Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

Oleh :
Ahmad Rifai

PROGRAM STUDI PROFESI (NERS)


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KHARISMA
KARAWANG
2016
A. Pendahuluan

Proses penuaan mempengaruhi berbagai sistem tubuh pada lansia.


Seiring masa penuaan, berbagai fungsi sistem tubuh mengalami degenerasi,
baik dari struktur anatomis, maupun fungsi fisiologis. Salah satu sistem
tubuh yang terganggu akibat proses penuaan adalah sistem genitourinari.
Pada sistem genitourinari lansia pria, masalah yang sering terjadi akibat
penuaan, yakni pembesaran kelenjar prostat Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH)(DeLaune & Ladner, 2002).
Pembesaran kelenjar prostat, atau disebut dengan BPH (Benign
ProstateHyperplasia) merupakan salah satu masalah genitouriari yang
prevalensi dan insidennya meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Parsons (2010) menjelaskan bahwa BPH terjadi pada 70 persen pria berusia
60-69 tahun di Amerika Serikat, dan 80 persen pada pria berusia 70 tahun ke
atas. Diperkirakan, pada tahun 2030 insiden BPH akan meningkat mencapai
20 persen pada pria berusia 65 tahun ke atas, atau mencapai 20 juta pria
(Parsons, 2010).
Di Indonesia sendiri, dataBadan POM (2011) menyebutkan bahwa BPH
merupakan penyakit kelenjar prostat tersering kedua, di klinik urologi di
Indonesia.
Insiden dan prevalensi BPH cukup tinggi, namun hal ini tidak diiringi
dengan kesadaran masyarakat untuk melakukan tindakan pencegahan
maupun penanganan dini sebelum terjadi gangguan eliminasi urin. Nies dan
McEwen (2007) menjelaskan bahwa pandangan stereotip yang mengatakan
pria itu kuat, akan mengarahkan pria untuk cenderung lebih mengabaikan
gejala yang timbul di awal penyakit. Pria akan menguatkan diri dan
menghindari penyebutan sakit bagi diri pria itu sendiri. Sementara, ketika
wanita sakit, wanita akan cenderung membatasi kegiatan dan berusaha
mencari perawatan kesehatan. Oleh karena itu, kasus BPH yang terjadi lebih
banyak kasus yang sudah mengalami gangguan eliminasi urin, dan hanya
bisa ditangani dengan prosedur pembedahan.
TURP (Transurethral Resection of the Prostate) merupakan salah satu
prosedur pembedahan untuk mengatasi masalah BPH yang paling sering
dilakukan. Rassweiler (2005) menjelaskan bahwa TURP merupakan
representasi gold standard manajemen operatif pada BPH. TURP memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan dengan prosedur bedah untuk BPH
lainnya. Beberapa kelebihan TURP antara lain prosedur ini tidak dibutuhkan
insisi dan dapat digunakan untuk prostat dengan ukuran beragam, dan lebih
aman bagi pasien yang mempunyai risiko bedah yang buruk (Smeltzer &
Bare, 2003). Oleh karena itulah, prosedur TURP lebih umum digunakan
mengatasi masalah pembesaran kelenjar prostat.
B. Anatomi fisiologi
1. Anatomi
Kelenjar prostat merupakan bangunan yang pipih, kerucut dan
berorientasi di bidang koronal. Apeksnya menuju ke bawah dan terletak
tepat diatas fasia profunda dari diafragma urogenital. Permukaan
anteriior mengarah pada simfisis dan dipisahkan jaringan lemak serta
vena periprostatika. Pita fibromuskuler anterior memisahkan jaringan

prostat dari ruang preprostatika dan permukaan posteriornya dipisahkan


dari rektum oleh lapisan ganda fasia denonvilliers.
Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20-25 gram
dengan ukuran rata-rata : panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm.
Secara embriologis terdiri dari 5 lobus yaitu lobus medius 1 buah, lobus
anterior 1 buah, lobus posterior 1 buah, lobus lateral 2 buah. Prostat
dikelilingi kapsul yang kurang lebih berdiameter 1 mm terdiri dan serabut
fibromuskular yang merupakan tempat perlekatan ligamentum
pubovesikalis. Beberapa ahli membagi prostat menjadi 5 lobus : lobus
anterior, medial, posterior, dan 2 lobus lateral yang mengelilingi uretra.
Kelenjar prostat merupakan organ yang kompleks yang terdiri dari
jaringan glandular dan non glandular, glandular terbagi menjaadi 3 zona
besar: sentral (menempati 25 %), perifeal (menempati 70 %), dan
transisional (menempati 5%). Perbedaan zona-zona ini penting secara
klinis karena zona perifeal sangat sering sebagai tempat asal keganasan,
dan zona transisional sebagai tempat asal benigna prostat hiperplasia.

Gambar: Pembesaran Prostat


Uretra dan verumontanium dapat dipakai sebagai patokan untuk
prostat. Bagian proksimal uretra membentang melalui 1/3 bagian depan
prostat dan bersinggungan dengan kelenjar periutheral dan sfingter
preprostatik. Pada tingkat veromontanium, urethra membentuk sudut
anterior 350 dan urethra pars prostatika distal bersinggung dengan zona
perifal. Volume zona sentral adalah yang terbesar pada individu muda,

tapi dengan bertambahnya usia zona ini atrofi secara progresif.


Sebaliknya zona transisional membesar dengan membentuk benigna
prostat hiperplasia.
Mc. Neal Melakukan analisa komparatif tentang zona prostat melalui
potongan sagital, koronal dan koronal obliq yaitu :
a. Stroma fibromuskular anterior
Merupakan lembaran tebal yang menutupi seluruh permukaan
anterior prostat. Lembaran ini merupakan kelanjutan dari lembaran
otot polos disekitar urethra proksial pada leher buli, dimana lembaran
ini bergabung dengan spinkter interna dan otot detrusor dari tempat
dimana dia berasal. Dekat apeks otot polos ini bergabung dengan
striata yang mempunyai peranan sebagai spinkter eksterna.
b. Zona perifer
Merupakan bagian terbesar dari prostat. Zona ini terdiri atas 65-67
% dari seluruh jaringan prostat. Hampir semua karsinoma berasal dari
zona ini.
c. Zona Sentral
Zona sentral mengelingi ductus ejakularis secra penuh diatas dan
dibelakang verumontanium. Mc. Neal membedakan zona ini sentral
dan zona perifer berdasarkan arsitektur sel dan sitologinya.
d. Zona transisional
Merupakan sekelompok kecil ductus yang berasal dari suatu titik
pertemuan urethra proksimal dan distal. Besarnya 5 % dari seluruh
massa prostat. Pada zona ini asiner banyak mengalami proliferasi
dibandingkan ductus periurethra lainnya.
2. Fisiologi
Kelenjar prostat secara relatif tetap kecil sepanjang kanak-kanak dan
mulai tumbuh pada masa pubertas dibawah stimulus testesteron.
Kelenjar ini mencapai ukuran makasimal pada usia 20 tahun dan tetap
dalam kuran ini sampai usia mendekati 50 tahun. Pada waktu tersebut
pada beberapa pria kelenjar tersebut mulai berdegenerasi bersamaan
dengan penurunan pembentukan testosteron oleh testis.
Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu
dan bersifat alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase,
kalsium dan koagulasi serta fibrinolin. Selama pengeluaran cairan
prostat, kapsul kelenjar prostat akan berkontraksi bersama dengan vas
deferens dan cairan dari prostat keluar bercampur dengan segmen yang
lainnya.

