Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Arsitektur Nusantara adalah ilmu yang mempelajari tentang arsitektur bangunan


tradisional dari seluruh Indonesia. Namun pada makalah ini mengkhususkan pembahasannya
pada Bangunan Tradisional Aceh. Bangunan Tradisional Aceh dapat dipandang sebagai
Arsitektur yang wariskan dari generasi ke generasi, serta tetap dipakai dan diterima
masyarakatnya karena masih dianggap baik dan benar. Rumah Tradisional Aceh telah mengakar
dalam masyarakat Aceh, merupakan salah satu kebudayaan Aceh yang dapat memberikan
identitas dan citra Aceh yang cukup kuat. Rumah tradisional dan arsitektur yang berkembang di
Aceh yang tetap memiliki identitas dan gaya Rumah Tradisional Aceh.
Oleh kerena itu, perlu adanya suatu pembinaan terhadap bentuk-bentuk pengembangan
Arsitektur Nusantara dalam hubungannya dengan peningkatan apresiasi budaya, nilai-nilai
tradisional dan keserasian lingkungan. Dengan demikian untuk mengimbangi pengaruhpengaruh dari luar yang dapat merombak serta menghancurkan nilai-nilai budaya tradisional
diperlukan suatu penerapan terhadap nilai-nilai hakiki yang terkandung dalam bentuk-bentuk
perwujudan Arsitektur Tradisiona Rumoh Aceh.
1.2

Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
5.

1.3

Bagaimana Adat istiadat di Aceh?


Adakah filosofi yang melatar belakangi pembangunan rumah tradisional Aceh?
Bagaimana Arsitektur dalam Rumah adat Aceh?
Apa Bahan dan Teknik yang digunakan dalam Membangun Rumah Aceh?
Berkah dan Masalah apa saja yang timbul pada era modernisasi ini?
Tujuan

1.
2.
3.
4.

Dapat Mengetahui Adat Istiadat Rumah Aceh


Dapat mengetahui filosofi yang melatar belakangu pembangunan rumah adat aceh
Dapat mengenatui bagaimana arsitektur rumah aceh
Dapat mengetahui bahan serta teknik yang digunakan dalam membangun Rumah Adat
Aceh
5. Dapat mengetahui berkah dan masalah yang timbul pada era modernisasi ini

