesempatan berpartisipasi dalam politik. Tetapi dalam era reformasi ini, masyarakat memiliki
kesempatan yang besar untuk aktif dan berpartisipasi dalam politik, dan partisipasi tersebut
diatur dan dijamin oleh UU. Namun sangat disayangkan, keterbukaan politik tersebut tidak
dibarengi oleh rasionasitas dan otonomi subjektif masyarakat sehingga belum terciptanya
kemandirian individual dan masyarakat yang terbukti dari banyaknya kerusuhan selama
pilkada 2010. Masyarakat masih sekedar ikut menjadi peserta demokrasi atau pemilu yang
dalam hal ini Pilkada, namun masyarakat masih dalam keadaan pasif. Artinya masyarakat
dalam proses pemilu belum memiliki otonomi individual-power refleksif dalam proses politik
yang mereka ikuti, melainkan mereka umumnya masih menjadi objek politik para kandidat
pilkada dalam proses pilkada yang berlangsung.
Pada dasarnya tidak terpenuhinya otonomi subjektif bukan saja pada masyatakat
umumnya, melainkan juga terjadi pada para kandidat pilkada yaitu calon bupati/calon wakil
bupati atau calon walikota/calon wakil walikota serta partai politik. Kondisi ini sangat tidak
rasional dan hanya semakin memperkuat rasionalitas tradisinonal proses politik tersebut.
Masing-masing calon hanya mementingkan tujuan akhir pilkada yaitu kekuasaan(power) dan
biaya (uang). Tujuan yang mengarah pada kepentingan kapitalisme dan kekuasaan inilah
yang dinamakan oleh Habermas sebagai kungkungan kapitalistik. Realitas ini yang
menciptakan masyarakat kehilangan nilai intersubjektif, sehingga proses pilkada hanya
sekedar peristiwa politik semata dan menguntungkan pihka yang memiliki kekuasaan dan
kekuatan. Proses politik tersebut belum mampu mengembangkan rasionalitas dan tindakan
masyarakat menuju masyarakat komunikatif, yaitu suatu masyarakat yang secara terus
menerus melakukan emansipasi dalam diskursus-diskursus guna menghasilkan consensus.
Pilkada selama ini, cenderung mementingkan dan menguntungkan pihak-pihak yang
memiliki kekuasaan dan melakukan dominasi calon pilkada atau kelompok pendukung
dibalik proses politik, sedangkan masyarakat umumnya tetap masih dalam kondisi yang tidak
otonom atau pasif sehingga acapkali semua itu memunculkan kekerasan di tengah proses
politik pilkada. Oleh karenanya jalan keluar dari beragam masalah pilkada tersebut,
masyarakat harus segera disadarkan untuk mampu memiliki otonomi individual subjektif dan
keluar dari kungkungan/dominasi kapitalistik pihak-pihak tertentu dalam proses pilkada.
Otonomi individu yang akan memunculkan emansipasi masyarakat yang diharapkan proses
Pilkada dapat berlangsung dengan penuh reflektif. Emansipasi masyarakat terjadi secara
leluasa dikarenakan masyarakat merupakan sekumpulan individu-individu yang memiliki
kekuasaan refleksi diri sehingga memiliki keberanian atau otonomi dalam menyatakan
pendapat mereka dalam diskursus-diskursus yang berlangsung.
Masyarakat tidak dapat dibangun dengan rasionalitas tradisional yang hanya
mementingkan pihak-pihak tertentu atau kelompok yang memiliki kepentingan sepihak dan
menempatkan masyarakat hanya sebagai objek politik dan sosial. Namun di masyarakat
informasi yang ditandai dengan ketergantungan masyarakat yang sangat tinggi terhadap
keberadaan media massa sebagai salah satu sistem sosial baru, yang sekaligus menciptakan
kompleksitas masyarakat dalam hampir semua aspek kehidupan Oleh karena itu. Masyarakat
memerlukan kehidupan bersama secara politis dalam masyarakat-masyarakat dewasa ini,
sesudah cara-cara legitimasi politis tradisional yang kebal terhadap kritik mengalami krisis.
Dan kehidupan politik bukan karena pertimbangan moral sebagaimana pijakan teoritis teoriteori klasik (F. Budi Budiman 2008:1)
Adanya otonomi dalam masyarakat ditandai dengan lahirnya tindakan komunikasi.
Tindakan komunikasi termasuk dalam proses pilkada yang berlangsung mencerminkan
rasionalitas masyarakat. Jika pilkada berlangsung dalam kerusuhan dan banyak pelanggaran,
maka hal itu sebagai cermin bahwa masyarakat belum memiliki otonomi yang mendukung
mereka melahirkan tindakan-tindakan komunikatif sebagai refleksi dari otonomi dan
rasionalitas yang mereka miliki. Otonomi masyarakat juga dapat dikembangkan melalui

