Salah satu fungsi kulit adalah melindungi tubuh. Fungsi ini akan menurun atau
terganggu jika terjadi infeksi jamur pada kulit. Setelah menempel, jamur akan
menyerang kulit dan menyebabkan peradangan. Gejala yang tampak jelas yaitu
munculnya warna kemerahan atau kehitaman disertai sisik pada kulit yang
terinfeksi. Pada tingkatan yang paling parah, infeksi jamur bisa terjadi di dalam
jaringan darah sehingga menyebabkan munculnya benjolan-benjolan bernanah.
Penyakit infeksi jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, oleh
karena negara kita beriklim tropis dan kelembabannya tinggi. Dermatofitosis adalah
infeksi jamur superfisial yang disebabkan genus dermatofita, yang dapat mengenai
kulit, rambut dan kuku. Manifestasi klinis bervariasi dapat menyerupai penyakit
kulit lain sehingga selalu menimbulkan diagnosis yang keliru dan kegagalan dalam
penataklaksanaannya. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis dan identifikasi
laboratorik. Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan sistemik. Pada masa kini
banyak pilihan obat untuk mengatasi dermatofitosis, baik dari golongan antifungal
konvensional atau antifungal terbaru. Pengobatan yang efektif ada kaitannya dengan
daya tahan seseorang, faktor lingkungan dan agen penyebab (1).
Dermatofita dibagi menjadi genera Microsporum, Trichophyton dan
Epidermophyton. Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin.
Hingga kini dikenal sekitar 40 spesies dermatofita, masing-masing dua spesies
Epidermophyton, 17 spesies Microsporum dan 21 spesies Trichophyton (1).
PREVALENSI
Di Indonesia, dermatosis akibat kerja belum mendapat perhatian khusus dari
pemerintah atau pemimpin perusahaan walaupun jenis dan tingkat prevalensinya
cukup tinggi. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia antara lain :
30% dan pekerja penebang kayu di Palembang dan 11,8% dan pekerja perusahaan
kayu lapis menderita dermatitis kontak utama Wijaya (1972) menemukan 23,75%
dan pekerja pengelolaan minyak di Sumatera Selatan menderita dermatitis akibat
kerja, sementara Raharjo (1982) hanya menemukan 1,82%. Sumamur (1986)
memperkirakan bahwa 50-60% dari seluruh penyakit akibat kerja adalah dermatosis
akibat kerja. Dari data sekunder ini terlihat bahwa dermatosis akibat kerja memang
mempunyai prevalensi yang cukup tinggi, walaupun jenis dermatosisnya tidak sama
pada semua perusahaan (2).
INSIDENSI
Angka insidensi dermatofitosis pada tahun 1998 yang tercatat melalui Rumah Sakit
Pendidikan Kedokteran di Indonesia sangat bervariasi, dimulai dari prosentase
terendah sebesar 4,8 % (Surabaya) hingga prosentase tertinggi sebesar 82,6 %
(Surakarta) dari seluruh kasus dermatomikosis (1).
PENDEKATAN DIAGNOSIS
1. Gejala klinis
Umumnya gejala-gejala klinik yang ditimbulkan oleh golongan geofilik pada mausia
bersifat akut dan sedang dan lebih mudah sembuh. Dermatofita yang antropofilik
terutama menyerang manusia, karena memilih manusia sebagai hospes tetapnya.
Golongan jamur ini dapat menyebabkan perjalanan penyakit menjadi menahun dan
residif , karena reaksi penolakan tubuh yang sangat ringan. Contoh jamur yang
antropofilik ialah: Mikrosporon audoinii Trikofiton rubrum (1).
Umumnya dermatofitosis pada kulit memberikan morfologi yang khas yaitu
bercakbercak yang berbatas tegas disertai efloresensi-efloresensi yang lain, sehingga
memberikan kelainan-kelainan yang polimorf, dengan bagian tepi yang aktif serta
berbatas tegas sedang bagian tengah tampak tenang. Gejala objektif ini selalu
disertai dengan perasaan gatal, bila kulit yang gatal ini digaruk maka papel-papel
atau vesikel-vesikel akan pecah sehingga menimbulkan daerah yang erosit dan bila
mengering jadi krusta dan skuama. Kadang-kadang bentuknya menyerupai
dermatitis (ekzema marginatum) , tetapi kadang-kadang hanya berupa makula yang
berpigmentasi saja (Tinea korporis) dan bila ada infeksi sekunder menyerupai
gejala-gejala pioderma (impetigenisasi) (1).