BAB II
PEMBAHASAN

2.1

Adat istiadat Aceh

Aceh adalah salah satu provinsi di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat
dalam masyarakatnya. Hal ini terlihat dengan masih berfungsinya institusi-institusi adat.
Meskipun Undang-undang no 5 tahun 1975 berusaha menghilangkan fungsi mukim(institusiinstitusi), keberadaan Imum Mukim di Aceh masih tetap diakui dan berjalan. Hukum adat di
Aceh tetap masih memegang peranan dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat Aceh
yang sangat senang menyebut dirinya dengan Ureueng Aceh terdapat institusi-institusi adat di
tingkat gampng dan mukim. Institusi ini juga merupakan lembaga pemerintahan. Jadi, setiap
kejadian dalam kehidupan bermasyarakat, Ureueng Aceh selalu menyelesaikan masalah tersebut
secara adat yang berlaku dalam masyarakatnya. Pengelolaan sumber daya alam pun di atur oleh
lembaga adat yang sudah terbentuk.
Lembaga-lembaga adat dimaksud seperti Panglima Uteun, Panglima Laot, Keujruen
Blang, Haria Pekan, Petua Sineubok. Semua lembaga ini berperan di posnya masing-masing
sehingga pengelolaan sumberdaya alam di gampng terpelihara. Misalnya, Panglima Laot yang
bertugas mengelola segala hal berkaitan dengan laut dan hasilnya. Tentunya semua hal berkaitan
dengan laut diatur oleh lembaga tersebut. Begitu pun dengan lembaga lainnya. Lembagalembaga adat itu sekarang terkesan hilang dalam masyarakat Aceh, karena derasnya arus
globalisasi dan westernisasi yang mencoba merobah peradaban masyarakat Aceh. Padahal, jika
lembaga-lembaga adat tersebut dihidupkan pada suatu gampng (kampong) tersebut akan tetap
kokoh seperti jayanya masa -masa kesultanan Aceh.
Salah satu contoh kokohnya masyarakat dengan peranan lembaga adat seperti terlihat di
Gampng Bar. Kampung yang dulunya berada di pinggir pantai, namun tsunami menelan
kampung mereka. Berkat kepercayaan masyarakat kepada pemangku-pemangku adat di
kampungnya, masyarakat Gampng Bar sekarang sudah memiliki perkampungan yang baru,
yaitu di kaki bukit desa Durung, Aceh Besar. Tak pernah terjadi kericuhan dalam masyarakatnya,
sebab segala macam kejadian, sampai pada pembagian bantuan pun masyarakat percaya penuh
kepada lembaga adat yang sudah terbentuk. Nilai musyawarah dalam masyarakat adat
memegang peranan tertinggi dalam pengambilan keputusan. Kasus lain pernah terjadi di tahun
1979. Ketika itu desa Lam Puuk selisih paham dengan desa Lam Lhom. Kasus itu terhitung
rumit karena membawa nama desa, namun masalah dapat diselesaikan secara adat oleh Imum
Mukim. Ini merupakan bukti kokohnya masyarakat yang menjunjung tinggi adat istiadat yang
berlaku. Mereka tidak memerlukan polisi dalam menyelesaikan masalah sehingga segala macam
bentuk masalah dapat diselesaikan dengan damai tanpa dibesar-besarkan oleh pihak luar. Dalam
hukum adat semua jenis pelanggaran memiliki jenjang penyelesaian yang selalu dipakai dan
ditaati masyarakat. Hukum dalam adat Aceh tidak langsung diberikan begitu saja meskipun
dalam hukum adat juga mengenal istilah denda. Dalam hukum adat jenis penyelesaian masalah
dan sanksi dapat dilakukan terlebih dahulu dengan menasihati. Tahap kedua teguran, lalu
pernyataan maaf oleh yang bersalah di hadapan orang banyak (biasanya di meunasah/ mesjid),
kemudian baru dijatuhkan denda. Artinya, tidak langsung pada denda sekian rupiah. Jenjang
penyelesaian ini berlaku pada siapa pun, juga perangkat adat sekalipun
Pola kehidupan masyarakat Aceh:
Pola kehidupan masyarakat Aceh diatur oleh hukum adat yang berdasarkan kaidahkaidah hukum agama Islam. Adapun susunan masyarakat adalah sebagai berikut :

1.Golongan Rakyat Biasa; yang dalam istilah Aceh disebut Ureung Le (orang banyak). Disebut
demikian karena golongan ini merupakan golongan yang paling banyak (mayoritas) dalam
masyarakat adat Aceh.
2.Golongan Hartawan; yaitu golongan yang bekerja keras dalam mengembangkan ekonomi
pribadi. Dari pribadi-pribadi yang sudah berada itulah terbentuknya suatu golongan masyarakat.
Karena keberadaannya sehingga mereka menjelma menjadi golongan hartawan. Golongan ini
cukup berperan dalam soal-soal kemasyarakatan khususnya sebagai penyumbang-penyumbang
dana.
3.Golongan ulama/cendikiawan; umumnya mereka berasal dari kalangan rakyat biasa yang
memiliki ilmu pengetahuan yang menonjol. Sehingga mereka disebut orang alim dengan gelar
Teungku. Mereka cukup berperan dalam masalah-masalah agama dan kemasyarakatan.
4.Golongan kaum bangsawan; termasuk didalamnya keturunan Sultan Aceh yang bergelar
"Tuanku" keturunan "Uleebalang" yang bergelar "Teuku" (bagi laki-laki) dan "Cut" (bagi
perempuan).
Selain pembagian susunan masyarakat tersebut di atas, sistem kesatuan masyarakat Aceh,
merupakan perwujudan dari beberapa buah keluarga inti, yang menjadi suatu kelompok
masyarakat; yang disebut "Gampong" (Kampung). Sistem sosial pada masyarakat Aceh
berpedoman pada keluarga inti. Setiap perbuatan yang dilakukan sebuah keluarga inti akan
memberi pengaruh kepada keluarga lainnya. Dengan demikian hubungan antara satu keluarga
inti dengan keluarga inti lainnya cukup erat
2.2