pengembangan ruang public (public sphere), baik melalui interaksi sosial maupun melalui
media massa.
Media massa setelah era reformasi mengalami perkembangan pesat dengan beragam
bentuk. Kemajuan teknologi komunikasi satu sisi menjadi berkah bagi masyarakat dalam
kemudahan memperoleh informasi dan menciptakan keterbukaan publik semakin luas.
Namun disisi lainnya, media massa masih powerfull sebagai suatu lembaga industri
kapitalisme yang berorientasi kepada keuntungan. Kekuatan media yang dominan
dibandingkan khalayak/masyarakat berimplikasi pada kebekuan otonomi reflektif
individu/masyarakat. Dengan kata lain, media menciptakan keseragaman, keserentakan dan
menciptakan kesadaran semua dalam perspektif kritis. Media dalam pemahaman teori
Haberman, media memungkinkan masyarakat menjadi masyarakat tidak otonom, walaupun
media massa dalam pertimbangan genre social centrie dapat berperan mendukung
pengembangan otonomi dan melahirkan tindakan komunikasi masyarakat.
Media massa sebagai sistem sosial baru yang merupakan medium yang paling
berpengaruh saat ini, mampu mengambil peran yang lebih luas dalam upaya pengembangan
masyarakat komunikatif. Media sepatutnya lebih memiliki tanggung jawab sosial dengan
beragam isi media yang mampu mengkonstruksi otonomi dan tindakan komunikasi
masyarakat atas pertimbangan rasionalitas komunikatif. Artinya media menjadi ruang
penciptaan public sphere yang dapat membangun diskursus-diskursus lebih banyak.
Langkah di atas mendesak diperlukan, karena hambatan tumbuhnya otonomi individu
dalam masyarakat sipil dan masyarakat politik juga diakibatkan oleh tayangan-tayangan
media mengenai kerusuhan pilkada 2010 ini. Selama ini, masyarakat belajar dan memahami
realitas politik berdasarkan isi media yang lebih tertarik menyajikan konflik atau kerusuhan
dibandingkan esensi dan pentingnya kesuksesan proses pilkada yang tanpa kerusuhan. Itu
artinya media lebih memilih memberitakan konflik dibandingkan peristiwa pilkada tanpa
konflik. Dengan kata lain, pada hakekatnya media belum mampu berperan sebagai medium
yang menciptakan masyarakat komunikatif.
Sebagian media massa di Indonesia sayangnya adalah bagian dari kapitalisme
industri media (media centries), oleh karenanya mungkin sulit mengharapkan media massa
memiliki reflektif mendalam bagi pengembangan otonomi individu. Sementara pada sisi lain,
membangun sebuah media yang memiliki dignity kuat, yang pada akhirnya juga mampu
berselaras dengan kepentingan kapitalisme karena trust masyarakat yang tinggi, masih belum
dapat dilaksanakan oleh sebagian besar media yang ada di indon esia. Media yang memiliki
dignity kuat, pada akhirnya akan memaksa kekuatan kapitalis lain (pengiklan) untuk mau
tidak mau akan berpaling kearah mereka, sehingga kebutuhan financial media bersangkutan
secara langsung akan terpenuhi.
Masyarakat yang memiliki otonomi kekuatan reflektif untuk berpartisipasi dalam
proses politik sebagai subjek yang sadar dan bukan sebagai objek pihak-pihak yang memiliki
kekuasaan. Individu yang memiliki otonomi memiliki intersubjektif sehingga mampu
beremansipasi dalam proses diskursus dalam rangka mencapai saling memahami/saling
menerima dan memberi atau konsensus. Proses rasionalitas inilah yang dinamakan rasio
proseduralistis dan diperlukan untuk membentuk masyarakat komunikatif yang termasuk
masyarakat politik adalah masyarakat komunikatif, yaitu masyarakat yang melakukan
emansipasi politik, sosial budaya tanpa kekarasan, tanpa paksaan dan fair/adil bagi diri
sendiri sebagai individu, sebagai anggota masyarakat yang merupakan bagian dari proses
pembentukan masyarakat komunikatif.
Masyarakat komunikatif dapat juga dikembangkan dengan membuka ruang public
atau public sphere seluas-luasnya ditengah masyarakat. Publik sphere yang kuat menurut
Habermas akan mampu menciptakan masyarakat sipil yang memiliki power reflektif dan
rasionalitas komunikatif. Kekuatan masyarakat sipil inilah yang dinamakan otonomi untuk

