Analisis Kebijakan Reklamasi Teluk Jakar
Analisis Kebijakan Reklamasi Teluk Jakar
Diajukan sebagai syarat memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Pengantar Teori
Organisasi
Kelompok 5
Aprilia Praditasari - 1406540742
Pendahuluan
Selama satu dasawarsa terakhir, wacana reklamasi Teluk Jakarta semakin kencang.
Berbagai kebijakan pemerintah muncul, ada yang melarang, tetapi tak jarang melegalkan
reklamasi. Belakangan, wacana tersebut menguat, dihadirkan dengan mengusung tujuan
mulia menambah luasan Jakarta sebagai antisipasi perkembangan ibu kota negara. (Kompas,
2016)
Isu perihal Reklamasi Teluk Jakarta sebenarnya telah lama bergulir yakni sudah mulai
dilakukan sejak 1980-an, hal itu dimaksudkan untuk meningkatkan manfaat sumber daya
lahan dengan pengurukan dan pengeringan lahan atau drainase. Upaya tersebut dipilih dengan
tujuan untuk menambah luas daratan ibu kota negara.
Proyek Reklamasi pertama kali digagas seluas 2.700 hektar pada Maret 1995 dengan
tujuan untuk mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta dan mengembangkan wilayah Jakarta
Utara. Sehubungan dengan proyek reklamasi tersebut pemerintah mengesahkan Keputusan
Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8
Tahun 1995.
Atas keputusan presiden yang telah disahkan, Kementerian Lingkungan Hidup tidak
setuju dengan adanya keputusan tersebut sehingga dalam berbagai kebijakannya
menyebutkan bahwa reklamasi tidak layak dilakukan karena akan merusak lingkungan, di sisi
lain Pemerintah provinsi DKI Jakarta tetap dalam keputusannya. Kementerian Lingkungan
Hidup menyatakan proyek reklamasi tidak bisa dilakukan karena Pemprov DKI tidak mampu
memenuhi kaidah penataan ruang dan ketersediaan teknologi pengendali dampak lingkungan.
Hal itu disampaikan dengam dikeluarkannya SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14
Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai
Utara.
Perikanan menilai kebijakan tersebut melanggar karena kewenangan memberikan izin di area
laut strategis berada di tangan kementeriannya meski lokasinya ada di wilayah DKI Jakarta.
Kementerian Kelautan dan Perikanan mengkaji penghentian sementara (moratorium)
reklamasi. Reklamasi diusulkan hanya untuk pelabuhan, bandara, dan listrik. Di luar itu tidak
boleh ada reklamasi untuk hotel, apartemen, mal, dan sebagainya. Moratorium yang masih
berupa kajian tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI Jakarta untuk tetap
melaksanakan reklamasi.
Tanpa mengindahkan beberapa instansi, dengan dukungan di lain pihak, Pemprov
DKI di akhir tahun 2015 menyatakan mulai mempersiapkan tahap awal pengembangan
pulau-pulau reklamasi. Pulau O, P, dan Q akan diintegrasikan dengan Pulau N untuk
pembangunan Port of Jakarta.
Wacana kebijakan reklamasi Teluk DKI Jakarta telah banyak menuai reaksi pro dan
kontra dari berbagai kalangan baik dari individu, kelompok/organisasi privat maupun publik.
Berikut kami jabarkan analisis kebijakan yang telah dibuat dari sudut pandang kelompok
masyarakat dan nelayan:
Sumber:
http://news.liputan6.com/read/2448822/ahok-batalkan-saja-reklamasi-17-pulau-biar-saya-
caplok-semua
Sumber:
http://photo.liputan6.com/news/tolak-reklamasi-nelayan-sambangi-dprd-dki-jakarta-
2448587
Seperti yang kita ketahui, reklamasi yang terjadi dilakukan oleh pengusaha-pengusaha
swasta yang umumnya profit oriented tanpa mempedulikan dampaknya bagi
masyarakat sekitar. Dengan adanya reklamasi ini, secara tidak langsung akan menutup
akses bagi masyarakat umum untuk menikmati ruang publiknya yaitu laut. Reklamasi
yang dilakukan digunakan untuk pusat perbelanjaan dan hunian mewah dimana hanya
masyarakat tertentu saja yang dapat tinggal di kawasan tersebut. Juga, masyarakat pesisir
pantai semakin lama akan ikut tergusur dengan adanya kawasan mewah dan hal ini akan
mengakibatkan hilangnya tempat tinggal dan mata pencaharian masyarakat pesisir
pantai. Dengan demikian, reklamasi bukan hanya memberikan dampak negatif berupa
hilangnya ruang publik bagi masyarakat namun juga memberikan dampak negatif bagi
masyarakat pesisir dengan hilangnya tempat tinggal dan mata pencaharian mereka.
c) Golongan Elite VS Golongan Pesisir
Reklamasi yang dilakukan umumnya akan digunakan untuk pusat perbelanjaan dan
hunian mewah yang ditujukan untuk masyarakat dengan penghasilan menengah keatas.