Filosofi dari rumah adat Aceh

Wujud dari arsitektur Rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari kearifan dalam
menyikapi alam dan keyakinan (religiusitas) masyarakat Aceh. Arsitektur rumah berbentuk
panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk adaptasi
masyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Secara kolektif pula, struktur rumah tradisi
yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan tersendiri kepada penghuninya. Selain itu,
struktur rumah seperti itu memberikan nilai positif terhadap sistem kawalan sosial untuk
menjamin keamanan, ketertiban, dan keselamatan warga gampong (kampung). Sebagai contoh,
struktur rumah berbentuk panggung membuat pandangan tidak terhalang dan memudahkan
sesama warga saling menjaga rumah serta ketertiban gampong.
Kecerdasan masyarakat dalam menyikapi kondisi alam juga pada rumah adat Aceh dapat
dilihat dari bentuk Rumoh yang menghadap ke utara dan selatan sehingga rumah
membujur dari timur ke barat. Walaupun dalam perkembangannya dianggap sebagai upaya
masyarakat Aceh membuat garis imajiner antara rumah dan Kabah (motif
keagamaan), tetapi sebelum Islam masuk ke Aceh, arah rumah tradisional Aceh memang sudah
demikian. Kecenderungan ini nampaknya merupakan bentuk penyikapan masyarakat Aceh
terhadap arah angin yang bertiup di daerah Aceh, yaitu dari arah timur ke barat atau sebaliknya.
Jika arah Rumoh Aceh menghadap ke arah angin, maka bangunan rumah tersebut akan mudah
rubuh. Di samping itu, arah rumah menghadap ke utara-selatan juga dimaksudkan agar sinar

matahari lebih mudah masuk ke kamar-kamar, baik yang berada di sisi timur ataupun di sisi
barat. Setelah Islam masuk ke Aceh, arah Rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan.
Nilai religiusitas juga dapat dilihat pada jumlah ruang yang selalu ganjil, jumlah anak tangga
yang selalu ganjil, dan keberadaan gentong air untuk membasuh kaki setiap kali hendak masuk
Rumoh Aceh.
Musyawarah dengan keluarga, meminta saran kepada Teungku, dan bergotong royong
dalam proses pembangunannya merupakan upaya untuk menumbuhkan rasa kekeluargaan,
menanamkan rasa solidaritas antar sesama, dan penghormatan kepada adat yang berlaku.
Dengan bekerjasama, permasalahan dapat diatasi dan harmoni sosial dapat terus dijaga. Dengan
mendapatkan petuah dari Teungku, maka rumah yang dibangun diharapkan dapat memberikan
keamanan secara jasmani dan ketentraman secara rohani.
Tata ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar semua orang
taat pada aturan. Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti
Rumoh Inong, ruang publik, seperti serambi depan, dan ruang khusus perempuan, seperti
serambi belakang merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga nilai kesopanan dan etika
bermasyarakat.

Keberadaan tangga untuk memasuki Rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai alat
untuk naik ke bangunan rumah, tetapi juga berfungsi sebagai titik batas yang hanya boleh
didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau saudara dekat. Apabila di rumah tidak
ada anggota keluarga yang laki-laki, maka pantang dan tabu bagi tamu yang bukan keluarga
dekat. Dalam hal ini angka ganjil tersebut menandakan adanya pemisahan antara orang yang
satu dengan yang lain, sebagaimana seperti cerita diatas. Bahwa penggunaan ruangan pada
rumah adat Aceh juga berfungsi sebagai media pelindung, dan pembatas antara anggota
keluarga yang satu dengan yang lainnya. Adapun jumlah tiang dan anak tangga yang selalu
berjumlah ganjil, adalah merupakan suatu kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Aceh,
dimana angka-angka ganjil merupakan sebuah angka yang membawa keberuntungan bagi
penghuninya.
Pintu utama rumah yang tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa,
sekitar 120-150 cm, sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk,
mengandung pesan bahwa setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh, tidak peduli betapa tinggi
derajat atau kedudukannya, harus menunduk sebagai tanda hormat kepada yang punya rumah.
Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak
ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas lantai. Ada juga yang
menganggap bahwa pintu Rumoh Aceh diibaratkan hati orang Aceh. Memang sulit untuk
memasukinya, tetapi begitu kita masuk akan diterima dengan lapang dada dan hangat.
Pelaksanaan upacara baik ketika hendak mendirikan rumah, sedang mendirikan, dan
setelah mendirikan rumah bukan untuk memamerkan kekayaan tetapi merupakan ungkapan
saling menghormati sesama makhluk Tuhan, dan juga sebagai bentuk ungkapan syukur atas rizqi
yang telah diberikan oleh Tuhan.