melakukan emansipasi tanpa kekerasan dan paksaan. Dalam mencapai public sphere yang
kuat, media massa dapat menjadi medium yang menduka ruang bagi kebekuan relasi antara
penguasa (political society) dengan masyarakat sipil (civil society). Ruang public (public
sphere) menurut Jurgen Habermas dalam bukunya Ruang Publik, Sebuah Kajian Tentang
Kategory Masyarakat Borjuis (1008:4) adalah merupakan spesifik dari masyarakat sipil
yang pada waktu bersamaan mengukuhkan diri sebagai ranah tempat terjadinya pertukaran
komoditas dan kerja sosial yang diatur oleh kaedah-kaedahnya sendiri.
Pilkada sebagai peristiwa politik melibatkan masyarakat dibawah pengaruh dan
dominasi masyarakat politik. Proses keterlibatan masyarakat masih sebagai objek yang pasif
dan kenderaan politik sesaat. Partisipasi masyarakat dalam pilkada belum sebagai upaya yang
dilakukan secara sadar sebagai upaya pengembangan rasionalitas dan tindakan komunikatif.
Artinya individu tidak mempunyai power dalam melakukan tindakan sosial sebagai bentuk
emansipasi mereka dalam diskursus yang beralngsung. Jika masyarakat tidak memiliki
tindakan sosial yang komunikatif, maka masyarakat akan menjelma menjadi masyarakat yang
terkungkung oleh kekuatan kapitalistik semata tanpa sadar proses yang berlangsung.
Pertanyaannya adalah apakah masyarakat politik kita dalam proses pilkada dapat kita
katakan sebagai masyarakat yang belum otonom, tidak memiliki tindakan sosial dan bukan
masyarakat komunikatif ? Berdasarkan data dan fakta pilkada yang banyak pelanggaran dan
kerusuhan dalam tahun 2010 ini, berdasarkan asumsi teori masyarakat komunikatif
Habermas, bahwa masyarakat politik dalam peristiwa pilkada belum mencapai otonomi atau
tidak memiliki power reflektif memadai. Akibatnya belum mampu bertindak otonom dalam
ruang politik menciptakan diskursus atau kesepahaman bagi kepentingan bersama untuk
melahirkan konsensus.
Dalam melahirkan konsensus inilah diperlukan keterlibatan semua individu dengan
bentuk diskursus masing-masing sebagai bentuk reflektif otonomi individu. Kekuatan
otonomi individu yang mampu mengembangkan masyarakat komunikatif. Dalam proses
tersebut, emansipasi masyarakarat adalah kunci dinamika diskursus untuk melahirkan
konsensus.
Tindakan komunikasi sekaligus sebagai bentuk keterlibatan rasional dan bertanggung
jawab masyarakat dalam melahirkan tindakan sosial sehari-hari yang memiliki kesadaran
intersubjektif. Konsensus adalah keputusan bersama atau komitmen yang harus ditaati dalam
proses politik selanjutnya. Konsensus inilah yang menjadi rujukan bagi anggota masyarakat
dalam melahirkan tindakan komunikasi mereka dan semua pihak seharusnya menghargai
consensus/kesepahaman yang telah dicapai dalam diskursus tersebut.
Undang-undang yang telah mengatur sistem dan proses politik di Indonesia termasuk
proses pilkada sebenarnya dapat dikatakan sebagai hasil konsensus dari diskursus dalam
ruang publik yang selama ini dilakukan oleh banyak pihak, walau perlu terus
mempertanyakan proses dan otonomi masyarakat yang terlibat dalam proses tersebut. Akan
tetapi sebagai aturan seharusnya menjadi consensus bersama masyarakat politik sambil
melakukan tindakan sosial dan komunikatif selanjutnya untuk melahirkan konsensus baru.
Realitasnya pilkada acapkalai diselesaikan dengan kekerasan. Baik kandidat sebagai
masyarakat politik hanya memanfaatkan masyarakat awam sebagai objek politik mencapai
kekuasaan mereka dan umumnya dengan materi tanpa kesadaran politik yang memadai. Oleh
karenanya, berdasartkan teori Habermas, maka konsep masyarakat komunikatif menjadi
alternatif menguraikan kerusuhan pilkada 2010 atau peristiwa politik lainnya

Diposkan oleh fransischa Stevanie di 19.46


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest

Tidak ada komentar:


Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Arsip Blog

2016 (7)

2015 (22)

2014 (2)
o

November (1)

Oktober (1)

2013 (8)

2012 (1)

Analisis Terhadap Proses Pemilihan Umum Daerah (Pi...

