Anda di halaman 1dari 6

BENARKAH NU LIBERAL ?

A. Pendahuluan
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah
organisasi Islam yang terbesar di Indonesia Organisasi ini berdiri pada 31 januari 1926 dan bergerak di bidang
pendidikan, sosial, ekonomi. Sebagai jam'iyyah sekaligus gerakan diniyyah Islamiyyah dan ijtima'iyyah, sejak
awal berdirinya telah menjadikan faham Ahlussunnah Wal Jama'ah sebagai basis teologi atau dasar berakidah
(Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya alQuran dan Sunnah saja tetapi juga menggunakan
kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu
seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi) dan menganut salah-satu dari empat madzhab
(madzahibul arba'ah)sebagai pegangan dalam berfiqih.
Memahami NU sebagai jam'iyyah diniyyah (organisasi keagamaan) secara tepat, sesungguhnya belumlah cukup
hanya dengan melihat dari sudut formal semenjak ia lahir, berikut pertumbuhan maupun perkembangannya
hingga dewasa ini sebab jauh sebelum NU lahir dalam bentuk jam'iyyah (organisasi), terlebih dahulu berwujud
jama'ah (community) yang terikat kuat oleh aktifitas sosial keagamaan yang mempunyai karakteristik
tersendiri. Atau dengan kata lain, wujudnya NU sebagai organisasi keagamaan itu hanyalah sekedar sebagai
penegasan formal dari mekanisme informal antar ulama dengan ulama, dan antar ulama dengan umat yang
dipimpinnya.
Asumsi seperti ini dibenarkan oleh peristiwa sejarah saat Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal
yakni mazhab Wahabi di Mekkah, direspon oleh kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman,
dengan penolakan pembatasan bermazhab karena hal semacam ini dianggap sebagai upaya licik Pemerintah
Saudi untuk menghancurkan warisan peradaban para ulama salafusshalihin. Dengan sikapnya yang berbeda itu
kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925 Akibatnya
kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam
Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H.
Hasyim Asy'ari. K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out. 1
Didorong. oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan KEBEBASAN BERMADZHAB serta peduli terhadap
pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan
Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah. Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun
dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud
mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab
mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan
kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban Islam yang sangat
berharga.
Berangkat dari sebuah komite (Komite Hijaz) dan berbagai bekal pengalaman berorganisasi yang bersifat
embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan
lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkoordinasi dengan berbagai kyai,
akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan
Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin
oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar (Rais Akbar hanya khusus untuk Hadhratissyekh KH.. Hasyim
Asy'ari saja sebagai penghormatan atas jasa-jasa besar beliau, sedangkan yang lain hingga kini, cukup dengan
sebutan Rais 'Amm)
B. Definisi Aswaja Ala NU
NU.menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah (Aswaja), sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara
ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak
hanya terbatas pada al-Qur'an dan as-sunnah saja, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan
realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan
Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti
mazhab: Imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: Imam Hanafi,Iimam Maliki,dan Imam Hanbali
sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang empat (4) di bawah. Sementara dalam bidang
tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf
dengan syariat.
Dari segi bahasa ahlussunnah berarti penganut sunnah Nabi sedangkan Ahlul Jamaah berarti penganut
kepercayaan jamaah para sahabat Nabi. Karena itu, kaum "Ahlussunnah wal Jamaah adalah kaum yang
menganut kepercayaan yang dianut oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya. Kepercayaan Nabi dan
sahabat-sahabatnya itu telah termaktub dalam al-Quran dan sunnah Nabi secara terpencar-pencar, yang
kemudian dikumpulkan dan dirumuskan kembali dengan rapi oleh seorang ulama besar, yaitu Syeikh Abu alHasan al-Asyari (lahir di Basrah tahun 260 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 324 H dalam usia 64
tahun. 2
1

Menurut Dr. Jalal Muhammad Musa dalam karyanya Nasyiah al-Asyriyyah wa Tathawwurih, istilah
Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) mengandung dua konotasi, mm (umum/global) dan khshsh (spesifik).
Dalam makna mm, Ahlussunnah wal Jamaah adalah pembanding Syiah, termasuk Mutazilah dan kelompok
lainnya, sedangkan makna khshsh-nya adalah kelompok Asyariyah (pengikut mazhab Imam Abu al-Hasan alAsyari) dalam pemikiran ilmu kalam.