2.3

Arsitektur dalam Rumah adat Aceh

Rumoh (rumah) Aceh adalah tempat hunian suku bangsa Aceh yang berbentuk panggung
dengan ditopang oleh tiang-tiang kayu berbentuk bulat. Wujud dari arsitektur rumoh Aceh
merupakan pengejewantahan dari kearifan dalam menyikapi alam dan keyakinan (religiusitas)
masyarakat Aceh. Arsitektur rumah berbentuk panggung dengan

menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk adaptasi masyarakat Aceh
terhadap kondisi lingkungannya. Secara kolektif pula, struktur rumah berbentuk panggung
memberikan kenyamanan tersendiri kepada penghuninya. Dengan mengangkat bagian rumah ke
atas maka hal ini dapat menghindari dari gangguan binatang buas. Bentuk rumah panggung juga
menjadikan bagian kolong dibawahnya sebagai tempat beraktifitas dan bersosialisasi antar
warga. Bagian kolong rumah ini terkadang juga digunakan sebagai tempat penyimpanan padi
atau lumbung padi yang di dalam bahasa Aceh disebut krong pade (Mirsa, 2013:18).
Arsitektur rumah adat ini unik, karena jendela, rumah, yang juga berfungsi sebagai
ventilasi, adalah lubang-lubang sela ukiran yang terdapat di seluruh dinding. Pintu terdapat pada
lantai rumah panggung berlantai 16 ini. Bentuk rumah adat yang umum terdapat di provinsi ini
ditampilkan pula di kompleks anjungan. Di sini dapat dilihat ruangan-ruangan yang ada di
dalamnya: Seramo Keue (serambi depan), jureu (ruangan tengah) dan Seramo Likot (serambi
belakang). Di dalam ruangan-ruangan inilah diperagakan benda-benda budaya masyarakat Aceh.
Dalam Rumoh Aceh, ada beberapa motif hiasan yang dipakai, yaitu: (1) motif
keagamaan. Hiasan Rumoh Aceh yang bercorak keagamaan merupakan ukiran-ukiran yang
diambil dari ayat-ayat al-Quran; (2) motif flora. Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi
tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk
stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah
Merah dan Hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak
angen, kindang, balok pada bagian kap, dan jendela rumah; (3) motif fauna. Motif binatang yang
biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai; (4) motif alam.
Motif alam yang digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan awannya,
langit dan bulan, dan bintang dan laut; dan (5) motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain
sebagainya. Adapun ragam hias yang terdapat pada Rumoh Aceh diataranya:
Ragam Hias

Gambar: Ragam hias pada binteh (dinding) rumah


sumber: http://helloacehku.com/kenali-motif-khas-rumoh-aceh-di-desa-lubok-sukon

\
sumber: http://mejabelajarasra.blog.com

sumber: http://mejabelajarasra.blog.com

sumber: http://mejabelajarasra.blog.com

Warna disesuaikan dengan warna dasar dari pada bangunan atau kayu, tidak mempunyai
warna tersendiri atau cat. Selain itu juga ukiran berwarana canek awan atau awan beriring
ditempatkan pada tangga, dinding dan di ruang tengah. Motif ukiran ini melambangkan
kesuburan daerah Aceh. Sedangkan di atas pintu diberikan ukiran kaligrafi yang mengandung
kalimat-kalimat dari Al-Quran. Pada tulak angin serta dinding atas dibuat ukiran karawang, yang
selain untuk keindahan juga sebagai ventilasi rumah tersebut

`
Secara vertikal rumoh Aceh terdiri dari tiga bagian, yaitu kaki, badan dan kepala. Kaki
berupa bagian kolong dari rumoh Aceh yang tercipta dari pengangkatan lantai rumoh Aceh
setinggi 2,8 m sampai 3m. Kolong ini umumnya berfungsi sebagai ruang publik. Badan
rumoh Aceh merupakan bagian ruang dalam dari rumoh Aceh itu sendiri yang terdiri dari
beberapa ruang. Sedangkan bagian kepala merupakan atap yang berbentuk pelana.