C. Pengertian
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dapat didefinisikan sebagai
pembesaran kelenjar prostat yang memanjang ke atas, ke dalam kandung
kemih, yang menghambat aliran urin, serta menutupi orifisium uretra
(Smeltzer & Bare, 2003). Secara patologis, BPH dikarakteristikkan dengan
meningkatnya jumlah sel stroma dan epitelia pada bagian periuretra prostat.
Peningkatan jumlah sel stroma dan epitelia ini disebabkan adanya proliferasi

atau gangguan pemrograman kematian sel yang menyebabkan terjadinya


akumulasi sel (Roehrborn, 2011).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh
penuaan. Price&Wilson (2005).
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit
yang disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami
pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat
aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra.
D. Klasifikasi
Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan Dejong
(2005) secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
1. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur
ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin
kurang dari 50 ml
2. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur
dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.
3. Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas
prostat tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
4. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total
E. Etiologi
Penyebab pasti BPH belum diketahui. Namun, IAUI (2003) menjelakan
bahwa terdapat banyak faktor yang berperan dalam hiperplasia prostat,
seperti usia, adanya peradangan, diet, serta pengaruh hormonal. Faktor
tersebut selanjutnya mempengaruhi prostat untuk mensintesis protein
growth factor, yang kemudian memicu proliferasi sel prostat. Selain itu,
pembesaran prostat juga dapat disebabkan karena berkurangnya proses
apoptosis. Roehrborn (2011) menjelaskan bahwa suatu organ dapat
membesar bukan hanya karena meningkatnya proliferasi sel, tetapi juga
karena berkurangnya kematian sel.
BPH jarang mengancam jiwa. Namun, keluhan yang disebabkan BPH
dapat menimbulkan ketidaknyamanan. BPH dapat menyebabkan timbulnya
gejala LUTS (lower urinary tract symptoms) pada lansia pria. LUTS terdiri atas
gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptom) yang
meliputi: frekuensi berkemih meningkat, urgensi, nokturia, pancaran
berkemih lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak
puas sehabis berkemih, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urin (IAUI,
2003).
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasi
prostat
erat
kaitannya
dengan
peningkatan
kadar
dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan
F. Patofisiologi

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa 20 gram.
Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000),
membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer,
zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra
(Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia
lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi
estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan
bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah
menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam
sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi
pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya
perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan
patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan
oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher
vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor
dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan
prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran
prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah
prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan
jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat
detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti
balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos
keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula
sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut
Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut
maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan
tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada
hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi.
Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama
dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi),
miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas
setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna
atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas
otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit
ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak
mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari
tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox
(overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter
dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal

ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan
yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam
vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005)

G. Tanda dan gejala


Gambarantanda dan gejala secara klinis pada hiperplasi prostat
digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi
disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat
sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis
miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan
(straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi
memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena
overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas
otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi),
terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi
yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer,
2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4
stadium :
a) Stadium I

Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan


urine sampai habis.
b) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan
urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150
cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine
menetes secara periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa Tanda dan
gejala dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan
ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang
turun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing
(urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah
ini :
a) Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
Grade 0
: Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.
Grade 1
: Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.
Grade 2
: Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.
Grade 3
: Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.
Grade 4
: Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum.
b) Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur,
disuruh kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
Normal
: Tidak ada sisa
Grade I
: sisa 0-50 cc
Grade II
: sisa 50-150 cc
Grade III
: sisa > 150 cc
Grade IV
: pasien sama sekali tidak bisa kencing.
H. Pemeriksaan diagnostik
1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel
leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri
harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran
kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat
menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi
dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai
PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml,
dihitung Prostate specific antigen density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi
dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi
prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml

2. Pemeriksaan darah lengkap


Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka
semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan
biasanya menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka
fungsi jantung dan pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis
leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
3. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG,
dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH,
derajat disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat
adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli.
Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastase dari
keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari
Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika
urinaria, residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat,
memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah
terlihat bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat
/mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli
dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya dikencingkan.
Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya tumor, divertikel. Selagi
kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat adanya refluks urin.
Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.
I. Penatalaksanaan
1. Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a) Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah,
diberikan
pengobatan
konservatif,
misalnya
menghambat
adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat
ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya
adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b) Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan
pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra
(trans uretra)
c) Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan
selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik
dan perineal.

d) Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan
penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau
sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok
melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau
pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan
dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif
dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa.
Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti
androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan
pada BPH dapat dilakukan dengan:
a) Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan,
kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa
kencing dan colok dubur.
b) Medikamentosa
Mengharnbat adrenoreseptor
Obat anti androgen
Penghambat enzim -2 reduktase
Fisioterapi
c) Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria,
penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel
batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar
prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan
malalui uretra.
Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang
dibuat pada kandung kemih.
Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada
abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa
memasuki kandung kemih.
Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah
insisi diantara skrotum dan rektum.
Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula,
vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah
insisi pada abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke
leher kandung kemih pada kanker prostat.
d) Terapi Invasif Minimal
Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang
disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang
melalui/pada ujung kateter.

Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy


(TULIP)
Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
2. Keperawatan
a. Pre operasi
Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan
Darah, CT, BT, AL)
Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan
lansia
Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax
Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam.
Sebelum pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap 2
hari, lavemen puasa minimal 8 jam, dan mengurangi bicara
untuk meminimalkan masuknya udara
b. Post operasi
1. Irigasi/Spoling dengan Nacl
Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
Hari pertama post operasi : 60 tetes/menit
Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
Hari ke 4 post operasi diklem
Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada
masalah (urin dalam kateter bening)
2. Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada
masalah (cairan serohemoragis < 50cc)
3. Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat
injeksi selama 2 hari, bila pasien sudah mampu makan dan
minum dengan baik obat injeksi bisa diganti dengan obat
oral.
4. Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24
jam post operasi
5. Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post
oprasi dengan betadin
6. Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
7. DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
8. Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
9. Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
10.Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan
dorongan untuk berkemih, merasakan tekanan atau sesak
pada kandung kemih dan perdarahan dari uretral sekitar
kateter. Medikasi yang dapat melemaskan otot polos dapat
membantu mengilangkan spasme. Kompres hangat pada
pubis dapat membantu menghilangkan spasme.
11.Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk
berjalan-jalan tapi tidak duduk terlalu lama karena dapat
meningkatkan tekanan abdomen, perdarahan
12.Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai
kembali kontrol berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan
sampai passien mencapai kontrol berkemih.