Berdasarkan lokalisasi, dermatofitosis terdiri dari :
A. Tinea Kapitis (Scalp ring worm ;Tinea Tonsurans)
Biasanya penyakit ini banyak menyerang anak-anak dan sering ditularkan melalui
binatang- binatang peliharaan seperti kucing, anjing dan sebagainya.
Berdasarkan bentuk yang khas Tinea Kapitis dibagi dalam 4 bentuk :
1. Gray pacth ring worm
Penyakit ini dimulai dengan papel merah kecil yang melebar ke sekitarnya dan
membentuk bercak yang berwarna pucat dan bersisik. Warna rambut jadi abu-abu
dan tidak mengkilat lagi, serta mudah patah dan terlepas dari akarnya, sehingga
menimbulkan alopesia setempat. Dengan pemeriksaan sinar wood tampak
flourisensi kekuning-kuningan pada rambut yang sakit melalui batas Grey pacth
tersebut. Jenis ini biasanya disebabkan spesies mikrosporon dan trikofiton (1).
2. Black dot ring worm
Terutama disebabkan oleh Trikofiton Tonsurans, T. violaseum, mentagrofites.
infeksi jamur terjadi di dalam rambut (endotrik) atau luar rambut (ektotrik) yang
menyebabkan rambut putus tepat pada permukaan kulit kepala. Ujung rambut
tampak sebagai titik-titik hitam diatas permukaan ulit, yang berwarna kelabu
sehingga tarnpak sebagai gambaran back dot. Biasanya bentuk ini terdapat pada
orang dewasa dan lebih sering pada wanita. Rambut sekitar lesi juga jadi tidak
bercahaya lagi disebabkan kemungkinan sudah terkena infeksi penyebab utama
adalah Trikofiton tonsusurans dan T.violaseum (1).
3. Kerion
Bentuk ini adalah yang serius, karena disertai dengan radang yang hebat yang
bersifat lokal, sehingga pada kulit kepala tampak bisul-bisul kecil yang berkelompok
dan kadang-kadang ditutupi sisik-sisik tebal. Rambut di daerah ini putus-putus dan
mudah dicabut. Bila kerion ini pecah akan meninggalkan suatu daerah yang botak
permanen oleh karena terjadi sikatrik. Bentuk ini terutama disebabkan oleh
Mikosporon kanis, M.gipseum , T.tonsurans dan T. Violaseum (1).
4.Tinea favosa
Kelainan di kepala dimulai dengan bintik-bintik kecil di bawah kulit yang berwarna
merah kekuningan dan berkembang menjadi krusta yang berbentuk cawan (skutula),
serta memberi bau busuk seperti bau tikus moussy odor. Rambut di atas skutula
putus-putus dan mudah lepas dan tidak mengkilat lagi. Bila menyembuh akan
meninggalkan jaringan parut dan alopesia yang permanen. Penyebab utamanya
adalah Trikofiton schoenleini, T. violasum dan T. gipsum. Oleh karena Tinea kapitis
ini sering menyerupai penyakit-penyakit kulit yang menyerang daerah kepala, maka
penyakit ini harus dibedakan dengan penyakitpenyakit bukan oleh jamur seperti:
Psoriasis vulgaris dan Dermatitis seboroika (1).
B. Tinea Korporis (Tinea circinata=Tinea glabrosa)
Penyakit ini banyak diderita oleh orang-orang yang kurang mengerti kebersihan dan
banyak bekerja ditempat panas, yang banyak berkeringat serta kelembaban kulit
yang lebih tinggi. Predileksi biasanya terdapat dimuka, anggota gerak atas, dada,
punggung dan anggota gerak bawah. Bentuk yang klasik dimulai dengan lesi-lesi
yang bulat atau lonjong dengan tepi yang aktif. Dengan perkembangan ke arah luar
maka bercak-bercak bisa melebar dan akhirnya dapat memberi gambaran yang
polisiklis, arsiner, atau sinsiner. Pada bagian tepi tampak aktif dengan tanda-tanda
eritema, adanya papel-papel dan vesikel, sedangkan pada bagian tengah lesi relatif
lebih tenang. Bila tinea korporis ini menahun tanda-tanda aktif jadi menghilang
selanjutnya hanya meningggalkan daerah-daerah yang hiperpigmentasi saja.