Gambar 3. Bagian rumoh Aceh secara vertikal


(Sumber : Dokumentasi Putra, 2015)

Ada perbedaan ketinggian lantai sehingga membuat ketinggian ketiga ruang ini tidaklah sama.

Ruang tengah memiliki ketinggian yang lebih tinggi kurang lebih 50 cm dari ruang depan dan
ruang belakang.

Gambar 4. Denahrumoh Aceh


(Sumber : Dokumentasi Putra, 2015)

Sedangkan secara horizontal rumoh Aceh terdiri dari tiga bagian yaitu seuramo keu
(ruang depan), tungai (ruang tengah), dan seuramoe likot (ruang belakang). Ketiga ruang ini
memiliki fungsi dan nilai
Seuramo Keu (ruang depan)
Bagian ini merupakan ruang yang terletak pada bagian depan yang berhubungan
langsung dengan pintu masuk utama. Ruang depan bersifat publik dan terbuka. Ruang ini
berbentuk persegi tanpa ada sekat-sekat. Ruang ini berfungsi sebagai tempat menerima tamu,
tempat untuk makan, tempat melakukan syukuran, ataupun kegiatan yang bersifat publik
lainnya. Pada dinding sisi barat terdapat sebuah pintu yang tingginya lebih rendah dari
ketinggian orang dewasa, sekitar 150 sampai 180 cm sehingga setiap orang yang masuk harus
menundukkan kepalanya. Hal ini mengandung pesan bahwa setiap orang yang masuk ke dalam
rumoh Aceh harus menunduk sebagai tanda hormat kepada pemilik rumah. Pintu masuk ini tidak
selalu terdapat pada dinding sisi barat, terkadang pintu utama berada pada dinding sisi selatan,
depan dan ruang belakang. Ruang tengah berfungsi sebagai tempat tidur. Pada ruang ini terdapat
dua buah kamar tidur, satu terletak pada sisi barat dan satunya lagi terletak pada sisi timur. Pada
bagian tengah antara kamar di sisi timur dengan kamar di sisi barat terdapat sebuah lorong yang
menghubungkan ruang depan dengan ruang belakang yang disebut dengan rambat. Kamar yang
berada pada sisi barat disebut rumoh inong, sedangkan yang berada pada sisi timur disebut
anjong.
Pada ruang depan juga terdapat tangga sebagai akses masuk sehingga ruang ini juga
disebut seuramoe rinyeun (rinyeun = tangga). Tangga pada rumoh Aceh tidak hanya berfungsi
sebagai akses masuk, tetapi sebagai alat kontrol sosial dalam interaksi sehari-hari. Keberadaan
tangga untuk memasuki rumoh Acehbukan hanya berfungsi sebagai alat untuk naik ke bangunan
rumah, tetapi juga berfungsi sebagai titik batas yang hanya boleh didatangi oleh tamu yang
bukan anggota keluarga atau sahabat dekat. Apabila di rumah tidak ada anggota keluarga yang
laki-laki, maka pantang dan tabu bagi tamu yang bukan keluarga dekat (baca: muhrim) untuk
naik ke rumah (Mirsa, 2013:20).

Tungai (ruang tengah)


Ruang tengah memiliki sifat yang privat dan tertutup. Derajat ruangan ini lebih tinggi
sehingga lantai ruang tengah ini lebih tinggi sekitar 50 cm dari ruang Rumoh inong umumnya
ditempati oleh kepala keluarga yaitu orang tua, sedangkan anjong ditempati oleh anak
perempuan. Jika anak perempuan sudah menikah maka rumoh inong akan ditempati oleh anak
perempuan tersebut dan orang tua menempati anjong. Sedangkan anak-anak perempuan yang
semula menempati anjong pindah ke ruangan belakang di ujung sebelah barat (Hadjad,
1982:31).