13.Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda


kemerahan kemudian jernih hingga sedikit merah muda
dalam 24 jam setelah pembedahan.
14. Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang
meningkat dan sejumlah bekuan biasanya menandakan
perdarahan arteri. Darah vena tampak lebih gelap dan kurang
kental. Perdarahan vena diatasi dengan memasang traksi
pada kateter sehingga balon yang menahan kateter pada
tempatnya memberikan tekannan pada fossa prostatik.
J. Pengkajian keperawatan
Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses
keperawatan. Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH
adalah sebagai berikut :
1. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada
kasus preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah
yang disebabkan oleh karena efek pembesaran ginjal. Penurunan
tekanan darah; peningkatan nadi sering dijumpai pada. kasus
postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan.
2. Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas
egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan
yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental,
perubahan perilaku.
3. Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami
oleh pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam
memulai aliran urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih
inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria.
Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif
serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase
kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi
warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan
darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas,
warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi
urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal
tersebut terjadi karena protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan
pada postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan.
4. Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari
anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual,
muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi
masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
5. Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan
dasar yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan

yang harus dipenuhi. Pada pasien postoperasi biasanya ditemukan


adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung
bawah.
6. Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor
keselamatan tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat
penting untuk menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian
paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tandatanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada
preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan
juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada
saluran perkemihannya.
7. Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang
mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan
seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim,
penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri
tekan pada prostat.
8. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi
maupun postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin
analisa, kultur urin, urologi., urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum,
SDP/sel darah putih. Sedangkan pada postoperasinya perlu dikaji kadar
hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari perdarahan. Dan kadar
leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.

K. Penyimpangan KDM

L. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan kasus
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)adalah sebagai berikut :
1. Pre operasi
Nyeri akut
Cemas
Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
Kerusakan eleminasi urin
2. Post operasi
Nyeri akut
Resiko infeksi
Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan
Defisit perawatan diri

M. Intervensi Keperawatan
Pre Operasi
N
o
1

Diagnosa
keperawatan
Nyeri akut
Definisi : Sensori dan
pengalaman emosional
yang tidak
menyenangkan yang
timbul dari kerusakan
jaringan aktual atau
potensial, muncul tibatiba atau lambat
dengan intensitas
ringan sampai berat
dengan akhir yang
bisa diantisipasi atau
diduga dan
berlangsung kurang
dari 6 bulan.
Faktor yang
berhubungan : Agen
injuri (biologi, kimia,
fisik, psikologis)
Batasan

Tujuan

Intervensi Keperawatan

Setelah dilakukan asuhan


1. Manajemen Nyeri
Definisi : perubahan atau pengurangan nyeri ke tingkat
keperawatan selama .x 24
kenyamanan yang dapat diterima pasien
jam, klien dapat:
Intervensi:
1. Kaji secara menyeluruh tentang nyeri, meliputi:
1. Mengontol nyeri
lokasi, karakteristik, waktu kejadian, lama,
Definisi
:
tindakan
frekuensi, kualitas, intensitas/beratnya nyeri, dan
seseorang
untuk
faktor-faktor pencetus
mengontrol nyeri
2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari
Indikator:
ketidaknyamanan, khususnya dalam
Mengenal faktor-faktor
ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif
penyebab
3. Berikan analgetik sesuai dengan anjuran
Mengenal onset/waktu
4. Gunakan komunikasi terapeutik agar klien dapat
kejadian nyeri
mengekspresikan nyeri
tindakan pertolongan
5. Kaji latar belakang budaya klien
6. Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap
non-analgetik
kualitas hidup: pola tidur, nafsu makan, aktifitas
Menggunakan analgetik
melaporkan gejala-gejala
mood, hubungan, pekerjaan, tanggungjawab peran
7.
Kaji pengalaman individu terhadap nyeri, keluarga
kepada tim kesehatan
dengan nyeri kronis
(dokter, perawat)
8.
Evaluasi tentang keefektifan dari tindakan
nyeri terkontrol
mengontrol nyeri yang telah digunakan
Keterangan:
9. Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
1 = tidak pernah dilakukan
10.Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab,
2 = jarang dilakukan
berapa lama terjadi, dan tindakan pencegahan
3 =kadang-kadang
11.Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat

karakteristik :
Laporan secara
verbal atau non
verbal adanya nyeri
Fakta dari observasi
Posisi untuk
menghindari nyeri
Gerakan melindungi
Tingkah laku
berhati-hati
Muka topeng
Gangguan tidur
(mata sayu, tampak
capek, sulit atau
gerakan kacau,
menyeringai)
Terfokus pada diri
sendiri
Fokus menyempit
(penurunan persepsi
waktu, kerusakan
proses berpikir,
penurunan interaksi
dengan orang dan
lingkungan)
Tingkah laku
distraksi, contoh :
jalan-jalan,
menemui orang lain
dan/atau aktivitas,

dilakukan
4 = sering dilakukan
5 = selalu dilakukan

mempengaruhi respon klien terhadap


ketidaknyamanan (contoh : temperatur ruangan,
penyinaran, dll)
12.Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
13.Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi, (ex:
relaksasi, guided imagery, terapi musik, distraksi,
aplikasi panas-dingin, massase)
14.Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
15.Modifikasi tindakan mengontrol nyeri berdasarkan
respon klien
16.Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
17.Anjurkan klien untuk berdiskusi tentang
pengalaman nyeri secara tepat
18.Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau
terjadi keluhan
19.Informasikan kepada tim kesehatan lainnya/anggota
keluarga saat tindakan nonfarmakologi dilakukan,
untuk pendekatan preventif
20.monitor kenyamanan klien terhadap manajemen
nyeri