Kelainan-kelainan ini dapat teIjadi bersama-sama dengan Tinea kruris. Penyebab
utamanya adalah : T.violaseum, T.rubrum, T.metagrofites. Mikrosporon gipseum,
M.kanis, M.audolini. Penyakit ini sering menyerupai :
C. Tinea Kruris (Eczema marginatum.Dhobi itch, Jockey itch)
Penyakit ini memberikan keluhan perasaan gatal yang menahun, bertambah hebat
bila disertai dengan keluarnya keringat. Kelainan yang timbul dapat bersifat akut
atau menahun. Kelainan yang akut memberikan gambaran yang berupa makula yang
eritematous dengan erosi dan kadang-kadang terjadi ekskoriasis. Pinggir kelainan
kulit tampak tegas dan aktif. Apabila kelainan menjadi menahun maka efloresensi
yang nampak hanya makula yang hiperpigmentasi disertai skuamasi dan likenifikasi.
Gambaran yang khas adalah lokalisasi kelainan, yakni daerah lipat paha sebelah
dalam, daerah perineum dan sekitar anus. Kadang-kadang dapat meluas sampai ke
gluteus, perot bagian bawah dan bahkan dapat sampai ke aksila (1).
D. Tinea Manus Dan Tinea Pedis
Tinea pedis disebut juga Athletes foot atau Ring worm of the foot. Penyakit ini
sering menyerang orang-orang dewasa yang banyak bekerja di tempat basah seperti
tukang cuci, pekerja-pekerja di sawah atau orang-orang yang setiap hari harus
memakai sepatu yang tertutup seperti anggota tentara. Keluhan subjektif bervariasi
mulai dari tanpa keluhan sampai rasa gatal yang hebat dan nyeri bila ada infeksi
sekunder (1).
Ada 3 bentuk Tinea pedis
1. Bentuk intertriginosa
Keluhan yang tampak berupa maserasi, skuamasi serta erosi, di celah-celah jari
terutama jari IV dan jari V. Hal ini terjadi disebabkan kelembaban di celah-ceIah jari
tersebut membuat jamur-jamur hidup lebih subur. Bila menahun dapat terjadi fisura
yang nyeri bila kena sentuh. Bila terjadi infeksi dapat menimbulkan selulitis atau
erisipelas disertai gejala-gejala umum (1).
2. Bentuk hiperkeratosis
Disini lebih jelas tampak ialah terjadi penebalan kulit disertai sisik terutama
ditelapak kaki, tepi kaki dan punggung kaki. Bila hiperkeratosisnya hebat dapat
terjadi fisurafisura yang dalam pada bagian lateral telapak kaki (1).
2) Pembiakan/Bakteriologik
Tujuan pemeriksaan cara ini untuk mengetahui spesies jamur penyebab, dilakukan
bila perlu. Bahan sediaan kerokan ditanam dalam agar Sabouroud dekstrose; untuk
mencegah pertumbuhan bakteri dapat ditam- bahkan antibiotika (misalnya
khloramfenikol) ke dalam media tersebut. Perbenihan dieramkan pads suhu 24
30C. Pembacaan dilakukan dalam waktu 1 3 minggu. Koloni yang tumbuh
diperhatikan mengenai wama, bentuk, permukaan dan ada atau tidaknya hipa.
3) Histpopatologik
Untuk menegakkan diagnosis dermatofitosis, tidak bermakna.
4) Serologik
Pemeriksaan cara ini tidak bermanfaat untuk dermatofitosis.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan terhadap dermatofitosis dapat dilakukan dengan cara topikal dan
sistemik. Keberhasilan suatu pengobatan tergantung dari faktor predisposisi, faktor
penderita dan faktor obat, di sini lain perlu diketahui penyakit infeksi jamur sering
kambuh dan mengalami infeksi. Pada masa kini terdapat berbagai macam obat
untuk pengobatan dermatofitosis, baik dari golongan konvensional dan antifungal
terbaru. Untuk memilih obat yang tepat perlu dipertimbangkan mengenai efektifitas
obat, cara kerja, spektrum, efek samping dan segi kosmetik. Bila infeksi ringan cukup
diberikan obat topikal kecuali pads infeksi kronis dan luas, di rambut dan kuku
diperlukan obat sistemik (1).
Obat Topikal
Suatu obat topikal harus memenuhi kriteria :
1) Bersifat antifungal aktif
2) Dapat berpenetrasi ke dalam kulit
3) Bekerja aktif di dalam dan di luar sel
4) Mempunyai daya tahan terhadap hasil-hasil metabolisme
5) Tidak menimbulkan sensibilisasi
Ada
dua
pedoman
1. Basah dengan basah
dalam
pengobatan
topikal,
yaitu
Berarti jika dermatosis basah (eksudatif) diobati dengan kompres terbuka. Tetapi
prinsip ini tidak mutlak, kompres terbuka juga digunakan pada dermatosis dengan
peradengan hebat.