Seuramoe Likot (ruang belakang)

Ruang belakang hampir sama dengan ruang depan, lebih bersifat terbuka. Tidak ada
sekat-sekat juga pada ruang ini. Ruang belakang umumnya sebagian difungsikan sebagai dapur
dan tempat untuk makan dan sebagian lagi sebagai tempat untuk istirahat dan shalat.
Ruang belakang terkadang diperlebar pada sisi Timur untuk menambah ruang sebagai
dapur. Ruang tambahan ini disebut anjong atau ulee keude. Ruang ini juga berfungsi sebagai
tempat penyimpanan berbagai peralatan rumah tangga.
Selain ketiga ruang yang disebut di atas, pada beberapa rumoh Aceh ada yang terdapat
ruang dapur khusus. Biasanya ruang dapur ini merupakan bagian tambahan yang disebut rumoh
dapu. Rumoh dapu didirikan di belakang rumah dan berdempetan dengan ruangan belakang.
Letak ruangan dapur tersebut lebih rendah dari serambi belakang. Bagi rumah yang memiliki
ruang dapur tersendiri tentu tidak menggunakan ruang belakang sebagai tempat kegiatan masakmemasak (Hadjad, 1982:30).
Tiang-tiang rumah Aceh biasanya berjumlah 16, 18, 22, dan 24 buah, dan paling banyak
40 buah, yang berjejer 4 baris, yaitu baris depan, baris tengah depan, baris tengah belakang, dan
baris belakang, dengan jarak masing-masing tiang 2,5 meter. Di antara tiang-tiang rumoh
Aceh terdapat dua buah tiang yang disebut tameh raja (tiang raja) dan tameh putrou (tiang putri).
Kedua tiang itu membatasi kamar tidur dan serambi. Pada bagian sebelah Utara didirikan tiang
raja dan di bagian sebelah Selatan didirikan tiang putri. Pintu rumah Aceh dimana diletakkan
tangga terdapat di serambi depan, dengan tinggi pintu 1.8 meter dan lebarnya 0.8 meter. Jendela
biasanya dibuat di serambi depan, serambi belakang, dan di rumoh inong (juree), masing-masing
dengan ukuran agak kecil, yaitu tinggi 1 meter dan lebar 0.6 meter.
Rumah Aceh dibuat dari bahan kayu, dan keistimewaannya ialah bahwa rumah Aceh
tidak mempergunakan paku, tetapi memakai tali pengikat (biasanya tali ijuk) sehingga mudah
dibongkar apabila diperlukan. Untuk atap dipergunakan daun rumbia yang disusun memanjang
sehingga bila ada cucuran air hujan dari atap akan mengalir dari bagian tengah
rumah (peurabong atau dhue) ke bagian kanan dan kiri rumah. Setiap rumah Aceh memiliki
sungkup atap menurut lebar rumah apa yang dinamakan tulak angen berukir motif tradisonal,
dan ada ruang menjorok keluar sebagai tempat menyimpan benda-benda/peralatan tradisonal.
Adapun tanah untuk mendirikan rumah diutamakan yang terletak di pinggir jalan atau
lorong (jurong) yang membujur Timur-Barat, karena kayu-kayu yang dibuat untuk konstruksi
rumah letaknya harus menghadap kiblat. Jadi rumah Aceh letaknya selalu membujur TimurBarat dan menghadap ke Utara atau ke Selatan, sedangkan bangunan mesjid atau meunasah
selalu membujur Utara- Selatan dan menghadap ke Barat (arah kiblat).
Rumah tradisional Aceh adalah rumah panggung yang disangga oleh tiang-tiang berbentuk
bulat, yang terdiri dari bahan kayu yang cukup tahan usia, atap rumbia dan praktis tidak
menggunakan paku. Rumah dikikat dengan pateng atau pasak dan ikatan-ikatan dari rotan dan
tali ijuk. Rumah tradisional Aceh dalam ukuranyya disebut reueng. Ada rumah 3, 5, 7 dan 9
reung. Makan banyak reung makin besar bentuk bangunan. Reueng dimaksud adalah sela antara
tiang ketiang. Tiang rumah Aceh bulat dari kayu keras dan jarak dari tiang ketiaang mencapai 4
meter.