2. Menunjukkan tingkat
nyeri
Definisi
:
tingkat
keparahan dari nyeri yang
dilaporkan atau ditunjukan
Indikator:
Melaporkan nyeri
Frekuensi nyeri
Lamanya episode nyeri
Ekspresi nyeri: wajah
Posisi melindungi tubuh
Kegelisahan
Perubahan Respirasirate
Perubahan Heart Rate
Perubahan tekanan
2. Pemberian Analgetik
Darah
Definisi : penggunaan agen farmakologi untuk
Perubahan ukuran Pupil
mengurangi atau menghilangkan nyeri
Perspirasi
Intervensi:
Kehilangan nafsu makan
1. Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas,dan
Keterangan:
keparahan sebelum pengobatan
1 : berat
2. Berikan obat dengan prinsip 12 benar
2 : agak berat
3. Cek riwayat alergi obat
3 : sedang
4. Libatkan klien dalam pemilhan analgetik yang akan
4 : sedikit
digunakan
5 : tidak ada
5. Pilih analgetik secara tepat /kombinasi lebih dari

aktivitas berulangulang)
Respon autonom
(seperti diaphoresis,
perubahan tekanan
darah, perubahan
nafas, nadi dan
dilatasi pupil)
Perubahan
autonomic dalam
tonus otot (mungkin
dalam rentang dari
lemah ke kaku)
Tingkah laku
ekspresif (contoh :
gelisah, merintih,
menangis, waspada,
iritabel, nafas
panjang/berkeluh
kesah)
Perubahan dalam
nafsu makan dan
minum

Cemas
Definisi : Perasaan
gelisah yang tak jelas

satu analgetik jika telah diresepkan


6. Tentukan pilihan analgetik (narkotik, non narkotik,
NSAID) berdasarkan tipe dan keparahan nyeri.
7. Monitor tanda-tanda vital, sebelum dan sesudah
pemberian analgetik
8. Monitor reaksi obat dan efeksamping obat
9. Dokumentasikan respon dari analgetik dan efekefek yang tidak diinginka.
10. Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek
analgetik (konstipasi/iritasi lambung)
3. Manajemen lingkungan : kenyamanan
Definisi : memanipulasi lingkungan untuk kepentingan
terapeutik
Intervensi :
1. Pilihlah ruangan dengan lingkungan yang tepat
2. Batasi pengunjung
3. Tentukan hal-hal yang menyebabkan
ketidaknyamanan seperti pakaian lembab
4. Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
5. Tentukan temperatur ruangan yang paling nyaman
6. Sediakan lingkungan yang tenang
7. Perhatikan hygiene pasien untuk menjaga
kenyamanan
8. Atur posisi pasien yang membuat nyaman.

Setelah dilakukan asuhan


keperawatan selama......x24
jam pasien menunjukan
dapat :

Menurunkan cemas
Definisi : meminimalkan rasa takut, cemas, merasa dalam
bahaya atau ketidaknyamanan terhadap sumber yang tidak
diketahui
Intervernsi:

dari ketidaknyamanan
atau ketakutan yang
disertai respon
autonom (sumner
tidak spesifik atau
tidak diketahui oleh
individu); perasaan
keprihatinan
disebabkan dari
antisipasi terhadap
bahaya. Sinyal ini
merupakan peringatan
adanya ancaman yang
akan datang dan
memungkinkan
individu untuk
mengambil langkah
untuk menyetujui
terhadap tindakan.
Faktor yang
berhubungan :
terpapar racun, konflik
yang tidak disadari
tentang nilai-nilai
utama/tujuan hidup,
berhubungan dengan
keturunan/herediter,
kebutuhan tidak
terpenuhi, transmisi

1. Mengontrol cemas:
Definisi : Tindakan
seseorang untuk
mengurangi perasaan
tertekan/terbebani dan
ketegangan dari sumber
yang tidak dapat
diidentifikasi
Indikator :
Monitor intensitas cemas
Meghilangkan penyebab
cemas
Menurunkan stimulus
lingkungan ketika cemas
Mencari informasi untuk
menurunkan cemas
Gunakan strategi koping
efektif
Melaporkan kepada
perawat penurunan lama
cemas
Menggunakan teknik
relaksasi untuk
menurunkan cemas
Mempertrahankan
hubungan sosial
Mempertahankan
konsentrasi
Melaporkan kepada
perawat tidur cukup

1. Tenangkan pasien
2. Jelaskan seluruh prosedurt tindakan kepada pasien
dan perasaan yamng mungkin muncul pada saat
melakukan tindakan
3. Berusaha memahami keadaan pasien
4. Berikan informasi tentang diagnosa, prognosis dan
tindakan
5. Mendampingi pasien untuk mengurangi kecemasan
dan meningkatkan kenyamanan
6. Dorong pasien untuk menyampaikan tentang isi
perasaannya
7. Kaji tingkat kecemasan
8. Dengarkan dengan penuh perhatian
9. Ciptakan hubungan saling percaya
10.Bantu pasien menjelaskan keadaan yang bisa
menimbulkan kecemasan
11.Bantu pasien untuk mengungkapkan hal hal yang
membuat cemas
12.Ajarkan pasien teknik relaksasi
13.Berikan obat obat yang mengurangi cemas

iterpersonal, krisis
situasional/maturasion
al, ancaman kematian,
ancaman terhadap
konsep diri, stress,
substans abuse,
perubahan dalam:
status peran, status
kesehatan, pola
interaksi, fungsi peran,
lingkungan, status
ekonomi.
Batasan
karakteristik:
Perilaku :
Produktivitas
berkurang
Scanning dan
kewaspadaan
Kontak mata yang
buruk
Gelisah
Pandangan sekilas
Pergerakan yang
tidak
berhubungan,
(misal : berjalan
dengan menyeret
kaki, pergelangan

Melaporkan kepada
perawat bahwa cemas
tidak mempengatruhi
keadaan fisik
Tidak adanya tingkahlaku
yang menunjukan cemas

Keterangan
1 :Tidak pernah
menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang-kadang
menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan

2. Kopingyang baik
Definisi : Tindakan untuk
mengelola stressor yang
menggunakan sumber
individu
Indikator :
Mengenal koping efektif
Mengenal koping tak
efektif
Memverbalkan
kemampuan kontrol
Melaporkan menurunnya
stress

tangan/lengan
Menunjukkan
perhatian
seharusnya dalam
kejadian hidup
Insomnia
Resah
Affektive:
Penyesalan
Irritable
Kesedihan yang
mendalam
Ketakutan
Gelisah, gugup
Mudah
tersinggung
Rasa nyeri hebat
dan menetap
Ketidakberdayaa
n meningkat
Membingungkan
Ketidaktentuan
Peningkatan
kewaspadaan
Fokus pada diri
Perasaan tidak
adekuat
Ketakutan
Distress
Kekhawatiran,
prihatin

Memverbalkan
penerimaan terhadap
situasi
Mencari informasi yang
berkaitan dengan
penyakit dan
pengobatannya
Modifikasi gaya hidup
sesuai kebutuhan
Beradaptasi dengan
perubahan
perkembangan
Menggunakan support
sosial yang
memungkinkan
Mengerjakan sesuatu
yang menurunkan stress
Mengenal strategi koping
multipel
Menggunakan strategi
koping efektif
Menghindari situasi
penuh stress
Memverbalkan
kebutuhan akan bantuan
Mencari pertolongan
professional yang sesuai
Melaporkan menurunnya
keluhan fisik
Melaporkan menurunnya