Dengan adanya hal ini, dapat semakin memperjelas kesenjangan ekonomi antara
golongan elit dan golongan pesisir. Selain itu, nelayan yang merupakan golongan pesisir
akan lebih sulit untuk mencari ikan sebagai mata pencahariannya karena sebagian besar
daerah laut sudah dilakukan reklamasi. Untuk itu, mau tidak mau para nelayan ini harus
menempuh jarak yang lebih jauh untuk mencari ikan dan hal ini tentu akan merugikan
mereka karena harus mengeluarkan biaya tambahan untuk bensin yang digunakan untuk
perahu. Jika para nelayan tidak sanggup untuk menutupi biaya tambahan tersebut,
mereka akan membebankannya ke para konsumen yang akan memberikan dampak
kenaikan harga jual ikan di pasaran. Tentunya ini akan merugikan kedua belah pihak,
nelayan kemungkinan besar akan kehilangan konsumen dan konsumen harus
mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk membeli ikan. Dengan demikian, reklamasi
yang dilakukan oleh para pengusaha properti tersebut hanya akan memberikan dampak
negatif bagi masyarakat dan para nelayan.
d) Kerusakan Ekosistem Laut
Aktivitas reklamasi tentunya akan menyebabkan kerusakan ekosistem laut, mulai dari
makhluk hidup yang berada di dalamnya serta terumbu karang yang menjadi tempat
tinggal sebagian besar makhluk hidup di laut. Dengan adanya kerusakan ekosistem laut
ini, lagi-lagi akan berdampak pada hilangnya mata pencaharian masyarakat pesisir.
Kerusakan ekosistem laut juga akan mempengaruhi habitat dari ikan dan bukan tidak
mungkin ikan tersebut akan menghilang dari laut yang daerahnya dikelilingi oleh pulau
reklamasi. Jika hal ini dibiarkan terus terjadi, para nelayan akan kehilangan mata
pencaharian mereka dan masyarakat juga akan dihadapkan dengan harga jual ikan yang
semakin tinggi.
Dari berbagai penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa reklamasi yang dilakukan
oleh pengusaha properti hanya akan memberikan dampak negatif bagi masyarakat dan
nelayan. Untuk itu, kami sebagai perwakilan dari masyarakat dan nelayan sangat menolak
reklamasi dan menghimbau kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk segera
menghentikan proyek reklamasi. Selain itu, diharapkan pemerintah mempertimbangkan
dampak sosial maupun dampak ekonomi yang terjadi apabila proyek reklamasi tetap
dilakukan. Bukan hanya menolak reklamasi, kami juga akan mengusulkan beberapa solusi
yang dianggap paling baik bagi masyarakat dan nelayan.
Developer
Developer menyebutkan bahwa visi nya adalah Berkomitmen untuk menjadi
developer yang dapat dipercaya & diandalkan, sebagai mitra Pemerintah DKI Jakarta dalam
pengembangan yang lebih besar pada bidang IPU (Infrastruktur, Property & Utilitas) yang
terpadu, berkelanjutan untuk menciptakan kualitas kehidupan kota yang lebih baik. Namun
sejatinya tugas pemerintah adalah sebagai pelayan masyarakat yang menyediakan fasilitas
penunjang kesejahteraan masyarakat. Pemerintah diharapkan melakukan pembangunan yang
berorientasi kepada kesejahteraan masyarakat. Kalimat sebagai mitra Pemerintah DKI
Jakarta sedikit tidak mencerminkan developer tersebut dalam membantu pemerintah.
Kenyataannya developer malah merugikan masyarakat, khususnya adalah para nelayan
dimana atas pembangunan pulau buatan ini akan mengurangi tingkat kesejahteraan secara
ekonomi mereka. Adanya pulau buatan akan membuat ekosistem biota air yang ada di teluk
Jakarta semakin menghilang yang kemudian akan berdampak pada semakin jauh dan
susahnya nelayan untuk menangkap ikan.