Tabel 5. Penguraian tanda pada rumoh Aceh

Signifier

Signified (1)

Signified (2)

Bangunan membujur dari timur Memudahkan orientasi ibadah

Perwujudan Islam dalam

ke barat

Shalat

kehidupan sehari-hari

Layout rumoh aceh terbagi ke

Fungsi ruang privat dan non

Membatasi ruang antara pria

dalam 3 ruang

privat

dan wanita

Fungsi ruang lebih dominan

Aktivitas wanita lebih banyak di Bentuk menghargai sosok

untuk wanita

rumah

wanita (feminisme)

Bentuk panggung rumoh aceh

Perlindungan dari aspek alam

Sebagai kontrol sosial dalam

dan sosial

upaya menjaga norma

Lantai ruang tengah (tungai)

Berkaitan dengan lokasi kamar Bentuk penghormatan terhadap

lebih tinggi

tidur

pemilik rumah dan fungsi ruang


yang sangat privat

Tinggi pintu masuk yang


rendah

Memasuki pintu harus dengan

Bentuk penghormatan terhadap

menundukkan kepala

pemilik rumah

Jumlah anak tangga


merupakan

Pengaruh Islam yang sering

Bentuk untuk mengingat dan

bilangan ganjil

menggunakan bilangan ganjil

mendekatkan diri kepada Tuhan

Guci air di depan rumah

Ajaran thaharah (bersuci)


Media untuk membersihkan diri dalam
Islam.

Tulak angen (tolak angin/kisi-

Elemen sirkulasi udara dan

Bentuk untuk menampilkan seni

kisi)

identitas arsitektur rumoh aceh

ukir tembus yang dimiliki


masyarakat Aceh

Ragam hias agama

Ragam hias flora

Mengahdirkan wujud Islam

Bentuk untuk mengingat dan

dalam kehidupan sehari-hari

mendekatkan diri kepada


Tuhan

Melambangkan kedekatan
dan

Upaya menjaga kelestarian

kecintaan terhadap alam dan

alam

tumbuh-tumbuhan

2.4

Pengaruh status sosial terhadap bentuk rumah Adat Aceh

Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat


dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian
depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat
mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Kabah yang
berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiangtiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan
anak tangganya yang berjumlah ganjil.
Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap
lingkungannya, keberadaan Rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya.
Semakin banyak hiasan pada Rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi
keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif
sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali
2.5

Bahan dan Teknik dalam Membangun Rumah Aceh

Untuk membuat Rumoh Aceh, bahan-bahan yang diperlukan di antaranya adalah:

Kayu. Kayu merupakan bahan utama untuk membuat Rumoh Aceh. Kayu digunakan
untuk membuat tameh (tiang), toi, roek, bara, bara linteung, kuda-kuda, tuleueng rueng,
indreng, dan lain sebagainya.
Papan, digunakan untuk membuat lantai dan dinding.
Trieng (bambu). Bambu digunakan untuk membuat gasen (reng), alas lantai, beuleubah
(tempat menyemat atap), dan lain sebagainya.
Enau (temor). Selain menggunakan bambu, adakalanya untuk membuat lantai dan
dinding Rumoh Aceh menggunakan enau.
13

Taloe meu-ikat (tali pengikat). Tali pengikat biasanya dibuat dari tali ijuk, rotan, kulit
pohon waru, dan terkadang menggunakan tali plastik.
Oen meuria (daun rumbia), digunakan untuk membuat atap.
Daun enau. Selain mengunakan oen meuria, terkadang untuk membuat atap
menggunakan daun enau.
Peuleupeuk meuria (pelepah rumbia). Bahan ini digunakan untuk membuat dinding
rumah, rak-rak, dan sanding.