Di luar pengertian di atas, KH. Said Aqil Siradj memberikan pengeretian lain. Menurutnya, Ahlussunnah Wal
Jama'ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keberagamaan yang mencakup semua aspek
kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya
Ahlussunnah Wal Jama'ah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah Wal Jama'ah bukan sebagai
madzhab, melainkan hanyalah sebagai manhajul fikri (cara berfikir tertentu) yang digariskan oleh para sahabat
dan para muridnya, yaitu generasi tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatife netral dalam
menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian bukan berarti bahwa ASWAJA sebagai Manhajul Fikri
adalah periode yang bebas dari sosial-kultural dan sosial-politik yang melingkupinya. 3
NU juga telah merumuskan pedoman sikap bermasyarakat yang dilandasi paham Aswaja, yaitu: Tawassuth
(moderat), Tasammuh (toleran), Tawazzun (serasi dan seimbang), I'tidal (adil dan tegas), dan Amar MakrufNahi Munkar (menyeru kepada kebajikan serta mencegah kemunkaran secara makruf)
Aswaja juga mengandung ajaran tentang sikap menghargai minoritas dan perbedaan. Oleh karenanya, NU
sebagai penganut faham Aswaja lebih apresiatif terhadap paradigma demokrasi. Bagi NU, perbedaan di tengah
ummat merupakan keniscayaan. Karena itu harus disikapi secara arif dengan mengedepankan musyawarah.
Tidak boleh disikapi secara ekstrem dan radikal hanya karena keyakinan atas kebenaran sepihak. Sikap yang
seperti ini lah yang menjadikan NU mampu menyajikan Islam yang rahmatan lil 'alamin, ramah, toleran, dan
tidak ekstrim
C. Definisi Liberal
Liberal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: bersifat bebas, berpandangan bebas (luas dan terbuka).
Sedangkan Charles Kurzman, sarjana sosiologi dari Universitas North Carolina dan penulis buku Wacana Islam
Liberal (Paramadina, Jakarta, 2001), tidak mendefinisikan istilah tersebut secara lugas. Istilah liberal atau
liberalisme, yang menurut kamus Britanica adalah filosofi politik yang menekankan kebebasan individu dan
peran negara dalam menjaga hak-hak setiap warga negara. (26 desember 2001, Tempo On Line).
Menurut Arkoun, secara terminology mazhab liberalisme adalah aliran hukum yang sangat menekankan
penggunaan rasio (akal). Aliran ini tak terikat dengan bunyi teks, tapi berusaha menangkap makna hakikinya.
Makna ini dianggap sebagai ruh agama Islam, tujuan yang terkandung dalam hukum syara' (maqashid alsyar'iyyah). Dengan kata lain, mazhab ini berusaha mendobrak kebekuan pemikiran Islam, sekaligus
merupakan fiqih baru yang dapat menjawab masalah-masalah baru akibat perubahan yang terjadi di
masyarakat.
Hal senada diungkapkan Leonard Binder bahwa kaum liberal berusaha menangkap esensi wahyu, yaitu makna
wahyu di luar arti lahiriyyah dari kata-kata. Mereka meninggalkan makna lahir dari teks untuk menemukan
makna dari dalam konteks.
Sejarah munculnya mazhab liberal ini dapat dilacak pada mazhab ahli ra'yi di kalangan sahabat Nabi, yakni dua
pendekatan yang berbeda yang dilakukan oleh para sahabat Rasul Muhammad SAW, yang selanjutnya
melahirkan dua mazhab besar di kalangan sahabat-sahabat, yaitu: 'Alawiyy dan 'Umariyy, yang akhirnya
mewariskan ke kita sebagai kaum tekstualis di satu pihak dan kaum kontekstualis pada pihak lain. 4
Ulil Abshar Abdalla, dalam tulisannya di Republika, tertanggal 11-5-2003 (Agama, Akal, dan Kebebasan
Tentang Makna Liberal dalam Islam Liberal-), mengatakan:
Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah liberal dalam Islam liberal mempunyai makna
kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal
tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman
terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga.
Jika manusia telah dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang
tersisa dari manusia semacam itu selain "jasad" yang pasif. Nabi pernah bersaba, "ad dinu huwal 'aql, la dina
liman la 'aqla lahu", agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal. Oleh sebab itu,
kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa
kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira
bahwa dengan membatasi kebebasan itu, mereka telah melindungi wahyu. Ini jelas pandangan yang salah.
Sebab, begitu kebebasan manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit
diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu, diperlukan akal manusia yang
matang. Sebuah hadits qudsi yang populer di kalangan sufi menyatakan, "Aku (Allah) adalah 'kanzun
makhfiyy?, harta karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan manusia." Hadis ini
memberikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk "menggali" dimensi-dimensi yang
tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya
2

manusia sebagai subyek yang bebas dan otonom. Kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulasan yang agak
"ruwet" dan panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata "liberal" pada Islam, sesunggunya saya
hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah "niat" atau dorongandorongan emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam "Islam liberal"
dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata "liberal" di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan
tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif yang melawan kecenderungan "intrinsik" dalam akal manusia itu
sendiri. 5
D. Penutup
Bila kita cermati alasan mendasar Nahdlatul Ulama (NU) didirikan adalah dalam rangka merespon asas tunggal
yang diterapkan Pemerintah Saudi Arabiah untuk menganut faham Wahabi secara mutlak, yang kemudian
direspon dengan penolakan oleh Ulama pesantren dengan menganut faham kebebasan bermazhab yang
tersimpul-aplikatif dalam format madzhahibul arba'ah. Selanjutnya lahirlah Nahdlatul Ulama (NU), di mana
sejak awal berdirinya telah menjadikan faham Ahlussunnah Wal Jama'ah sebagai basis teologi dengan merujuk
pada rumusan Imam Abul Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidzi, dan Mazahibul Arba'ah
sebagai pegangan dalam berfiqih. Atau dengan kata lain mengikuti sebuah pola pikir yang mengambil jalan
tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran
bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah saja, tetapi juga mengoptimalkan kemampuan akal ditambah dengan
realitas empirik, serta tidak mudah menjatuhkan vonis kufur, sesat, musyrik kepada orang per orang dan atau
lembaga yang karena satu dan lain sebab belum dapat memurnikan aqidah semurni- murninya.
Bertolak dari rumusan sederhana di atas bisa dimengerti bila dalam perjalanannya kemudian di NU terjadi
dinamika pemikiran yang sangat signifikan. Apakah ini sesuatu yang negatif atau justru positif? Tentu saja, bagi
penganut faham tekstualis akan mengangap ini sebagai sesuatu yang mengada-ada, nyleneh, negatif, bid'ah,
atau bahkan sesat dan menyesatkan yang harus dihentikan atau bila perlu dibumi-hanguskan. Tetapi bagi kaum
kontekstualis, ini dianggap sebagai lompatan pemikiran yang luar-biasa (dari tradisionalis, modernis, ke liberal)
dan positif tentunya sebab mereka berpandangan bahwa dinamika pemikiran seperti ini memang tidak bisa
dihindari, pun sebenarnya telah dilalui pula oleh para sahabat Nabi (bahkan di ketika Baginda Rasul masih
berada di tengah-tengah mereka. Kemudian diterus-kembangkan oleh para 'ulama 'ushul klasik, misal sekelas
Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) yang masyhur sebagai ahlurro'yi , yang selanjutnya kini diapresiasikembangkan dan dilestarikan oleh NU.
Realita yang takterbantah terjadi dalam LBM (Lembaga Bahtsul Masail) di NU saat ini, yaitu di komisi
Masailul Maudlu'iyyah telah terjadi diskusi yang berbeda dari sebelum-sebelumnya (cenderung liberal), karena
hampir semua peserta diskusi sudah tidak lagi mengutip kitab-kitab klasik lagi bahkan sebagai rujukan, tetapi
mereka lansung berargumen dengan alQuran, alHadits, Atsar, Qawa'idul 'Ushuliyyah, kitab-kitab karya ulamaulama kontenporer, serta pendekatan ilmu-ilmu modern. Padahal pola pembahasan seperti telah tersebut di
kalangan NU dahulunya dianggap sesat dan menyesatkan. 6
Berangkat dari gagasan: "Mempertahankan tradisi lama yang masih relevan, dan responsif terhadap gagasan
baru yang lebih baik dan lebih relevan", mengisyaratkan bahwa agar hukum Islam layak menjadi hukum publik
yang rahmatan lil'alamin, yang tidak partisan, dan demi tegaknya keadilan yang bersifat universal, maka
penyempurnaan terhadap kaidah-kidah Ushul Fiqih menjadi suatu keniscayaan.
Yusuf Qardhawi dalam bukunya al-Ijtihad al-Syar'iyyah al-Islamiyyah (Kuwait: Darl Qalam, 1985, hal., 286),
mengatakan: Adalah suatu hal yang berlebihan dan juga merupakan sikap pura-pura tidak mengenal realita,
apabila seseorang mengatakan bahwa buku-buku lama telah memuat jawaban-jawaban atas setiap persoalan
yang baru muncul. Setiap zaman itu memiliki problematika dan kebutuhan yang senantiasa muncul. Bumi
berputar, cakrawala bergerak, dunia berjalan, dan detik jam pun tidak pernah berhenti bedetak.
Ada ungkapan yang menarik sebagai ketidak-setujuhan dari KH. Sahal Mahfudh saat Muktamar (1984) di
Situbondo, di mana ketika itu muktamirin hanya memakai kutubul mu'tabarah karya ahlul madzahib saja, dan
menolak kitab-kitab di luar ahlul madzaahib, yakni kitab-kitab seperti karya Ibnu Taimiyyah atau Ibnul
Qayyim. Dengan tegas beliau mengatakan (meskipun para Kyai yang lain banyak yang tidak sependapat), "
khudz maa shafaa wa da' maa kadar , ambillah yang jernih dan tinggalkan yang keruh. Jangan hanya gara-gara
dalam bab tawassul kitab ini mengecamnya, lantas kitab tulisan mereka seluruhnya tidak boleh dipakai." 7
Pernyataan mbah Sahal di atas bisa dipahami bahwa dengan melegitimasi hanya pada kriteria kutubul
mu'tabarah saja, maka berarti mengunggulkan pendapat imam tertentu, dan merendahkan pendapat imam lain.
Hal ini jelas menyalahi qaidah, "al-ijtihad laa yunqadhu bil ijtihad, suatu ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh
ijtihad lain." Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Bukankah muara fiqih adalah terciptanya
mashlahatul ummah dan keadilan sosial di tengah masyarakat, yang dengan demikian kita tidak bisa
mengenyampingkan begitu saja nilai-nilai kejujuran dan kebebasan.
. .
3

. .
Daftar Pustaka:
1. Choirul Anam, Pertumbuhan Dan Perkembangan NU, (Jatayu Sala, 1985), h. 65
2. Choirul Anam, Pertumbuhan Dan Perkembangan NU, (Jatayu Sala, 1985), h. 143
3. KH. Said Aqil Siradj, Ahlussunnah Wal Jama'ah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta LKPSM,
1999),h. 22
4. Jalaluddin Rahmat, Kontekstualitas Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina,
1995), h. 286
5. http://www.virtualfriends.net/article/articleview.cfm?AID=29183
6. Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama (1926-1999,M), Studi Problematika
Aktual Hukum Islam, (Diantama 2005), h. 9
7. ibis, h. 7
Syiah, Wahabi, dan tugas NU

DUTA MASYARAKAT, 07 April 2010


MUHAMMAD NUH SHOLEH
Bila kita mau mencermati perkembangan politik yang terjadi di Timur Tengah, kita dapat berkesimpulan bahwa
sejak terjadinya Revolusi di Iran, telah terjadi perebutan hegemoni antara kaum Wahabi dan Syiah. Intervensi
Amerika Serikat di Irak telah mengantar kaum Syiah ke pentas politik di Irak. Kemenangan Hizbullah atas
Israel di Lebanon telah memunculkan pujian kepada kelompok Syiah tersebut.
Pada sisi yang lain, radikalisme yang ditunjukkan oleh beberapa kelompok pengikut Wahabi telah
menyebabkan kelompok tersebut berada dalam posisi sulit. Apalagi dengan terjadinya tragedi menara WTC di
Amerika Serikat, mencuatlah nama Osamah bin Laden yang dituduh sebagai biang kerok dari peristiwa
berdarah-darah tersebut. Hal yang membuat kening berkerut adalah pengaitan Osamah dengan Wahabi, sebuah
kelompok yang lebih banyak menempuh jalan radikal dalam gerak langkahnya.
Percaturan politik di Timur Tengah tersebut ternyata muncul juga di Indonesia. Sayap Syiah di Indonesia telah
semakin lebar kepakannya. Mereka telah mampu mengorganisasikan langkah-langkahnya secara rapi, sehingga
semakin lama memiliki banyak pengaruh di kalangan umat Islam yang notabene adalah umat Islam
Sunni/Ahlussunnah wal Jamaah/Aswaja. Mereka memiliki kiai, pesantren, penerbitan, website, dan kaderkader militan.
Pada sisi yang lain, sayap Wahabi juga tak mau kalah. Bahkan pada dasawarsa terakhir, mereka telah memiliki
cakar-cakar yang tajam, yang siap diayunkan kepada pihak-pihak yang tidak setuju atau sepaham dengan
mereka. Kelompok ini sangat antidemokrasi, tetapi mendapat berkah dari bergulirnya roda demokrasi di
Indonesia. Sebab, di masa Orde Baru mereka merupakan kelompok-kelompok bawah tanah, yang terus
menerus-merasa terancam oleh gerakan pemberangusan yang dilakukan Orde Baru. Ketika reformasi muncul,
mereka berani menampilkan diri di hadapan khalayak, bahkan berani mengemukakan wacana-wacana yang di
zaman Orde Baru dianggap sebagai subversif atau sebagai ekstrem kanan. Wacana negara islam, wacana
pemberlakuan syariah secara formal merupakan barang dagangan yang mereka usung, dan ternyata sangat
laku dijual di masyarakat.
Dua realitas tersebut merupakan tantangan bagi jamiyah Nahdlatul Ulama (NU). Sebab, manakala NU berdiam
diri, jamiyah NU akan game over dan lenyap dari peredaran.
Dalam penampilannya, kelompok Syiah sangat berpeluang menarik kaum Nahdliyyin sebanyak-banyaknya
karena mereka menampilkan hal-hal yang memiliki kemiripan dengan apa yang ada di NU. Tradisi haul,
pembacaan shalawat Nabi, puji-pujian kepada keluarga Nabi (Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husain)
merupakan hal yang tidak asing di kalangan Nahdliyyin, dan hal ini juga dilakukan oleh orang-orang Syiah.
Dari sinilah, Gus Dur pernah mengatakan bahwa NU adalah Syiah secara kultural.
Kelompok Syiah sangat menyadari betapa pentingnya media massa, karena itu mereka manfaatkan hal ini
melalui website dan penerbitan buku-buku lux. Terkait buku ini, ada hal menarik yang mereka tampilkan.
4

Mereka sangat cermat memilih buku yang layak diterbitkan di Indonesia. Mereka menghindari buku-buku yang
mengecam langsung Abu Bakar, Umar, atau Utsman (para khalifah rasyidah yang sangat dihormati kaum
Sunni). Mereka terbitkan buku-buku yang agak netral. Dalam kenyataannya, buku-buku mereka sangat laris.
Apalagi buku-buku tentang tasawuf atau filsafat, karya-karya ulama Syiah banyak diminati kaum terpelajar.
Inilah tantangan kaum Syiah kepada NU.
Pada sisi lain, fenomena Wahabi sangat meresahkan kalangan Nahdliyin. Sebab, ideologi yang mereka bawa
adalah ideologi padang pasir yang kering dan keras. Mereka sangat anti terhadap unsur-unsur kearifan lokal,
yang mereka anggap sebagai bidah atau khurafat. Mereka ingin mengusung ideologi Wahabi sebagai ideologi
masyarakat, yang menafikan ideologi Pancasila, sebuah ideologi yang telah disepakati oleh para founding
fathers Negara Republik Indonesia. Mereka ingin menampilkan pemerintahan khilafah, yang cakupannya bukan
hanya Indonesia, tetapi seluruh dunia. Walaupun mereka sekarang tersekat-sekat dalam beberapa organisasi,
tetapi bila dicermati akan terlihat bahwa mereka memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya.
Apabila kita sering mencermati website mereka, kita dapati adanya benang-hijau yang mempertautkan
mereka dengan organisasi lain yang sehaluan dengan mereka. Kelompok KAMMI, MMI, Salafy, HT, dan
sebagainya, merupakan organisasi yang sehaluan.
Para muqallid Wahabi tersebut sangat agresif mengecam amaliyah NU yang telah berakar di masyarakat. Yang
paling mutakhir adalah tulisan Mahrus Aly (yang berjilid-jilid dan tebal-tebal karena pasokan dana yang tak
terbatas dari pihak Wahabi), yang berusaha membabat habis tradisi atau kebiasaan-kebiasaan yang telah berurat
akar di masyarakat. Mereka pun tidak segan-segan merebut masjid untuk dikelola menurut keinginan mereka.
Maka, yang jadi korban bukan hanya masjid yang dikelola warga NU, tetapi masjid-masjid yang dikelola orang
Muhammadiyah pun mereka rebut.
Beberapa langkah
Jamiyah NU adalah jamiyah yang menyatakan dirinya sebagai Jamiyah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) .
Sebagai jamiyah Aswaja, NU tidak melakukan upaya yang berkiblat kepada Negara-negara Arab di Timur
Tengah secara mentah. NU berpandangan bahwa nilai-nilai universal Islam akan bisa diterima masyarakat mana
saja.
Selain itu, NU memiliki pandangan positif terhadap kearifan-kearifan lokal yang bisa kompatibel dengan nilainilai keislaman. Karena itu kalau boleh dikatakan bahwa jamiyah NU=Islam Aswaja+Indonesia. Artinya,
dalam jamiyah NU bersenyawa unsur keislaman dan keindonesiaan, yang akhirnya melahirkan kultur Islam
yang Indonesiawi.
Pola keislaman seperti itulah yang cocok bagi Indonesia, bukan pola yang meniru persis dari Timur Tengah.
Karena itu, pola seperti itu harus dipertahankan atau bahkan dipertegas sebagai pola ideal bagi Indonesia.
Untuk mewujudkan hal seperti itu, jamiyah NU perlu melakukan beberapa langkah.
Pertama, membentuk think-tank dengan tim yang tangguh yang melibatkan para ahli, baik kalangan kiai dari
pesantren atau kalangan ahli dari perguruan tinggi, atau para ahli dari kalangan lain yang memiliki komitmen
bahwa jamiyah NU=Islam Aswaja+Indonesia.
Terkait hal ini, sebaiknya dihindari perbedaan pendapat yang melibatkan banyak orang. Sebab, bila hal itu
terjadi, hal yang pokok dan urgen akan terabaikan, sementara hal yang kurang perlu justru dianggap sebagai hal
utama. Apa yang keluar adalah hasil pemikiran bersama, dan memiliki efek besar yang membawa hal-hal
positif.
Kedua, melakukan gerakan semacam mabadi khaira ummah seperti pada zamannya Kiai Mahfudz Shiddiq
yang melibatkan semua unsur, mulai atas sampai ke tingkat ranting. Dalam gerakan ini, selain mengurus
masalah kesejahteraan masyarakat, kedisiplinan organisasi, yang tak kalah penting adalah pembentukan
generasi yang militan dalam ber-NU.
Pola-pola latihan kader yang telah berlaku sebagian sudah out of date. Karena itu, sudah seharusnya diperkaya
dengan pola-pola baru yang lebih up to date. Harus segera dibuat sebuah pola yang dapat menumbuhkan
militansi kader dalam ber-NU. Harus ada pihak tertentu yang mengkaji pola kaderisasi yang dilakukan para
muqallid Wahabi atau Syiah, sisi kelebihan dan kekurangannya. Diperlukan pula penelitian terhadap nilai-nilai
yang telah berkembang dan mengakar di kalangan NU yang dapat mendukung pola pengaderan di kalangan
NU. Nilai-nilai unggulan NU semacam tawassuth, itidal, tawazun, tasamuh dan sebagainya harus didinamisasi
sehingga kompatibel dengan perkembangan kekinian.
Ketiga, secara terus-menerus dan konsisten melahirkan pendekatan-pendekatan baru dalam merawat,
mengawetkan, dan mengembangkan tradisi-tradisi Ahlussunnah wal Jamaah An Nahdliyah. Penanaman ke5

Aswaja-an harus dilakukan dengan berbagai macam pendekatan, bukan melulu indoktrinasi, sehingga nilai-nilai
Aswaja dapat diserap oleh warga NU dengan penerimaan yang positif dan tahan lama (tidak cepat-cepat
dilupakan).
Keempat, para kiai harus lebih giat mengkaji dan menelaah nilai-nilai Aswaja yang tersebar luas di kitab-kitab
kuning yang dikaji para kiai. Salah satu hal penting adalah para kiai harus meningkatkan kemampuan tulisnya,
sehingga pemikiran-pemikirannya menjadi.

Anda mungkin juga menyukai