About Stevaniekirei

fransischa Stevanie
Lihat profil lengkapku

Universitas Gunadarma

Gunadarma University

Translate

Jenis pelanggaran dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah menurut Undang-undang ada 3
jenis, namun dari segi materinya, terdapat enam macam, yakni: Pelanggaran pidana pemilu
(tindak pidana pemilu); Sengketa dalam tahapan/proses pemilu; Pelanggaran administrasi
pemilu; Pelanggaran Kode Etik; Perselisihan hasil pemilu; dan Sengketa hukum lainnya.
Adapun proses penyelesaian sengketa pelanggaran pilkada oleh KPU antara lain mengikuti
mekanisme penyelesaian pelanggaran administrasi pemilihan umum sebagaimana diatur
melalui Keputusan KPU, Nomor 25 Tahun 2013, yang antara lain adalah: Pelaporan, Pihak
pelapor dan terlapor Pelanggaran Administrasi Pemilu adalah KPU, KPU Provinsi/KIP Aceh,
KPU/KIP Kabupaten/Kota, PPK, PPS, PPLN, KPPS/KPPSLN secara berjenjang termasuk
sekretariat masing-masing; dan Tahapan Penyelesaian; dengan tahapan: menerima laporan,
meneliti laporan; melakukan klarifikasi; melakukan kajian; dan mengambil keputusan.
Sedangkan sanksi hukum yang bisa dijatuhkan adalah perintah penyempurnaan prosedur;
perintah perbaikan terhadap Keputusan atau hasil dari proses; teguran lisan; peringatan
tertulis; diberhentikan/tidak dilibatkan dalam kegiatan tahapan; atau pemberhentian
sementara. Terhadap Peserta Pemilu yang terlambat menyampaikan Laporan Saldo Awal
Dana Kampanye dan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye dikenakan
sanksi, dengan membuat Berita Acara bagi Peserta Pemilu yang tidak menyerahkan Laporan;
dan menerbitkan Keputusan Pemberian Sanksi.

PERSELISIHAN antara dua pihak atau lebih yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah (pilkada) bisa ditimbulkan dari dua hal. Pertama, perbedaan penafsiran antara
para pihak atau ketidakjelasan berkaitan dengan masalah fakta kegiatan, peristiwa, dan/atau
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan gubernur, bupati dan wali
kota.
Kedua, pengakuan atau pendapat dari salah satu pihak mendapat penolakan, pengakuan yang
berbeda, dan/atau penghindaran dari pihak lain. Baik perbedaan penafsiran maupun
penolakan, dapat saja terjadi antarpeserta pemilihan maupun antara peserta pemilihan dan
penyelenggara pemilihan sepanjang tahapan penyelenggaraan berlangsung. Sengketa antara
peserta pemilihan dan penyelenggara pemilihan sebagai akibat dikeluarkannya KPU provinsi
dan KPU kabupaten/kota.
Pengawas pemilu memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa pemilihan, prosesnya
dilakukan dengan mempertemukan para pihak, agar diperoleh kesepakatan melalui
musyawarah. Hal ini disebutkan pada Pasal 143 Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2015. Pengawas Pemilu yang akan
mempertemukan para pihak, pada prinsipnya telah melakukan kajian baik laporan maupun
temuan sengketa pemilihan. Dalam mempertemukan para pihak, pengawas pemilu berperan
sebagai fasilitator musyawarah, memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak
menyampaikan permasalahan, tuntutan dan alasan. Jika diperlukan, pengawas pemilu dapat
memberikan saran dan masukan kepada para pihak mengenai permasalahan yang
disengketakan.
Musyawarah sengketa pemilihan para pihak selama berlangsung, dapat mencapai sepakat
maupun tidak mencapai sepakat. Hasil kesepakatan para pihak diperoleh dari musyawarah
mufakat dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Apabila
tercapai kesepakatan, maka pengawas pemilu menuangkan hasil kesepakatan dalam berita
acara musyawarah penyelesaian sengketa pemilihan. Tetapi apabila tidak tercapai
kesepakatan, maka pengawas pemilu membuat keputusan melalui rapat pleno tertutup,
dituangkan dalam keputusan penyelesaian sengketa pemilihan bersifat final dan mengikat.
Pada dasarnya, sengketa pemilihan dinyatakan selesai apabila musyawarah telah mencapai
mufakat dan pengawas pemilu sudah membuat keputusan bersifat final dan mengikat.
Selanjutnya, permohonan penyelesaian sengketa dinyatakan gugur apabila, pemohon dan/atau
termohon meninggal dunia, pemohon atau kuasanya tidak datang dan hadir dalam pertemuan
pertama setelah tiga kali dilakukan pemanggilan secara patut dan sah oleh pengawas pemilu.
Selanjutnya, termohon telah memenuhi tuntutan pemohon sebelum dilaksanakannya proses
penyelesaian sengketa pemilihan, pemohon mencabut permohonannya.
Sengketa dan Pelanggaran Pemilihan
Sengketa pemilihan merupakan bagian dari pelanggaran pemilihan. Pasal 135 Undang-