Cemas
Fisiologis :
Suara gemetar
Gemetar, tangan
tremor
Goyah
Respirasi
meningkat
(simpatis)
Keinginan
kencing
(parasimpatis)
Nadi meningkat
(simpatis)
Berkeringat
banyak
Wajah tegang
Anorexia
(simpatis)
Jantung berdetak
kuat (simpatis)
Diare
(parasimpatis)
Keragu-raguan
dalam berkemih
(parasimpatis)
Kelelahan
(Simpatis)
Mulut kering
(simpatis)

perasaan negatif
Melaporkan kenyamanan
psikologis yang
meningkat

Keterangan:
1
:Tidak
pernah
menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang-kadang
menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan

Kelemahan
(simpatis)
Wajah
kemerahan
(simpatis)

Ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh
Definisi: Intake nutrisi
tidak cukup untuk
keperluan
metabolisme tubuh

Batasan
karakteristik :
Berat badan 20 %
di bawah ideal
Dilaporkan adanya
intake makanan
yang kurang dari
RDA (Recomended
Daily Allowance)
Membran mukosa
dan konjungtiva

Setelah dilakukan asuhan


1. Manajemen Nutrisi
Definisi : membantu dengan atau menyediakan masukan
keperawatan selama . X
diet seimbang dari makanan dan cairan
24 jam klien dapat
Intervensi :
menunjukkan
1. Catat jika klien memiliki alergi makanan
1. status nutrisi yang
2. Catat makanan kesukaan klien
baik
3. Tentukan jumlah kalori dan tipe nutrien yang
Definisi : Nutrisi cukup
dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan
4. Dorong asupan kalori sesuai tipe tubuh dan gaya
metabolisme tubuh
hidup
Indikator :
5. Dorong asupan zat besi
Masukan nutrisi
6. Tawarkan makanan ringan
Masukan makanan
7. Berikan gula tambahan k/p
dan cairan
8. Tawarkan bumbu sebagai pengganti garam
9. Berikan makanan tinggi kalori, protein dan
Tingkat energi cukup
minuman yang mudah dikonsumsi
Berat badan stabil
10.Berikan
pilihan makanan
Nilai laboratorium
11.Sesuaikan diet dengan gaya hidup klien
12.Ajarkan klien cara membuat catatan makanan
Keterangan:
13.Monitor asupan nutrisi dan kalori
1 : Sangat bermasalah
14.Timbang berat badan secara teratur
2 : Cukup bermasalah
15.Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi dan
3 : Masalah sedang
bagaimana memenuhinya
4 : Sedikit bermasalah
16.Ajarkan teknik penyiapan dan penyimpanan

pucat
Kelemahan otot
yang digunakan
untuk
menelan/mengunya
h
Luka, peradangan
pada rongga mulut
Mudah merasa
kenyang, sesaat
setelah mengunyah
makanan
Dilaporkan atau
fakta adanya
kekurangan
makanan
Dilaporkan adanya
perubahan sensasi
rasa
Perasaan
ketidakmampuan
untuk mengunyah
makanan
Miskonsepsi
Kehilangan BB
dengan makanan
cukup
Keengganan untuk
makan
Kram pada
abdomen

5 : Tidak ada masalah

makanan
17.Tentukan kemampuan
kebutuhan nutrisinya

klien

untuk

memenuhi

2. Monitor nutrisi
Definisi : mengumpulkan dan menganalisa data dari
pasien untuk mencegahatau meminimalkan malnutrisi.
Intervensi :
1. BB klien dalam interval spesifik
2. Monitor adanya penurunan BB
3. Monitor tipe dan jumlah nutrisi untuk aktivitas biasa
4. Monitor respon emosi klien saat berada dalam
situasi yang mengharuskan makan.
5. Monitor interaksi anak dengan orang tua selama
makan.
6. Monitor lingkungan selama makan.
7. Jadwalkan pengobatan dan tindakan, tidak selama
jam makan.
8. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
9. Monitor turgor kulit
10.Monitor kekeringan, rambut kusam dan mudah
patah.
11.Monitor adanya bengkak pada alat pengunyah,
peningkatan perdarahan, dll.
12.Monitor mual dan muntah
13.Monitor kadar albumin, total protein, Hb, kadar Ht.
14.Monitor kadar limfosit dan elektrolit.
15.Monitor makanan kesukaan.
16.Monitor pertumbuhan dan perkembangan.
17.Monitor kadar energi, kelelahan, kelemahan.
18.Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan pada
jaringan konjungtiva.
19.Monitor kalori dan intake nutrisi.

Tonus otot jelek


Nyeri abdominal
dengan atau tanpa
patologi
Kurang berminat
terhadap makanan
Pembuluh darah
kapiler mulai rapuh
Diare dan atau
steatorrhea
Kehilangan rambut
yang cukup banyak
(rontok)
Suara usus
hiperaktif
Kurangnya
informasi,
misinformasi

Faktor yang
berhubungan :
Ketidakmampuan
pemasukan atau
mencerna makanan
atau mengabsorpsi
zat-zat gizi
berhubungan dengan
faktor biologis,
psikologis atau
ekonomi.

20.Catat adanya edema, hiperemia, hipertropik papila


lidah dan cavitas oral.
21.Catat jika lidah berwarna merah keunguan.

Post Operasi

Nyeri akut
Definisi : Sensori dan
pengalaman emosional
yang tidak
menyenangkan yang

1.
Setelah
dilakukan
asuhan
keperawatan selama .x 24
jam, klien dapat:
1. Mengontol nyeri
Definisi : tindakan seseorang
untuk mengontrol nyeri.
Indikator:

1. Manajemen Nyeri
Definisi : perubahan atau pengurangan nyeri ke tingkat
kenyamanan yang dapat diterima pasien
Intervensi:
1. Kaji secara menyeluruh tentang nyeri, meliputi:

timbul dari kerusakan


jaringan aktual atau
potensial, muncul tibatiba atau lambat
dengan intensitas
ringan sampai berat
dengan akhir yang
bisa diantisipasi atau
diduga dan
berlangsung kurang
dari 6 bulan.
Batasan
karakteristik :
Laporan secara
verbal atau non
verbal adanya nyeri
Fakta dari observasi
Posisi untuk
menghindari nyeri
Gerakan melindungi
Tingkah laku
berhati-hati
Muka topeng
Gangguan tidur
(mata sayu, tampak
capek, sulit atau
gerakan kacau,
menyeringai)
Terfokus pada diri
sendiri

Mengenal
faktor-faktor
penyebab
Mengenal
onset/waktu
kejadian nyeri
Tindakan pertolongan nonanalgetik
Menggunakan analgetik
Melaporkan
gejala-gejala
kepada
tim
kesehatan
(dokter, perawat)
Nyeri terkontrol