Teknik Tradisionil Dalam Bangunan yang digunakan :

2.6

Penempatan tiang-tiang yang diletakkan di atas pondasi, dan masing-masing tiang tidak
dihubungkan dengan balok penghubung. Hal ini merupakan ciri khas dari bangunan tahan
gempa.
Tiang-tiang yang terdapat di bagian samping kanan dan kiri bangunan pada bagian
atasnya tidak menopang beban. Pada bagian atas dari tiang dibuat menonjol dan lebih
kecil ukurannya, kemudian balok-balok yang menghubungkan antar tiang diberi lobang
sebesar ukuran yang menonjol tersebut kemudian diletakkan di atas tiang.
Penempatan skor pada kuda-kuda yang dihubungkan dengan balok melintang yang ada di
bawahnya tidak menggunakan baut atau paku. Pada bagian bawah dari skoor tersebut
sebagai pengikat hanya diberi dua buah pasak, sehingga kalau menerima beban atau
gerakan dari atas akan melentur tidak merusak struktur kuda-kuda atau atap secara
keseluruhan.
Pertemuan balok melintang yang menopang pada ruang-ruang utama dengan balok
memanjang, yaitu dengan memberi lobang pada balok memanjang yang fungsinya untuk
memasukkan sebagian dari balok melintang agar sebagian dari balok melintang tersebut
dapat dimasukkan, sehinga bila terjadi gerakan tidak merusak struktur bangunan.
Berkah dan masalah yang timbul pada Rumah Tradisional Aceh

Kepercayaan individu atau masyarakat dan kondisi alam di mana individu atau
masyarakat hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk arsitektur bangunan, rumah,
yang dibuat. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi Daerah Istimewa Aceh,
Indonesia Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan
terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui Rumoh Aceh kita dapat
melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi
masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk
panggung, tiang penyangganya ang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya
dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagianbagian rumah, mereka tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat
dari rotan. Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan
paku, Rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.
14

Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat


dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian
depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat
mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Kabah yang
berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiangtiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan
anak tangganya yang berjumlah ganjil.
Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap
lingkungannya, keberadaan Rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya.
Semakin banyak hiasan pada Rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi
keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif
sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Keberadaan Rumoh Aceh merupakan
pengejawantahan dari nilai-nilai yang hidup dan dijalankan oleh masyarakat Aceh.
Namun saat ini, seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara
efektif dan efisien serta semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan rumoh Aceh, maka
lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya,
jumlah rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit.
Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang
pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah dari pada rumoh Aceh yang pembuatannya
lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada
juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka
ini membuat rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka. Oleh karena itu,
melestarikan Rumoh Aceh berarti juga melestarikan eksistensi masyarakat Aceh itu sendiri

15

BAB III
PENUTUP

3.1

Kesimpulan

Wujud dari arsitektur Rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari kearifan dalam
menyikapi alam dan keyakinan (religiusitas) masyarakat Aceh. Arsitektur rumah berbentuk
panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk adaptasi
masyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Bentuk Rumoh Aceh yang menghadap ke
utara dan selatan sehingga rumah membujur dari timur ke barat. Walaupun dalam
perkembangannya dianggap sebagai upaya masyarakat Aceh membuat garis imajiner antara
rumah dan Kabah (motif keagamaan), tetapi sebelum Islam masuk ke Aceh, arah rumah
tradisional Aceh memang sudah demikian. Kecenderungan ini nampaknya merupakan bentuk
penyikapan masyarakat Aceh terhadap arah angin yang bertiup di daerah Aceh, yaitu dari arah
timur ke barat atau sebaliknya. Kepercayaan individu atau masyarakat dan kondisi alam di mana
individu atau masyarakat hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk arsitektur
bangunan rumah yang dibuat. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi Daerah
Istimewa Aceh, Indonesia Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi
16

keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui Rumoh Aceh
kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh.
Dengan mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam rumoh Aceh, maka kita akan dapat
memahami dan menghargai beragam nilai yang terkandung di dalamnya. Bisa saja, karena
perubahan zaman, arsitektur rumoh Aceh berubah, tetapi dengan memahami dan memberikan
pemaknaan baru terhadap simbol-simbol yang digunakan, maka nilai-nilai yang hendak
disampaikan oleh para pendahulu dapat terjaga dan tetap sesuai dengan zamannya.

DAFTAR PUSTAKA
http://melayuonline.com/ind/culture/dig/1919/rumoh-aceh
http://helloacehku.com/kenali-motif-khas-rumoh-aceh-di-desa-lubok-sukon/
http://www.kompasiana.com/hack87/mengenal-lebih-dekat-rumohaceh_5500c43fa33311981450ffc5
http://maa.acehprov.go.id/?p=61

17

Anda mungkin juga menyukai