Undang No. 1 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun
2015, menyebutkan laporan pelanggaran pemilihan meliputi pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilihan diteruskan oleh Bawaslu ke DKPP, adalah pertama, pelanggaran
terhadap etika penyelenggara pemilihan yang berpedoman kepada sumpah dan/atau janji
sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilihan.
Kedua, pelanggaran administrasi pemilihan diteruskan kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU
kabupaten/kota, adalah pelanggaran terhadap tata cara yang berkaitan dengan administrasi
pelaksanaan pemilihan dalam setiap tahapan pemilihan. Ketiga, sengketa pemilihan
diselesaikan oleh Bawaslu. Keempat, tindak pidana pemilihan ditindaklanjuti oleh Kepolisian
Negara RI, adalah pelanggaran atau kejahatan terhadap ketentuan pemilihan.
Pelanggaran pemilihan yang telah disebutkan di atas, baik temuan pengawas pemilu maupun
laporan masyarakat, sama-sama melalui proses kajian. Perbedaan hanya tampak pada
mekanisme penyelesaian atau penanganan pelanggaran. Jika sengketa ditempuh melalui
musyawarah mufakat, maka pelanggaran lainnya (kode etik, administrasi dan tindak pidana
pemilihan) dilakukan klarifikasi meminta keterangan dari pelapor dan terlapor. Selepas
klarifikasi meminta keterangan, pengawas pemilu melakukan kajian dugaan pelanggaran,
kemudian mengeluarkan surat penerusan dan status laporan.
Kesiapan Struktur Pengawas Pemilu
Pada 12 Mei 2015 lalu, pengawas pemilihan (Panwas) untuk pilkada di sembilan
kabupaten/kota di Riau sudah dilantik. Panwas juga sudah mendapatkan pembekalan
berbagai materi agar semakin siap melakukan tugas, wewenang, dan kewajiban. Seperti
prinsip-prinsip pemilu demokratis, struktur organisasi pengawas pemilu, pemetaan potensi
pelanggaran dan fokus pengawasan, penyusunan teknik pengawasan, prosedur penindakan
pelanggaran dan tindak pidana pemilihan, kajian penanganan pelanggaran, penyelesaian
sengketa pemilihan dan sebagainya.
Koordinasi dengan stakeholders menjadi tanggung jawab lanjutan yang harus dilakukan oleh
Panwas. Selain kembali memastikan kesiapan anggaran pengawasan pemilihan, juga
kesiapan sekretariat pendukung dari pemerintah kabupaten/kota setempat. Sejauh ini, hasil
koordinasi yang dilakukan sebagai tindaklanjut pembekalan yang didapat, sudah mulai
tampak membuahkan hasil. Panwas kabupaten/kota sudah ada yang menandatangani NPHD
(Nota Perjanjian Hibah Daerah). Menyusul kerja berikutnya, melakukan rekrutmen Panwas
kecamatan. Akhirnya, selamat berjuang panwas kabupaten/kota terpilih. Dari Bawaslu kita
selamatkan pemilu Indonesia. Salam awas!***
Read more: http://www.riaupos.co/3886-opini-penyelesaian-sengketapilkada.html#ixzz4MD9E7RYp

Anda mungkin juga menyukai