14/367867/KT/07843
illegal logging.
penebang kayu, sopir truck, aknum petugas kehutanan, pegawai rendahan pada level
birokrasi, aknum aparat.
Ketiga, proses penyitaan dalam hal ini berupa barang bukti kayu. Konsep
penanganannya meliputi prosedur, metode, keahlian dalam pengukuran dan waktunya
cukup lama. Sementara itu UU Kehutanan tidak mengatur mekanisme penyitaan
barang bukti kayu secara khusus.
Kempat, kendala pembuktian. Proses pembuktian terhadap tindak pidana illegal
logging masih mengacu pada UU Nomor 8 Tahun 1981. Dalam konteks ini merupakan
tindak pidana biasa, sehingga sulit untuk menjerat pelaku yang berada dibelakang
kasus tersebut. Hal ini bisa terjadi karena fungsi sanksi pidana dalam kepidanaan
hukum lingkungan termasuk kehutanan telah berubah dari ultimum remedium menjadi
instrumen penegakan hukum yang bersifat premum remedium (Rangkuti, 2000 : 323324).
Kelima, ruang lingkup tindak pidana yang masih sempit. UU Nomor 41 Tahun
1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tidak meliputi tindak pidana korporasi, tindak pidana
penyertaan dan tindak pidana pembiaran (omission) (ICEL, 12-5-2004b : 4). UU
tersebut tidak mengatur tindak pidana penebangan di luar wilayah konsensi (over
cutting) atau yang melanggar Rencana Kerja Tahunan (RKT).
Ketujuh, sanksi pidana pasal 78 UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 1 Tahun
2004 yang memiliki sanksi pidana denda yang paling berat dibandingkan dengan
ketentuan pidana lain, ternyata tidak memberi efek jera kepada pelaku illegal logging.
Hal ini karena UU Kehutanan yang lebih ditekankan pada sanksi administrasi dan
perdata, setelah itu baru sanksi pidana diterapkan.
Kedelapan, lemahnya koordinasi antar penegak hokum. Sistem penegakan
hukum tidak terstruktur dalam suatu sistem yang terkoordinasi serta tanpa otoritas
merupakan kendala dalam penanggulangan ilegal logging. Kondisi itu tetap berlanjut
meski sekarang sudah dikeluarkan Intruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang
Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di
seluruh Indonesia.
Kesembilan, berkaitan dengan ganti kerugian ekologi terhadap lingkungan.
Tindak pidana illegal logging adalah tindak pidana yang mempunyai dampak atas
Bahwa illegal logging adalah satu kejahatan pidana khusus (pidsus). Maka sudah
sepantasnya proses penanganan dan pemeriksaan dilakukan dengan perlakuan
khusus. Langkah yang terbaru seharusnya merujuk pada Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 01 Tahun 2008 tentang Petujuk Penanganan Perkara Tindak Pidana
Kehutanan.
Sebelum ini telah dilakukan pihak kejaksaan dengan adanya Surat Edaran (SE)
Jaksa Agung RI Nomor SE-0023.A.104/1995 tanggal 28 April 1995 dan Surat Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Nomor B-08/E/EJP/05/2001 yang pada pokoknya
mendukung upaya pemberantasan illegal logging karena termasuk perkara penting.
dan
kehakiman.
Salah
satunya
adalah
meningkatkan
dan
mengembangkan pelatihan yang selama ini telah dilakukan oleh Mahkamah Agung
dan Kementerian Lingkungan Hidup di bidang Penegak Hukum Lingkungan.
dengan menguji alumni pelatihan tersebut dalam memeriksa, menangani dan
memutuskan kasus-kasus lingkungan hidup khususnya illegal logging.