Misi Developer di poin dua tertulis Menyediakan IPU yang sangat kompetitif,
inofatif & berorientasi lingkungan. Kalimat berorientasi lingkungan ini sangat
bertolakbelakan terhadap kenyataan yang ada yaitu pembangunan pulau buatan ini tidak
memiliki amdal yang sesuai. Amdal yang digunakan adalah amdal tunggal dimana hanya 4
dari 17 pulau yang telah memiliki amdal tunggal. Selain itu, amdal tunggal dirasa kurang
mencerminkan dampak komulatif dari adanya pulau buatan tersebut. Harusnya ada amdal lain
yang dikeluarkan yaitu amdal regional yang mengkaji wilayah sebagai satu ekosistem.
Apabila hanya tersedia amdal tunggal yang melihat dampak per pulau saja maka dampakdampak lain seperti sedimentasi 13 sungai, kabel laut (PLTU Muara Karang) hingga air
bersih tidak dapat terlihat dengan jelas. Dampak-dampak tersebut akan banyak dirasakan oleh
masyarakat pesisir utara pulau Jawa dimana ketersediaan air bersih akan semakin berkurang,
adanya sedimentasi air sungai dapat mengancam terjadinya banjir yang semakin parah serta
terganggunya aliran air dari sungai menuju laut. Selain dampak tersebut, pengerukkan pasir
laut yang kemudian akan digunakan untuk membuat pulau akan merusak ekosistem laut
khususnya terumbu karang, yang mana kita tahu bahwa terumbu karang adalah rumah bagi
ikan, maka secara tidak langsung hal ini akan mengurangi banyaknya ikan di Teluk Jakarta
dan akan menyulitkan para nelayan dalam menangkap ikan.
Empat latar belakang yang disebutkan oleh Developer yaitu Jakarta harus membangun
tanggul raksasa, laut Jakarta sudah terlalu kotor, antisipasi perkembangan Jakarta, serta
meningkatkan perekonomian, saya rasa hal tersebut sudah baik dan mulia karena akan
berdampak poitif bagi negara. Namun yang kami sesalkan adalah mengapa proyek ini malah
merugikan nelayan yang mana merupakan gologan menengah kebawah.
Tujuan yang dipaparkan oleh pihak developer dimana mereka berusaha meningkatkan
profit bagi perusahaan serta berkontribusi dalam mendorong roda perekonomian. Kedua poin
tersebut secara eksplisit memang tujuan yang baik demi kemajuan bangsa. Namun sekali lagi,
secara kenyataan tujuan ini hanyalah berdampak pada golongan tertentu yaitu mereka yang
memiliki modal dan kekuasaan sehingga dapat menikmati adanya pembangunan pulau ini.
Lalu bagaimana dengan para masyarakat pesisir yang notabene tidak memiliki kuasa untuk
mengambil manfaat secara langsung atas dibangunnya pulau buatan tersebut.
Dalam mengatasi kendala yang dialami oleh developer, maka developer mengusulkan
untuk menerapkan 3 strategi yaitu (1) Meningkatkan kemitraan dengan pemerintah, (2)
Sosialisasi manfaat reklamasi kepada masyarakat & nelayan, (3) Membagi wilayah reklamasi
menjadi beberapa area berdasarkan pemanfaatan. Untuk strategi yang dipaparkan kami rasa
masih kurang dan harus ditambah beberapa poin lagi seperti :
a. Menyelesaikan amdal yang dibutuhkan dan selain menyelesaikan semua
amdal tunggal maka diwajibkan untuk membuat amdal regional.
b. Memikirkan bagaimana para developer juga ikut serta dalam menyelesaikan
masalah yang muncul dari nelayan dan masyarakat seperti menyediakan
tempat khusus bagi mereka untuk mencari ikan setelah adanya pembangunan
pulau, atau memberi pelatihan bagi para nelayan dan masyarakat untuk
mengganti mata pencaharian mereka yang hilang.
c. Apabila pembangunan ini tetap berlanjut maka developer wajib untuk ikut
serta dalam mengembalikan kekayaan ekosistem laut yang rusak karena
pembangunan pulau buatan tersebut.
Hasil studi AMDAL menunjukkan ada beberapa isu pokok yang muncul akibat kegiatan
reklamasi Pantura untuk DKI Jakarta :
1. potensi banjir
2. ketersediaan bahan urugan
Proyek ini akan meningkatkan potensi dan intensitas banjir di Jakarta. Hal ini tidak
dapat ditolerir karena banjir di Jakarta saat ini (seperti yang terjadi pada tahun 2002)
belum dapat terselesaikan dengan tuntas.