2. Kering dengan kering
Berarti jika dermatosis kering diobati dengan vehikulum yang kering, misalnya
salep. Makin akut suatu dermatosis, makin lemah bahan aktif yang dipakai
Berarti pada dermatosis yang akut jangan diberi terapi dengan bahan aktif yang
kuat, yakni dengan konsentrasi yang tinggi karena akan menghebat.
Prinsip obat topikal secara umum terdiri atas dua bagian yaitu bahan dasar dan
bahan aktif dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Bahan dasar
Memilih bahan dasar (vehikulum) obat topikal merupakan langkah awal dan
terpenting yang harus diambil pada pengobatan penyakit kulit. Pada umumnya
sebagai pegangan ialah pada keadaan yang membasah dipakai bahan dasar yang cair
atau basah, misalnya kompres; dan pada keadaan kering dipakai bahan dasar padat
atau kering, misalnya salep. Secara sederhana bahan dasar dibagi menjadi tiga yaitu
cairan, bedak dan salep.
Disamping itu ada dua campuran atau lebih bahan dasar, yaitu bedak kocok (lotion),
krim, pasta dan linimen.
1. Cairan
Cairan terdiri atas solusio (larutan dalam air) dan tinctura (larutan dalam alkohol).
Solusio dibagi dalam kompres, rendam (bath) dan mandi (full bath). Prinsip
pengobatan cairan ialah membersihkan kulit yang sakit dari debris (pus, krusta dan
sebagainya) dan sisa-sisa obat topikal yang pernah dipakai. Disamping itu terjadi
perlunakan atau pecahnya vesikel, bula dan pustula. Hasil akhir pengobatan ialah
keadaan yang membasah menjadi kering, permukaan menjadi bersih sehingga
mikroorganisme tidak dapat tumbuh dan mulai terjadi proses epitelisasi.
Pengobatan cairan berguna juga untuk menghilangkan gejala, misalnya rasa gatal,
rasa terbakar, parestesi oleh bermacam-macam dermatosis. Harus diingat bahwa
pengobatan dengan cairan dapat menyebabkan kulit menjadi terlalu kering. Jadi
pengobatan cairan harus dipantau secara teliti. Kalau keadaan sudah mulai kering,
maka pemakaiannya dikurangi dan kalau perlu dihentikan untuk diganti dengan
bentuk pengobatan lainnya. Cara kompres lebih disukai daripada cara rendam dan
mandi, karena pada kompres terdapat pendinginan dengan adanya penguapan,
sedangkan pada rendam dan mandi terjadi proses maserasi. Bahan aktif yang
dipakai dalam kompres ialah biasanya bersifat astringen dan antimikrobial.
Astringen mengurangi eksudat akibat presipitasi protein. Kompres terdiri dari dua
macam, yaitu kompres terbuka dan kompres tertutup. Kompres terbuka dasarnya
adalah penguapan cairan kompres disusul oleh absorbsi eksudat atau pus.
Indikasinya meliputi dermatosis madidans, infeksi kulit dengan eritem yang
mencolok (misalnya erisipelas) dan ulkus kotor yang mengandung pus dan krusta.
1. Bedak
Bedak yang dioleskan di atas kulit membuat lapisan tipis di kulit yang tidak melekat
erat sehingga penetresinya sedikit sekali. Efek bedak ialah mendinginkan,
antiinflamasi ringan karena ada sedikit efek vasokonstriksi, antipruritus lemah,
mengurangi pergeseran pada kulit yang berlipat (intertrigo) dan proteksi mekanis.
Pengobatan dengan bedak yang diharapkan terutama ialah efek fisis. Bahan
dasarnya ialah talkum venetum. Bedak biasanya dicampur dengan seng oksida,
sebab zat ini bersifat mengabsorbsi air dan sebum, astringen, antiseptik lemah dan
antipruritus lemah. Indikasi pemberian bedak ialah dermatosis yang kering dan
superfisial, mempertahankan vesikel atau bula agar tidak pecah. Kontraindikasinya
adalah dermatitis yang basah, terutama bila disertai dengan infeksi sekunder.
1. Salep
Salep ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar
berkonsistensi seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula
lanolin atau minyak. Indikasinya adalah dermatosis yang kering dan kronik,
dermatosis yang dalam dan kronik dan dermatosis yang bersisik dan berkrusta.