Keterangan:
1
= tidak pernah dilakukan
2
= jarang dilakukan
3
= kadang-kadang dilakukan
4
= sering dilakukan
5
= selalu dilakukan

2. Menunjukkan
tingkat
nyeri
Definisi : tingkat keparahan
dari nyeri yang dilaporkan atau
ditunjukan
Indikator:
Melaporkan nyeri
Frekuensi nyeri
Lamanya episode nyeri
Ekspresi nyeri: wajah
Posisi melindungi tubuh

lokasi, karakteristik,waktu kejadian, lama, frekuensi,


kualitas, intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor
pencetus
2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari
ketidaknyamanan, khususnya dalam
ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif
3. Berikan analgetik sesuai dengan anjuran
4. Gunakan komunkasi terapeutik agar klien dapat
mengekspresikan nyeri
5. Kaji latar belakang budaya klien
6. Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap
kualitas hidup: pola tidur, nafsu makan, aktifitas
mood, hubungan, pekerjaan, tanggungjawab peran
7. Kaji pengalaman individu terhadap nyeri, keluarga
dengan nyeri kronis
8. Evaluasi tentang keefektifan dari tindakan
mengontrol nyeri yang telah digunakan
9. Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
10.
Berikan informasi tentang nyeri, seperti:
penyebab, berapa lama terjadi, dan tindakan
pencegahan
11.
Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon klien terhadap
ketidaknyamanan (contoh : temperatur ruangan,
penyinaran, dll)
12.
Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
13.
Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi(ex: relaksasi, guided imagery, terapi
musik, distraksi, aplikasi panas-dingin, massase)
14.
Evaluasi keefektifan dari tindakan
mengontrol nyeri yang telah digunakan
15.
Berikan dukungan terhadap klien dan

Fokus menyempit
(penurunan persepsi
waktu, kerusakan
proses berpikir,
penurunan interaksi
dengan orang dan
lingkungan)
Tingkah laku
distraksi, contoh :
jalan-jalan,
menemui orang lain
dan/atau aktivitas,
aktivitas berulangulang)
Respon autonom
(seperti diaphoresis,
perubahan tekanan
darah, perubahan
nafas, nadi dan
dilatasi pupil)
Perubahan
autonomic dalam
tonus otot (mungkin
dalam rentang dari
lemah ke kaku)
Tingkah laku
ekspresif (contoh :
gelisah, merintih,
menangis,

Kegelisahan
Perubahan Respirasirate
Perubahan Heart Rate
Perubahan tekanan Darah
Perubahan ukuran Pupil
Perspirasi
Kehilangan nafsu makan

Keterangan:
1 : berat
2 : agak berat
3 : sedang
4 : sedikit
5 : tidak ada

keluarga
16.
Berikan informasi tentang nyeri, seperti:
penyebab, berapa lama terjadi, dan tindakan
pencegahan
17.
Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon klien terhadap
ketidaknyamanan (contoh : temperatur ruangan,
penyinaran, dll)
18.
Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
19.
Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi(ex: relaksasi, guided imagery, terapi
musik, distraksi, aplikasi panas-dingin, massase)
20.
Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol
nyeri
21.
Modifikasi tindakan mengontrol nyeri
berdasarkan respon klien
22.
Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
23.
Anjurkan klien untuk berdiskusi tentang
pengalaman nyeri secara tepat
24.
Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil
atau terjadi keluhan
25.
Informasikan kepada tim kesehatan
lainnya/anggota keluarga saat tindakan
nonfarmakologi dilakukan, untuk pendekatan
preventif
26.
monitor kenyamanan klien terhadap
manajemen nyeri
2. Pemberian Analgetik
Definisi : penggunaan agen farmakologi untuk
mengurangi atau menghilangkan nyeri.

Intervensi:
Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas,dan
keparahan sebelum pengobatan
Berikan obat dengan prinsip 5 benar
Cek riwayat alergi obat
Libatkan klien dalam pemilhan analgetik yang akan
digunakan
Pilih analgetik secara tepat /kombinasi lebih dari
satu analgetik jika telah diresepkan
Tentukan pilihan analgetik (narkotik, non narkotik,
NSAID) berdasarkan tipe dan keparahan nyeri
Monitor tanda-tanda vital, sebelum dan sesudah
pemberian analgetik
Monitor reaksi obat dan efeksamping obat
Dokumentasikan respon dari analgetik dan efekefek yang tidak diinginkan
Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek
analgetik (konstipasi/iritasi lambung)
3. Manajemen lingkungan : kenyamanan
Definisi : memanipulasi lingkungan untuk
kepentingan terapeutik
Intervensi :
Pilihlah ruangan dengan lingkungan yang tepat
Batasi pengunjung
Tentukan hal-hal yang menyebabkan
ketidaknyamanan seperti pakaian lembab
Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
Tentukan temperatur ruangan yang paling nyaman
Sediakan lingkungan yang tenang

Resiko infeksi
Definisi : Peningkatan
resiko masuknya
organisme patogen
Faktor-faktor
resiko :
Prosedur Invasif
Ketidakcukupan
pengetahuan
untuk menghindari
paparan patogen
Trauma
Kerusakan jaringan
dan peningkatan
paparan
lingkungan
Ruptur membran
amnion
Agen farmasi
(imunosupresan)
Malnutrisi
Peningkatan

Setelah dilakukan asuhan


keperawatan selama x 24
jam, klien menunjukan
1. Pengetahuan klien
tentang kontrol infeksi
meningkat
Definisi : Tindakan untuk
mengurangi ancaman
kesehatan secara aktual dan
potensial
Indikator:
Menerangkan cara-cara
penyebaran
Menerangkan factor-faktor
yang berkontribusi dengan
penyebaran
Menjelaskan tanda-tanda dan
gejala
Menjelaskan aktivitas yang
dapat meningkatkan
resistensi terhadap infeksi
Keterangan:
1 : Tidak pernah menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan

Perhatikan hygiene pasien untuk menjaga


kenyamanan
Atur posisi pasien yang membuat nyaman.