Proyek ini akan membutuhkan bahan urugan sebanyak 330 juta m3. Apabila bahan ini
diambil dari pedalaman maka akan terjadi dampak di pedalaman dan dampak dari
pengangkutan bahan urugan tersebut (diperlukan sekitar 33 juta rit truk membawa bahan
urugan). Bila bahan urugan diambil dari pasir sepanjang pantai maka akan terjadi
kerusakan pantai dari daerah Losari, Indramayu di sebelah timur sampai pada kawasan
Pandeglang, Banten di sebelah barat, pada areal seluas 170 ribu hektar. Hal ini akan
memiskinkan masyarakat nelayan di sepanjang pantai tersebut. Disamping itu, apabila
urugan itu diambil dari dasar laut, akan menghancurkan ekosistem laut dan pola arus
laut, mengakibatkan hancurnya pantai dan pulau-pulau di sekitarnya. Keberadaan
kawasan baru ini juga akan menimbulkan pola arus yang menghancurkan pantai dan
pulau-pulau sekitar.
Tanpa adanya KLHS dan AMDAL terpadu, reklamasi Teluk Jakarta dapat
dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap UU PPLH dan PP Nomor 27/2012 tentang Izin
Lingkungan. Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup menegaskan dan meminta kepada
pengembang untuk menghentikan sementara pembangunan pulau hingga SK mengenai apa
yang harus diperbaiki oleh pengembang selesai. Penghentian pembangunan ini tidak hanya
pembangunan di luar pulau seperti pengerukan tapi juga pembangunan di dalam pulau. Oleh
karena itu, Kementrian Lingkungan Hidup memutuskan untuk memberikan sanksi
menghentikan sementara pembangunan reklamasi pulau reklamasi C, D dan G.
Berikut poin-poin rekomendasi Menteri Lingkungan Hidup :
a. Rencana tata ruang laut nasional berikut KLHS.
b. Penetapan status kawasan strategi nasional perairan (pertimbangan rencana Pulau
A ,B ,O ,P ,Q) atau rencana tata ruang strategis provinsi Pantura DKI berikut KLHSnya.
c. Revisi rencana tata ruang Jabodetabek punjur berikut KLHS rencana zonasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil provinsi di Provinsi Banten dan provinsi Jawa Barat
berikut KLHS-nya.
d. Agar KLHS huruf d) koheren, maka KLHS untuk Provinsi DKI, Provinsi Banten
(Kabupaten Tangerang) dan provinsi Jawa Barat (Kabupaten Bekasi ) harus dikaji dan
dianalisis secara simultan dan dimuat dalam satu dokumen yang berlaku untuk tiga
tiga wilayah tersebut.
e. penyelesaian Perda KSP dan Perda rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil untuk keperluan perizinan.
Selain rekomendasi diatas, saran Kementrian Lingkungan Hidup untuk memenuhi kebutuhan
lahan adalah :
o
Pandangan masyarakat dan nelayan terhadap hasil kajian Kementrian Lingkungan Hidup
Masyarakat dan nelayan adalah pihak yang paling terdampak atas proyek ini. Kondisi
masyarakat dan nelayan saat ini adalah bukti dari hasil kajian KLH diatas. Seperti yang kita
ketahui, banjir rob makin sering terjadi di daerah pantai utara Jakarta. Hal ini tentu
mengganggu aktivitas masyarakat pesisir.
Selain itu,
Media Massa
Media Massa menyebutkan bahwa empat misi yang dimilikinya berbunyi:
1. Berusaha memberikan informasi yang netral
2. Memberikan pendapat dalam desain dan tulisan kepada masyarakat luas
3. Menjadi pengengah masyarakat
4. Memajukan kerjasama semua pihak
Namun pada kenyataannya, seperti yang kita ketahui media massa saat ini seringkali
tidak memberikan informasi secara netral. Hal ini kami curigai akibat status kepemilikan
stasiun tv dan media cetak harian yang bersangkutan. Stasiun tv terkemuka yang kita lihat
setiap hari hampir seluruhnya milik salah seorang yang memiliki kepentingan atau posisi
yang disegani dalam satu partai tertentu, begitu juga halnya dengan koran yang setiap harinya
menyediakan berita terkini bagi masyarakat. Kami merasa bahwa media massa telah gagal
menjalankan misi pertamanya yaitu berusaha memberikan informasi yang netral. Akibat tidak
berjalannya misi pertama dengan baik, maka misi ketiga dan keempat yang berhubungan juga
dengan dua pihak selain media massa menjadi sulit untuk tercapai.
Jika dihubungkan dengan kasus reklamasi, akibat dari media massa yang tidak netral
maka poin keempat misi media massa lah yang paling bermasalah. Tidak akan terjadi
kerjasama semua pihak terlebih dari pihak masyarakat, nelayan, KLH, dan KKP dengan
pihak Pengembang. Beberapa pihak tersebut akan tetap mempertahankan opini dan kemauan
masing-masing karena merasa didukung oleh media masa yang secara tidak langsung
memberitakan keberpihakannya pada satu sisi. Akan sangat lebih baik jika media
mengevaluasi diri mengenai ketidakmampuannya untuk berbuat netral.