Kontraindikasinya adalah dermatitis madidans. Jika kelainan kulit terdapat pada
bagian badan yang berambut, penggunaan salep tidak dianjurkan dan salep jangan
dipakai di seluruh tubuh.
1. Bedak kocok
Bedak kocok terdiri atas campuran air dan bedak yang biasanya ditambah dengan
gliserin sebagai bahan perekat, supaya bedak tidak terlalu kental dan cepat menjadi
kering maka jumlah zat padat maksimal 40 % dan jumlah gliserin 10 15 %. Hal ini
berarti jika beberapa zat aktif padat ditambahkan, maka prosentase tersebut jangan
terlampaui. Indikasi digunakan bedak kocok adalah dermatosis yang kering,
superfisial dan agak luas, serta dermatosis pada keadaan sub akut.
Kontraindikasinya ialah dermatitis madidans dan daerah badan yang berambut.
1. Krim
Krim adalah emulsi O/W (oil in water) atau W/O (water in oil). Kombinasi antara
minyak dengan air ditambah emulgator menghasilkan emulsi W/O atau O/W,
bergantung pada susunan komponen di atas. Krim W/O (cold cream) lebih cocok
dipakai waktu malam karena melengket lebih lama di kulit. Krim O/W (vanishing
cream) lebih cocok dipakai waktu siang karena lebih cair dan tidak lengket (Madani,
2000). Indikasi digunakan krim ialah indikasi kosmetik, dermatosis yang subakut
dan luas, dan boleh digunakan di daerah yang berambut. Kontraindikasi untuk krim
W/O ialah dermatitis madidans.
1. Pasta
Pasta ialah campuran homogen bedak dan vaselin. Pasta bersifat protektif dan
mengeringkan. Indikasi penggunaan pasta ialah dermatosis yang agak basah.
Kontraindikasinya ialah dermatosis yang eksudatif dan daerah yang berambut.
Untuk daerah genital eksterna dan lipatan-lipatan badan, pasta tidak dianjurkan
karena terlalu melekat. Sekarang pasta jarang dipakai karena pengolesan dan
pembersihannya lebih sulit.
1. Bahan Aktif
Pemilihan obat topikal selain faktor vehikulum, juga faktor bahan aktif yang
dimasukkan ke dalam vehikulum, yang mempunyai khasiat tertentu yang sesuai
untuk pengobatan topikal. Khasiat bahan aktif topikal dipengaruhi oleh keadaan
fisiko-kimia permukaan kulit, di samping komposisi formulasi zat yang dipakai.
Penetrasi bahan aktif melalui kulit dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk
konsentrasi obat, kelarutannya dalam vehikulum, besar partikel, viskositas.
Bahan-bahan aktif yang biasa digunakan pada penyakit kulit secara umum di
antaranya ialah alumunium asetat, asam asetat, asam benzoat, asam borat, asam
salisilat, asam undesilenat, asam vitamin A (tretionin, asam retinoat), benzokain,
benzil benzoat, camphora, kortikosteroid topikal, mentol, padofilin, selenium
disulfid, sulfur, ter, tiosulfas natrikus, urea, zat antiseptik, antibiotik dan antifungal.
dari faktor resiko dan faktor pemberat yang ada, apabila kedua hal tersebut tidak
dihindari dan atau pengobatan tidak adekuat maka pasien ini beresiko terkena
infeksi sekunder dari tinea yang dideritanya.
KESIMPULAN
Dermatifitosis (tinea) adalah Penyakit yang disebabkan oleh golongan jamur
dermatofit. Golongan jamur ini dapat mencerna keratin kulit oleh karena
mempunyai daya tarik kepada keratin (keratinofilik) sehingga infeksi jamur ini dapat
menyerang lapisan-lapisan kulit mulai dari stratum korneurm sampai dengan
stratum basalis. Menyebabkan kelainan pada kulit dengan morfologi yang khas yaitu
lesi polimorf dengan bagian tepi yang aktif serta berbatas tegas sedang bagian tengah
tampak tenang. Gejala ini disertai dengan perasaan gatal, bila kulit yang gatal ini
digaruk maka papul-papul atau vesikel-vesikel akan pecah sehingga menimbulkan
daerah yang erosif dan bila mengering jadi krusta dan skuama.
Klasifikasi tinea yaitu berdasarkan letak anatomis dari kelainan kulit yang muncul.
untuk timbulnya kelainan-kelainan di kulit tergantung dari beberapa factor, yaitu
Faktor virulensi dari dermatofita, Faktor trauma, Faktor-suhu dan kelembaban,
Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan, Faktor umur dan jenis kelamin