1. Kontrol Infeksi
Definisi : Meminimalkan
trasmisi agen infeksi

mendapatkan

infeksi

dan

Intervensi :
1. Bersikan lingkungan secara tepat setelah digunakan
oleh klien
2. Ganti peralatan klien setiap selesai tindakan
3. Batasi jumlah pengunjung
4. Ajarkan cuci tangan untuk menjaga kesehatan
individu
5. Anjurkan klien untuk cuci tangan dengan tepat
6. Gunakan sabun antimikrobial untuk cuci tangan
7. Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan
sebelum dan setelah meninggalkan ruangan klien
8. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
klien
9. Lakukan universal precautions
10.
Gunakan sarung tangan steril
11.
Lakukan perawatan aseptic pada semua jalur
IV
12.
Lakukan teknik perawatan luka yang tepat
13.
Tingkatkan asupan nutrisi
14.
Anjurkan asupan cairan
15.
Anjurkan istirahat
16.
Berikan terapi antibiotik
17.
Ajarkan klien dan keluarga tentang tandatanda dan gejala dari infeksi

paparan
lingkungan
patogen
Imonusupresi
Ketidakadekuatan
imum buatan
Tidak adekuat
pertahanan
sekunder
(penurunan Hb,
Leukopenia,
penekanan respon
inflamasi)
Tidak adekuat
pertahanan tubuh
primer (kulit tidak
utuh, trauma
jaringan,
penurunan kerja
silia, cairan tubuh
statis, perubahan
sekresi pH,
perubahan
peristaltik)
Penyakit kronik

3 : Kadang-kadang
menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan

2. Pengetahuan tentang
deteksi resiko meningkat
Definisi : Tindakan untuk
mengidentifikasi ancaman
kesehatan
Indikator :
Mengenali tanda dan gejala
yang mengindikasikan
resiko
Mengidentifikasi resiko
kesehatan potensial
Mencari pembenaran resiko
yang dirasakan
Memeriksakan diri pada
interval waktu yang
ditentukan
Berpartisipasi dalam
screening pada interval
waktu yang ditentukan
Mengetahui keadaan
kesehatan keluarga saat ini

18.
Ajarkan
klien
dan
bagaimana mencegah infeksi

2. Proteksi infeksi
Definisi : Meminimalkan
trasmisi agen infeksi

anggota

mendapatkan

keluarga

infeksi

dan

Intervensi :
1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
2. Pertahankan teknik isolasi
3. Batasi pengunjung bila perlu
4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci
tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung
meninggalkan pasien
5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
kperawtan
7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
8. Pertahankan
lingkungan
aseptik
selama
pemasangan alat
9. Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing
sesuai dengan petunjuk umum
10.
Gunakan
kateter
intermiten
untuk
menurunkan infeksi kandung kencing
11.
Tingktkan intake nutrisi
12.
Berikan terapi antibiotik bila perlu

Selalu mengetahui /
memonitor keadaan
kesehatan keluarga
Selalu mengetahui /
memonitor kesehatan diri
Menggunakan sumbersumber informasi untuk
tetap mendapatkan
informasi tentang resiko
potensial
Menggunakan sarana
pelayanan kesehatan sesuai
kebutuhan

Keterangan:
1 : Tidak pernah menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang-kadang
menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
3. Status nutrisi yang baik,
Definisi : Nutrisi cukup untuk
memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh
Indikator :
Masukan nutrisi
Masukan makanan dan
cairan
Tingkat energi cukup

3. Manajemen Nutris
Definisi : membantu dengan memberikan diet makanan
dan cairan yang seimbang.
Intervensi :
1. Tanyakan pada klien tentang alergi terhadap
makanan
2. Tanyakan makanan kesukaan klien
3. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang jumlah kalori
dan nutrisi yang dibutuhkan
4. Anjurkan masukan kalori yang tepat yang sesuai
dengan gaya hidup
5. Anjurkan peningkatan masukan zat besi yang
sesuai
6. Anjurkan peningkatan masukan protein dan
vitamin C
7. Anjurkan untuk banyak makan buah dan minum

Berat badan stabil


Nilai laboratorium

Keterangan:
1 : Sangat bermasalah
2 : Cukup bermasalah
3 : Masalah sedang
4 : Sedikit bermasalah
5 : Tidak ada masalah
4. Luka sembuh, dengan
Indikator:
Kulit utuh
Berkurangnya drainase
purulen
Drainase serousa pada luka
berkurang
Drainase sanguinis pada luka
berkurang
Drainase serosa sangunis
pada luka berkurang
Drainase sangunis pada
drain berkurang
Drainase serosasanguinis
pada drain berkurang
Eritema disekitar kulit
berkurang
Edema sekitar luka
berkurang
Suhu kulit tidak meningkat
Luka tidak berbau

8. Pastikan diit tidak menyebabkan konstipasi


9. Berikan klien diit tinggi protein, tinggi kalori

Kurang
pengetahuan
tentang : penyakit,
diet, pengobatan
Definisi : tidak
adanya atau
kurangnya informasi
kognitif sehubungan
dengan topik spesifik
Batasan
karakteristik :
memverbalisasikan
adanya masalah,
ketidakakuratan
mengikuti instruksi,
perilaku tidak sesuai.
Faktor yang
berhubungan :
keterbatasan kognitif,
interpretasi terhadap
informasi yang salah,
kurangnya keinginan
untuk mencari
informasi, tidak
mengetahui sumbersumber informasi.

Setelah dilakukan asuhan


keperawatan selama 1 x 24 jam
pengetahuan klien dan keluarga
meningkat tentang:
1. Proses penyakitdengan
Indikator:
Mengenal nama penyakit
Menjelaskan proses
penyakit
Menjelaskan
penyebab/fakor yang
berkontribusi
Menjelaskan factor-faktor
resiko
Menjelaskan efek dari
penyakit
Menjelaskan tanda-tanda
dan gejala
Menjelaskan tentang
komplikasi dan tanda
gejalanya
Menjelaskan tentang
perawatan dirumah

1
2
3
4

Keterangan:
: tidak pernah
: terbatas
: sedang
: Sering

1. Pendidikan kesehatan: Proses penyakit


Intervensi :
1. Gali pengetahuan tentang proses penyakit
2. Jelaskan patofisiologi penyakit
3. Jelaskan tanda dan gejala penyakit
4. Terangkan proses penyakit
5. Identifikasi proses kemungkinan penyebab
6. Berikan informasi tentang kondisi pasien
7. Hindari memberi harapan palsu
8. Berikan informasi kondisi pasien pada
keluarga
9. Diskusikan perubahan gaya hidup untuk
mencegah komplikasi di masa depan
10.Diskusikan pilihan terapi
11.Terangkan rasional tindakan
12.Terangkan komplikasi kronik
13.Terangkan tanda dan gejala yang harus
dilaporkan
14.Jelaskan cara mencegah atau meminimalkan
efek samping penyakit.