Selain misi media massa, hal yang tidak kami setujui adalah pernyataan media massa
tentang salah satu keuntungan dari reklamasi yaitu mendatangkan keuntungan ekonomi. Perlu
digaris bawahi agar lebih jelas bahwa reklamasi hanya mendatangkan keuntungan bagi sektor
privat dan golongan elite yang mempu untuk membeli lahan atau properti dan beraktivitas
pada wilayah reklamasi tersebut, sementara bagi pihak yang kami wakili yakni masyarakat
golongan mengengah kebawah beserta nelayan yang setiap harinya saja sudah susah untuk
mencari pendapatan, jika harus juga untuk mengikuti reklamasi maka kami akan kehilangan
pekerjaaan serta tempat tinggal kami. Reklamasi menghilangkan kemungkinan kami untuk
dapat bekerja dan beraktivitas selayaknya kami setiap harinya, ikan-ikan pergi menjauh
sehingga kami harus pergi memancing lebih jauh dari biasanya , selain itu keramba jaring
apung kami yang jumlahhnya ratusan di Teluk Jakarta harus kami pindahkan kemana jika
wilayah perairan tersebut akan dikuruk dan dijadikan pulau baru?
Selain itu media massa juga mengemukakan bahwa keuntungan lainnya adalah
reklamasi dapat mengembangkan wilayah Jakarta. Kembali lagi kami sebagai masyarakat dan
nelayan mempertanyakan siapa yang akan merasakan segala fasilitas dari perkembangan
wilayah utara Jakarta? Tentunya golongan elite yang hidupnya berkecukupan. Lalu apakah
bijak kiranya apabila kami rela untuk memberikan lahan kami yang berharga kepada
pengembang untuk direklamasi yang mana hasilnya kemudian tidak dapat kami rasakan?
harus tetap
diperhatikan lokasi rumah susun yang dekat dengan sekolah, tempat berbelanja dalam
memenuhi kebutuhan, dan akses transportasi yang memadai. Lokasi rumah susun ini dapat
saja berada di salah satu pulau dari Reklamasi Teluk Jakarta itu sendiri karena dapat lebih
dekat dengan lokasi penangkapan ikan. Pemberian fasilitas tambak ikan oleh Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta dinilai baik dan efektif untuk memecahkan masalah mengenai biaya
yang diperlukan dalam penangkapan karena lokasi penangkapan ikan yang lebih jauh jika ada
Pulau Reklamasi Teluk Jakarta. Pemberian fasilitas tambak harus diperhatikan dari sisi
keadilan bagi seluruh nelayan, lokasi pembangunan tambak, dan kualitas dari tambak itu
sendiri. Penyelesaian mendasar dalam konflik yang efektif dapat dilakukan sosialisasi dari
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara intensif dengan pendekatan yang baik. Sosialisasi ini
diharapkan dapat memberikan penjelasan yang baik terhadap masyarakat dan nelayan dalam
pemahaman, bahwa pembangunan Reklamasi Teluk Jakarta dilakukan untuk tujuan
masyarakat Jakarta bersama bukan sebagai keuntungan semata bagi pihak perusahaan
pengembang.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan sebagaimana yang telah dijabarkan diatas, berbagai reaksi pro dan
kontra dalam suatu kebijakan tentu tidak dapat dihindarkan dan layaknya dua sisi mata uang,
dalam suatu pembuatan kebijakan tentu akan ada manfaat dan kerugian yang akan
ditimbulkan oleh berbagai pihak. Sejauh yang telah direncanakan, sikap masyarakat dan
nelayan sejauh ini masih dalam posisi tidak setuju atas kebijakan reklamasi Teluk DKI
Jakarta, dikarenakan setelah dianalisis lebih jauh akan menimbulkan lebih banyak kerugian
yang dirasakan dibandingkan manfaat yang akan diperoleh.
Referensi:
Rosalina, M Putri. 2016. Jalan Panjang Reklamasi di Teluk Jakarta, dari era
Soeharto sampai Ahok.
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/04/04/10050401/Jalan.Panjang.
Reklamasi.di.Teluk.Jakarta.dari.era.Soeharto.sampai.Ahok/ (diakses pada
21 Mei 2016)
Anonim.
2015.
Sistem
dan
Sumber
Material
Reklamasi.
http://reklamasi-
Air
Laut
pada
Lahan
Pertanian
di
Provinsi
NAD.