Anda di halaman 1dari 3

Ismu Nilam Devi

14/367867/KT/07843

TUGAS KEBIJAKAN KEHUTANAN


Critical Review UU Kehutanan
Kawasan hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyimbang
lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat
penting dengan tetap mengutamakan kepentinganan nasional. Untuk itu hutan harus
dikelola secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarkat.
Tindak pidana illegal logging di Indonesia sudah mengakibatkan kerugian
trilyunan rupiah, kerusakan hutan, bencana lingkungan dan ekologi. Bencana ini tidak
hanya mengacam Indonesia, tetapi juga dunia internasional, sebab hutan kita
merupakan paru-paru dunia. Jika hutan hancur maka akan mempercepat bencana
pemanasan global sebagai akibat dari pencairan es di kutub utara.
Karenanya pemberantasan tindak pidana ilegal logging harus menyangkup
semua aspek. Dalam aspek hukum pidana yang perlu dilakukan adalah memperbaiki
kelemahan-kelemahan dan kendala dalam pelaksanannya dan menjadi faktor yang
penting dalam penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan

illegal logging.

Kelemahan-kelemahan itu ada beberapa faktor.


Pertama, obyek penegakan hukum masih sulit ditembus oleh aturan hukum.
Obyek yang dimaksud adalah apabila pelaku yang terlibat kejahatan illegal logging
yakni pelaku intelektual, terutama cokong kayu, oknum pejabat, aparat hukum, pegawai
negeri tidak diatur secara khusus dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang.
Kedua, subyek atau pelaku tindak pidana illegal logging. Yakni subyek atau
pelaku yang diatur dalam ketentuan pidana kehutanan hanya efektif diterapkan kepada
pelaku yang secara langsung melakukan illegal logging atau pengusaha yang
melakukan traksasi kayu secara ilegal. Hal ini hanya dapat menyerat pelaku semisal:

penebang kayu, sopir truck, aknum petugas kehutanan, pegawai rendahan pada level
birokrasi, aknum aparat.
Ketiga, proses penyitaan dalam hal ini berupa barang bukti kayu. Konsep
penanganannya meliputi prosedur, metode, keahlian dalam pengukuran dan waktunya
cukup lama. Sementara itu UU Kehutanan tidak mengatur mekanisme penyitaan
barang bukti kayu secara khusus.
Kempat, kendala pembuktian. Proses pembuktian terhadap tindak pidana illegal
logging masih mengacu pada UU Nomor 8 Tahun 1981. Dalam konteks ini merupakan
tindak pidana biasa, sehingga sulit untuk menjerat pelaku yang berada dibelakang
kasus tersebut. Hal ini bisa terjadi karena fungsi sanksi pidana dalam kepidanaan
hukum lingkungan termasuk kehutanan telah berubah dari ultimum remedium menjadi
instrumen penegakan hukum yang bersifat premum remedium (Rangkuti, 2000 : 323324).
Kelima, ruang lingkup tindak pidana yang masih sempit. UU Nomor 41 Tahun
1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tidak meliputi tindak pidana korporasi, tindak pidana
penyertaan dan tindak pidana pembiaran (omission) (ICEL, 12-5-2004b : 4). UU
tersebut tidak mengatur tindak pidana penebangan di luar wilayah konsensi (over
cutting) atau yang melanggar Rencana Kerja Tahunan (RKT).
Ketujuh, sanksi pidana pasal 78 UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 1 Tahun
2004 yang memiliki sanksi pidana denda yang paling berat dibandingkan dengan
ketentuan pidana lain, ternyata tidak memberi efek jera kepada pelaku illegal logging.
Hal ini karena UU Kehutanan yang lebih ditekankan pada sanksi administrasi dan
perdata, setelah itu baru sanksi pidana diterapkan.
Kedelapan, lemahnya koordinasi antar penegak hokum. Sistem penegakan
hukum tidak terstruktur dalam suatu sistem yang terkoordinasi serta tanpa otoritas
merupakan kendala dalam penanggulangan ilegal logging. Kondisi itu tetap berlanjut
meski sekarang sudah dikeluarkan Intruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang
Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di
seluruh Indonesia.
Kesembilan, berkaitan dengan ganti kerugian ekologi terhadap lingkungan.
Tindak pidana illegal logging adalah tindak pidana yang mempunyai dampak atas

kerugian ekologi (lingkungan), sehingga perlu rumusan pasal tentang perhitungan


kerugian secara ekologis. Ternyata hal ini tidak diatur dalam UU Kehutanan (ICEL 12-52004 : 6).
Sisi kelemahan UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 dalam
pencegahan dan penindakan tindak pidana illegal logging antara lain:

Bahwa illegal logging adalah satu kejahatan pidana khusus (pidsus). Maka sudah
sepantasnya proses penanganan dan pemeriksaan dilakukan dengan perlakuan
khusus. Langkah yang terbaru seharusnya merujuk pada Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 01 Tahun 2008 tentang Petujuk Penanganan Perkara Tindak Pidana
Kehutanan.

Sebelum ini telah dilakukan pihak kejaksaan dengan adanya Surat Edaran (SE)
Jaksa Agung RI Nomor SE-0023.A.104/1995 tanggal 28 April 1995 dan Surat Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Nomor B-08/E/EJP/05/2001 yang pada pokoknya
mendukung upaya pemberantasan illegal logging karena termasuk perkara penting.

Intruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu


Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di seluruh Indonesia.

Intruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu.


Pengembangan kapasitas aparat penegak hukum dalam hal ini PPNS, kepolisian,
kebijaksanaan

dan

kehakiman.

Salah

satunya

adalah

meningkatkan

dan

mengembangkan pelatihan yang selama ini telah dilakukan oleh Mahkamah Agung
dan Kementerian Lingkungan Hidup di bidang Penegak Hukum Lingkungan.
dengan menguji alumni pelatihan tersebut dalam memeriksa, menangani dan
memutuskan kasus-kasus lingkungan hidup khususnya illegal logging.

Anda mungkin juga menyukai