2. Ajarkan : Diet
Intervensi :
1.
Kaji pengetahuan klien tentang diet

5 : Selalu
2. Diet, dengan
indikator:
Menggambarkan diet yang
dianjurkan
Menyebutkan keuntungan
dari mengikuti anjuran diet
Menyebutkan tujuan dari
diet yang yang dianjurkan
Menyebutkan makananmakanan yang
diperbolehkan dalam diet
Menyebutkan makananmakanan yang dilarang
Memilih makananmakanan yang dianjurkan
dalam diet

yang dianjurkan
2.
Tentukan sikap keluarga klien terhadap
diet
3.
Jelaskan tujuan diet
4.
Informasikan berapa lama diet harus
diikuti
5.
Anjarkan klien tentang makanan yang
boleh dan tidak boleh dimakan
6.
Bantu klien untuk mencatat makanan
kesukaan dalam diet yang dianjurkan
7.
Observasi pilihan makanan klien sesuai
dengan diet yang dianjurkan
8.
Anjurkan membuat rencana makan
9.
Dorong untuk mengikuti informasi yang
diberikan oleh tenaga kesehatan lain
10.
Konsul ahli gizi
11.
Libatkan keluarga

3. Ajarkan : pengobatan
Keterangan:
1 : Tidak pernah
2 : Terbatas
3 : Sedang
4 : Luas
5 : Sangat luas
3. Pengobatan, dengan
indikator:
Menggambarkan metode
pengobatan yang tepat
Menggambarkan tindakan-

Intervensi :
1.
Jelaskan
klien
utk
mengenal
karakteristik obat
2.
Informasikan nama generik dan nama
dagang
3.
Jelaskan tujuan dan kerja obat
4.
Jelaskan dosis, rute dan durasi obat
5.
Evaluasi
kemampuan
klien
menggunakan obat
6.
Ajarkan
klien
untuk
melakukan
prosedur sebelum minum obat
7.
Informasikan apa yang dilakukan jika

tindakan dalam
pengobatan
Menggambarkan efek
samping dalam
pengobatan
Menyebutkan interakasi
obat dengan agen yang
lainnya
Menyebutkan rute
pemberian obat yang
tepat

dosis obat hilang


8.
Informasikan akibat tidak minum obat
9.
Informasikan efek samping obat
10.
Jelaskan tanda dan gejala over dosis
obat
11.
Jelaskan cara menyimpan obat
12.
Jelaskan interaksi obat
13.
Jelaskan
cara
mencegah
atau
mengurangi efek samping obat
14.
Berikan informasi tertulis tentang aksi,
tujuan, efek samping obat, dll

Keterangan :
1 : Tidak pernah
2 : Terbatas
3 : Sedang
4 : Luas
5 : Sangat luas

Defisit Perawatan
Diri (kurang
perawatan diri : mandi,
berpakaian, makan,
dan toileting)
Definisi : Gangguan
kemampuan untuk
melakukan ADL pada
diri

Setelah dilakukan asuhan


keperawatan selama x 24
jam, klien mampu melakukan
perawatan diri: Activities of
Daily Living (ADL), dengan
indikator:
makan
berpakaian
toileting
mandi

1. Bantu
dalam
perawatan
diri
(mandi,
berpakaian, berhias, makan, toileting)
Definisi : membantu pasien untuk memenuhi ADL
Intervensi :
1. Monitor kemempuan klien untuk perawatan diri
yang mandiri.
2. Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu
untuk kebersihan diri, berpakaian, berhias,
toileting dan makan.
3. Sediakan bantuan sampai klien mampu secara

Batasan
karakteristik :
ketidakmampuan
untuk mandi,
ketidakmampuan
untuk berpakaian,
ketidakmampuan
untuk makan,
ketidakmampuan
untuk toileting
Faktor yang
berhubungan :
kelemahan, kerusakan
kognitif atau
perceptual, kerusakan
neuromuskular/ otototot saraf.

berhias
hygiene
oral hygiene
ambulasi: berjalan
ambulasi: wheelchair
transfer performance

Keterangan:
1: bergantung total
2 : dibantu orang dan alat
3 ; dibantu orang
4 : dibantu alat
5: mandiri

utuh untuk melakukan self-care.


4. Dorong klien untuk melakukan aktivitas seharihari yang normal sesuai kemampuan yang
dimiliki.
5. Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi beri
bantuan ketika klien tidak mampu melakukannya.
6. Ajarkan
klien/
keluarga
untuk
mendorong
kemandirian, untuk memberikan bantuan hanya
jika pasien tidak mampu untuk melakukannya.
7. Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai
kemampuan.
8. Pertimbangkan
usia
klien
jika
mendorong
pelaksanaan aktivitas sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA
1. Carpenito, L. J., (2000), Buku saku diagnosa keperawatan, Edisi 8. EGC :
Jakarta.
2. Corwin, E. J., (2009), Buku saku pathofisiologi. Edisi 3. EGC: Jakarta.
3. DeLaune & Ladner. (2002). Fundamental of nursing: Standards and
practice. New York: Delmar.
4. Doenges, M. E., Moorhous, M. F., & Geissler, A. C., (1999), Rencana asuhan
keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian
perawatan pasien. Edisi 3. EGC: Jakarta.
5. IAUI (Ikatan Ahli Urologi Indonesia). (2003). Pedoman penatalaksanaan
BPH diIndonesia. Style sheet: www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf. (Diunduh
pada 17 Februari 2015).
6. Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2010). Profil penduduk
lansia2009. Komnas Lansia:Jakarta
7. Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2009). Lampu kuning
ledakankaum renta. Style sheet:
http://www.komnaslansia.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid
=26. (Diunduh 16 Februari 2015)
8. Mansjoer, A., dkk, (2000), Kapita selektakedokteran, Edisi Jilid 2, Media
Aesculapius, Jakarta.
9. Nies, M.A. & McEwen, M. (2007). Community / publuc helath
nursing:Promoting the health of populations. (4th edition). St Lois:
Saunders Elsevier
10.Parsons, J.K. (2010). Benign prostatic hyperplasia and male lower urinary
tract symptoms: Epidemiology and risk factors. Springer Journal, Curr
BladderDysfunct Rep, 5:212218.
11.Purnomo, B. B., (2000), Dasar-dasar urologi. CV Info Medika: Jakarta.
12.Putra, R.A. (2012). 2020, Lansia Indonesia lebih banyak hidup di kota.
Style sheet: http://mizan.com/news_det/2020-lansia-indonesia-lebihbanyakhidup-di-kota.html. (Diunduh 16 Februari 2015).
13.Roehrborn, C. G., & McConnell, J. D. (2011). Benign prostatic
hyperplasia:etiology, pathophysiology, epidemiology, and natural history.
CampbellWalsh Urology. (10th ed). Philadelphia: Saunders Elsevier.
14.Sjamsuhidajat, R., & Jong, de.W. (2005). Buku ajar ilmu bedah (Edisi 2).
EGC. (Hal 782786): Jakarta
15.Smeltzer S.C., & Bare, B.G. (2003). Brunner & Suddarths textbook of
medicalsurgical nursing. (10th Ed). Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
16.Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community and public health nursing.
Missouri: Mosby
17.Wilkinson M. Judith & Ahern R. Nancy. 2011. Buku saku diagnosis
keperawatan. Edisi 9. EGC : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai