Anda di halaman 1dari 6

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020

BEBERAPA PENYAKIT PARASITIK DAN MIKOTIK PADA


SAPI PERAH YANG HARUS DIWASPADAI
(Some of Parasitic and Mycotic Diseases in Dairy Cattle must be Warning)
R.Z. AHMAD
Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor
ABSTRACT
Parasitic and mycotic diseases in ruminants cause the health and economic problems to dairy cattle
husbandry. The diseases reduce the feed consumption, body weight, milk production and feed efficiency and
may cause mortality in some cases.. Parasitic and mycotic diseases are caused by worms (Fasciola sp,
Ostertagia sp), protozoas (Eimeria sp, Trichomonas sp) and ectoparasites (fleas, fungi, fly and mites) are
pathogen to dairy cattle. These diseases can be diagnosed by the appearing clinical symptoms and laboratory
inspection. The parasitic and mycotic diseases in dairy cattle is better prevented than cured.
Keywords: Parasitic, mycotic, dairy cattle
ABSTRAK
Penyakit parasitik dan mikotik pada ruminansia adalah penyakit yang merugikan untuk ternak sapi perah.
Penyakit menurunkan konsumsi pakan, bobot badan, produksi susu, efisiensi pakan dan pada beberapa kasus
menyebabkan kematian. Penyakit parasitik dan mikotik disebabkan oleh cacing (Fasciola sp, Ostertagia sp),
protozoa (Eimeria sp, Trichomonas sp) dan ektoparasit (caplak, cendawan, lalat, dan tungau) yang patogen
terhadap sapi perah. Penyakit-penyakit tersebut dapat dikenali dari gejala klinis yang muncul dan
pemeriksaan laboratoris. Penyakitpenyakit parasitik dan mikotik pada sapi perah lebih baik dicegah dari
pada diobati.
Kata kunci: Parasitik, mikotik, sapi perah

PENDAHULUAN
Beternak dan pemeliharaan sapi perah
dalam
beberapa
tahun
terakhir
ini
menunjukkan perkembangan. Upaya ini
senantiasa didorong oleh pemerintah dalam
mengusahakan
pencapaian
pemenuhan
kebutuhan susu. Susu sapi digunakan untuk
kebutuhan konsumsi susu segar dan industri
makanan berbahan dasar susu seperti kue-kue,
karamel dan yoghurt dan lain-lain. Jumlah
populasi sapi perah secara nasional adalah
377.771 ekor sapi yang tersebar diberbagai
provinsi, umumnya terkonsentrasi di Sumatera
Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur
dan Sulawesi Selatan (DITJENNAK, 2007).
Namun masih diperlukan penambahan jumlah
populasi sapi seiring dengan bertambahnya
jumlah penduduk Indonesia.
Sentra peternakan sapi di dunia terdapat di
Negara
Skotlandia,
Inggris,
Denmark,

316

Perancis, Swiss, Belanda, Italia, America,


Afrika, India dan Pakistan, selain Negaranegara tersebut belakangan ini Cina turut pula
menyumbangkan produksi susu dunia.
Produksi air susu secara global di dunia
meningkat 0,5% lebih cepat dari pertimbuhan
populasi manusia sehingga produksi susu
perkapita dan konsumsinya meningkat juga
(GILL, 2006). Sebaliknya di Indonesia tidak
demikian, produksi susu berfluktuasi sejalan
dengan jumlah populasi sapi perah tercatat
secara berurutan pada tahun 2003 berjumlah
373.753; 2004 berjumlah 364.062; 2005
berjumlah 361.251; tahun 2006 berjumlah
369.008 dan tahun 2007 berjumlah 377.771,
sehingga populasi susu secara keseluruhan dari
tahun 2003 sampai dengan 2007 hanya
meningkat 2,37% (DITJENNAK, 2007).
Sehubungan dengan itu perlu kiranya
diperhatikan masalah penyakit-penyakit yang

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020

dapat menyebabkan kurangnya produksi air


susu.
Beberapa masalah yang perlu diketahui
peternak dan pemelihara sapi perah adalah
sistem pemeliharaan ternak dan kesehatan
hewan. Masalah penyakit-penyakit parasit
harus dipelajari agar terhindar dari kerugian
ekonomis yang besar. Berikut ini dijelaskan
beberapa penyakit parasit eksternal dan
internal yang disebabkan oleh parasit
cendawan, cacing, dan protozoa seperti
Ringworm, Kudis, serangan caplak, lalat
Ostertagiasis, Fasciolasis, Trichomoniasis dan
Koksidiosis. Pengobatan cukup efektif
dilakukan namun faktor resistensi dan
pertimbangan ekonomis perlu diperhatikan
sehingga pencegahan merupakan pilihan yang
terbaik dibandingkan dengan pengobatan.
Tujuan dari penulisan ini untuk mewaspadai
dan membahas penyakit tersebut di atas.
PARASIT EKSTERNAL
Penyakit eksternal dapat didefinisikan
adalah penyakit yang menyerang sapi perah di
daerah luar tubuh sapi seperti kulit, bulu.
Beberapa penyakit yang perlu diwaspadai
adalah kudis, ringworm, serangan caplak dan
lalat.

D
C

Gambar 1. Tungau penyebab kudis (A); Dermatofit


Tricophyton verrucosum pada media
SDA umur 17 hari (B); Caplak (C);
lalat Tabanus sp (D)
Sumber: ANONIMUS (2003; 2008a,b); HIRUMA (2007)

Kudis (skabies)
Penyakit kulit ini meski jarang menyerang
sapi perah di Indonesia namun perlu
diwaspadai karena pada suatu saat dapat
mewabah. Penyakit kudis adalah infestasi

tungau pada kulit. Tungau yang menginfeksi


terdiri dari 2 jenis spesies yaitu adalah tungau
yang hidup di permukaan kulit (Chorioptes
bovis) dan tungau yang hidup di bawah
permukaan serta membuat terowongan
(Sarcoptes scabiei). Gejala klinis terjadi
kerusakan pada kulit di bagian leher, kaki, dan
pangkal ekor, ditandai dengan adanya
kehilangan rambut yang meningkat ukurannya
secara perlahan-lahan sesuai dengan tingkat
keparahannya. Kegatalan sering muncul hingga
menyebabkan kerusakan kulit di berbagai
tempat, hal ini terjadi ketika sapi menggaruk
daerah yang terinfeksi. Pada daerah terinfeksi
seperti kulit yang menebal dan berkerak
diagnosa dan dilakukan pengerokan kulit, lalu
diperiksa di bawah mikroskop. Di dalam
pengendalian pengobatan dapat dilakukan
dengan obat yang berspektrum luas, aplikasi
dapat dilakukan dalam bentuk tabur atau
suntikan (Skabicid, Ivermectin). Aplikasi
penaburan obat mudah serta cepat dilakukan
dan umumnya berbiaya murah. Namun
mempunyai kendala kontak yang terbatas,
khususnya pada tungau pembuat terowongan
sehingga pengobatan cara tabur kurang efektif.
Sebaliknya pengobatan dengan injeksi lebih
disukai karena lebih efektif dan merupakan
pilihan lain yang baik. Selain itu pemakaian
kontrol biologis dengan cendawan seperti
Metarhizium anisopliae dapat dilakukan pula.
Pengobatan secara bersamaan merupakan yang
terbaik (ANONIMUS, 2003; dan NADIS, 2007).
Ringworm
Ringworm atau Dermatophytosis (kurap)
adalah suatu penyakit kulit yang disebabkan
oleh cendawan Dermatofit (Trichophyton
verrucosum). Umumnya menyerang pada sapi
muda. Ringworm hidup di permukaan kulit
tubuh yang mengalami keratinisasi seperti
lapisan tanduk pada kuku dan rambut, tidak
bersifat invasive dan tidak dapat hidup dalam
jaringan hidup. Meskipun Ringworm dapat
membentuk kekebalan pada hewan yang telah
terserang pengobatan harus dilakukan karena
memerlukan waktu sembuh cukup lama yaitu
kurang lebih 9 bulan. Penularan dapat secara
langsung atau tidak langsung, Penularan
langsung terjadi dengan sentuhan pada hewan
sakit. Spora ringworm ini tahan lama dalam
kandang dan di alam bebas. Penularan tidak

317

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020

langsung dengan terkena spora pada kandang


atau tempat bekas hewan sakit. Manusia dapat
tertular (Zoonosis). Gejala klinis ditandai
dengan adanya bercak-bercak berwarna merah,
eksudasi, rambut patah-patah atau bervariasi,
daerah abu-abu putih dengan permukaan
seperti abu, umumnya terjadi garis melingkar,
selanjutnya erupsi bervariasi terjadi pada
muka, leher umumnya pada sekitar mata,
punggung, dada dan kaki dengan permukaan
meninggi, berkeropeng, bersisik atau berbentuk
bungkul-bungkul, jika keropeng diangkat
terjadi perdarahan. Diagnosa penyakit dari
gejala klinis yang tampak dan pemeriksaaan
kerokan
kulit yang dicurigai secara
mikroskopik. Pencegahan dapat dilakukan
dengan menjaga kesehatan tubuh dan
kebersihan kulit hewan. Pengendalian dan
pemberantasan dengan cara memisahkan
hewan yang sakit dengan yang sehat.
Pengobatan dapat diaplikasinya secara topikal
atau suntikan dengan preparat kimia seperti
Griseofulvin, Iodium Sulfa, Asam Salisilat,
Natrium Kaprilat 20%. Gizi dan sanitasi
kesehatan yang baik dapat mencegah serangan
cendawan penyakit ini. Obat tradisional dapat
pula digunakan seperti daun ketepeng, belerang
untuk pengobatan secara topikal. (ABBEY,
2008; AHMAD, 2005; NADIS, 2007; MORTER
dan CALLAHAN, 2007).
Caplak dan lalat
Selain ringworm dan tungau agen penyakit
lain yang penting adalah lalat dan caplak. Lalat
terdiri dari Haematobia irritans (lalat tanduk).
Tabanus sp (lalat petak), Chrysops sp (lalat
krisop). Haematopota sp (lalat totol), Simulium
sp (lalat punuk), Hippobosca sp (lalat Sumba),
Stomocys sp (lalat kandang), Haemotobia sp
(lalat kerbau), dan Musca domestica (lalat
rumah). Sedangkan caplak yang umum
menyerang sapi adalah Boophilus microplus.
Hal ini ada hubungannya dengan iklim tropis
dengan kelembaban yang tinggi di Indonesia,
sehingga merupakan tempat tumbuh berbagai
macam ektoparasit termasuk lalat dan caplak.
Beberapa ektoparasit melakukan aktivitas
menghisap darah untuk kelangsungan hidupnya, sehingga dapat merupakan vektor
(pemindah penyakit seperti anaplasmosis,
Surra, Jembrana dan lain-lainnya). Sebagai
vektor penyakit dapat bersifat mekanis dan

318

hayati. Selain sebagai vektor, lalat tertentu


seperti M. domestica, Chrysomyia bezziana,
Booponus intonsus, Sarcophaga spp dapat
menyebabkan miasis/belatungan (infestasi lalat
pada jaringan tubuh hewan hidup), miasis
menyebabkan
sapi
menderita
borok.
Pengendalian diawali dengan pencegahan yaitu
melakukan kebersihan kandang dan pengusiran
lalat, sedangkan pengobatan dapat dilakukan
dengan pembersihan borok luka, kemudian
pembersihan infestasi lalat pada borok, lalu
diobati dengan salep Diazone. Pengendalian
umumnya dengan mempergunakan insektisida
Carbaryl,
Malanthion,
Dichlorovos,
Comouphos yang bersifat sistemik dan
diaplikasikan dengan penyemprotan atau
dipping hewan induksemangnya. Sedangkan
pengendalian caplak dapat dilakukan dengan
akarisida seperti Organo fosfat, juga dilakukan
dengan penyemprotan atau dipping. Selain itu
dapat pula dilakukan rotasi penggembalaan
yaitu mengosongkan padang gembalaan selama
3 bulan, bila memungkinkan rumput yang
terkontaminasi
dipotong
dan
dibakar
(ANONIMUS, 2008a; dan NADIS, 2007).
PARASIT INTERNAL
Serangan parasit internal pada sapi dapat
menyebabkan
kurang
nafsu
makan,
pengurangan kecernaan, penurunan bobot
badan dan produksi susu, melemahkan sistem
imun dan kerusakan organ. Beberapa parasit
internal yang perlu ditelaah adalah fasciolosis,
ostertagiasis, koksidiosis dan trichomoniasis.

Gambar 2. Cacing penyebab Fasciolosis (E);


Cacing Ostertagia ostertagi (F);
Oosit dari Eimeria bovis (G);
Trichomonas foetus (H)
Sumber: ANONIMUS (2008c,d,e) dan KIRKPATRICK (2007)

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020

Fasciolosis
Fasciolosis
adalah
penyakit
yang
disebabkan oleh Fasciola gigantica dan
Fasciola hepatica (cacing hati). Cacing
trematoda ini hidup di dalam saluran empedu,
berbentuk seperti daun, gepeng dorso-ventral.
Telur dan cacing F. gigantica lebih besar
ukurannya
dibandingkan
F.
hepatica.
Penularan melalui induk semang antara siput
Limnea rubigenosa. Cara penularannya melalui
terjadi ketika sapi meminum air atau memakan
rumput yang tercemar metaserkaria yang
merupakan perkembangbiakan dari telur.
Gejala klinis dalam bentuk akut sapi menderita
konstipasi dan kadang-kadang mencret, sapi
menjadi kurus dengan cepat, lemah dan
anemia. Dalam bentuk kronik terjadi penurun
produktivitas. Di dalam diagnosa penyakit ini
selain gejala klinis yang tampak perlu
dilakukan adalah peneguhan diagnosa dengan
pemeriksaan tinja untuk menemukan telur
fasciola dan memeriksa jumlah telur pergram
tinja dengan metoda Whitlock, selain itu dicari
pula metaserkaria pada sampel rumput. Sapi
dinyatakan telah terinfeksi fasciolosis bila
ditemukan telur fasciola sp pergram tinjanya
terhitung lebih dari 200 telur/sapi. Sebagai
pencegahan dilakukan pemotongan siklus
hidup
dengan
mollusida
(Natrium
pentachlorophenate, Cooper pentachlorophenate) dengan dosis 9 kg di dalam 3600 liter
untuk setiap hektarnya. Memberantas siput
secara biologik dapat dilakukan dengan
memelihara itik pemakan siput. Di dalam
pengendalian dapat dilakukan pengobatan 3
kali dalam setahun yaitu Permulaan,
pertengahan dan akhir musim hujan. Bila
daerah merumput mempunyai daerah bebas
siput yang luas barulah dapat dilaksanakan
sistem manajemen dengan baik. Ternak sapi
yang sakit diobati dengan fasciolasida
(Albendazol, Disophenol, Haloxon, ivermectine, Nitroxynil, Oxyclozanide) (CORWIN dan
RANDLE, 1993; GADBERRY et al., 2007; dan
MERIAL, 2008).
Ostertagiasis
Ostertagiasis adalah penyakit cacingan
yang disebabkan oleh Ostertagia spp
umumnya Ostertagia ostertagi. Cacing
nematoda ini menyerang saluran pencernaan

sapi (usus), namun kasus ini di Indonesia


hampir jarang dilaporkan atau tidak ada bila
dibandingkan serangan nematoda lain seperti
Ascaris vitulorum, Bunostomum spp di usus
halus, Oesophagostomum spp di kolon,
Haemonchus
spp,
Mecistocirrus
spp
dilambung, Cooperia spp, Nematodirus spp,
Trichostrongylus spp di usus.
Penularan
umumnya terjadi ketika sapi menelan rumput
yang mengandung larva3 infektif. Kekebalan
sapi terhadap cacing saluran pencernaan ini
dipengaruhi oleh umur, pakan, genetik dan
preimunisasi. Gejala klinis sapi mengalami
diare yang berwarna hijau kehitaman, sapi
menjadi cepat kurus dan akhirnya mati. Sapi
penderita ditemukan dalam jumlah yang tinggi
pada suatu kelompok. Penyakit ini dapat
didiagnosis dengan pemeriksaan jumlah telur
pergram tinja. Uji darah dapat dilakukan untuk
pemeriksaan kandungan pepsinogen atau
mineral. Pengendalian. Pencegahan adalah hal
yang terbaik di dalam pengendalian. Hal ini
dapat dilakukan dengan pemberian pakan yang
baik dalam jumlah kualitas dan kuantitas.
Menghindari kepadatan sapi yang berlebihan di
dalam kandang, memisahkan ternak muda dan
dewasa, menghindari tempat yang becek.
Sanitasi kandang, pemeriksaan kesehatan
hewan. Pengobatan pada sapi dewasa yang
telah terinfeksi dapat dilakukan dengan obat
cacing yang berspektrum luas (Levamisol,
Piperazine, Albendazole, Panacur). Pengobatan
pertama dilakukan 3 minggu setelah datangnya
musim hujan, kemudian diulangi dengan
selang waktu 6 minggu sampai permulaan
musim kemarau. Pengendalian secara terpadu
seperti kontrol biologis, obat cacing dan
manajemen memberikan hasil yang lebih baik
(GIBBS, 1982; CORWIN dan RANDLE, 1993; dan
NADIS, 2007).
Koksidiosis
Di Indonesia penyakit ini jarang terjadi.
Namun didunia merupakan 1 jenis diantara 5
penyakit yang merugikan sapi. Kerugian
ekonomis diperkirakan 100.000.000. US Dollar
atau lebih pertahunnya (KIRKPATRICK, 2007).
Parasit oosit Eimeria bovis menginfeksi bagian
jaringan limfatik di dalam ileum (usus halus),
sekum dan bagian atas kolon sapi. Umumnya
menyerang pada kelompok sapi yang tumbuh
berumur antara 1 bulan s/d 12 bulan. Gejala

319

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020

klinis muncul 17 hari setelah oosit tertelan


ditandai adanya kehilangan bobot badan, diare,
demam, depresi, dehidrasi, dapat terjadi
komplikasi penyakit sekunder. Sapi yang dapat
bertahan hidup dari serangan koksidiosis akut
tidak dapat mengkonpensasi bobot badannya
yang hilang selama sakit. Umumnya
menyerang hewan muda, namun dapat
menulari hewan dewasa karena keadaan
lingkungan yang padat populasinya. Penularan
terjadi bila sapi menelan oosit yang mencemari
pakan, air, tanah. Diagnosa penyakit dapat
dilakukan dari memeriksa gejala klinis dan
pemeriksaan feses dengan metoda apung.
Pencegahan dan pengobatan dapat dilakukan
dengan
menggunakan
antikoksidial.
Pengobatan dilakukan dengan mengisolasi
hewan yang sakit untuk mencegah terjadinya
penularan lebih lanjut serta mencegah invasi
terhadap sel dan perbaikan sel. Bila
kontaminasi diminimumkan, maka reinfeksi
akan berkurang sehingga dapat terjadi respon
kekebalan yang baik. Pengobatan dapat
dilakukan dengan anti koksidial seperti
Amprolium, dengan dosis pencegahan
5mg/kgBB/hari selama 28 hari. Sedangkan
dosis pengobatan 10mg/kgBB/hari selama 5
hari. Monensin dengan dosis pencegahan 1
mg/kgBB/hari, untuk 1030g/ton pakan
(CORWIN dan RANDLE, 1993).
Trichomoniasis
Trichomoniasis adalah penyakit kelamin
yang disebabkan Trichomonas foetus. Protozoa
ini memiliki membrane undulans, 3 flagella
anterior, sebuah flagelium posterior, berbentuk
alpukat berukuran panjang 10-25 dan lebar 3
15. Kerugian secara ekonomis adalah terjadi
kegagalan kebuntingan. Gejala klinisnya
kurang jelas namun ditandai
dengan
menurunnya daya reproduksi, rahim bernanah
dan keguguran pada sapi dengan tingkat
kebuntingan muda. Ditemukan pula kasus
piometra sampai dengan 10% pada sapi-sapi
betina. Sedang pada sapi jantan bersifat kronis
karena tidak menimbulkan gejala klinis yang
jelas, namun terjadi peradangan pada organ
vitalnya seperti peradangan pada prepurtium,
skrotum dan penis. Untuk peneguhan diagnosa
dapat dilakukan dengan pengambilan lendir
pada daerah terinfeksi dan dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Pengendalian.

320

Pencegahan adalah hal terbaik dapat dilakukan,


Hendaknya memeriksa asal usul dan fertilitas
sapi yang akan dipelihara, memeriksa
kesehatan sapi sewaktu membeli. Sapi jantan
yang sakit dipotong. Sapi betina yang sakit
dapat diobat dengan Metronidazol, sedangkan
sapi yang abortus dibersihkan plasentanya dan
diobati (GRAHN et al., 2005; STOLTENOW dan
DYER, 2007).
SANITASI SEBAGAI TINDAKAN UMUM
UNTUK PENCEGAHAN
Selain pemberian pakan dengan gizi yang
baik, sanitasi adalah tindakan pencegahan yang
pencegahan umum yang harus dilakukan untuk
membuat sapi-sapi terhindar dari infestasi
penyakit parasitik dan mikotik. Pada
pemeliharaan secara intensif sebaiknya sapi
sapi dikandangkan. Sedangkan secara ekstensif
pengawasannya meski sulit harus dilakukan
setiap hari. Air minum bersih harus selalu
tersedia untuk sapi setiap saat.
KESIMPULAN
Penyakit sapi yang disebabkan oleh parasit
dan cendawan dapat dikendalikan dengan
pengendalian. Pengendalian dapat dilakukan
dengan
pencegahan
dan
pengobatan.
Pencegahan penyakit lebih baik dari
pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
ABBEY. 2008. Ringworm. Abbey Veterinary Group.
http://www.Abbey-vetgroup. co.uk/ringworm
(cattle).: 13. (1912008).
AHMAD, RZ. 2005. Permasalahan dan penanggulangan Ring worm pada hewan. Prosiding
Penyakit Zoonosis. Bogor 15 September 2005.
Puslitbangnak. Badan Litbang; 297303.
ANONIMUS. 2003. Mite control. Http://www.bio.bris.
ac.uk/research/insects/mites1.html
(244
2003).
ANONIMUS. 2008a. Fleas. http://www.targetpest.
co.nz/fleas.html (442008).
ANONIMUS. 2008b. Tabanus sp. http://www.
myrmecos.net/insects/Tabanus2.html
(44
2008).

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020

ANONIMUS. 2008c. http://www.visual sunlimited.


com/browse/Vu311/Vu 311708 html. (44
2008).
ANONIMUS. 2008d. Ostertagia ostertagi http://
proto5.thinkquest.nl/~lle0210/ziekteshtm (44
008)

NADIS. 2007. Diseases of cattle from the cattlesite.


www.nadis.org.uk (332008).
STOLTENOW CL and DYER NW. 2007. Bovine
trichomoniasis- a venereal disease of cattle.
Http: www. The Dary site. Com (332008).

ANONIMUS.
2008e.
http://coralx.ufsm.br/
parasitologia/arquivospagina/Marcomastigo
phorahtm (542008).
CORWIN RM, and RANDLE RF. 1993. Common
Internal Parasites of cattle. University of
Missouri. Extension G2130.: 13.
DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2007.
Populasi sapi perah. http://www.deptan.go.id/
infoeksekutif /nak/NAK07/Populasi%20Sapi
%20Perah.htm.(332008).
GADBERRY S, PENNINGTON J, and POWELL J. 2007.
Internal parasites in beef and dary cattle.
http://www. Extension internal Parasites in
beef and dairy.: 112 (2812008).
Gill C. 2006. Bullish on dairy, titillated by tilapia.
Food International : 4
GRAHN RA, BON DURANT RH, VAN HOOSEAR KA,
WALKER RL, and LYONS LA. 2005. An
improved moleculer assay for Trichomonas
foetus. Vet Parasitol :127:3947.
GIBBS HC. 1982. Gastrointestinal nematodiasis in
dairy cattle. J. Dair Sci 65: 21822188.
HIRUMA M. 2007. Trichophyton verrucosum. http://
www.pfdb.net/html/species/s61. htm.
KIRKPATRICK JG. 2007. Coccidiosis in cattle
osuextra.okstate.edu/pdfs/F-9129web.pdf1360k.
MERIAL. 2008. Dairy diseases information.
parasites.
http://www.
Us.Merial.com.
Producers. Dairy.Dis.: 14. (2812008).

DISKUSI
Pertanyaan:
Bagaimana keberadaan penyekit parasitic
dan mikotik pada sapi perah di Indonesia?
Prevalensi dan kejadian kasusnya?
Jawaban:
Penyakit parasitik dan mikotik pada sapi
perah ada di Indonesia, namun angka kerugian
yang terbaru belum didata. Demikian pula
dengan prevalensi. Menurut penulis data dari
Dirjen Peternakan belumlah akurat karena
ternak mudah berpindah, pengontrolan sulit,
kecuali yang ada di peternakan dengan
manajemen yang baik. Berikut ini ada
beberapa data penyakit dengan tahun pustaka
penulisan yang sudah tua.
Penyakit cacingan fasciolosis di Indonesia
pernah dicatat pada 1990 sebesar 513,6 milyar
rupiah per tahun dengan prevalensi 6090%.
(1991).
Prevalensi scabies pada tahun 2004 sebesar
0,021%. Kerugian tripanosomosis pada tahun
1985 sebesar 22.4 juta US.
Penyakit ringworm kerugian akibat lalat,
caplak ada, namun belum pernah dilaporkan
secara ekonomis dengan baik, penulis sendiri
pernah menemukan pada sapi atau peternakan
sapi.

MORTER RL, and CALLAHAN J. 2008. Ringworm


cattle. http://www.ces.purdue.edu/ext media/
Vy/ Vy.56. (432008).

321

Anda mungkin juga menyukai

  • Leucocytozoonosis
    Leucocytozoonosis
    Dokumen23 halaman
    Leucocytozoonosis
    Agnes Yesenia Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • IPDHB
    IPDHB
    Dokumen8 halaman
    IPDHB
    Agnes Yesenia Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Makalah Propalsus Uteri
    Makalah Propalsus Uteri
    Dokumen10 halaman
    Makalah Propalsus Uteri
    Agnes Yesenia Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • TIMBAL (PB)
    TIMBAL (PB)
    Dokumen18 halaman
    TIMBAL (PB)
    Agnes Yesenia Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Mikro Difusi
    Mikro Difusi
    Dokumen6 halaman
    Mikro Difusi
    Agnes Yesenia Sinulingga
    Belum ada peringkat